CHAPTER 11
- A Decision to be forgotten -
“Chii! Matte yo! Chinen!” Suzuka berlari agak terengah demi menjangkau pemuda yang tengah berjalan cuek beberapa puluh meter didepannya itu. Chinen Yuri, pemuda yang dipanggil itu jelas mendengar, namun memilih mengacuhkan si gadis. Hatinya masih sakit, masih jengkel. Terlebih karena semua pengkhianatan yang diterimanya itu terpampang langsung di depan matanya beberapa saat lalu. Pemuda itu tidak butuh alasan ataupun permohonan maaf. Ia hanya ingin sendiri, setidaknya jauh dari gadis itu untuk sementara waktu demi mendamaikan hatinya.
Namun tidak bagi Suzuka. Ia tidak tahu apa yang ada dalam pikiran kekasihnya itu sekarang, sehingga tanpa lelah gadis itu terus menyusul Chinen, mensejajari langkahnya dengan pemuda itu agar bisa menjelaskan ada apa antara dirinya dan Jingi. Waktu berlalu nyaris satu menit ketika Suzuka akhirnya bisa menangkap lengan kanan Chinen.
“Matte yo...” pinta gadis itu dengan nafas terengah-engah. Chinen terpaksa berhenti, namun wajahnya tak sama sekali menoleh ke belakang. Suzuka mengatur nafasnya beberapa saat sebelum mulai bicara. “Gomenasai yo, Chinen… Tadi itu aku tidak ada maksud apa-apa. Aku hanya mengorek informasi dari Irie-kun tentang Yukimura, dan memang benar, Yukimura memang Umika..” tutup gadis itu dengan seulas senyum tipis meskipun jantungnya tengah berkerja 2 kali lebih cepat karena takut plus penasaran dengan reaksi Chinen berikutnya.
Pelan-pelan Chinen menoleh ke belakang dan menatap tajam tepat ke 2 bola mata Suzuka.
“Sudah selesai?”
“Eh?”
“Atau harus aku yang menyelesaikannya? Oke.. biar kucari kata penutup yang tepat. Oh, bagaimana kalau…’hubungan kita sampai disini saja’?” nada bicara pemuda itu dingin dan menusuk. Suzuka seketika membelalakan matanya, sama sekali tidak percaya dengan rentetan kata yang baru saja keluar dari mulut kekasihnya itu.
“A-apa?” tanyanya shock.
“Tidak dengar? Kubilang hubungan kita sampai disini saja..” Chinen terdiam sepersekian detik seolah berpikir. “..kita putus..”
Hati Suzuka seketika remuk. Tubuhnya membeku.Gadis itu tidak pernah menyangka kalimat macam ini akan dikeluarkan Chinen untuknya. Dan putus… berarti mereka harus mengakhiri hubungan yang sudah terjalin selama ini?
Chinen melirik gadis itu hanya sepersekian detik sebelum kemudian berbalik dan meninggalkannya seperti tadi. Tanpa kata lanjutan, tanpa solusi. Hanya diam.
Suzuka membisu disana. Hatinya masih hancur, jiwanya masih melebur. Pelan-pelan, tubuhnya merosot ke tanah hingga terduduk. Chinen sudah jauh didepan sampai-sampai tidak mendengar alih-alih merasakan kalau gadis yang sempat besamanya tadi sudah terduduk lemas di tanah. Dalam posisi duduknya yang pasrah itu, Suzuka lalu mulai meneteskan air mata.
* * * * * * * *
Misaki membanting pintu kamarnya keras, lalu sesegera mungkin membaringkan tubuhnya di kasur. Matanya terus memandang langit-langit berwarna orange kamarnya sembari satu tangannya mengelus-elus pipi kanannya yang masih agak hangat akibat tamparan tadi.
“Cih!” Umpatnya kesal saat membayangkan kejadian tadi. Siapa juga yang tidak kesal? Didatangi sekelompok manusia yang sudah memaksanya mengaku diri sebagai orang lain, masih dikasih tamparan pula. Padahal Misaki sama sekali tidak kenal mereka, bahkan gadis yang menamparnya itu. Yang bisa ditangkapnya dari pembicaraan singkat bernuansa peperangan mereka tadi hanyalah Yamada Ryosuke dan gadis bernama Umika yang kata mereka adalah dirinya. Tapi siapa itu Umika? semirip itukah gadis itu dengan dirinya sampai-sampai mereka bisa salah mengenalinya seperti itu?! sudah 2 kali pula! Dan apa pula itu permohonan agar ia mau menemui Ryosuke? Apa karena pemuda itu sudah nyaris bunuh diri demi Umika yang hilang itu?! Loh, yang meninggal kan Umika, kenapa ia yang harus dilimpahi beban? Sudah jelas-jelas dia bukan Umika.
Misaki jenuh. Diangkatnya tubuhnya dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi lalu mulai mencuci mukanya. Setelah basuhan pertama, tanpa sengaja gadis itu melihat bayangannya sendiri dalam kaca di depan. Wajahnya yang manis dengan mata hitam cemerlangnya yang indah. Perlahan, jemarinya mulai bergerak menyentuh permukaan wajahnya sediri mulai dari kening hingga kedua pipinya.
“Kayak gimana sih wajah sih Umika itu?” Tanyanya setengah berbisik. Masih pertanyaan yang sama yang membuatnya stress dan kesal sejak tadi. Sumpah, gadis itu penasaran akut dengan yang namanya Umika serta semirip apakah rupa gadis itu dengannya.
“Misaki..?”
Satu suara tiba-tiba terdengar. Misaki kenal betul suara milik siapa itu. Sesegera mungkin dibasuhnya wajahnya lalu berjalan keluar kamar.
“Kaa-chan, sudah pulang? Kok cepat?” tanyanya heran pada sang ibu yang kini tengah mengeluarkan sebagian sembako belanjaannya dan meletakannya di meja makan. Wanita 40 tahunan itu tersenyum lalu mengangguk.
“Kebetulan kerjaan hari ini cuma sedikit. Kaa-chan minta ijin pulang duluan deh, sekalian mau belanja. Isi kulkas nyaris habis tuh..” Yukimura Sayu menghentikan pembicaraannya sejenak ktika menemukan ada yang agak ganjil pada putrinya itu. “Misaki.., kamu nyuci muka ya? Siang-siang begini, tumben..”
Misaki mengangguk namun seketika teringat kejadian menyebalkan di kampus tadi. Wajahnya langsung berubah manyun.
“lagi kesal..” jawabnya singkat. Sayu mengerutkan kening.
“Kesal kenapa? Ayo cerita sama Kaa-chan..” Wanita itu menarik sebuah kursi untuk diduduki putrinya, sementara ia ikut duduk di satu kursi lain. Misaki menghela nafas beberapa kali sebelum mulai bercerita.
“Aku dita—maksudku ada yang salah mengenaliku..” kalimat gadis itu sempat terhenti dan kemudian terganti. Ia tidak mau ibunya tahu kalau siang tadi dia habis digampar orang asing. Bisa-bisa jantungan ibunya.
“Salah mengenali?” sang ibu mengulang kata-kata Misaki, tidak ngeh.
“Iya. Ada sekelompok orang di kampus yang salah mengenaliku dengan gadis lain. Sudah begitu mereka maksa banget membuatku mengaku kalau aku orang yang mereka kira itu. Cih! Bikin kesal saja!” Misaki makin manyun. Sayu tersenyum kecil lalu lanjut bertanya.
“Memang mereka salah mengenalimu dengan siapa?” tanyanya. Misaki nampak berpikir sejenak.
“Uhm…Kalau tidak salah sih, namanya Umika..”
Deg!
Jantung Yukimura Sayu sontak berdegub cepat. Keringat dingin pelan-pelan menetes keluar dari pori-pori kulitnya. Nama itu, ia kenal betul. Umika. Kawashima Umika, Misaki yang dulu yang seharusnya tetap menjadi rahasia yang terkubur selamanya. Lalu bagaimana bisa orang lain mengetahui kebenaran jati diri putrinya itu? apakah mereka orang-orang dari masa lalunya?
“Haah… jangan-jangan aku punya kembaran. Mungkin tidak Kaa-chan. Kaa-chan?” Misaki menyadari perubahan ekspresi ibunya tiba-tiba. “Kaa-chan? Doushita?”
Sayu tersentak, dan buru-buru mengelak. “Aah.. tidak. Kaa-chan cuma mengingat-ngingat kira-kira kamu pernah mirip sama siapa… tapi nama Umika itu sepertinya asing sekali..”
“Deshou..? ck! Aku jadi bingung deh, bagaimana harus menghadapi mereka besok..” Misaki menempatkan kedua sikunya di meja lalu memangku dagu. Sayu menatapnya hati-hati lalu menanggapi pertanyaan gadis itu dengan sebuah solusi yang dirasanya cukup kuat untuk menghindarkan putrinya dari resiko bertemu orang-orang yang diceritakannya tadi.
“Kalau kau mau pindah universitas tidak apa-apa kok. Kaa-chan mendukung..”usulnya. Misaki mengubah posisinya jadi duduk tegak, lalu tertawa sambil menggelengkan kepalanya.
“Tidak mungkin yo, Kaa-chan.. aku tidak akan melewatkan beasiswaku hanya karena hal kecil seperti ini… muri desu~” Misaki menjawab santai di sela-sela tawanya. Sayu hanya tersenyum kecil—agak terpaksa.
“Sou kah… terserah kamu deh…” Jawabnya dengan nada senormal mungkin meskipun perasaannya sedang tergugah hebat karena hal ini. Apakah putrinya akan pergi sekali lagi?
Tidak. Sudah cukup ia kehilangan Misaki yang dulu. Kali ini, ia berjanji akan mempertahankan Misaki apapun yang terjadi meskipun fakta mengatakan bahwa gadis kecilnya itu bukan miliknya.
* * * * * * * *
Mirai merebahkan dirinya di sofa keluarga Nakajima lalu terisak keras. Yuto mengikuti dengan tergesa-gesa dan langsung merangkuh gadis itu kedalam pelukannya. Dibelakangnya, Daiki dan Momoko mengekori dalam diam, meskipun keadaan mereka tak kalah kacaunya dengan Mirai.
“Mirai..sudahlah…” Yuto menenangkan gadis itu dengan mengelus puncak kepalanya lembut. Mirai hanya bisa sesegukan.
“Bagaimana kalau Ryosuke tahu ini…? Hatinya pasti akan sakit sekali kalau tahu Umika benar-benar melupakannya..” ujar gadis itu masih menangis. Yuto tidak bisa menjawab, hanya memeluknya kuat.
“Minaa…” Satu eksistensi tiba-tiba muncul di ambang pintu dan mengagetkan semua orang dengan sapaannya yang lemah. 4 pasang mata dalam ruangan tersebut sontak menoleh ke sumber suara.
“Ryosuke…” Daiki setengah berbisik menyebutkan nama eksistensi yang tadi bersuara itu sementara pemuda yang disebutkan melangkah masuk dan mendekati mereka berempat. Mirai cepat-cepat membersikan bekas aliran air mata di pipinya.
“Ryosu—“
“Daijoubu..” ucap pemuda itu tanpa mendengar kelanjutan kata-kata Mirai. “Aku tahu…”
“Eh..? Ryosuke… maksudmu, kau tahu kalau Yukimura adalah Umika?” Sergah Yuto cepat-cepat dengan ekspresi terkejut yang kentara jelas. Ryosuke mengangguk kalem.
“Dia amnesia…”
Kelompok itu terdiam. Dari nada bicaranya saja, mereka bisa menangkap kesedihan dan rasa sakit Ryosuke. Sementara, Pemuda itu paksa tersenyum untuk meredakan perih di hatinya.
“Meskipun melupakan kita, paling tidak si bodoh itu masih hidup kan..?”
“Ii yo, Ryosuke. Dia adalah Umika yang dulu, ia masih bisa mengingat kita. Kita hanya perlu menceritakan semua yang terjadi dan—“
“tidak, Mirai…”
Mirai tertegun.
“—kita hanya kan menyakitinya..”
Kata-kata Ryosuke jelas menimbulkan tanda tanya besar dalam kelompok tersebut. Nyaris keempat orang itu memikirkan pertanyaan yang sama. Menyakiti apanya? Bukankah akan lebih baik jika gadis itu tahu yang sebenarnya? Ryosuke tak perlu menderita lagi kan?
“Apa maksudmu menyakitinya?” Momokolah yang pertama mentansmisikan isi kepalanya itu dalam pertanyaan. Ryosuke sedikit menunduk saat menjawab.
“Aku hanya tidak mau Umika merasakan sakit karena kehilangan orang tuanya. Aku tahu rasanya dan itu yang terburuk..” jawabnya dengan nafas tertahan.”Dia sudah punya keluarga sekarang. Ibu yang baik, teman, kekasih…Dia tidak lagi harus merasakan kesedihan ini..”Ryosuke sedikit mengcopy kata-kata Kamiki. Yuto, Mirai, Momoko, dan Daiki sontak mengangkat alis masing-masing, kaget.
“Demo Ryosuke, bagaimana dengan Ryuu?! Umika masih punya adiknya dan… Kau.., kau hanya akan menyakiti perasaanmu sendiri!” Mirai cepat-cepat membantah, tidak setuju dengan pemikiran Ryosuke itu.
“Aku sependapat dengan Mirai.” Daiki menyambung. “Kita tidak bisa membohongi Umika. Meskipun sakit, Umika sendirilah yang harus menghadapinya.”
Perasaan Ryosuke bertambah hancur. Semua menolak jalan pikirannya. Bodoh dan menyakitkan memang. Tapi sungguh! Demi apapun, ia tidak ingin melihat Umika menangis lagi. Tidak dengan perih yang sama yang mengutuk hidupnya 10 tahun lalu. Perih yang bahkan sampai saat inipun belum benar-benar bisa dilupakannya.
Dengan satu gerakan pasti, Ryosuke tiba-tiba saja sudah memerosotkan tubuhnya dan mengambil posisi berlutut. Pemuda itu menunduk dalam kepada barisan 4 orang sahabatnya itu. Ini pertama kalinya, pertama dalam seumur hidupnya pemuda itu berlutut dan memohon pada orang lain. Tapi tidak apa, bagi Umika, demi senyuman yang seharusnya tetap terjaga di bibir gadis itu, Ryosuke akan melakukan apapun. Bahkan dengan merendahkan dirinya sendiri seperti saat ini.
Mirai, Yuto, Momoko dan Daiki sontak bertambah terkejut. Ryosuke bisa-bisanya berlutut dan memohon? Pada mereka? Demi menjaga perasaan Umika? Apakah dunia bisa sebegitu jahatnya sampai membuat pemuda itu melakukan ini—sesuatu yang bahkan dalam mimpi mereka pun tak pernah terlintas?
“Aku mohon…” Sekali lagi pemuda itu bicara. Bahunya mulai bergetar. “aku hanya tidak ingin Umika menangis lagi, itu saja…”
“Ryosuke, sudah. Ayo bangun..” Yuto berusaha mengangkat kedua pundak Ryosuke, membantunya bangun. Namun pemuda itu enggan bergerak, masih menunggu kepastian jawaban atas pintanya.
“Kau egois Ryosuke..” Ujar Mirai pelan namun dengan nada dingin yang menusuk. Tatapannya tajam ke arah Ryosuke. Pemuda yang ditatap itu mendongak—sedikit terisak, ia ikut menancapkan tatapan yang sama tajamnya. Namun tatapan itu lebih dipenuhi sakit dan pinta.
“Aku akan lebih egois jika membongkar semua kebenarannya. Aku akan lebih menyakiti Umika, demi kebahagiaanku sendiri. Aku akan membuatnya kehilangan kehidupan palsunya yang tentram bersama ibunya hanya untukku sendiri. Hanya agar Umika kembali mengingatku. Itulah egois yang sebenarnya, Mirai..”
Mirai tersentak. Kata-kata Ryosuke entah kenapa membuatnya berpikir ulang tentang permintaan pemuda itu. Tapi tetap saja, dia tidak bisa menerimanya. Ia tidak bisa melihat Umika mengulas senyum bersama keluarganya yang baru sementara Ryosuke nyaris mati kesakitan karena dilupakan gadis itu. Meskipun ia tahu, dibalik kelemahannya, Ryosuke adalah sosok yang sangat tegar, namun setelah melihat bagaimana kacaunya pemuda itu saat Umika hilang membuatnya tidak bisa mempercayai ketegaran Ryosuke lagi. Pemuda itu hanya akan tersakiti, hanya itu! Ryosuke tidak akan bahagia jika melihat gadis yang seharusnya adalah kekasihnya menikmati kebahagiaan bersama orang lain.
Ryosuke masih memberikan tatapan yang sama. Mirai merasakan air matanya mulai menggenangi pelupuk. Gadis itu kemudian pergi, berlari meninggalkan kelompok itu menuju satu kamar kosong yang pintunya tengah terbuka.
“Mirai!” Yuto cepat-cepat menyusul gadis itu, takut kalau-kalau sesuatu terjadi padanya. Kini tinggal Daiki, Momoko, dan Ryosuke yang masih juga berlutut. Daiki segera membantu sahabatnya itu untuk berdiri.
“Ryosuke, ayo duduk dulu..” Pemuda itu memapah Ryosuke agar bergerak bersamanya mendekati sofa coklat muda yang letaknya tak jauh dari mereka. Namun, lain respon dari Ryosuke.
“Daichan..” Ryosuke lalu menoleh ke Momoko. “Momo… kumohon…”
“Kau yakin..?” Momoko mendekati pemuda itu dan membantu Daiki memapahnya untuk duduk di sofa. Ryosuke refleks bergerak menurutinya. “Kau yakin tidak apa-apa? Jangan menyakiti dirimu sendiri Ryosuke…”
“Momoko benar. Tidak apa-apa bagi kami, karena meskipun Umika lupa, kami masih bisa berusaha berteman dengannya lagi. Tapi, kau…tidak apa-apa jika kau melihat Umika bersama pria lain? Hontou ni ii desuka?” Daiki menambahkan. Ryosuke menatap kedua pasang mata yang tengah menanti jawabannya dengan perasaan terguncang. Ia tahu, pada akhirnya orang yang paling tersakiti adalah dirinya sendiri. Meskipun begitu, tekadnya sudah bulat. Tidak akan ada lagi tangis di mata Umika, meskipun bayarannya adalah hatinya sendiri.
“Daijoubu…” seperti biasa, Ryosuke tersenyum pahit. “Tidak apa-apa, asalkan Umika bahagia..”
* * * * * * * *
“Mirai…daijoubu.. ini sudah keputusan Ryosuke..” Yuto memeluk gadisnya erat sambil satu tangannya membelai lemah rambut gadis itu. Mirai makin membenamkan wajahnya di dada Yuto bersama isaknya yang tak juga henti.
“Ryosuke bodoh, Yuto. Dia hanya akan menyakiti dirinya sendiri…” ucap gadis itu masih terisak. Yuto tidak menjawab, hanya mempererat pelukannya di tubuh mungil Mirai.
To Be Continued
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar