Sabtu, 19 November 2011

[fic] : The Dream Lovers 2 - second chance -chp.3

CHAPTER 3
-Lost-

Chinen mendengus. Acara berkuda hari ini sangat sangat membosankan. Apalagi kalau bukan karena lawan berpacunya malah berkuda asal-asalan. Gerakannya lambat, mukanya memelas, kuda putih andalannya keluar kandang sia-sia hanya untuk jalan-jalan santai di arena balapan. Apanya yang seru? Mending pemuda di belakangnya itu tidak usah susah payah diseretnya keluar rumah kalau ujung-ujungnya akan tetap seperti ini.

“Oi, Ryosuke..” Chinen memacu kuda coklat tuanya berputar ke belakang dan mensejajarkan posisinya dengan Ryosuke yang nampak tidak ada semangat kehidupan sama sekali. Chinen kembali mendengus. “Ne, mau balapan tidak?”

Ryosuke menggeleng. “aku begini saja…”

Bosan mendengus, Chinen gantian mendecak kesal. Sembari memperlambat gerakan kudanya yang kelewat aktif mau berlari terus dan menyamakan kecepatannya dengan kuda Ryosuke, Chinen berpikir. Bagaimana membuat pemuda pemalas yang kini duduk tenang diatas kuda disampingnya ini untuk melayani tantangannya. Padahal selama ini kalau ditantang adu cepat—baik dengan kuda maupun mobil Ryosuke akan langsung mengiyakan karena seperti apapun pertandingannya, Ryosuke—entah kenapa, apa pake jampi-jampi atau tidak, selalu menjadi pemenangnya. Tapi kali ini, tumben-tumbenan.

“Ayolah Ryosuke..kita bertaruh. Kalau kau menang, Jam tangan baruku buatmu deh. Sama tablet pc juga…gimana?” Chinen memberi tawaran sambil senyam-senyum. Ryosuke tetap bereaksi yang sama.

“nggak ah..”

Chinen dongkol. “Kalau begitu sepeda motorku, gimana?”

“nggak.”

“mobil deh. Pilih mobilku yang mana saja..”

“nggak.”

“kura-kura raksasa?”

“nggak.”

“harimau. Harimau Sumatra? Harimau putih?”

“nggak ah. Gila kali, itu hewan yang dilindungi.”

“kalau gitu Villa. Oke? Yang di Okinawa juga boleh~”

“nggak Chii.., Aku juga punya.”

Chinen bertambah dongkol dengan keteguhan Ryosuke kali ini. Padahal biasanya, paling diiming-imingi cake strawberry sepotong Ryosuke sudah akan mengangguk setuju. Sungguh, pemuda tampan itu sudah kehabisan ide bagaimana membujuk Ryosuke agar mau bertanding.

Untuk yang ketiga kalinya, Chinen kembali mendengus.

Melihat ekspresi Chinen yang seolah-olah mengatakan ‘Ampun-deh-gue-udah-tobat-ngebujuk-lo’ Ryosuke tersenyum tipis. Tidak enak juga sih menolak ajakan battle sahabatnya itu. Apalagi Chinen sampai harus mempertaruhkan segala macam harta bendanya bahkan hewan-hewan terlindungi. Sebagai teman kok ya dia jahat sekali? Padahal kalau dia yang ngajak perang, teman-temannya akan selalu bilang ‘oke’ pada ajakan pertama kan?

Ryosuke menggigit bibir bawahnya sebentar. “hadiahnya bisa diubah tidak?” tanyanya. Mendengar hal itu, Chinen langsung sumringah full.

“boleh…boleh…” iyanya. “kau mau apa?”

“kalau kau menang, aku akan jadi pelayanmu sehari…”

Chinen tersenyum makin lebar, jelas tertarik sekali dengan hadiah yang akan diperolehnya jika menang. Sesuatu banget kan kalau sampai Ryosuke jadi pelayannya. “Aku setuju! Tapi, kalau kau menang?”

Gantian Ryosuke yang tersenyum. Licik.

“Temani aku ke Kyuushu sore ini. Kita ikuti Umika diam-diam. Kalau aku sudah tahu dimana tepatnya posisi Umika.., baru tugasmu selesai..” jelas Ryosuke masih dengan seringaian di wajahnya.

Chinen ternganga.

“Itu saja?”

Ryosuke mengerutkan kening. “Hah?!”

“Kau menolak kura-kura raksasa, harimau Sumatra, bahkan villaku hanya untuk itu? membuntuti Umika selama beberapa jam?”

Seringaian di wajah Ryosuke berubah menjadi anggukan polos. Chinen memiringkan kepalanya sedikit.

“Kenapa tidak minta pelayanmu saja, eh? Lebih cepat dan akurat kan?” usulnya. Ryosuke menggeleng.

“aku ingin lihat Umika dengan mata kepalaku sendiri...apa dia baik-baik saja..”

“Terus kenapa harus sembunyi-sembunyi? Bukannya lebih bagus kalau kau temui langsung?”

Ryosuke mendecak.“ck! Nanti pamorku turun. Pasti Umika akan berpikir aku tidak bisa apa-apa kalau dia tidak ada..”

“memang tidak bisa apa-apa kan?”

Mata elang Ryosuke seketika menyerang Chinen tepat ketika pemuda itu melontarkan argumennya. Chinen hanya bisa nyegir, nyaris tertawa ngakak.

“Hai! Hai! Iya, kutemani! Berhentilah menatapku seperti itu. kau membuatku ngeri ah!” ujarnya. Ryosuke menormalkan tensi tatapannya.

“bagus! Kalau begitu darimana kita start?”

“dari sini.. lewati putaran depan..”Chinen menunjuk sebuah lintasan berputar dengan dagunya. “..terus balik lagi, finish disini. Ok?”

Ryosuke mempelajari lintasan adu kudanya sepersekian detik sebelum mengiyakan.

“Baiklah..”

2 pemuda itu bersiap dengan kuda masing-masing. Aba-aba di putar lewat handphone Chinen yang diletakannya di tanah—diantara keduanya. Peduli setan handphone itu mau terinjak kuda atau tidak. Toh kalau rusak, Chinen tinggal beli yang baru.

Aba-aba mulai terdengar.

3
.
2
.
1
.
GO!!

Ryosuke memacu kudanya secepat mungkin. Begitu pula Chinen, tak mau ketinggalan. Lintasan demi lintasan keduanya lewati dengan posisi yang tidak stabil. Sedetik Ryosuke didepan, sedetik kemudian Chinen sudah melewatinya begitu saja. Keduanya sama-sama ingin menang, mengingat hadiah yang cukup menggiurkan bagi masing-masing jika memenangkan pertandingan.
Namun tampaknya presentase keinginmenangan Chinen yang super tinggi tidak bisa memacunya untuk menyaingi Ryosuke yang secepat kilat sudah meluncur di depannya. Dan dalam waktu beberapa sekon saja Ryosuke sudah resmi melewati garis finish, meninggalkan Chinen beberapa meter di belakangnya.

“YATTA!! I WIN!!” teriak pemuda itu senang tanpa menghentikan laju kudanya. Hewan tinggi putih besar itu dibawanya berkeliling lintasan, menemaninya berseru kegirangan karena menang dan berkesempatan untuk ‘mengunjungi’ Umika sore ini. Mengunjungi dalam tanda kutip karena gadis itu tidak akan pernah tahu kalau Ryosuke—karena terlalu kangen dan khawatir akan datang dan mengamatinya diam-diam.

Chinen manyun. Ternyata, meskipun dalam keadaan tidak ok karena pacarnya tak ada, Ryosuke tetap bisa memaksimalkan kemampuan berkudanya. Merasa kalah dan akan kehilangan waktu sorenya yang berharga—yang seharusnya dihabiskannya dengan nongkrong di rumah Suzuka atau mengajak gadis itu kencan— terpaksa harus dilewatinya dengan memata-matai Umika. Terima kasih Ryosuke. Ck.
Sementara Ryosuke masih tamasya keliling sembari berseru kesenangan, Chinen turun dari kudanya, memungut handphonenya yang selamat dari injakan kuda-kuda balap tadi, membersihkannya, lalu mengantonginya. Pemuda itu nyaris menunggangi lagi kuda coklat tuanya ketika seseorang dengan panik berlari menghampiri sambil meneriakan namannya.

“CHII!!”

Chinen menoleh, mendapati eksistensi yang sedang terburu-buru mendatanginya sambil terus meneriakan namanya dengan nada panik itu adalah Yuto. Yuto? Kenapa Yuto? Kok bukan Suzuka ? Ada apa memangnya?

“Chii!” Yuto masih saja menyerukan namanya meskipun kini Chinen sudah berdiri kaget di depannya. Pemuda itu nampak kelelahan ditambah matanya merah.

“ne, Yuto. Doushita?” Chinen mulai agak khawatir. Ekspresi Yuto kali ini seolah menyatakan bahwa telah terjadi sesuatu. Dan sesuatu itu jelas bukan hal yang bagus.

Yuto berhenti, agak kesulitan mengatur nafasnya. “Chii..hahh..hahh..,Ryosuke mana..?”

*
Ryosuke masih sibuk berkeliling dengan bahagia, menyerukan ‘I WIN’ berkali-kali tanpa kenal lelah. Pikirannya melayang, membayangkan sore nanti dia akan melihat Umika, memastikan kalau gadis itu masih aman dan seaktif biasanya. Ditambah lagi karena dia akan tahu persis dimana Umika akan berdomisili, tentunya kapanpun ia merindukan gadis itu, ia bisa dengan mudah datang dan melihatnya, meskipun hanya diam-diam.

Pandangan Ryosuke teralih mendengar samar-samar nama Chinen dipanggil. ‘Chii’, nama panggilan itu akrab, dan hanya diucapkan oleh anggota The Dream Lovers. Jadi yang memanggil itu kalau bukan Yuto pasti Daiki.
Penasaran, Ryosuke mengikuti arah suara itu. Ditemukannya disana Yuto dan Chinen sedang bicara serius. Yuto nampak terengah-engah seperti habis berlari. Matanya juga merah. Entah kenapa, satu perasaan tidak enak muncul dalam hatinya. Ada apa? Kenapa Yuto berwajah seperti itu? apa telah terjadi sesuatu?. Semua pertanyaan tersebut menggelitiknya, memandunya untuk turun dari kuda putihnya dan bergerak mendekati Yuto dan Chinen.

“Chii..hahh..hahh..,Ryosuke mana..?” Ryosuke mendengar namanya di sebutkan. Segera pemuda itu merapatkan jaraknya.

“ne, Doushita?” belum sempat Chinen menjawab, Ryosuke sudah berdiri di sampingnya dengan ekspresi ‘ada apa’ yang kentara jelas di wajahnya. Chinen sontak terkaget mengethui Ryosuke sudah berdiri di sebelahnya, begitu pula Yuto yang sama sekali tak mengira Ryosuke akan muncul setiba-tiba ini.

“Ne, Yuto. Doushita?” Ryosuke membuyarkan kekagetan Yuto dan Chinen dengan mengulang pertanyaan yang sama. Pemuda itu sudah kelewat pensaran, apa yang terjadi sebenarnya. Kenapa Yuto sebegitu inginnya bertemu dengannya? Pakai lari-lari segala. Padahal Yuto kan bisa langsung menghubunginya lewat telepon—ralat. Keitainya ditinggal di tas dalam loker. Meskipun begitu, Yuto bisa juga kan datang tenang-tenang saja, tidak harus sampai marathon begini.

Yuto kembali mengatur nafasnya sebentar lalu bicara amat hati-hati. “Bus yang ditumpangi Umika… kecelakan, Ryosuke…”

Mata Ryosuke membulat sempurna mendengarnya. “APA?! Apa maksudmu kecelakaan? Ne, Yuto! Umika baik-baik saja kan?! Iya Kan?!” Pemuda itu menerjang Yuto begitu saja, meminta penjelasan spesifik dari berita yang Yuto sampaikan barusan. Yuto tidak berkutik, agak ragu-ragu bicara.

“NE YUTO! Katakan! Umika baik-baik saja kan? Paman dan bibi juga, Iya kan? Mereka baik-baik saja kan??!” Frustrasi, Ryosuke menarik baju Yuto, mengusiknya agar setidaknya mau menyampaikan—meskipun hanya sedikit informasi tentang kondisi Umika dan keluarganya sekarang.

Yuto menatap Ryosuke yang lebih pendek beberapa senti darinya itu dengan wajah sendu. Setetes air mata tiba-tiba saja mengaliri salah satu pipinya.

“Oji-san dan Oba-san…tewas.”

Tubuh Ryosuke seketika membeku. Otaknya secara otomatis langsung menampilkan rupa suami-istri Kawashima dalam benaknya. Satu rasa perih seketika menjuluri hatinya. Kedua orang dewasa yang baik itu—yang nyaris dianggapnya orang tua sendiri itu…tewas? Meninggal?
Lalu, bagaimana dengan Umika?

“Umika…” seolah mengetahui pertanyaan yang akan dilontarkan Ryosuke berikutnya, Yuto langsung menyambung kabar tadi dengan satu lagi info yang dimilikinya. Mendengar nama Umika disebut, Ryosuke spontan menahan nafasnya. Tidak sanggup mendengarkan apapun—bahkan kemungkinan Umika mungkin saja selamat. Apapun! Ryosuke bisa menerima apapun asalkan gadis itu tidak diambil darinya.

“...Umika hilang.”

Ryosuke membatu.

“Busnya menabrak pagar pembatas dan jatuh ke laut. Tim penolong sudah menemukan semua penumpang bus dan semuanya dinyatakan tewas. Tapi Umika… dia tidak ada..”

Chinen tak kalah terbelalak kagetnya dengan Ryosuke kemudian segera mengalihkan fokus pandangannya ke pemuda itu. Feelingnya kuat, Ryosuke akan melakukan sesuatu terhadap hal ini.

Tubuh Ryosuke sendiri bergetar, campuran antara rasa sedih, takut, dan marah. Sedih karena dia sudah kehilangan 2 orang dewasa yang berharga dalam sekali waktu, takut karena mungkin saja Umika akan bernasib sama dengan orang tuanya, dan marah karena ia tidak ada disana, tidak ada untuk menyelamatkan Umika. Tidak ada untuk menjaga gadis itu. Marah karena dia tidak bisa berbuat apa-apa.

Tetesan-tetesan bening mulai membanjiri matanya lalu bergerak turun melewati pipinya perlahan ditarik graviatsi bumi.

“Tidak..” pemuda itu berbisik pelan. Chinen mulai merasa tidak enak. Didekatinya Ryosuke perlahan.

“Ryosu—“

“TIDAK MUNGKIN! UMIKA MASIH DISANA! AKU YAKIN UMIKA MASIH HIDUP!” seru pemuda itu marah kemudian segera berlari pergi. Chinen dan Yuto buru-buru mengejarnya. Mereka tahu Ryosuke. Dalam keadaan panik dia bisa melakukan apapun, bahkan yang membahayakan nyawanya sendiri. Ryosuke tidak bisa dibiarkan begitu saja.

Dibelakangnya, Chinen dan Yuto terus berteriak memanggil namanya. Tapi, Ryosuke tidak peduli. Sekarang yang terpenting adalah Umika. Mereka sudah menemukannya? Bagaimana keadaannya?

Ryosuke melarikan mobil sport hitam metaliknya secepat mungkin. Beruntung, karena tahu kemana kemungkinan Ryosuke akan pergi, Yuto mengirimkan peta menuju lokasi kecelakaan kepada navigator mobilnya. Ryosuke tidak sempat berterima kasih karena dia masih punya belasan kilometer untuk dilalui sebelum sampai ke tempat itu. Ryosuke sama sekali tidak tanggung-tanggung melarikan mobilnya. Tidak peduli siapapun, atau apapun yang sempat menggangu lajunya, pemuda itu hanya ingin segera sampai di tujuan dan memastikan Umika baik-baik saja. Sepanjang perjalanan Ryosuke memohon, terus memohon agar Umika tidak diambil darinya. Tuhan boleh meminta apapun, mengambil apapun darinya. Tapi jangan saat ini, jangan Umika.

Nyaris satu setengah jam terlewati sampai Ryosuke akhirnya tiba di lokasi kejadian. Ada beberapa mobil polisi di sana, beberapa ambulans, dan tim pencari korban yang jumlahnya belasan orang. Sebagian dari mereka bertugas mengangkut korban-korban ke dalam ambulans.
Ryosuke memarkir mobilnya asal lalu turun dengan tergesa-gesa. Ketika jaraknya sudah dekat, pemuda itu baru melihat jelas kalau disana juga ada Mirai, Suzuka dan Momoko. Ryuu tidak ada, mungkin anak itu belum diberitahu. Langkah Ryosuke yang sebelumnya cepat dan terburu-buru langsung melambat melihat 2 korban yang tergolek tak bernyawa di atas tandu, siap dimasukan kedalam ambulans.

Kawashima Yuya dan Rubi.

Baru beberapa jam lalu dia melihat pasangan suami istri itu masih tertawa dan tersenyum kepadanya, namun kini yang dilihatnya hanya tubuh kosong penuh luka yang tak lagi bernyawa. Tangis Ryosuke pecah begitu saja. Hatinya makin sesak mengetahui Umika tak sama sekali terlihat di tempat itu, bahkan diantara para korban tewas.

Tangis Ryosukelah yang kemudian membuat Mirai tahu kalau pemuda itu sudah bersama mereka saat ini. Cepat-cepat, dengan mata yang juga masih menunjukan bekas tangisannya tadi, Mirai mendatangi Ryosuke lalu merangkuh tubuhnya yang nampak bergetar. Ryosuke tidak mampu lagi berdiri. Perlahan, bahunya merosot begitu saja ke tanah.

“Umika…” Ujar pemuda itu di sela-sela tangisnya. Mirai tidak bisa menjawab, malah ikut tenggelam dalam kesedihan pemuda itu yang kentara jelas dari wajahnya. Kesedihan itu, dia juga mengalaminya tentu saja.

Tidak mendapat jawaban apapun dari Mirai membuat Ryosuke tidak puas. Sambil melepaskan rangkulan gadis itu pelan-pelan dari bahunya, Ryosuke kembali bertanya.

 “Umika dimana? MIRAI, UMIKA DIMANA?!”

Mirai menitikn air matanya lagi sebelum dengan ragu-ragu menjawab.
“Umika hilang Ryosuke. Sampai sekarang belum juga ditemukan. Tim pencari sudah menyisiri seluruh daerah ini tapi tidak menemukannya..”jawabnya jelas. Ryosuke berang. Dengan gusar, pemuda itu bangun lalu mulai meracau.

“Tidak mungkin Umika hilang begitu saja! Pasti karena mereka tidak mencarinya dengan teliti! Aku yakin Umika masih terjebak di bawah!” Ryosuke menatap galau sekelilingnya. “Aku yang akan mencarinya sendiri.”
Pemuda itu berlari mendekati TKP dimana bangkai bus yang terjun kelaut tadi sudah diangkat dan sedang dicek kondisinya. Mengetahui di dalam bus tidak ada tanda-tanda kehidupan apapun, Ryosuke kembali berlari. Langkahnya baru terhenti ketika posisinya sudah tepat berada di depan pagar pembatas yang amblas tertabrak bus celaka itu beberapa jam lalu. Jantungnya berdegub kencang menyaksikan pemandangan dibawah. Jurang curam setinggi puluhan meter dengan gulungan ombak ganas menunggu didasar, siap mengulum dan menghancurkan apapun yang jatuh kedalamnya.
Pemuda itu tahu, siapapun tidak mungkin selamat jika terjebak di sana. Begitu pula Umika. Mustahil.
Tapi kenapa dia tidak bisa menerimanya? Kenapa perasaannya mengatakan bahwa Umika masih disana, masih membutuhkan pertolongannya?
Ryosuke takut. Namun, rasa takutnya itu seketika melengos memikirkan kemungkinan Umika masih ada didalam. Bagaimana kalau Umika masih hidup?
Tanpa pikir panjang, pemuda itu bersiap melompat masuk. Resiko terbesar—tentu saja dia akan mati. Dan resiko terbesar itu sama sekali tidak dipikirkannya saat ini.
Gerakannya terhenti. Seseorang dengan keras menariknya kebelakang.

“APA YANG KAU LAKUKAN RYOSUKE?!!” Yuto berteriak frustrasi sambil memandang penuh emosi Ryosuke yang baru saja jatuh tersungkur di tanah karenanya. “KAU BISA MATI!!”

“BUKAN URUSANMU BRENGSEK! BIARKAN AKU! AKU HARUS MENCARI UMIKA!!” Ryosuke bangkit lagi, bergerak mendekati posisinya semula. Makin panas, Yuto kembali menghempaskannya ke tanah. Namun kali ini dengan satu tinjuan keras didaratkan di pipinya.

“JANGAN BODOH!! KAU HANYA AKAN MENAMBAH JUMLAH KORBAN JIKA KAU IKUT MASUK KE DALAM! TUNGGU TIM PENCARI! MEREKA AKAN MENYISIRI DAERAH INI SEKALI LAGI!!” Yuto menarik kerah baju Ryosuke kemudian melepaskannya. Pemuda itu tertunduk lalu kembali berderai air mata.

“Aku harus mencari Umika, Yuto… Umika masih hidup…aku harus mencarinya…” Ryosuke berbisik dalam tangisnya. Yuto menelan ludah, pahit. Dadanya sesak melihat Ryosuke yang terduduk lemah ditanah. Dia juga ingin mencari Umika. Gadis itu juga sahabatnya.
Dibelakang mereka, baik Mirai, Momoko dan Suzuka juga ikut meneteskan air mata. Chinen yang barus saja tiba bersama Yuto tadi langsung memeluk Suzuka yang masih terus saja menagis sementara pemuda itu sendiri berusaha menahan air matanya agar tidak tumpah begitu saja.

Hati mereka sesak, semuanya. Umika adalah sahabat yang berharga, dan ketika mereka tidak bisa melakukan apa-apa, hanya rasa sakit yang menghujam terus-menerus hati masing-masing.

“TOUCHAN!!! KAACHAAN!!” seolah kesedihan tidak juga berhenti menimpa mereka, tiba-tiba saja datanglah Ryutaro dan Kanon yang tadi dijemput Daiki. Pemuda 16 tahun itu sontak berlari mendekati jenazah kedua orang tuanya sambil menangis keras. Kanon yang berada disebelahnya langsung memeluk pacarnya itu kuat, mencoba menyerap meskipun sedikit, kesedihan pemuda itu.

Selesai dengan Ryosuke, Yuto lalu mendekati Ryuu dan mengelus punggung pemuda itu, menenangkannya. Ryuu mengelap air matanya lalu memandang sekeliling. “..Nee-chan..?”

Yuto langsung berhenti bergerak. Perasaan Ryuu bertambah tidak enak membayangkan bagaimana Nee-channya saat ini. Matanya lalu berhenti pada sosok Ryosuke yang tak kalah kacaunya dengan dirinya yang sejak tadi tidak juga bangun dari posisinya di tanah. Ryuu mendekati pemuda yang 2 tahun lebih tua darinya itu.

“Ne, Ryosuke-nii… Nee-chanku dimana? Dia selamat kan? Dia baik-baik saja, deshou..?”

Ryosuke masih menangis setengah kesulitan bernapas. Matanya yang basah oleh air mata bergerak memusatkan perhatian pada Ryuu.

Perlahan, pemuda itu menggeleng.

Tangis Ryuu kembali pecah untuk yang kedua kalinya. Ryosuke mendekatinya, merangkul pundak pemuda itu kuat. Mereka merasakan yang sama, perasaan sakit yang teamat perih akibat kehilangan orang yang dicintai.

Kenapa semuanya terjadi? Kenapa nyaris seluruh keluarga Kawashima yang diambil-Nya? Kenapa bukan orang lain saja?
Pertanyaan itu berputar dikepala Ryosuke di sela tangisnya. Dan seketika saja, bagaikan jawaban tersirat atas semua pertanyaan itu, satu kata terakhir Umika terngiang di kepala Ryosuke.

“sayonara Ryosuke...”

Apa itu salam perpisahan? Apakah Umika memang harus meninggalkannya secepat ini? Dengan cara sesakit ini?

Inikah takdirnya?

To Be Continued

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar