CHAPTER 12
- Everything is about to change -
Suzuka berdiri dalam diam. Sudah cukup lama waktu terlewati sejak ia tiba di bangunan besar rumah sekeluarga bermaga Chinen tersebut. Matanya menatap lurus meskipun tangannya agak ragu memencet tombol bel di depan. Hatinya masih sesak memang, namun itulah alasan kenapa dia ada disana. Gadis itu butuh penjelasan rasional atas mimpi buruk yang dialaminya beberapa jam lalu dan dari penyebab mimpi buruk tersebut.
Bel itu akhirnya terpencet beberapa menit setelahnya. Pintu kayu besar di depannya lalu terbuka, menampilkan seorang gadis dalam balutan seragam maid lengkap. Gadis itu tersenyum ramah.
“Ohgo-san… selamat datang…” Gadis maid itu membungkuk hormat, mengenali sesosok gadis yang usianya hanya lebih muda beberapa tahun darinya itu sebagai kekasih tercinta sang tuan muda. Tubuhnya menepi, memberi jalan bagi Suzuka agar bisa memasuki rumah megah tersebut. “Silahkan masuk..”
“A-aa.. tidak usah..” Suzuka buru-buru menolak dengan melaimbaikan tangan kanannya. “Aku hanya ingin ketemu Chii… dia ada?”
“Aa.. gomenasai. Chinen-sama belum pulang…” jawab si gadis maid. Alis Suzuka bertaut diikuti lirikan matanya yang kemudian menatap jam tangan.
“ini sudah jam 8 malam.. dia tidak kembali siang tadi?” tanyanya lagi. Si gadis maid menggeleng.
“Chinen-sama belum pulang sejak tadi pagi… mungkin sedang di tempat Yamada-sama, Nakajima-sama, atau Arioka-sama..”
“sou kah..” Wajah Suzuka berubah muram lalu mengangguk. “Sa, Arigatou na..” ia tersenyum miris.
“Ohgo-san tidak mau menunggu dulu?” tawar si maid. Suzuka menggeleng.
“Aku langsung pulang saja…sekali lagi arigatou na..”
“hai..Douitashimashite Ohgo-san…”
Suzuka membalikan badannya lalu melangkah, bersamaan dengan gerakan si maid menutup pintu rumah keluarga Chinen. Otaknya penat memikirkan dimana Chinen sekarang dan bagaimana caranya agar bisa berdamai dengan pemuda itu. Namun, Suzuka akhirnya kembali ke rumahnya sendiri. Ia lelah, apalagi mulai besok kelas sudah dimulai. Pencarian akan Chinen dan alasan atas tindakan pemuda itu memutuskannya tiba-tiba terpaksa harus ditunda besok, meskipun gadis itu yakin 100% ia tidak akan bisa istrirahat, alih-alih terlelap setelah ini.
* * * * * * * *
Chinen baru tiba di rumahnya pukul 10 malam. Aura kesal pemuda itu langsung terlihat dari caranya membanting pintu depan saat hendak memasuki rumah. Wajahnya dingin, nafasnya memburu, tatapannya tajam, siap menelan siapapun objek yang tertangkap kedua lensanya. Saat hendak berjalan memasuki kamarnya, salah satu maid lalu menyapanya.
“Chinen-sama tadaima…”
Chinen memilih tak mempedulikannya dan terus berjalan. Maid itu mengikutinya hati-hati dari belakang, berniat memberitahu tentang perihal kedatangan Suzuka tadi.
“Chinen-sama..” panggilnya. Chinen tak bergeming. Maid itu memperbesar volume suaranya dengan kalimat selengkap mungkin.
“Chinen-sama, tadi Ohgo-san datang…”
Langkah Chinen terhenti. Pemuda itu menoleh kebelakang.
“Suzuka?”
“Iya. Sekitar pukul 8 tadi. Katanya, ingin bertemu Chinen-sama…”
Chinen diam sejenak. Pikirannya melayang entah kemana. Namun, setelah satu tarikan nafas berat, pemuda itu melangkah lagi, siap menjangkau kamarnya.
“Aku tidak peduli..” ujarnya tak acuh sambil terus bergerak hingga akhirnya tangan kirinya menyentuh kenop pintu kamar dan memutarnya hingga terbuka sehingga ia bisa masuk. Setelah sosoknya terhalang sempurna pintu kamar yang tertutup, pemuda itu langsung terduduk di tepi tempat tidurnya.
“aku tidak peduli…” bisiknya lebih pada diri sendiri.
* * * * * * * *
Yukimura sayu menutup pintu kamar berwarna coklat tua itu pelan-pelan setelah memastikan eksistensi di dalam sudah terlelap sempurna. Wanita itu lalu keluar, berniat menemui seseorang yang dihubunginya beberapa saat lalu. Dugaannya tepat. Orang yang di ingin ditemuinya kini tengah berdiri tenang sambil bersandar di mobilnya. Sayu buru-buru mendekat.
“Miki…”
Sosok yang dipanggil segera menoleh ke sumber suara. “Oba-san, konbanwa… ada apa?”
“Kenapa tidak memberitahuku kalau kalian sekampus dengan teman lama Misaki?! Tadi Misaki cerita, katanya mereka memanggilnya Umika. Mereka sudah tahu!..”Merasa tak perlu membalas sapaan tadi, Sayu langsung nyerocos panjang lebar tepat ketika jarak antaranya dengan Kamiki sudah dekat. Pemuda itu hanya terseyum tipis.
“Daijoubu… aku sudah membereskannya.”
Sayu mengangkat sebelas alis. “Membereskan apanya?”
“Semuanya. Pokoknya Oba-san cukup percaya padaku, tidak akan ada orang yang membawa Misaki pergi dari oba-san…” Jawab Kamiki mantap tanpa melepaskan sunggingan senyum dari bibirnya. Sayu terdiam agak lama.
“Aku berpikir untuk memindahkannya ke universitas lain. Ne, bagaimana menurutmu? Lebih aman kan?” sarannya. Dan, respon pertama yang Kamiki berikan adalah tertawa.
“Na-nani? Daijoubu yo, Oba-san… Kau tidak perlu melakukannya. Dan.., kalau kau memindahkannya begitu saja, Misaki pasti akan curiga, deshou? Bisa-bisa semuanya malah jadi berantakan. Sudah, serahkan saja padaku. Aku jamin Misaki tak akan kemana-mana…” Kamiki meyakinkan. Sayu hanya menggigit bibir bawahnya cemas.
“Kau yakin?”
“Tentu. Karena bukan hanya kita yang menginginkan eksistensi Misaki tetap hidup, tapi juga seseorang dari masa lalu Kawashima Umika..”
“Eh?”
“Kaa-chan..”
Satu suara lemah yang familiar seketika menghentikan percakapan singkat Sayu-Kamiki. 2 eksistensi itu menoleh, mendapati Misaki tengah berdiri di depan pintu dengan punggung tangannya mengusap-usap matanya yang masih agak sulit terbuka. Sayu buru-buru menghampirinya.
“Misaki, doushita?” tanya wanita itu cemas. Bukan 100% karena putrinya tiba-tiba terbangun di tengah malam, namun lebih karena ia takut pembicaraannya bersama Kamiki tadi tertangkap oleh Misaki.
“Kaa-chan ngapain?” Misaki berhenti mengusap-usap matanya dan baru saat itulah dia sadar kalau ibunya tidak sendiri.
“Miki?!” pekiknya seketika, menemukan ketidaksendirian ibunya itu ternyata karena salah satu sahabatnya tengah bersama sang ibu. Kamiki hanya nyengir.
“Yo, Misaki!”
“ Ngapain kesini?!” tanyanya galak. Masih terbawa kesal ternyata gadis itu karena siang tadi, baik Kamiki maupun Jingi tidak ada yang menunggunya untuk pulang bersama. Kamiki nyengir makin lebar lalu berjalan mendekati gadis itu.
“Aku mau memastikan kalau kau sudah sampai di rumah.. tadi kan aku nggak sempat mengantar…”
“Cih!”Misaki mendengus. “jam segini?! Telat!”
Kamiki tertawa. “Gomen na… aku ada urusan dengan ayahku tadi dan baru pulang sekarang.. tapi bukankah kau senang kalau aku datang?” pemuda itu memainkan sebelah alisnya. Wajah Misaki sontak memerah.
“Uruse! Siapa juga yang mau melihatmu..”
Kamiki tertawa makin lebar. Dan bukan hanya dia saja, Sayu bahkan ikut-ikutan. Misaki otomatis manyun.
“Kaa-chan kok tertawa?! Belain kek!” sungut gadis itu. Sayu hanya geleng-geleng.
“Kamu ini, kalau bersama Miki selalu saja keluar sifat kekanakannya..”
“betul Oba-chan…” Kamiki memberi jempol pada ibu Misaki, sementara yang disinggung makin melipat bibir.
“Urusee!” miaski makin bersungut. Sayu—masih setengah mati menahan tawa—lalu mengelus puncak kepala putrinya itu.
“Sudah…, Terus kenapa nih kamu bangun? Ada feeling Miki mau datang? Kangen ya?” wanita itu menggodanya. Misaki mengangkat kedua alisnya nampak kaget.
“Apaan~ nggak! Siapa juga yang kangen Miki!” bantah gadis itu cepat-cepat dengan wajah yang masih memerah. Melihat ekspresinya itu, nenek-nenek saltopun tahu kalau yang dikatakan gadis itu bertolak belakang dengan yang ada di hatinya. Sayu tersenyum lembut memandangnya sembari menunggu jawaban.
Misaki akhirnya tersadar dari orientasi hatinya dan mulai mengingat hal apa yang mengganggu tidurnya tadi. Wajah malu-malunya sontak berubah sendu.
“Aku mimpi buruk..” jawabnya pelan tatkala pikirannya mencoba memutar ulang potongan-potongan kejadian dalam mimpinya tadi.
“Eh..Mimpi apa? Ayo ceritakan pada Kaa-chan…” tanya Sayu penasaran. Diajaknya gadis itu untuk duduk di lantai keramik terasnya. Kamiki mengikuti. Keduanya siap mendengarkan cerita Misaki.
“Aku melihat sesorang baru saja dipukul hingga babak belur. Aku tidak tahu dia siapa, tapi perasaanku mengatakan orang itu familiar sekali.. Aku mencoba membantunya, Tapi dia…dia, memarahiku. Dia bilang aku licik. Dia membenciku..” air mata gadis itu tiba-tiba menetes, refleks, seolah tetesan bening itu akan keluar begitu saja bersamaan dengan terlintasnya bayangan mimpi buruk tadi. Padahal itu hanya mimpi kan? Dan Misaki bahkan tidak kenal siapa oknum yang bersamanya dalam mimpi itu.
“Aku menamparnya.” Gadis itu melanjutkan. “Aku marah, tapi hatiku sakit. Dan rasanya terlalu sakit rasanya sampai membuatku ingin mati…”
Meskipun terkejut dengan reaksi putrinya yang tiba-tiba mengeluarkan air mata, Sayu tetap menarik Misaki kedalam pelukannya. Satu tangannya terangkat, mengelus puncak kepala putrinya itu lembut.
“Daijoubu Misaki… itu cuma mimpi..”
Misaki mengangguk. Didepannya Kamiki hanya menatap penuh arti.
* * * * * * * *
Ryosuke malangkah gontai menjangkau kenop pintu kamarnya. Wajahnya muram dan kaku. Aktifitas membuka pintu kamar yang biasanya hanya memerlukan sepersekian detik waktunya kali ini malah berlangsung nyaris semenit. Ryosuke masih sibuk menyadrakan tubuhnya di pintu dan berpikir. Cukup lama sampai akhirnya ia masuk dan merebahkan dirinya di kasur dalam posisi telungkup. Tangan kirinya bergerak, mengambil pingura mini yang terletak di meja samping tempat tidurnya. Foto yang sama yang selalu ditatapnya setiap hari. Entah dengan sekali pandang atau sampai nyaris berjam-jam merenunginya. Foto itu, gadis dengan senyum manisnya yang sama.
Ryosuke tersenyum.
“Dasar bodoh. Kau hebat, bisa membuatku bertekuk lutut pada Mirai-chan hari ini..” kata-katanya terdengar pahit. “Semuanya bilang, aku hanya akan menyakiti diriku sendiri. Tapi, jika aku tak melakukannya, kau pasti akan menangis kan?”
Gadis dalam foto itu tetap bertahan dalam posisi matinya. Ryosuke menyingkirkan poninya yang nyaris menutupi mata dengan tangan kanan tanpa berpindah konsentari dari sosok dalam pingura itu.
“Aku hanya tidak ingin kau menangis lagi, Umika…”
* * * * * * * *
“Masuk duluan deh, aku nyari tempat buat markir dulu..” Kamiki menghentikan mobilnya di depan pendopo kampus dan mempersilahkan 2 penghuni nebeng yang duduk di samping dan dibelakangnya itu untuk turun. Yukimura Misaki dan Irie Jingi—selaku oknum yang disebutkan tadi segera membuka pintu mobil dan turun. Tak lupa sebelumnya bersay ‘arigatou’ dan ‘sayonara’ dulu pada sang pengendara.
Setelah memasuki pelataran kampus, Misaki dan Jingi berpisah jalan. Jingi ke gedung fakultasnya—teknokimia, sementara Misaki ke bagian manejemen bisnis. Beda lagi dengan Kamiki yang gedungnya nun jauh berbeda di ujung kompleks kampus, tepatnya gedung fakultas arsitektur. Cukup 5 menit waktu yang dibutuhkan Misaki untuk tiba di kelas pertamanya. Segera, gadis itu masuk dan memilih bangku kedua dari ujung kiri, barisan ketiga. Selagi menunggu dosennya tiba, Misaki iseng membolak balik buku mini dengan judul ‘English: Grammars’ di sampulnya sembari menghafal beberapa tumpuk kata yang tertera di dalam. Beberapa mahasiswa baru yang kebetulan melihatnya tersenyum geli. Mereka mengenalinya—Yukimura Misaki, sang peraih nem tertinggi tes masuk Universitas Meiji dan yang kabarnya sudah jadi rahasia umum kalau kelemahan gadis itu adalah bahasa inggris. Nilainya nyaris sempurna tentu, kalau saja nilai tes bahasa inggrinya bukan 68.
Keseriusan Misaki tidak sama sekali bisa digubris, bahkan ketika seseorang telah mengambil tempat di sebelahnya dan ikut membaca buku yang digenggam gadis itu. Keduanya bertahan dalam posisi seperti itu selama nyaris lima menit sampai tanpa sengaja Misaki menolehkan kepalanya ke pintu, mengecek, dosennya sudah tiba belum. Matanya sontak terbelalak kaget menemukan sesosok manusia sudah duduk disampingnya dan tengah serius membaca buku ‘‘English: Grammars’nya.
“Yamada Ryosuke?!” Pekiknya refleks namun dengan volume super minim, takut menimbulkan kegaduhan. Ryosuke berpindah focus dari buku tadi ke wajah Misaki.
“Ohayo, Yukimura..” Sapanya tenang sambil tersenyum. Misaki masih tidak bisa menghalau kekagetannya dan berlanjut melontarkan pertanyaan bernada sama pada pemuda itu.
“Apa yang kalu lakukan disini?”
“Kuliah..” Ryosuke masih menjawab tenang. Misaki mendengus.
“Aku juga tahu..”
“Terus ngapain nanya?”
Gadis itu mendecak. “Maksudku, kenapa duduk disini?”
Seperti sebelumnya, respon Ryosuke masih juga berupa kalimat tanya. “Memang tidak boleh? Tempat ini ada yang punya? Kamiki?” todongnya dengan 3 pertanyaan sekaligus. Gantian Misaki yang menjawab santai.
“Miki beda jurusan…dan aku cuma kaget saja kau tiba-tiba muncul di sampingku…”
“Sou kah..” Ryosuke mengangguk sembari tersenyum tipis. “Maafkan aku kalau begitu..”
Misaki juga mengangguk. Keduanya terdiam, sibuk mencari objek pembicaraan lain. Sorot mata Ryosuke kemudian tertumpu pada buku dalam genggaman Misaki.
“English Grammar? Kau suka bahasa inggris?”
Misaki cepat-cepat menggeleng. “kebalikannya. Aku benci bahasa inggris! Aku tidak bisa berbahasa inggris dan nilaiku selalu dibawah untuk pelajaran sial ini. Lagian, ngapain belajar bahasa inggris! Toh, aku tinggalnya di jepang!” jelas gadis itu jujur plus membela diri. Mendengarnya, Ryosuke tersenyum kecil.
“Masih tidak bisa ternyata…” Bisiknya pelan, namun tanpa sengaja terdengar oleh Misaki.
“Tadi kau bilang apa?”
“Betsuni~ aku hanya menggumam..” Jawab pemuda itu cepat. Misaki mangut-mangut. Keduanya kembali terdiam, mencari objek apa yang harus jadi bahan perbincangan berikutnya. Aneh memang. Meskipun baru 3 hari bertemu, Misaki sudah merasa sangat familiar dengan kehadiran pemuda itu didekatnya, seolah hal tersebut sangat lazim baginya.
Perasaan itu lalu merambat ke otaknya, mengingatkannya kepada kejadian buruk kemarin. Ada satu kisah yang menggugahnya, tentang Yamada Ryosuke dan si gadis bernama Umika yang katanya mirip dengannya itu. Misaki segera menjadikan hal itu sebagai topik perbincangan baru.
“ne, Yamada-kun… sebelumnya aku minta maaf..” Ujarnya pelan. “Tapi, aku hanya ingin tahu.. Umika itu siapa? Apakah dia sangat mirip denganku?”
Rentetan pertanyaan tersebut mengguncang Ryosuke begitu saja. Meskipun ia sadar dan tahu kalau Umika sedang krisis jati diri sekarang, tapi mendengar Gadis itu menanyakan siapa dirinya sendiri seolah ia adalah orang asing tetap memukulnya keras. Rasa sakit itu ada, namun Ryosuke mencoba menutupnya dengan senyuman palsu.
“Umika Kawashima, Dia kekasihku…” Ryosuke berhenti untuk menarik nafas. “Wajahnya memang sangat mirip denganmu. Ah, tidak, sama persis. Kalau kalian berdiri bersama, aku berani jamin tidak bisa membedakan yang mana dirimu, yang mana Umika..”
Misaki tergelitik tanpa tetap mengalihkan konsentrasinya dari pemuda di samping. “Itu sebabnya kau langsung memelukku dan menyangka aku adalah Umika di kali pertama kita bertemu kan?”
“un! Soal itu, gomenasai yo..” Ryosuke agak menunduk. Misaki masih setengah tertawa.
“Daijoubu. Nah, terus sekarang, dimana Umika?” gadis itu bertanya lagi. Satu pertanyaan itu kembali memberi pukulan keras bagi Ryosuke hingga pemuda itu mengubah ekspresi wajahnya menjadi kaku. Kalau saja ia tidak berpikir dengan akal sehat, ia pasti akan seketika memeluk gadis didepannya itu sambil berteriak kalau dialah Umika. Tapi tidak, Ryosuke masih harus bisa menahan jerit hatinya.
Nafsnya ditarik perlahan.“Umika kecelakaan 6 bulan yang lalu dan menghilang…”
Misaki tersentak “Ah, gomenasai! Aku tidak tahu kalau—“
“Daijoubu..” Ryosuke memotong. “Aku juga sudah merelakannya…”
Gadis itu terdiam. Mata coklat kembar Ryosuke jelas tidak bisa berbohong meskipun bibirnya sudah mengatakan kalau ia baik-baik saja. Siapapun bisa membaca raut kesedihan dan perasaan kehilangan hanya dengan menatap matanya.
Rasa sakit tiba-tiba menyerang hati Misaki begitu saja, seolah ia bisa merasakan kesedihan teramat sangat pemuda itu.
“Kau, pasti sangat mencintainya..” Ujar gadis itu lembut. Ryosuke menoleh, ikut melengkungkan senyuman yang sama.
“Un.. lebih dari apapun..”
Misaki mengangguk, masih tak melepaskan senyuman lembutnya. Ryosuke kembali diserang rasa sakit dan kerinduan untuk merangkuh gadis itu kedalam pelukannya. Namun sama seperti sebelumnya, pemuda itu masih bisa menahan diri. Meskipun sekali lagi tersakiti, tidak apa. Asalkan Umika tidak meneteskan air mata lagi.
Momen kedua sejoli itu berlalu bersama munculnya sesosok wanita cantik berkacamata berumur sekitar 28 tahun dengan beberapa buku tebal di tangannya yang kini tengah memasuki kelas. Kedatangan Wanita—yang adalah Maeda Atsuko sensei, dosen mereka itu langsung memecah konsentrasi Ryosuke, Misaki serta penghuni kelas yang lain dengan salam perkenalannya. Pandangan mereka seketika tertumpu sempurna pada dosen cantik itu tanpa lagi menyinggung hal-hal yang sempat jadi perbincangan mereka sebelumnya.
Sementara Maeda sensei bicara di depan, Ryosuke sesekali mencuri pandang ke arah Misaki yang tengah serius memperhatikan sambil tersenyum kecil.
* * * * * * * *
Suzuka merasakan darahnya berhenti mengalir ketika mata hitam beningnya menatap 2 sosok manusia di depannya. Ia mengenali salah satunya sebagai Chinen Yuri, pemuda yang –baginya— masih menjadi kekasihnya tersebut. Tapi bukan hanya itu yang membuatnya terpana. Chinen dan sosok yang satu lagi, yang adalah seorang wanita itu malahan tengah melakukan sesuatu yang bahkan dalam bayanganpun tidak pernah terlintas.
Chinen tengah memeluk gadis asing itu, mencium wajahnya sambil berbisik mesra di telinganya, membuat gadis itu sedikit kegelian sekaligus tertawa senang. Kehadian Suzuka yang cukup terasa membuat Chinen sedikit terkejut. Pemuda itu mengalihkan separuh perhatiannya pada Suzuka tanpa menghetikan bisikan mesranya pada gadis lain dalam pelukannya.
Dari seberang, Suzuka tetap diam. Matanya mulai memanas, siap memproduksi cairan yang lazimnya disebut air mata sekali lagi. Dan tanpa kemauan untuk melihat yang lebih jauh—karena kedua pasangan mesra dalam lab fisika yang kosong itu nampak akan melanjutkan kegiatan mereka ke tahap berikut dan hal itu hanya akan semakin menyakitinya—suzuka lalu cepat-cepat berlari keluar, berupaya menemukan satu tempat baginya untuk bisa melepaskan air matanya keluar tanpa gangguan siapapun. Gadis itu hanya ingin menangis saat ini. Itu saja.
*
“Chinen-kun, doushita?” Tanya gadis manis itu ketika sosok yang baru saja disebutkan namanya itu tiba-tiba melepaskan tangannya dari pinggangnya. Chinen yang tengah menengok ke pintu dengan wajah muram kemudian mengalihkan matanya kembali pada sang gadis.
“Tidak. Tidak ada apa-apa…”
Gadis itu tersenyum, lalu kembali memeluk Chinen. Hanya saja kali ini, bukannya membalas seperti sebelumnya, Chinen malah menghindar.
“Gomen ne, Rina-chan… bisa kita hentikan dulu?” Ujar pemuda itu dengan raut wajah kosong.
To Be Continued
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar