Sabtu, 26 November 2011

[fic] : The Dream Lovers 2 - second chance -chp.4



CHAPTER 4
- Living at the day without you -


Saturday, February 4, 2012
From: Nakajima Yuto (Nakayan@yahoo.co.jp)
To: Yamada Ryosuke (Ryosuke_Yamada@yahoo.co.jp)
Subject: [none]

Gomen Ryosuke…
Tim pencari belum juga menemukan Umika.
Dan.., mereka sudah memutuskan untuk menghentikan pencarian.
Ini sudah nyaris seminggu, mereka sama sekali tidak menemukan petunjuk apapun.
Gomen..,

Ryosuke meleparkan keitainya marah setelah membaca e-mail dari Yuto. Benda segi empat flip itu seketika terbanting keras ke tanah. Tidak terjadi apa-apa, benda itu masih diam saja sementara Ryosuke sudah mulai mengeluarkan tetesan-tetesan bening lewat kedua matanya.

“Brengsek..” Umpatnya pelan, tak kuasa menahan sesak berlebih di dadanya. Pemuda itu duduk diam di lantai kamar dengan punggungnya bersandar pada tembok. Salah satu lututnya diangkat untuk memangku tangan kanannya sementara yang satunya biarkan tertidur. Disampingnya, satu album foto berwarna merah tua tengah terbuka satu halamannya, menampakan selembar foto manis dirinya bersama seseorang.
Perlahan, Ryosuke mengangkat album itu, hanya untuk kembali melihat—entah untuk yang keberapa kalinya gadis manis dengan senyuman yang terpajang disana. Pemuda itu masih ingat jelas hari dimana foto itu diambil. Bagaimana Umika bisa muncul tiba-tiba dengan kamera ditangannya dan seruan ‘Hai! Senyum!’. Bagaimana Umika begitu bersikeras meminta ijinnya untuk pergi—

Seharusnya dia tahu. Seharusnya dia tidak pernah membiarkan gadis itu pergi, karena pada akhirnya dia sama sekali tidak kembali.

“Begini saja! Kalau kau ijinkan aku pergi, sepulang nanti aku akan memberimu hadiah! Iya! Apa saja yang kau minta! Ne?...”

“Bagaimana kalau aku memintamu untuk kembali…?” setengah berbisik, Ryosuke bertanya pada selembar foto didepannya. Tidak ada jawaban. Baik foto didepannya maupun dirinya sendiri tak mampu menjawab. Ryosuke meringis perih. Perih karena harus menerima fakta bahwa Umika memang telah meninggalkannya...dan kali ini untuk selamanya.

“Umichan…” tetesan-tetesan bening itu kembali mengaliri pipinya.

* * * * * * * *

Yuto menutup flip keitainya dengan sekali katupan. Dadanya sesak. Ada setitik rasa bersalah dalam dirinya karena harus menyampaikan kabar terburuk bagi Ryosuke. Pencarian terhadap Umika dihentikan karena sudah nyaris seminggu tidak ada tanda-tanda dimana keberadaan gadis itu. Kedua orang tua gadis itu sudah dimakamkan 3 hari yang lalu, dan Ryuu kini pindah ke Kyuushu karena tidak lagi memiliki kerabat di Tokyo. Sejak saat itu, kebahagiaan seolah menghilang dalam lingkaran persahabatan mereka. Umika pergi dengan hanya menyisakan kenangan yang akan menghujam perih setiap mereka yang berusaha mengingatnya. Baik dirinya, Mirai, yang lainnya, dan tentu saja Ryosuke.

“Yuto..”Seseorang tiba-tiba memeluknya dari belakang sembari menyandarkan kepalanya di punggung pemuda itu. Yuto seketika mengenali siapa yang berada di belakangnya saat ini.
“…Ryosuke..bagaimana dengannya?”

Dengan masih merasakan kesesakan yang sama, Yuto berbalik lalu mengelus puncak kepala eksistensi yang memeluknya tadi, lembut.

“Entahlah Mirai-chan…Ryosuke…, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuknya. Dia masih tidak bisa menerima hal ini..”

Mirai—eksistensi tadi menggigit bibir bawahnya. “aku tidak percaya Umika benar-benar sudah pergi...” isakannya mulai terdengar. “Seharusnya waktu itu kita tidak membiarkannya pergi, ya kan? Kalau saja Umika tidak pergi dengan bus itu, semuanya tidak akan jadi seperti ini…”

“Ssh…Mirai, sudahlah. Tidak ada pihak yang bisa disalahkan atas kejadian ini. Semuanya murni kecelakaan, ini sudah takdir. Kalaupun sebelumnya kita tahu, kita tetap tidak bisa melakukan apa-apa..”

Mirai mengangguk mengerti meskipun rasa sakitnya tidak sama sekali reda oleh kalimat peneguhan Yuto barusan. Gadis itu merindukan Umika, merindukan saat-saat yang dilewatinya bersama kekasih Ryosuke tersebut selama 3 bulan terakhir mereka bersahabat dekat. Umika adalah sahabat yang berharga. Dan kehilangan sahabat yang berharga adalah pukulan besar bagi Mirai, juga Momoko dan Suzuka. Meskipun gadis itu kini—mungkin saja—telah tiada, namun kenangan itu masih berbekas. Masih menunggu waktunya untuk lenyap sebagaimana gadis itu pergi menyisakannya.

* * * * * * * *

“gomenasai…”

“Ehh..?”

“Sayonara Ryosuke…”

“UMIKA!!” Ryosuke bangkit, tersentak kaget dengan teriakannya sendiri. Keringat dingin mengucur deras melewati pelipisnya, nafasnya berderu cepat. Pikirannya berkecamuk memikirkan imaji apa yang tadi baru saja terlintas dalam benak lelapnya.
Mimpi yang mengerikan, potongan dari mimpi pertamanya sebelum Umika menghilang. Kenapa kembali terulang? Apakah ini adalah petanda lain kalau Umika memang benar-benar telah mengucapkan sayonara padanya? Apa Umika telah…mati?

Satu kalimat tanya itu menyayat hati Ryosuke seketika. Rasa perih dan sesak kembali muncul, entah untuk yang keberapa kalinya. Ryosuke mencengkram dada kirinya, mencoba mencapai rasa sakit itu dan menghancurkannya. Namun tidak bisa. Rasa itu malah makin menusuknya dalam, memberi luka menganga pada hatinya yang masih diliputi kepedihan mendalam.


“Umika baka…sudah kubilang jangan pergi..” tidak ada cara lain selain melampiaskannya pada seseorang. Dan Umika hanya salah satu yang dijadikan pelampiasan sakit hatinya selain dirinya sendiri.

“Seharusnya kau tidak pergi, kau tahu? Seharusnya kita ada di paris hari ini..” Ryosuke meringis. “seharusnya aku bisa menjagamu…seharusnya aku tidak membiarkanmu pergi…”

“gomenasai…”

“Kau melanggar janjimu, Umika. kau tidak kembali…” pemuda itu masih berbisik.
Ryosuke mengangkat tangannya menutupi setengah wajahnya. Air matanya sudah mengalir dan dia pasti akan terisak sedetik berikutnya. Pemuda itu menekan setiap suara yang keluar dari mulutnya, khawatir suara yang ditimbulkannya itu bisa membangunkan siapapun diluar. Namun tetap saja, jeritan tertahannya beberapa menit lalu sudah sukses membuat seseorang beranjak dari kamarnya untuk menemuinya.

“Ryochan…” Yamada Tsukasa masuk begitu saja karena sejak tadi kamar Ryosuke sama sekali tidak terkunci. Perlahan, ditutupnya pintu kamar lalu didekatinya putranya yang sedang kesulitan mengatur isakan tangisnya tersebut. Perih ikut menghujamnya. Sudah kerap kali pria itu menemukan putra satu-satunya menangis pelan bahkan terisak keras sejak kecelakaan seminggu lalu. Tidak dipungkiri, Ryosuke melakukan hal yang sama persis dengan yang dilakukannya ketika ditinggalkan istri tercintanya 11 tahun silam. Tsukasa mengerti betul perasaan putranya, lebih dari siapapun. Rasa sakit yang mengerikan, membuatnya nyaris bunuh diri waktu itu kalau saja tidak ada Ryosuke yang menjadi tanggung jawabnya. Dan kali ini, Ia tidak mau sedikitpun terlintas pikiran macam itu dalam benak Ryosuke, karena bagaimanapun putranya itu masih memiliki banyak sekali orang yang mencintai dan membutuhkannya, termasuk Tsukasa sendiri.

Ryosuke mendongak, mendapati sosok yang mendekatinya kali ini adalah ayahnya sendiri. Segera, dihapusnya beberapa tetes air mata yang mengaliri pipinya barusan.

“Touchan..” pemuda itu paksa tersenyum. “Aah..gomen ne, aku membangunkanmu. Sudah begitu, kau harus melihatku sekacau ini…”

Tsukasa tersenyum lambut, lalu ikut duduk di tepi ranjang Ryosuke. “daijoubu… Touchan tahu perasaanmu. Kita senasib na..”

Ryosuke tersenyum miris lalu bergeser sedikit untuk memberikan ayahnya tempat. Pikirannya melayang mencerna kata-kata Tsukasa barusan. Memang benar, keduanya mengalami nasib yang sama. Kehilangan orang yang dicintai karena kecelakaan yang mengerikan. Selang beberapa detik dalam diam, pemuda itu kembali membuka suara.

“Touchan..”

“Hmm?”

“Aku tidak yakin Umika sudah meninggal.”

Tsukasa diam sejenak sebelum kemudian menjawab hati-hati. “wakatta… demo Ryosuke, terkadang perasaan cinta yang sedemikian besar terhadap seseorang bisa menutup segala indramu terhadap apapun kemungkinan terburuk yang menimpanya. Karena kau mencintai Umika, pikiranmu seolah menolak kepergiannya. Itulah yang membuatmu merasa Umika masih hidup. Kau kau belum rela melepaskannya…”

“Tidak, Touchan. Aku yakin. Meskipun kecil, pasti ada kemungkinan bagi Umika untuk selamat.”

“kau sudah lihat lokasi kecelakaan itu kan?” Wajah Tsukasa mulai serius. “apa menurutmu gadis seperti Umika bisa selamat jika terjatuh ke jurang securam itu. Apalagi dengan ombak yang ganas dibawah. Mustahil Ryosuke…, bahkan jika aku atau atau kau yang jatuh kedalam pun, kita tidak akan mungkin selamat..”

“Demo, Aku—“

“kau hanya perlu merelakannya. Kau hanya harus menerimanya Ryosuke, itu saja. Tidak ada cara lain. Kau harus tetap berdamai dengan hatimu dan menjalani hidupmu kedepan tanpa bayang-bayang rasa bersalah ataupun kata seandainya atau seharusnya yang hanya akan menuntunmu ke kepedihan ketika kehilangan orang yang kau cintai. Kau hanya menyakiti dirimu sendiri, Ryosuke. Dan ketahuilah, dimanapun Umika berada saat ini, dia akan ikut merasa sedih jika melihatmu seperti ini. Kau bukan hanya menyakiti dirimu sendiri, tapi juga Umika dan yang lainnya..”

Ryosuke termenung. Nasihat panjang ayahnya serasa tak mengganggunya sama sekali. Keyakinan kecil bahwa Umika masih hidup itu terus membara di dadanya, seolah tak mau padam meskipun dengan siraman teduh nasihat dan argumen dari ayahnya. Mungkin memang benar, keyakinan itu hanya tercipta dari rasa cintanya yang terlampau besar terhadap Umika dan ketidakrelaannya ditinggal pergi gadis itu. Tapi tetap saja, berbagai kabar bahkan bukti bahwa Umika telah benar-benar lenyap dari dunia ini sama sekali tidak bisa diterimanya.

Ryosuke paksa tersenyum. “arigatou..”

Tsukasa bisa membaca penolakan terhadap nasihatnya barusan dari mata Ryosuke sekeras apapun pemuda itu menyembunyikannya. Namun pria itu memustukan untuk membiarkan putranya itu tenang dulu. Seperti dirinya yang butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa melupakan Tsukushi, akan ada waktunya sampai Ryosuke bisa menerima sepenuhnya semua yang terjadi.
Dan tindakan Tsukasa selanjutnya membuat Ryosuke terbelalak. Kaget akut melihat ayahnya itu tiba-tiba saja sudah mengambil posisi berbaring disampingnya.

“Tou-chan, ngapain…?” refleks, pemuda itu memberi respon.

“Betsuni. Aku cuma mau bobo bareng putra kesayanganku. Kenapa? Ada masalah?” jawabnya sekaligus bertanya—sok egois. Ryosuke menaikan sebelah alisnya.

“Hah?”

“Oyasumi, Ryochan~” Pria itu menutup matanya, dan mengambil posisi tidur senyaman mungkin. Ryosuke masih ternganga.

“EHH?!”


* * * * * * * *

“Oi, Ryosuke. Kenapa? Kusut amat tuh muka?” Daiki berjalan mendekat sembari menggenggam sekaleng diet pepsi di tangannya. Ryosuke bergeser dari posisi duduknya, memberi sedikit tempat bagi penguin satu itu untuk ikut duduk bersamanya. Di bangku depan mereka ada Yuto dan Chinen. Sepertia biasa, acara nongkrong bareng TDL. Hanya saja kali ini keempatnya tidak menyantroni rumah salah satu dari mereka tetapi memilih sebuah taman yang santer ditongkrongi kaum seumuran mereka. 

“Tou-sannya eror, sudah semingguan ini tidur bareng dia terus..” Chinen yang menjawab mewakili Ryosuke yang enggan-engganan bicara karena aura kesal lebih mendominasinya dibanding harus menjawab pertanyaan salah satu sahabatnya barusan. Daiki mengangguk sambil tersenyum, sementara Yuto cekikikan. Melihat reaksi 3 manusia yang bersamanya saat itu seolah mengejeknya, Ryosuke memajukan bibirnya beberapa senti, makin cemberut.

Sedetik, Daiki, Yuto dan Chinen saling menatap penuh arti. Mereka tahu, tindakan Yamada Tsukasa yang rada memalukan itu adalah sebagai salah satu cara membuat Ryosuke menghilangkan kesedihannya. 2 minggu nyaris berlalu sejak kecelakaan naas itu menimpa Umika, dan sampai saat ini, terkadang mereka masih menemukan wajah sendu Ryosuke terpampang jelas, sekeras apapun pemuda itu menyembunyikannya. Namun rencana gila seorang kepala keluarga Yamada ini, mungkin pelan-pelan bisa megembalikan senyuman Ryosuke yang dulu, meskipun akibatnya Ryosuke lebih sering berwajah kesal karena ulah ayahnya.

“Orang tua itu, apa sih yang dipikirkannya? Dikira aku anak kecil apa?” Akhirnya Ryosuke ikut bersuara, mendumbel. Ketiga manusia yang mengelilinginya nyengir kuda, lucu melihat Ryosuke mengutuk tingkah kekanakan ayahnya barusan.

“Sudahlah Ryosuke. Tsukasa Oji-san mungkin cuma mau nostalgia..” Yuto menebak-nebak. Ryosuke mendengus.

“Nostalgian apaan? Gila kali nostalgianya tidur bareng aku..”

“Siapa yang tidur bareng kamu?” seseorang tiba-tiba menyusup kedalam pembicaraan penuh cengiran 4 eksistensi barusan. Seorang gadis manis dengan tinggi 160 sentian sudah berdiri keheranan disebelah Chinen.

“Loh, Suzu? Kok bisa ada disini?” Daiki yang duluan bereaksi atas kemunculan Ohgo Suzuka yang tiba-tiba tersebut. Mendengar nama pujaan hatinya disebut, Chinen sontak menoleh ke sampinng. Wajahnya langsung sumringah menemukan kekasihnya tercinta tengah berdiri di sampingnya.

“SUZUCHAAAN~” Pemuda itu berseru senang sambil bersiap memeluk gadis di sampingnya mesra. Namun, boro-boro meluk! Yang ada kepala Chinen ditoyor sang gadis menjauhi tubuhnya yang masih berdiri konstan. 

“Tadi aku habis nganterin dokumen ayahku. Kelupaan. Kalian sendiri ngapain? Terus siapa tadi yang katanya tidur bareng Ryosuke?” Suzuka menjawab sekaligus kembali ke topik pertanyaannya sebelumnya.
Yuto baru saja ingin menjawab namun sesegera mungkin disela Chinen dengan 2 kata manis bermakna.

“duduk dulu~”

Suzuka mengamati panorama di depannya. “Mau duduk dimana?” tanya gadis itu cepat melihat tak ada tempat baginya untuk menyusup masuk. Ya, biar dikata itu bangku dan biasanya bangku bisa diduduki bertiga*emang bajaj?*, namun karena postur keempat pemuda tampan itu rada sixpack—kecuali Yuto yang agak kurus sedikit *A/N: nyeret Yuto ke Gym* jelas saja tidak memungkinkan gadis itu untuk duduk seperti halnya mereka.

Mendengar pertanyaan Suzuka, Chinen langsung tersenyum manis.

“sini?”

Sini? Suzuka berpikir, meneliti, nampaknya tidak ada tempat lagi deh baginya untuk ikutan duduk. Terus, di sini dimana—Ouh! Suzuka tahu sekarang apa yang pemuda mini itu maksud dengan ‘sini’.
Chinen menepuk-nepuk kedua pahanya, memberi kode nonverbal untuk gadis itu agar memfungsikan 2 anggota tubunya tersebut sebagai kursinya yang baru.
Sedetik Suzuka terdiam.

HAP!

Dengan gerakan tiba-tiba, Suzuka melompat kecil ke pangkuan Chinen dengan posisi tubuh membelakangi pemuda itu. Untuk menjaga agar gadis dalam pangkuannya tidak jatuh, Chinen lalu memeluk pinggangnya erat. Tak lupa, gadis itu mengoyang-goyangkan kakinya, memberi efek WOW bagi ketiga pemuda diepannya.

Ryosuke, Yuto dan Daiki ternganga.

“Kok, mereka kayak ayah sama anak ya?” Daiki berbisik sepelan mungkin di telinga Ryosuke. Pemuda yang beberapa menit lalu masih diliputi aura kesal itu seketika berubah atmosfer menjadi kaget luar biasa. Apalagi setelah Suzuka sesukanya mulai menyedot cola dingin dalam gelas milik Chinen di depannya. Kok beneran kayak ayah dan anak ya?

Ryosuke mengangguk. “ayah-anak yang sama besarnya…”

Sementara Ryosuke dan Daiki tengah berbisik, Yuto yang duduk di samping Chinen hanya bisa mangap.

Sejak kapan the Lady of coolness Ohgo Suzuka bisa bertingkah kekanakan begini?

Tidak ada yang menjawab.*A/N:jelas lah. Yuto nanyanya aja dalam hati!*

Terlepas dari atmosfer kekesalan dan empati yang tadi terjalin antara kelompok tersebut yang segera berganti dengan atmosfer bahagia plus keheranan akibat kemunculan sesosok Ohgo Suzuka, keadaan lalu berubah kembali normal dengan satu pertanyaan interogasi yang terluncur dari sisi-sisi bibir gadis itu.

“Ne, Ryosuke. Yang tadi itu, siapa yang tidur bareng kamu?”

Ryosuke menyedot colanya yang tinggal setengah, lalu menjawab asal. “Orang yang menyebalkan..”

“Chinen?” tebak Suzuka seolah oknum yang disinggungnya tidak berada bersama mereka saat itu. Chinen yang memangkunya langsung cemberut, tidak begitu senang mendengar tebakan Suzuka itu. Pacar sendiri kok digituin.

Ryosuke sendiri tertawa kecil sebelum menjawab. “Chii memang menyebalkan juga, tapi bukan dia orangnya.”

Chinen melempari Ryosuke dengan koin 500 yen di atas meja didepannya. Pemuda itu tertawa makin keras.

“Becandamu nggak lucu ah!”

“gomen~” Ryosuke mengatupkan tangannya. Sedetik kemudian bola matanya digulir sedikit ke kiri untuk menatap kedua mata indah Suzuka. “Ayahku. Lagi stress kali..”

“Kau tidur bareng ayahmu?!” Nada pertanyaan Suzuka sedikit menanjak, menunjukan kekagetannya. Tentu saja kaget. Jaman sekarang ini, pemuda 18 tahun masih tidur bareng orang tuanya—terlebih ayahnya, bukankah itu agak aneh.

Menyimak ada perbedaan nada dalam kalimat tanya Suzuka barusan, Ryosuke langsung meluruskan.
“Bukan keinginanku, okay?. Ayahku saja yang entah kesambat apa pengen tidur bareng aku.” Jelasnya. Seperti yang diketahui, Suzuka kan otak detektif. Jadi mungkin saja jawaban singkatnya itu akan memunculkan banyak argumen gadis itu terhadap kasus yang terjadi padanya tersebut.

Suzuka manggut-manggut. “Ayahmu memberimu alasan kenapa tiba-tiba dia gabung dikamarmu begitu?”

He gives me a simple one.” Ryosuke memangku dagunya. “Katanya dia cuma pengen tidur bareng aku..“

Weird.” Suzuka ikut memangku dagu.

Tanpa mereka sadari, 3 eksistensi lelaki lain memandangi mereka heran.

“Kok kita udah berasa di kantor polisi ya?” Yuto berbisik pelan pada Chinen sehingga Suzuka tidak mendengar kata-katanya. Pemuda itu hanya tersenyum lemah.

“Ryosuke ngaktiffin ‘sakelar detektif’nya Suzuchan sih..”

Yuto mengernyit. “Sakelar apaan?”

“Sakelar detektif.” Chinen mengulangi sepasang kalimat tersebut. “You know Suzuka… when she finds out something unusual happen, she will try to solve that with her magical argument, right?”

Yuto mengangguk.

“dan Suzuka menganggap masalah ‘tidur bareng ayah itu’ unusual. Menurutku, Sekarang Suzu pasti lagi berusaha menemukan alasan kenapa Tsukasa oji-san bisa eror begitu.”

right..” Yuto kembali mengangguk setuju.

“THAT’S IT!” gerak anggukan kepala Yuto seketika terhenti karena satu seruan berbahasa inggris terdengar dari sosok terpangku disampingnya. Dari siapa lagi kalau bukan dari satu-satunya eksistensi yang duduk beralaskan eksistensi lain, Ohgo Suzuka.  

“Apaan?” Daiki bertanya, tidak ngeh dengan kata ‘THAT’S IT’ yang tiba-tiba tersebut. Suzuka menatapnya sebentar lalu berpindah ke Ryosuke.

“Tentang kenapa ayahmu tiba-tiba menemanimu tidur, aku tahu kenapa.”

“Kenapa?” Ryosuke agak penasaran. Suzuka tersenyum simpul sebelum menjawab.

“Ayahmu menjagamu, demi Umika.”

To Be Continued

------------------------------------------------------------------------------------------------------------ 


note: covernya baru jadi tuh...hehehe XD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar