Selasa, 26 Juli 2011

[fic/On Writting] : The Dream Lovers-chapter 6


CHAPTER 6


Umika dan Momoko melangkah gontai menyusuri lorong sekolah. Masih sedikit terkesima dengan tingkah salah satu member the dream lovers—Chinen Yuri yang nampaknya naksir Suzuka tersebut. Momoko tidak berjalan tenang. Sedikit-sedikit kepalanya ditolehkan ke arah Umika.

“Ne, Umi-chan…” panggilnya. Umika menoleh. Alisnya diangkat sebelah karena kaget nama panggilan dari Chinen tadi ikut digunakan Momoko.

“Nani?”

“Kau...beneran nih tidak bisa bahasa Inggris?”

Umika menatap momoko cemberut lalu menunduk dan mengangguk. “Nilai bahasa inggrisku tidak pernah tuntas…” jawabnya pelan. Momoko memiringkan kepalanya sedikit agak tidak mengerti. Bagaimana Umika bisa dapat beasiswa Horikoshi? Padahal waktu tes masuk SMU T.O.P itu dulu, nilai bahasa inggris siswa yang bisa lulus minimal 85. Jadi secara tidak langsung, semua siswa Horikoshi ini bisa bahkan lancar berbahasa inggris. Nah sekarang? Siswa beasiswa kali ini tidak disaring nilai bahasa inggrisnya ya?
Momoko mengingat-ngingat. Sejak TK dia sudah satu sekolah dengan Umika dan baru berpisah ketika mereka menginjak bangku SMU. Momoko didaftarkan orang tuanya—yang memang kaya raya ke Horikoshi, sekolah swasta TOP tersebut, sementara Umika memilih SMU negeri. Selama 10 tahun mereka bersahabat itupun yang Momoko tahu Umika adalah nomor satu dalam setiap pelajaran. Tak pernah sekalipun terbesit kabar Umika tidak lulus satu mata pelajaran. Bahkan ketika SMP, ada kabar kalau nilai Bahasa Inggris Umika hanya 55, semua siswa tidak ada yang percaya. Semuanya mengira itu hanya gossip yang disebarkan saingan gadis itu sehingga tidak ada satupun manusia yang percaya. Umika sendiri cenderung tertutup soal nilai-nilainya, sehingga untuk urusan bahasa inggris ini tidak ada satu manusia pun yang tahu.

Momoko menatap sahabatnya itu lekat-lekat, simpati dengan salah satu kelemahannya tersebut seolah-olah siswa yang tidak bisa berbahasa inggris di horikoshi sama dengan tentara siap perang yang lupa bawa senjata. Bisa tamat kapan saja.

“ne, Umika… kau harus les bahasa inggris.” Usulnya. Umika menggeleng.

“Aku tidak apa-apa kok kalau nilai bahasa inggrisku rendah.”

“Bukan begitu!” momoko menyela cepat. “Horikoshi ini seperti belantara lebat, dan bahasa inggris itu persediaan makananmu. Kalau tak ada makanan, kau bisa mati kapan saja. Dengar Umi-chan, Horikoshi ini sekolah internasional. Siswa-siswa disini bukan hanya menguasai bahasa jepang, ada bahasa inggris, mandarin, perancis, jerman bahkan ada yang bisa bahasa spanyol. Sudah begitu ada saat-saat dimana bahasa inggris hanya akan menjadi satu-satunya bahasa yang bisa kau gunakan. Misalnya saja ketika pelajaran bahasa inggris, kedatangan guru orang asing, atau pertukaran pelajar, atau…ah study tour! Horikoshi tidak pernah melangsungkan study tour di dalam negeri. Sehari-harinya di eropa semua.” Momoko menghabiskan ceramahnya. Wajah Umika jadi makin cemberut.

“terus? aku harus les bahasa inggris? Tapi sama siapa? Pelajaran bahasa inggris minggu depan!” rengeknya. Momoko tersenyum punya ide.

“Yamada Ryosuke.”

“HA?!”

“Yamada Ryosuke. Kau mau belajar cepat bahasa inggris kan? Yamada Ryosuke adalah satu-satunya orang yang tepat.”

Umika membuka mulutnya sedikit, terheran. Momoko menarik nafas agak berat.

“Yamada-sama itu master bahasa Inggris. Aslinya menguasai 8 bahasa, Jepang, Inggris, Korea, mandarin, Perancis, Jerman, Italia, dan spanyol. Nilai bahasa inggrisnya selalu menakjubkan, grammarnya bagus, pronouncenya sempurna, kosakatanya berjibun, mungkin hampir seluruh kata dalam kamus dikuasainya. Sudah begitu, jika menerangkan kau akan cepat mengerti. Harus kuakui, jika mendengarkannya diminta Keito-sensei menerangkan bahasa inggris, aku akan lebih cepat mengerti bila dibandingkan sensei sendiri yang menerangkan.” Momoko berhenti sebentar untuk melihat reaksi Umika. gadis itu Nampak ragu-ragu.

“jadi? Bagaimana? mau meminta yamada-sama?”

Umika menggeleng. “Ryosuke mana mau nagajar aku bahasa inggris…”jawabnya lagi pelan. Telinga Momoko seketika terangsang mendengar kata-kata Umika barusan.

“Ryosuke? Kau memanggilnya Ryosuke?”

“Eh? Ah… tidak. Itu, aku salah ngomong saja.” Tidak cukup puas hanya dengan bicara Umika juga menggoyang-goyang tangan kanannya memberi sign ‘tidak’. Momoko menatapnya seolah mengintrogasi.

“Uso. Pasti ada sesuatu. Lagian Kau dan Yamada-sama akhir-akhir ini dekat sekali. Jangan-jangan… kalian saling menyukai ya?” Momoko menoel-noel lengan Umika.

“Ha? Haha..apa? suka? Kami saling menyukai begitu? Tidak mungkin. Tidak akan pernah!” jawab Umika sambil tertawa sedikit gugup. Momoko masih saja mencium ada yang tidak beres dan Umika bisa menangkap kecurigaan Momoko itu.

Mati aku! Momoko kalau udah curiga begini susah ngelesnya!” pikir Umika. Matanya lalu mencari-cari, kira-kira ada apa—atau siapa yang bisa dipakai untuk mengalihkan perhatian teman berambut lurus pendeknya itu. Doanya terkabul! Kami-sama mengirimkan seseorang untuk membebaskannya dari jeratan pertanyaan Momoko. Dari seberang lewat seorang Arioka Daiki, sendirian pula. Langsung saja Umika memanfaatkan kesempatan ini untuk lepas dari Momoko.

“ARIOKA-KUN!” Umika berteriak sekeras-kerasnya, membuat obyek yang dipanggil sontak memandang mereka. Momoko ikut memandang Umika shock mendengar teriakan gadis itu, terutama siapa yang dipanggilnya. Tapi Umika masih belum mau berhenti. Dia harus sepenuhnya lepas dari perhatian Momoko.

“MOMOKO ADA PERLU NIH!!” lanjutnya. Momoko langsung tersentak kaget dan hampir menoyor kepala sahabatnya satu itu kalau saja Daiki tidak mendekat disertai senyumnya yang menawan. Umika menepuk-nepuk bahu Momoko pelan “Selamat ngobrol ya!” seru gadis itu senang lalu cepat-cepat meninggalkan Momoko yang sedikit lagi posisinya hampir dijangkau daiki.

“Yabai! Umika! oi, Umika!” momoko mencoba menghentikan Umika, namun gadis itu keburu jauh. Dia sudah bebas, urusan belakang, itu terserah momoko.

Daiki yang akhirnya tinggal berjarak beberapa inchi saja dari Momoko langsung memperlembut senyumannya. “Doushita, Momo-chan?” tanyanya pelan.

“Hei..Daichan. itu… hehehe…” Momoko tertawa gugup.

~0~0~0~


“hampir..hampir! kalau Momo tau kan bisa bahaya!” Umika memperlambat larinya setelah dirasanya posisinya sudah cukup jauh dari Momoko. Gadis itu mengelus-elus dadanya lega. Kecepatannya baru mau ditambah lagi ketika 2 bola mata cemerlangnya menatap siluet sesosok manusia yang tengah berdiri diam mengintai di balik pintu ruang klub basket yang sedikit terbuka. Wajahnya senduh, dan Umika kenal betul pemilik wajah sendu itu. Gadis itu melangkah pelan.

“Ryosuke…” panggilnya. Sosok itu tidak memberi jawaban. Matanya masih saja terpaku ke dalam. Penasaran, Umika ikut mengintai dari jendela ruangan tersebut. Matanya sontak melebar melihat siapa-siapa saja yang ada di dalam.

Mirai dan Yuto, sedang berciuman dengan tangan masing-masing saling memeluk tubuh lawannya. Keduanya terlihat bahagia, jelas mereka saling mencintai. Umika sontak mengerti kenapa ekspresi sendu yang dilihatnya beberapa hari yang lalu kembali terpajang di wajah sempurna Ryosuke. Tidak ingin melihat Ryosuke terus terluka, Umika lalu melangkah mendekati pemuda itu.

“Ryosuke.”

Tidak ada reaksi. Pemuda itu masih kaku melihat ke dalam. Umika mempercepat langkahnya sehingga akhirnya ia sampai tepat di samping Ryosuke.

“Ryosuke!” seru gadis itu pelan, namun sambil mencengkram lengan Ryosuke. Pemuda itu langsung tersadar.

‘H-Hai..Umika?” tanyanya kaget. Umika tersenyum, lalu menggantikannya melihat Mirai dan Yuto yang sedang tertawa senang.

“tidak apa-apa Ryosuke.” ujar gadis itu sambil tetap melihat kedalam. “Kau boleh cemburu…”

Ryosuke mengikuti arah pandang Umika. Dia melihat Yuto, tertawa sambil menunjuk-nunjuk handband dari Mirai ditangannya. Perasaan itu datang lagi. Sudah berpuluh kali dalam 1 menit terakhir ini Ryosuke berkeinginan masuk kedalam, lalu membawa Mirai pergi. Tapi ketika dilihatnya kedua orang di dalam itu tersenyum bahagia, entah kenapa keinginannya itu langsung luluh. Yuto adalah sahabat terdekatnya, bahkan sudah seperti kakaknya sendiri. Meskipun dia mencintai Mirai sampai mati, dia tidak bisa dengan mudah merebut gadis itu dari sahabatnya tersebut. Sampai kapanpun tidak akan bisa, karena mereka berdua saling mencintai, dan dia hanya akan jadi pengganggu.

“Aku mengerti Umika.” jawabnya pelan. Umika tersenyum kecil, lalu menarik lengan Ryosuke menjauh.

“Ayo pergi.”. agak berat Ryosuke mengangguk dan melangkah menjauh setelah sempat menoleh sesaat ke dalam.

~0~0~0~

“Mirai-chan, doushita?” Yuto memandang gadisnya sedikit khawatir. Entah kenapa sepersekian detik ini gadis itu terus saja memandang ke rah pintu yang sedikit terbuka di belakangnya.

“ii yo! Daijoubu…” balas Mirai cepat diiringi senyum manisnya. Yuto ikut tersenyum lalu kembali merangkul tubuh mungil gadis itu dalam pelukannya. Mirai balas memeluknya, namun pikirannya tidak sempurna tertuju pada Yuto. Ada sesuatu yang mengganggu.

Dia melihat Ryosuke. Tadi, ketika bibirnya lepas dari sentuhan bibir Yuto. Wajah anak itu sendu, bahkan terlihat hampir menangis. Satu rasa asing timbul dalam dirinya, entah apa. Dia seolah tidak rela Ryosuke melihatnya seperti itu dengan Yuto. Dia tidak ingin Ryosuke sakit hati.

“oh ya. Akhir-akhir ini aku merasa ada yang aneh dengan Ryosuke.” Yuto tiba-tiba menyeletuk. Tubuh Mirai sontak membeku.

“Maksudmu?”

“Itu loh. Akhir-akhir ini kok Ryosuke sepertinya dekat sekali dengan siswi beasiswa yang duduk dengannya itu.” Yuto melipat tangannya di dada. Mirai langsung teringat Umika.

“Kawashima Umika?” tanyanya. Yuto mengangguk.

“Un! Tidak biasanya Ryosuke mau akrab sama orang, apalagi ini siswa baru.”

“yah, mungkin saja Ryosuke mau berubah kan. Gadis itu sepertinya baik. Mereka berdua cocok kok!” jawab Mirai. Ada sedikit kekecewaan dalam nada bicaranya.

~0~0~0~

“Kenapa wajahmu kusut begitu?” Umika melepaskan tangan Ryosuke ketika dirasanya sudah aman bagi mereka untuk bicara secara pribadi. Tempat yang sama seperti 2 hari yang lalu Ryosuke menceritakan rahasianya, ketenangan yang sama, tidak ada orang.
“Wajar saja kalau mereka ciuman kan? Mereka pacaran. Saling mencintai.”

Ryosuke tidak menjawab. 

“Aku tahu kau cemburu. Tapi mau bagaimana lagi..,”

“aku tahu.” Ryosuke akhirnya membalas. “aku tahu Umika. Sudahlah.”

Umika menaikan alisnya sebelah. “sudahalah? Dan kau masih berwajah seperti itu? Apanya yang sudah Ryosuke. Kau terlalu memaksakan diri.”

Ryosuke tersentak. Matanya tidak mempu menatap Umika sekarang.

“Sebentar temani aku nonton Yuto tanding basket ya…” Ujar Ryosuke tiba-tiba, pelan.

“Jangan mengalihkan pembicaraan!” Umika membentak Ryosuke. Pemuda itu kaget, ngeri juga Umika bisa membentaknya yang adalah seorang Yamada Ryosuke itu seenaknya? Dia Yamada Ryosuke loh! Orang paling berkuasa dan —kata siswa + guru lain—paling kejam di bumi horikoshi. Lalu bagaimana bisa gadis yang cuma setinggi bahunya ini membentaknya? Gayanya menyeramkan pula!
Ryosuke yang merasa tersaingi balas membentak Umika.

“Kubilang sudah ya sudah! Jangan membuatku mengingatnya lagi! Itu hanya akan membuatku sakit!”

Sekarang gantian Umika yang terperangah. Agak seram juga bentakan Ryosuke barusan.

“Ya Sudah! Sudah! Sudah! Sudah! Semuanya sudah selesai! Jangan tunjukan wajah nyaris menangis seperti tadi lagi padaku atau aku akan menghabisimu!” Umika masih tidak mau kalah. Ryosuke salah kalau mau melawanya adu bentak. Pemuda itu terpana sesaat, kagum dengan keberanian gadis pendek itu. Ia akhirnya memilih untuk mengalah.

“gomen.” Terpaksa ia yang minta maaf. Umika kembali berwajah normal.

“kau seharusnya—“

“Sebentar temani aku nonton pertandingan basket Yuto ya. Jam 4 kujemput di rumahmu.” Ryosuke memotong perkataan Umika lalu pergi tanpa sebelumnya mendapat persetujuan atau paling tidak jawaban iya dari gadis itu.Umika hanya bisa mangap.

“Dasar bodoh!” pekiknya.

Chapter 6 end~ Continue to chapter 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar