CHAPTER 20
“Ehh? Apa maksudmu Ryosuke pingsan dipukul Yuto?” Chinen Yuri mengangkat kedua alisnya, kaget dengan info terbaru yang diberikan sahabatnya Daiki lewat telepon. Suzuka, yang kali ini kebetulan sedang bersamanya, langsung memusatkan perhatiannya pada kata-kata yang berikutnya keluar dari pemuda di depannya sekarang.
Dari seberang Daiki membalas agak ragu.
“Iya…katanya karena salah paham, entahlah….aku tidak begitu yakin. Tapi yang kudengar dai Tou-san, ini tentang Mirai-chan…”
“Mirai?! Mirai Ngapain emang?”
“Mana kutahu. Aku baru dengar kemarin,, padahal kejadiannya 2 hari yang lalu…dan ketika kujenguk kemarin, Ryosuke masih belum sadar…”
Chinen memiringkan kepalanya.“Kemarin? Kenapa baru memberitahuku sekarang, Daichan?”
“Hah?! Baru memberitahumu sekarang? Hey! Aku sudah menghubungimu sejak kemarin tapi keitaimu tidak pernah aktif. Kau juga tidak ada rumah. Kemana sih?”Jawab Daiki dari seberang—agak kesal. Chinen menyeringai sebentar ke arah suzuka sebelum menjawab pertanyaan Daiki barusan.
“Aku di Shizuoka, dengan Suzu-chan…”
“HAH?!” Daiki kaget. “Ngapain di Shizuoka?”
“aku menemani Suzuka menjenguk sahabatnya..” Chinen menjawab santai, tidak terpengaruh dengan nada kaget yang baru saja dilontarkan Daiki.
Dari seberang Daiki hanya bisa geleng-geleng sekaligus kagum. Sahabatnya yang satu itu nampaknya benar-benar serius dengan Ohgo Suzuka. Sampai pergi ke Shizuoka hanya untuk menemani pacarnya yang mau menjenguk orang, tidakkah itu sudah cukup menyiratkan betapa seorang Chinen Yuri menyayangi Suzuka? Gadis itu tentu sangat beruntung memiliki Chinen sebagai kekasihnya.
“ne, Chii…kapan kau pulang? Aku mau menjenguk Ryosuke sekarang. Barusan, Yuto menelponku. Katanya sih Ryosuke sudah sadar..” ujar Daiki kemudian.
“hari ini aku pulang. Kau duluan saja.. nanti kalau sudah sampai Tokyo, aku segera menyusul…” Jawab Chinen selanjutnya, sebelum hubungan telepon kedua eksistensi beda lokasi tersebut terputus. Chinen mengantongi keitainya, kemudian menatap Suzuka yang sejak tadi nampak sangat berkonsentrasi dengan percakapan via keitainya bersama Daiki.
“Kenapa Yamada pingsan?” Sesuai prediksinya, pertanyaan inilah yang terlontar dari gadis itu selanjutnya. Chinen tersenyum kecil.
“Dihajar Yuto. Katanya ada kesalahpahaman antara Yuto, Ryosuke dan Mirai…”
“Yamada-kun menyukai Shida?” lanjut Suzuka. Chinen hanya mengangkat bahu.
“Kita pulang sejam lagi, ne Suzuchan? Tak apa kan? Aku harus mengecek Ryosuke..”
Suzuka mengangguk. “tentu. Aku akan mulai mengemas barang-barangku sekarang” Ujarnya kemudian lalu segera bangkit dan berjalan menuju salah satu kamar yang disewanya di penginapan. Begitu pula Chinen, ikut bangun dan berjalan menuju kamarnya. //Note: mereka beda kamar ya!//
~ 0 ~ 0 ~ 0 ~
“anou…” Suara kecil Umika memecah kegaduhan ruang keluarga Yamada. Ada beberapa orang disana. Yuto, Mirai, Daiki, Momoko, dan Fuma-san yang nampak sibuk memperbincangkan sesuatu. Chinen dan Suzuka tidak terlihat, begitu pula dengan si pemilik rumah, Ayah-Anak Yamada. Gadis itu melangkah mendekati grup tersebut perlahan.
“A-a…Umika-chan, ohayou!” Mirai duluan bereaksi, kemudian bergeser dari tempat duduknya, memberikan tempat bagi Umika yang langsung diisi gadis itu beberapa detik kemudian. Setelah memastikan posisinya sudah pas, gadis itu tersenyum ke kumpulan orang disekelilingnya.
“ohayou…” serunya pelan. Seketika lengkungan senyuman langsung terulas dari seluruh manusia yang ada di ruangan tersebut sebelum kemudian dilanjutkan dengan sapaan yang sama.
“Ohayou…..”
“Ne, Umichan sudah semalaman disini, deshou?” Daiki yang berikutnya berbicara. Umika hanya tersenyum tipis lalu mengangguk.
“Dia mengkhawatirkan kareshinya na….” Yuto menyambung. Umika sontak terbelalak dan menggoyang-goyangkan tangannya cepat, membantah tuduhan itu tentu saja.
“Chigau yo! Aku cuma khawatir karena sebelumnya Ryosuke sempat…ehm…sempat kutampar...”
“AREE??” seketika kebisingan memenuhi seisi ruangan keluarga Yamada, dikarenakan teriakan beberapa manusia dalam ruangan tersebut sebagai reaksi atas jawaban Umika barusan. Bahkan Fuma-san, kepala pelayan keluarga Yamada ikut melengkingkan teriakan yang sama seperti remaja-remaja didepannya.
“Hontou desuka? Ne, Umichan..kau benar-benar menampar Yamada-kun?” Momoko langsung menyerang Umika dengan pertanyaan. Gadis itu mengangguk, sambil memasang wajah malu.
“Memangnya tidak boleh ya?”
“Tidak! Tentu boleh…selamat yo! Kau mungkin adalah gadis pertama yang menamparnya…”Daiki memberikan pendapat setujunya, sedikit kagum dengan keberanian Umika. Namun sedetik setelah mencelatkan kata-kata tersebut, pemuda itu telak menerima balasan tatapan tidak setuju dari kekasihnya. “…apa? Aku kan cuma ngasih pendapat..” pembelaanya melawan tatapan kesal momoko. Gadis itu hanya bisa manyun.
“kalau kau mengijinkannya, mungkin lain kali Umika juga akan menghajar Ryosuke lebih parah dari yang Yuto-kun lakukan…” sambung Momoko. Sekarang malah Momoko yang diberi tatapan maut dari Umika. Hanya, maaf saja. Nggak ngefek.
“Anou, Chinen-kun dan Suzuka dimana? Tidak biasanya mereka tidak ada…” Umika kembali berujar, mengganti topic. Yuto dan Mirai saling pandang lalu mengangkat bahu.
“Chii lagi sama Suzuka di Shizouka. Ada urusan katanya…” Daiki yang membalas diikuti anggukan dari Momoko di sampingnya.
“Hey..hey…ngapain Chii ke Shizuoka bareng Suzuka. Pulang kampung? mau mengurus pernikahan?” tanya Yuto bingung. Daiki tertawa kecil sebelum menggeleng.
“Aku yakin itu yang Chinen inginkan, tapi sayang tujuan mereka bukan untuk itu. Suzuka ingin menjenguk temannya—”
“Dan Chinen ingin setia menemani, benar?” sambung Mirai sebelum Daiki menyelesaikan kata-katanya. Pemuda itu mengangguk.
“Chinen-kun nekat sekali yo…” gumam Umika selanjutnya, yang kemudian dibalas dengan senyum dan tatapan setuju teman-temannya.
“terus Umichan….tidak mencari Ryosuke?” Mirai menatap Umika sambil tersenyum penuh arti. Umika memiringkan kepalanya sejenak, wajahnya agak memerah.
“Anoo…itu…”
“Tidak perlu mencariku…” satu suara familiar terdengar, disusul dengan kemunculan 2 sosok manusia yang tidak asing lagi bagi makhluk-makhluk didepannya. “Aku disini…” sambung sosok itu sambil melangkah cepat kedepan, cukup memisahkan jarak antaranya dengan pria di sampingnya tadi. Sudah bisa ditebak kan? Keduanya adalah Ayah—Anak Yamada.
Wajah Umika bertambah merah ketika Ryosuke kemudian mengambil tempat didepannya. Meskipun begitu, hatinya lega karena pemuda itu sudah bisa berjalan senormlanya, tanpa bantuan seperti yang terjadi di kamarnya tadi ketika Yuto harus memapahnya hanya untuk berjalan.
“tidurmu nyenyak?” tanya Ryosuke kemudian sambil menatap Umika lembut. Umika tidak mampu menjawab namun hanya menunduk dan mengangguk. Jantungnya kembali bekerja cepat.
“yokatta..! arigatou na, Umika…kau sudah menjagaku 2 hari ini…”sambung pemuda itu, masih tanpa melepaskan tatapan lembutnya ke arah Umika. jantung gadis itu berdetak makin cepat.
“Douita…dan..syukurlah kau baik-baik saja sekarang..”jawab Umika agak gugup. “maaf untuk tamparanku 2 hari yang lalu…”
Ryosuke tersenyum. “daijoubu…aku yang salah.”
“Un! Ryosuke memang salah!”Tsukasa ikutan nimbrung. “selamat Umika. Kau adalah gadis pertama yang berani menampar Ryosuke.” Sambungnya meniru ucapan Daiki.
“Tou-chan!” Ryosuke protes. Eksistensi lain penghuni ruangan itu kembali tertawa, begitu juga Umika. Sedetik, Ryosuke menatap senyuman Umika yang semanis biasanya. Dan seketika itu juga, sesuatu kembali bergejolak dalam hatinya, memaksanya untuk memiliki senyum gadis itu.
Ryosuke tahu perasaan ini.
~ 0 ~ 0 ~ 0 ~
“Tadaima…” Umika membuka kenop pintu rumahnya perlahan. Dari dalam terdengar jawaban, disusul munculnya sosok ibunya.
“okaeri, Umichan…, ayo masuk…lihat siapa yang ada didalam..” Rubi buru-buru menarik tangan putrinya itu agar segera mengikutinya menuju ruang keluarga. Penasaran, Umika bergerak cepat. Gadis itu langsung ternganga melihat siapa yang ada disana.
“Yamada-san!” serunya seketika. Yamada Tsukasa tersenyum lembut ke arahnya.
“baru pulang, Umika? bukannya sudah dari tadi bersama Daiki dan pacarnya?”tanya pria itu. umika mengangguk.
“H-hai..demo, aku tadi ke tempat Momoko dulu..” jawab Umika agak kaku. Tsukasa mangut-mangut.
“sou kah…” tatapan pria itu berganti, memandang eksistensi berusia sama dan berjenis kelamin sama di depannya. Kepala keluarga Kawashima, Kawashima Yuya. “Kalau begitu aku permisi dulu, Kawashima-san…dan sekali lagi aku minta maaf.” Lanjutnya kemudian. Yuya hanya tersenyum.
“daijoubu…aku yang sudah berpikir macam-macam. A-ah..terima kasih atas kedatangannya..”
“Hai..douitashimashita. saa, itekimashou…” pamit Tsukasa kemudian. Segenap keluarga Kawashima—terdiri dari Yuya, Rubi, Umika, dan Ryuu membalas pamitannya.
Sosok Tsukasa lalu menghilang di balik pintu semenit kemudian.
“ne, Touchan…Yamada-san mau apa datang kesini?” Beberapa menit setelah Yamada Tsukasa resmi meninggalkan rumah tersebut, suara Umika kembali terdengar. Yuya berbalik, menatap putri satu-satunya itu dengan senyum lembut.
“Yamada-san mau minta maaf…”
“Minta maaf?” Umika mengerutkan kening.
“Un!” Rubi yang menyambung kali ini. “untuk Yamada-kun yang membuatmu menangis dulu..”
“hoo..”Umika membuka mulutnya sedikit, tanda mengerti. “sa, aku ke kamar sekarang ya! capek..”
“tidak makan dulu?” tanya Rubi lagi. Umika menggeleng.
“Sudah makan tadi di rumahnya Momoko…”
“sou kah..,”
Dengan itu, berakhirlah percakapan singkat Umika-Rubi-Yuya, dilanjutkan dengan pergerakan gadis itu menuju kamarnya. Samar-samar, Umika berbisik pada dirinya sendiri.
“Ryosuke…curhat sama ayahnya ternyata…”
~ 0 ~ 0 ~ 0 ~
Ryosuke duduk tenang di depan meja belajarnya, mengamati sepasang kalung berliontin bintang berwarna perak berkilauan ditangannya. Otaknya berpikir keras, mau dimodifikasi bagaimana benda didepannya itu. Tangannya lalu digerakan, pelan-pelan membuka kedua liontin tersebut.
“mau ditulis apa sih?” pemuda itu memangku dagunya dengan tangan kirinya. “apa dibiarin kosong aja?” lanjutnya. Namun sedetik kemudian pemuda itu sudah mengacak-ngacak rambut belakangnya frustrasi.
“kalau tidak ditulis apa-apa, kok kesannya biasa banget!”
Bosan mengacak-ngacak rambutnya, Ryosuke lalu mengambil sepasang kalung itu dan menggoyang-goyangkannya tepat di depan wajahnya. Sontak, pemuda itu mengingat sesuatu.
“…suatu saat, mungkin saja aku akan menerima benda seperti ini, dan itu adalah dari oarng yang kucintai. Kau juga sama, suatu saat akan ada gadis yang menerima liontin darimu, dan saat itulah kau menyerahkan cintamu padanya…”.
Ryosuke tersenyum kecil.
“Kau benar Umika. Suatu saat, akan ada seseorang yang menerima ini dariku..”
Pemuda itu lalu bangkit dari posisi duduknya, mengantongi kalung itu, lalu mengambil salah satu dari 4 kunci mobil yang ada di laci mejanya. Asal, toh mobil manapun yang dimilikinya selalu ready to use. Ryosuke lalu melangkah keluar kamar dengan perasaan senang yang bisa dengan mudah tertangkap dari kedua matanya yang bersinar serta sunggingan senyum yang terpasang rapi di bibirnya.
Pemuda itu akhirnya menemukan yang sejak tadi dicarinya.
~ 0 ~ 0 ~ 0 ~
Umika baru saja menghabiskan sarapannya lalu bangkit dan membantu ibunya mengumpulkan piring bekas makan dan meletakannya di tempat cucian piring di dapur. Setelah selesai, gadis itu lalu mengenakan sepatunya dan siap berangkat ke sekolah.
“hai! itekimas..” serunya kemudian. Dari belakang, Rubi berlari berlari agak tergopoh-gopoh, diikuti Ryuu. Yuya yang sebelumnya masih duduk di meja makan juga mengikuti.
“Umichan, kau tidak dijemput Yamada-kun?”
Umika menggeleng. “Ryosuke mungkin belum bisa masuk sekolah. Semalam juga dia tidak mengirimiku mail..”
Ketiga manusia yang menanti-nanti jawabannya barusan tersebut mengangguk.
“sou kah…kalau begitu, itarasahi..” kali ini Yuya yang bicara. Umika tersenyum kecil.
“hai! Itekimas…” balasanya kembali mengulang pamitan sebelumnya, kemudian membuka pintu rumahnya dan melangkah keluar.
Umika baru berjalan beberapa meter ketika sebuah mobil hitam mewah berhenti didepannya. Meskipun mobil tersebut tidak begitu familiar, Umika bisa menebak siapa pemiliknya. Pasti sesaat lagi Ryosuke akan keluar dengan senyum sok innocentnya yang biasa. Dan kenapa mobil kali ini berbeda? Tentu saja ini adalah mobil lain dari koleksi 4 mobil pribadinya. Atau bisa saja ini milik sang ayah. Dasar orang kaya.
Namun dugaan Umika ternyata salah. Eksistensi yang keluar berikutnya dari mobil mewah tersebut sama sekali bukan Yamada Ryosuke.
“Fuma-san?!” seru gadis itu agak kaget melihat pria paruh baya kepala pelayan keluarga Yamada itu sudah berdiri di depannya sekarang.
“Nona Kawashima bisa ikut aku sekarang?” tanya pria itu kurang begitu yakin. Umika menatapnya bingung.
“anoo..doushita?” tanyanya jelas heran kenapa pagi-pagi dia sudah ditadong kepala pelayan keluarga Yamada. Diajak pergi pula—yang artinya dia harus bolos sekolah. Tanpa alasan yang jelas, tentu gadis itu tidak setuju.
Fuma menarik nafasnya agak panjang. “tuan muda Ryosuke sakit. Kami ingin memanggil Inoo-sensei, tapi katanya dia ingin bertemu nona..”
“HAH?!”Umika terbelalak. “sakit apa? Bagaimana keadaannya—“ tanya gadis itu panik sampai tiba-tiba ia tersadar. “—kalau sakit kenapa harus bertemu denganku?”
“saya sama sekali tidak tahu nona…tapi tuan muda bersikeras kalau nona yang harus datang.” Jelas Fuma lagi. Umika memiringkan kepalanya beberapa derajat sambil mendengus.
“hontou? Ck! Anak itu kenapa lagi sih?”
“Dia demam nona…”
Umika ternganga sejenak mendengar jawaban Fuma-san. “Hai, Fuma-san… demo, maksudku kenapa dia jadi senewen begitu..hehe”
“ooh…gomenasai, ojou-sama..” Fuma lalu membungkuk. Umika langsung merasa tidak enak.
“ya..jangan memanggilku Ojou-sama…itu, terdengar tidak pantas untukku. Uhm, kalau begitu kita ke tempat Ryosuke sekarang saja, sebelum dia makin senewen..”
Fuma mengangguk sambil tersenyum lalu membukakan pintu mobil untuk Umika dan mempersilahkan gadis itu masuk ke dalam. Mobil mewah itu melaju, membelah jalanan kota Tokyo menuju kediaman utama keluarga Yamada.
Dalam hati, Umika marasa sangat khawatir. Demam kenapa lagi Ryosuke? Apakah komplikasi dari penganiayaan terhadapnya 3 hari yang lalu?
Gadis itu menarik nafas gusar.
~ 0 ~ 0 ~ 0 ~
Ryosuke menutup matanya sekali, kemudian membukanya lagi, lalu menutupnya lagi, membukanya lagi, menutupnya—
“PA-NAS BA-NGET—SSI-H!” erangnya terbata-bata serta dengan volume yang tidak begitu bisa terdengar setelah melepaskan satu termometer yang sejak tadi bersemayam di tepi bibirnya. Pemuda itu lalu mengamati skala yang ditunjukan termomoter klinis itu. 39˚C, suhu yang cukup tinggi bagi penderita demam. Dalam hati, Ryosuke sedang mengutuk demam sial yang sudah mengurungnya di kamar pagi ini. Mau ngomong saja susahnya minta ampun, apalagi bangun dan ke sekolah. Tidak mungkin! Ryosuke tidak punya cukup kekuatan untuk itu.
Pemuda itu memiringkan kepalanya menatap pintu. Semoga saja seseorang yang sudah di pesannya tadi—A/N: umika ngamuk~lu kata nasi uduk, di pesan?—muncul dan membawa energi baru baginya.
Ryosuke menunggu sedetik, dua detik, tigaa—
“Ryosuke, kau kenapa?!”
Muncul juga.
Ryosuke tidak dapat lagi menahan ekspresi kesalnya dan malah tersenyum. Agak sulit, namun bibirnya masih tetap dipaksakan untuk membentuk lengkungan bulan sabit tersebut.
“O-hayou…U-mika-hh…” sapanya, masih kesulitan bicara.
“Wajahmu merah sekali!” Umika mengukur suhu tubuh Ryosuke dengan meletakan punggung tangannya di kening pemuda itu. “Panas sekali! kau kenapa bisa demam begini sih?” tanya gadis kemudian. Bukannya menjawab, Ryosuke malah tertawa kecil.
“K-au cantik se-kali U-mika-hh..”kata-kata pemuda itu mengagetkan Umika tiba-tiba. Gadis itu tidak membalasnya, melainkan menarik termometer klinis yang masih berada dalam genggaman sahabatnya itu.
“39˚C.. pantas saja..” Umika mangut-mangut sambil memperhatikan lekat-lekat termometer yang kali ini sudah berpindah ke tangannya.
“pantas apanya…”
“Pantas saja bicaramu ngawur. Suhumu nyaris 40˚…otakmu meleleh tuh kayaknya..” balas Umika asal. Ryosuke mendengus.
“Umika baka!”
Umika tersentak mendengar ucapan Ryosuke barusan. “Aku apa?” wajahnya seram, siap menginterogasi. Ryosuke memiringkan kepalanya, tidak mau menghadap Umika lagi.
“sudah lewat. Aku sudah lupa.”
“hei..hei..aku mendengarnya tadi. Kau bilang aku—baka?”
Ryosuke manyun, membuat Umika makin gemas padanya.
“kalau aku baka ya sudah, aku kembali ke sekolah sekarang. Belajar, biar jadi pintar!” Umika bersiap bangun, namun Ryosuke buru-buru menahan tangannya dan menariknya kembali duduk di kursi.
“Don’t leave me..” mohonnya pelan. Umika mencibir tanpa suara.
“mentang-mentang kau jago bahas inggris jadi kau mau sok, iya? Aku tidak mengerti—apa itu artinya?”
Ryosuke melongo, kemudian tertawa—agak kesulitan.
“kenapa tertawa?” Tanya Umika makin kesal. Ryosuke lalu mengakhiri tawanya tadi dengan seringai lebar.
“kubilang ja-ngan tinggalkan aku..” ujar pemuda itu sekali lagi, agak susah. Nafasnya sulit diatur. Umika menghela nafas panjang sebelum kembali mengamati pemuda di depannya.
“kau sudah minum obat?”
Ryosuke menggeleng.
“pantas saja!” Umika mendecak. Dalam sekali waktu ini, sudah 2 kali nampaknya dia mencelatkan sepasang kata yang sama. “kenapa tidak minum obat?”
“rasa-nya tida-k enak semu-ah…”
“jadi kau mau yang rasanya gimana? Obat itu memang rasanya tidak enak..”
Ryosuke memoncongkan bibirnya sepersekian mili. “Aku ma-u yang rasa ss-tra-wu-berry..”
Umika mengangkat kedua alisnya shock, lalu memandang pemuda yang terbaring lemas didepannya itu lekat-lekat. “MEMANG KAU ANAK UMUR 5 TAHUN APA?!” jeritnya heran dengan permintaan Ryosuke yang impossible.
Gantian Ryosuke yang mencibir. “Aku kan lagi sakit..”
“iya! Tapi permintaanmu aneh sekali ihh! Obat yang rasa strawberry, mana ada untuk umur 18 tahun?”
Ryosuke mencibir lagi.
“sudah..akan kuminta Fuma-san untuk memanggil Inoo-sensei. Kau tunggu disini saja, istirahat..” Umika bersiap-siap untuk bangun lagi. Seperti sebelumnya—kali ini Ryosuke cepat-cepat menahan tangannya.
“sudah kubilang jangan pergi…ma-sah kau tega meninggalkan-ku..”
Umika tersenyum lembut lalu mengelus puncak kepala Ryosuke gemas, layaknya pemuda itu anak TK yang ditinggal sendirian untuk pertama kalinya. “Nanti aku datang lagi. Kau harus istirahat ne? Inoo-sensei sebentar lagi akan datang. Dan kalau dia yang merawatmu, aku yakin kau pasti bisa cepat sembuh..”
“demo..”
“Ssst.” Umika menempelkan telunjuknya di mulut. “jangan bicara lagi. Sekarang istirahat ya..tunggu sampai Inoo-sansei datang.” Gadis itu lalu bangkit berdiri. Ryosuke menurut, dan tidak lagi menarik tangan gadis itu. Umika tersenyum.
“Jaa, Ryosuke..”
Pemuda itu balas tersenyum. “Un. Jaa..”
Segera umika berbalik dan berjalan mendekati pintu kamar Ryosuke. Jaraknya tinggal beberapa centimeter saja dari kenop pintu ketika pemuda itu memanggilnya lagi.
“Umika?”
Gadis itu menoleh. “Hmm?”
“ahh…lupakan”
“ne, Ryosuke..nani?”
Ryosuke tidak lagi menjawab pertanyaan Umika dan langsung mengubah posisi berrbaringnya.
“jaa, Umika…” serunya lagi tanpa melihat gadis itu. Umika tertawa kecil, lalu membalas.
“Jaa, Ryosuke…”
Pintu itu lalu terbuka, melenyapkan sosok Umika dari ruangan tersebut sedetik kemudian.
Chapter 20 end ~ continue to chapter 21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar