CHAPTER 7
“Yamada Ryosuke bodoh!” Umika membanting pintu kamarnya lalu merebahkan diri di kasur dengan seragam lengkap dengan tas dan sepatu masih bertengger di tubuhnya. Matanya mengamati plafon bercat navyblue diatasnya dan lanjut bergumam “kalau sakit hati ya hentikan saja. Untuk apa harus menderita?!”. Tiba-tiba saja matanya basah. Dia menangis, simpati dengan Ryosuke tapi juga merasa sesak. Dia tidak suka. Kenapa Ryosuke harus sedemikian menderita untuk Mirai? Apa Mirai terlalu berharga? Seperti itukah cinta? Hanya melihat dari jauh, dan Tak apa-apa menderita agar orang yang dicintai bahagia? Itu bodoh! Umika tidak percaya teori seperti itu. Meskipun ‘cinta’ belum begitu dikenalnya, tapi kenapa Ryosuke harus menderita? Dan kenapa hatinya—sakit?
Jutaan kata ‘kenapa’ meliputi pikirannya. Jenuh dengan semua kata Tanya itu, jenuh dengan warna navyblue yang dilihatnya hampir semenit menjelang, gadis itu bangkit mengubah posisinya menjadi duduk. Setetes air mata yang sempat mengalir dihapus, diikuti gerakan kedua bola mata cemerlangnya mengamati sekeliling. Kamarnya yang memang tidak terlalu luas, namun bersih dan rapi. Meja belajarnya yang teratur, buku-buku di rak putih polos yang tertata rapi, lemari coklat pudar di pojokan kamar yang warnanya cukup kontras dengan warna softpink dinding kamarnya, lalu lampu tidur kuning muda di atas meja disamping kasurnya—tunggu! Umika kaget mendapati ada satu benda asing di atas meja mininya itu. Tangannya penasaran mengangkat benda yang mirip gulungan kertas itu, lalu membukanya. Umika seketika ternganga. Gulungan kertas yang ternyata adalah poster itu memperlihatkan satu wajah sempurna yang sangat familiar. Sosok dalam poster itu tidak melihat ke kamera, mungkin karena di foto diam-diam. Umika cepat-cepat membuka mulutnya lebar-lebar.
“RYUU! Kemari kau!” teriaknya dengan volume semaksimal mungkin. Ryutaro yang sejak tadi sedang asyik chatting dengan kanon langsung menutup flip keitainya cepat dan buru-buru lari ke kamar kakaknya.
“Nee-chan, ada apa sih?! Haah, haah!” Tanya Ryuu dengan nafas terengah-engah. Umika menatap pemuda itu kesal. Tangannya langsung bergerak membuka benda yang sedari tadi dipegangnya.
“Apa ini?!” tanyanya marah. Ryuu tertawa kecil. Nee-channya ini tumben bego. Sudah jelas-jelas itu poster, masih pake nanya.
“Itu poster Nee-chan!” jawabnya enteng. Ekspresi kesal umika tidak sama sekali berubah.
“Lalu kenapa benda seperti ini ada di kamarku?”
“buat Nee-chan lah! Aku tadi minta sama kanon, terus dikasih. Katanya dia mendukung sekali Nee-chan jadian sama Yamada-sama.” Jawab Ryuu polos. Umika menaikan alisnya, gantian memandang adiknya heran.
“Jadian? APAAN! Aku tidak pernah pacaran dengan Ryosuke!” seru gadis itu seketika. Ryuu memiringkan kepalanya beberapa puluh derajat, bingung. Tapi tiba-tiba saja pemuda 16 tahun itu tersenyum mengerti.
“aah, aku tahu!” Ryuu melipat kedua tangannya di dada. “Furaretanda, deshou?”
Wajah Umika memerah.
“Chigau! Kami memang tidak pernah saling suka kok!” balasnya. Ryuu semakin bingung.
“jadi nee-chan dan Yamada-sama selama ini tidak ada apa-apa?”. Umika mengangguk.
“Yaah! Padahal aku sudah sombong sama kanon tadi. Ck! Kalau begitu kenapa Nee-chan tidak jadian saja sama Yamada Ryosuke sih? Sudah ganteng, keren, kaya, pintar lagi. Sempurna tuh!”
Umika gemas, lalu melempar tubuh tinggi adik laki-lakinya itu dengan tas yang sedari tadi melingkar di bahunya. Ryuu tersungkur beberapa senti.
“Bukan Urusanmu! Dasar cerewet!” teriaknya. Ryuu tertawa sebentar lalu keluar dari kamar Kakaknya tersebut.
“Furaretanda? OVER!” ejeknya sambil membentuk jari jempol dan kelingking kanannya menyerupai gagang telepon dan meniru gaya salah satu personil boy band terkenal Hey! Say! JUMP dengan lagu mereka OVER yang sudah hampir sebulan ini menduduki peringkat teratas tangga lagu ORICON. Wajah Umika bertambah cemberut.
“URUSAI!!!” pekiknya nyaris membanting pintu kamar keras-keras. Sayang, jika pintu kamar satu-satunya ini rusak dan ketahuan sang ayah, dia pasti di setrap tidur dikamar mandi. Ah tidak, terlalu mengerikan. Dia pasti tidak akan dibelikan pintu kamar baru dan akan hidup tanpa pintu selama nyaris satu bulan. Pasti! Alhasil, meskipun emosinya sudah sampai ke ubun-ubun, gadis itu tetap menutup pintu kamar semata wayangnya itu dengan amat sangat perlahan.
Setelah urusannya dengan pintu kamar tersayang itu selesai, Umika kembali membaringkan diri di kasur. Kata-kata Ryuu tadi terus terulang dalam memori otaknya. Tapi sepersekian detik kemudian gadis itu menyadari sesuatu. Sontak ia bangkit dan memandang beker biru muda di sampingnya.
“jam tiga?” tanyanya tidak percaya. “Yabai! Ryosuke datang jam empat!”
~0~0~0~
Wajah keduanya cemberut. Jelas masih sedikit terpengaruh perang bentak siang tadi. Ryuu yang asyik menyaksikan 2 manusia yang berbeda jenis kelamin dari balik jendela ruang tamu rumahnya tersebut sesekali memproduksi tawa kecil.
“Tadi itu—“Ryosuke duluan bicara. Umika mendengarkan dengan saksama. “Gomen.” Lanjutnya, sedikit kikuk. Terkadang pemuda itu keheranan dengan dirinya sendiri, kenapa kalau berhadapan dengan Umika, selalu jadi dia yang harus minta maaf duluan?. Gadis itu membuat keegoisannya seakan-akan meleleh, berganti dengan sikap mau mengalah. Dia teringat Ibunya. Dulu, meskipun ayahnya super egois, sang bunda bisa dengan sebegitu mudahnya membuat ayah mengalah untuk apapun. Kali ini, untuk pertama kalinya dia —agak—setuju dengan ayahnya. Umika—somehow mirip dengan Yamada Tsukushi, ibunya.
Melihat Ryosuke tulus tentang permohonan maafnya, Umika tersenyum geli.
“Aku juga harus minta maaf. Aku kan yang membentakmu duluan.” balasnya. Ryosuke ikut tersenyum.
“Ehem!” satu eheman(?) tiba-tiba terdengar. Ryosuke dan Umika menoleh, mendapati suara tersebut berasal dari putra bungsu keluarga Kawashima. Keduanya memandang Ryuu heran.
“Nande?” Tanya Umika. Dalam hati gadisi itu sedikit berdebar-debar, takut kalau Ryuu menghujani pertanyaan macam ‘furaretanda?’ Atau ‘kalian sudah baikan?’ Atau mungkin juga ‘kenapa tidak pacaran dengan kakakku saja? Dia sudah cantik, baik lagi’. Umika bisa membayangkan wajah kaget plus keheranan Ryosuke jika Ryuu sampai bertanya seperti itu. Atau bahkan, Ryosuke bisa saja berguling-guling di jalanan depan karena kebanyakan tertawa, mengira Ryuu sedang memberinya joke.
Bukannya menjawab pertanyaan sang kakak, Ryuu malah maju beberapa langkah mendekati Yamada Ryosuke, salah satu manusia yang paling dikaguminya tersebut, karena terpengaruh Kanon tentu saja. Manusia satu itu langsung menyerahkan gulungan kertas yang sejam lalu sempat menjadi akar pertengkaran konyolnya dengan sang kakak.
“Tolong tanda tangani ini!” Ryuu berseru sambil menunduk hormat. Ryosuke memandang benda di tangan Ryuu itu heran, namun akhirnya mengambilnya. Pemuda itu menerka-nerka, kira-kira apa isi gulungan kertas tersebut sampai harus ditanda-tanganinya. Cek kah?—maklumi saja, salah satu jenis benda yang paling sering ditandatangani oleh putra tunggal keluarga Yamada ini adalah kertas cek. Tapi rasanya cek yang satu ini kok aneh? Apa kertas cek yang dimiliki orang biasa sebesar dan selebar ini? Berbeda dengan kertas-kertas cek yang sering ditandatanganinya.
Penasaran dengan apa isi gulungan lebar kertas tersebut, Ryosuke membukannya. Mulutnya langsung memanjatkan bunyi “Waa” ketika melihat isi gulungan tersebut.
“Ini aku ya? Kok bisa ada di poster begini?” tanyanya bingung melihat wajahnya sendiri terpampang indah di dalam poster tersebut—Ryosuke baru sadar itu poster setelah membukanya. Matanya tidak memandang kamera, jelas diambil ketika dia tidak sadar. Kerjaan paparazzi kah?
Ryuu mengangguk cepat ketika Ryosuke melontarkan pertanyaannya. “Itu milik kanojoku. Dia fans Yamada-kun. Ahh, gadis-gadis di kelasku memang banyak yang ngefans sama Yamada-kun. Aku mau kasih dia poster yang ada tanda tangan Yamada-kun sebagai hadiah.” Ryuu berhenti sejenak untuk menelan ludah. “Bisa tidak?” tanyanya ragu-ragu. Ryosuke memandang manusia di depannya dan gulungan kertas tersebut bergantian.
“Ne, memangnya fotoku dijual bebas ya?” tanyanya sedikit ngeri. Seram juga kalau gambarnya diambil diam-diam begini, lalu dijual di antara gadis-gadis. Lebih seram lagi kalau dikasih harga murah, bahkan diskon. Ryuu mengangguk cepat.
“Meskipun harganya cukup mahal, tapi teman-temanku banyak yang rela nabung hanya untuk membeli foto atau posternya Yamada-kun.”
“Sou ka…” jawab Ryosuke, sedikit lega. Paling tidak foto-fotonya tidak dijual murah. Pemuda itu kemudian mengambil pena yang memang selalu tersedia di saku kemejanya lalu memberikan tanda tangan tepat diatas poster tersebut. Cukup besar, sampai orang bisa melihatnya jelas meskipun jaraknya beberapa meter. Ryuu tersenyum berterima kasih.
“Waa! Kanon pasti suka! Arigatou gozaimaz, Yamada-kun..”
Ryosuke mengangguk. Umika yang menyaksikan tingkah kedua pemuda beda usia dan tinggi itu—cuma info, Ryuu jauh lebih tinggi—tersenyum lembut. Ryosuke bisa sangat baik ternyata. Selesai dengan urusan tanda menanda tangannya dengan Ryuu, Ryosuke lalu pamit. Sekalian minta ijin ke Ryuu untuk membawa kakak perempuannya pergi sebentar. Ryuu tentu saja dengan hati yang berbunga-bunga mengijinkan.
“Tidak dibalikin juga tak apa kok, Yamada-kun!” responnya ketika Ryosuke meminta ijin. Pemuda tampan itu hanya tertawa kecil sementara Umika manyun berat.
“Hai..hai! Tidak akan kupulangkan deh!”Ryosuke ikut bercanda. Umika penggeplak punggungnya pelan. Selesai ber-say goodbye dengan Ryuu, keduanya lalu masuk ke mobil super mewah milik Ryosuke. Umika sempat mangap-mangap ketika masuk ke mobil itu. Gila! Pikirnya. Dalamnya elite sekali. Ada LCD touch screen, kursinya kulit asli dilengkapi pengatur otomatis, lampu LED mewah, plus supir yang gayanya seperti butler-butler dalam komik yang biasa dibacanya. Pokoknya WOW sekali deh!
“Kenapa?” Ryosuke menyadari tampang katro Umika balik lagi. “Kaget dengan mobilku? Terlalu mewah?”
Umika manyun. “biasa saja tuh!”
“sou kah?” ejeknya lalu mengacak-acak rambut Umika gemas. “Kau memang lucu sekali Umika!”
Umika membeku. Jantungnya kembali berdegup kencang. Kenapa? Setiap kali Ryosuke melakukan sesuatu yang sweet seperti tadi, debaran jantungnya jadi berkali-kali lipat?
“a-apanya yang lucu?” balasnya gugup. Sumpah, Ryosuke ini memang membingungkan—dan membuat jantungnya dag dig dug tentu saja. Ryosuke tidak membalas, memilih tersenyum lembut saja.
~0~0~0~
“Yuto!” Ryosuke berseru senang ketika menemukan sosok Yuto di tengah lapangan. Pertandingan belum dimulai sehingga tribun penonton masih sepi. Hanya ada beberapa orang yang menempatinya, entah itu keluarga peserta, teman-teman, atau supporter yang kelewat semangat mendukung team idola mereka sampai-sampai rela datang sejam lebih awal.
Yuto menghentikan latihan shootnya mendengar panggilan sahabat terakrabnya tersebut. Cepat-cepat dia melepaskan bola di tangannya lalu bergerak menyongsong pemuda yang belasan senti lebih pendek darinya itu.
“Kau datang!” serunya senang, lalu merangkul sahabat yang sudah dianggapnya adik sendiri itu. Ryosuke membalas pelukan ‘saudaranya’.
“Tentu saja! Aku tidak akan melewatkan pertandingan sahabat terbaikku!” jawab Ryosuke sambil tersenyum. Disamping mereka, Umika ikut tersenyum lembut. Ryosuke dan Yuto memang seperti saudara. Sangat akrab. Wajar saja jika Ryosuke menekan mati-matian perasaannya pada Mirai agar Yuto tidak terluka. Ryosuke menyayangi keduanya, seimbang. Pemuda itu tidak mau harus memilih kebahagiaannya dan menyakiti orang terdekatnya di dunia tersebut.
Yuto melepas rangkulannya, lalu memandang Ryosuke dan Umika bergantian. Pemuda jangkung itu tersenyum nakal.
“Baru kali ini Ryosuke jalan bareng cewek.” Ujarnya. Matanya menatap Ryosuke saja sekarang. “kanojo wa?”
Wajah Umika seketika memerah. “Chigau yo!” jawabnya tanpa ditanya. “Kami hanya teman. Iya kan, Ryosuke?” Umika ikut menatap Ryosuke. Yuto mengelus-elus dagunya yang bebas jenggot seolah berpikir.
“Ryosuke hah?” nadanya bertanya. Umika meremas tangannya kuatir.
‘Mampus kalau Nakajima mikir yang macam-macam!’ batinnya. Umika menatap pemuda menjulang itu dari atas sampai bawah. Orang ini, tampangnya saja berwibawa. Pikirannya ternyata jahil juga. Ryosuke sendiri memilih menjawab pertanyaan Yuto dengan tersenyum kecil. Tapi lengkungan bibirnya tiba-tiba saja kembali datar ketika seseorang masuk ke lapangan.
“Yuto, kucari dari tadi—“ Mirai menghentikan omelannya ketika 2 bola matanya menangkap sosok Ryosuke, dan…seorang gadis? Jarang-jarang Ryosuke jalan bareng cewek. “Ryosuke! Kau sudah datang! Ah, Kawashima mo!” lanjutnya ketika menyadari gadis yang bersama Ryosuke itu adalah kawashima Umika, newcomer di kelas mereka. Umika hanya tersenyum kikuk. Bingung, apa yang harus dilakukannya kalau berhadapan langsung dengan Mirai. Ryosuke ikut tersenyum, namun datar.
“aku tidak akan melewatkan pertandingan sahabatku. Mirai-chan juga pasti tidak akan melewatkan pertandingan Yuto kan?” Ryosuke balas bertanya. Mirai tersenyum kecil.
“Tentu saja.” jawabnya lembut, tapi tidak begitu lepas. Gadis itu kembali teringat pengakuan Ryosuke di bus, ciumannya. Apakah Ryosuke sungguh-sungguh? Apakah hati Ryosuke sakit sekarang melihatnya begitu setia menemani Yuto? Dan kenapa sekarang ada sesuatu yang berbeda ketika matanya menatap sinar redup mata Ryosuke?
Jauh di dalam hatinya, Ryosuke merasakannya. Presepsi Mirai memang telak mengenainya. Dia sakit hati melihat Mirai begitu bersemangat mengurusi Yuto. Tapi dia tidak bisa berbuat banyak, secara Mirai adalah kekasih Yuto sekarang. Yang mampu ia lakukan sekarang hanya tersenyum berpura-pura tidak ada perasaan apapun dalam hatinya.
Umika merasakannya juga. Rasa sakit hati Ryosuke, entah kenapa dia bisa membacanya lewat mata pemuda itu. Bibirnya tersenyum, tapi matanya menitikan air mata. Kalimat klasik itu kali ini terbukti nyata dalam pandangan Umika. Dia bisa melihat jelas bagaimana Ryosuke berjuang melawan keinginannya untuk memiliki Mirai sekarang, bagaimana caranya harus bersikap biasa di depan gadis itu dan sahabatnya. Umika tahu—dan hatinya entah kenapa ikut sakit.
Ketiga eksistensi itu tenggelam dalam pikiran masing-masing, menimbulkan atmosfer yang jauh berbeda dari sebelumnya. Yuto yang menyadari hal itu langsung menyeletuk.
“Ne, kanapa semuanya diam?” tanyanya heran. Ketiga orang itu langsung tersadar.
“Aah, gomen. Aku teringat adikku di rumah, kayaknya belum dikasih makan. Hehe…” Umika mengembalikan atmosfer denagn candaan ringannya, refleks ketiga manusia lain tertawa kecil. Apakah adiknya hewan peliharaan sampai harus ‘di’kasih makan? Kalau untuk manusia tidak perlu awalan ‘di’ dan kata ‘kasih’ kan?
Ryosuke diam-diam memandang Umika lembut.
“Arigatou, na…” batinnya.
“Saa~ sekarang kalian bisa bantu aku mengurusi keperluan pemain di belakang?” Mirai menatap Ryosuke dan Umika, lalu matanya beralih pada Yuto. “Yuto juga, jangan terlalu semangat latihannya. Nanti saat pertandingan kau bisa kecapean.”
“Hai! Hai! Wakatta!” jawabnya senang sambil mengacak-ngacak poni Mirai gemas. Gadis itu tersenyum lembut.
Ryosuke menyaksikan semua, dan diam saja. Begitu pula Umika. Sekarang ini yang terpenting bagi keduanya adalah ‘menerima’.
~0~0~0~
“Ne, Kawashima-chan pacaran dengan Ryosuke ya?” satu pertanyaan yang terlontar dari kedua sisi bibir Mirai membuat Umika nyaris menjatuhkan box Styrofoam berisi potongan-potongan kecil es dalam rangkulannya.
“Chigau! Kami hanya teman kok!” jawabnya gugup. Demi apa seharian ini sudah berapa manusia yang mengira dia dan Ryosuke pacaran. Wajar saja memang, dilihat dari kedekatannya dengan Ryosuke, tidak aneh kalau banyak orang melontarkan pertanyaan serupa.
Mirai mengangguk—mengerti. “sou kah? Padahal kukira Ryosuke sudah menemukan gadis lain…” Gumamnya, namun Umika bisa menangkap kata-kata gadis itu jelas.
“Eeh?” Umika menghentikan langkahnya seketika. “gadis lain? Jadi maksudmu… kau tahu?”
Mirai ikut berhenti lalu menatap mata Umika dalam. Sepersekian detik berlalu sampai akhirnya gadis itu mengangguk.
Chapter 7 end~ continue to chapter 8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar