Selasa, 26 Juli 2011
[fic/On Writting] : The Dream Lovers-chapter 7
CHAPTER 7
“Yamada Ryosuke bodoh!” Umika membanting pintu kamarnya lalu merebahkan diri di kasur dengan seragam lengkap dengan tas dan sepatu masih bertengger di tubuhnya. Matanya mengamati plafon bercat navyblue diatasnya dan lanjut bergumam “kalau sakit hati ya hentikan saja. Untuk apa harus menderita?!”. Tiba-tiba saja matanya basah. Dia menangis, simpati dengan Ryosuke tapi juga merasa sesak. Dia tidak suka. Kenapa Ryosuke harus sedemikian menderita untuk Mirai? Apa Mirai terlalu berharga? Seperti itukah cinta? Hanya melihat dari jauh, dan Tak apa-apa menderita agar orang yang dicintai bahagia? Itu bodoh! Umika tidak percaya teori seperti itu. Meskipun ‘cinta’ belum begitu dikenalnya, tapi kenapa Ryosuke harus menderita? Dan kenapa hatinya—sakit?
Jutaan kata ‘kenapa’ meliputi pikirannya. Jenuh dengan semua kata Tanya itu, jenuh dengan warna navyblue yang dilihatnya hampir semenit menjelang, gadis itu bangkit mengubah posisinya menjadi duduk. Setetes air mata yang sempat mengalir dihapus, diikuti gerakan kedua bola mata cemerlangnya mengamati sekeliling. Kamarnya yang memang tidak terlalu luas, namun bersih dan rapi. Meja belajarnya yang teratur, buku-buku di rak putih polos yang tertata rapi, lemari coklat pudar di pojokan kamar yang warnanya cukup kontras dengan warna softpink dinding kamarnya, lalu lampu tidur kuning muda di atas meja disamping kasurnya—tunggu! Umika kaget mendapati ada satu benda asing di atas meja mininya itu. Tangannya penasaran mengangkat benda yang mirip gulungan kertas itu, lalu membukanya. Umika seketika ternganga. Gulungan kertas yang ternyata adalah poster itu memperlihatkan satu wajah sempurna yang sangat familiar. Sosok dalam poster itu tidak melihat ke kamera, mungkin karena di foto diam-diam. Umika cepat-cepat membuka mulutnya lebar-lebar.
“RYUU! Kemari kau!” teriaknya dengan volume semaksimal mungkin. Ryutaro yang sejak tadi sedang asyik chatting dengan kanon langsung menutup flip keitainya cepat dan buru-buru lari ke kamar kakaknya.
“Nee-chan, ada apa sih?! Haah, haah!” Tanya Ryuu dengan nafas terengah-engah. Umika menatap pemuda itu kesal. Tangannya langsung bergerak membuka benda yang sedari tadi dipegangnya.
“Apa ini?!” tanyanya marah. Ryuu tertawa kecil. Nee-channya ini tumben bego. Sudah jelas-jelas itu poster, masih pake nanya.
“Itu poster Nee-chan!” jawabnya enteng. Ekspresi kesal umika tidak sama sekali berubah.
“Lalu kenapa benda seperti ini ada di kamarku?”
“buat Nee-chan lah! Aku tadi minta sama kanon, terus dikasih. Katanya dia mendukung sekali Nee-chan jadian sama Yamada-sama.” Jawab Ryuu polos. Umika menaikan alisnya, gantian memandang adiknya heran.
“Jadian? APAAN! Aku tidak pernah pacaran dengan Ryosuke!” seru gadis itu seketika. Ryuu memiringkan kepalanya beberapa puluh derajat, bingung. Tapi tiba-tiba saja pemuda 16 tahun itu tersenyum mengerti.
“aah, aku tahu!” Ryuu melipat kedua tangannya di dada. “Furaretanda, deshou?”
Wajah Umika memerah.
“Chigau! Kami memang tidak pernah saling suka kok!” balasnya. Ryuu semakin bingung.
“jadi nee-chan dan Yamada-sama selama ini tidak ada apa-apa?”. Umika mengangguk.
“Yaah! Padahal aku sudah sombong sama kanon tadi. Ck! Kalau begitu kenapa Nee-chan tidak jadian saja sama Yamada Ryosuke sih? Sudah ganteng, keren, kaya, pintar lagi. Sempurna tuh!”
Umika gemas, lalu melempar tubuh tinggi adik laki-lakinya itu dengan tas yang sedari tadi melingkar di bahunya. Ryuu tersungkur beberapa senti.
“Bukan Urusanmu! Dasar cerewet!” teriaknya. Ryuu tertawa sebentar lalu keluar dari kamar Kakaknya tersebut.
“Furaretanda? OVER!” ejeknya sambil membentuk jari jempol dan kelingking kanannya menyerupai gagang telepon dan meniru gaya salah satu personil boy band terkenal Hey! Say! JUMP dengan lagu mereka OVER yang sudah hampir sebulan ini menduduki peringkat teratas tangga lagu ORICON. Wajah Umika bertambah cemberut.
“URUSAI!!!” pekiknya nyaris membanting pintu kamar keras-keras. Sayang, jika pintu kamar satu-satunya ini rusak dan ketahuan sang ayah, dia pasti di setrap tidur dikamar mandi. Ah tidak, terlalu mengerikan. Dia pasti tidak akan dibelikan pintu kamar baru dan akan hidup tanpa pintu selama nyaris satu bulan. Pasti! Alhasil, meskipun emosinya sudah sampai ke ubun-ubun, gadis itu tetap menutup pintu kamar semata wayangnya itu dengan amat sangat perlahan.
Setelah urusannya dengan pintu kamar tersayang itu selesai, Umika kembali membaringkan diri di kasur. Kata-kata Ryuu tadi terus terulang dalam memori otaknya. Tapi sepersekian detik kemudian gadis itu menyadari sesuatu. Sontak ia bangkit dan memandang beker biru muda di sampingnya.
“jam tiga?” tanyanya tidak percaya. “Yabai! Ryosuke datang jam empat!”
~0~0~0~
Wajah keduanya cemberut. Jelas masih sedikit terpengaruh perang bentak siang tadi. Ryuu yang asyik menyaksikan 2 manusia yang berbeda jenis kelamin dari balik jendela ruang tamu rumahnya tersebut sesekali memproduksi tawa kecil.
“Tadi itu—“Ryosuke duluan bicara. Umika mendengarkan dengan saksama. “Gomen.” Lanjutnya, sedikit kikuk. Terkadang pemuda itu keheranan dengan dirinya sendiri, kenapa kalau berhadapan dengan Umika, selalu jadi dia yang harus minta maaf duluan?. Gadis itu membuat keegoisannya seakan-akan meleleh, berganti dengan sikap mau mengalah. Dia teringat Ibunya. Dulu, meskipun ayahnya super egois, sang bunda bisa dengan sebegitu mudahnya membuat ayah mengalah untuk apapun. Kali ini, untuk pertama kalinya dia —agak—setuju dengan ayahnya. Umika—somehow mirip dengan Yamada Tsukushi, ibunya.
Melihat Ryosuke tulus tentang permohonan maafnya, Umika tersenyum geli.
“Aku juga harus minta maaf. Aku kan yang membentakmu duluan.” balasnya. Ryosuke ikut tersenyum.
“Ehem!” satu eheman(?) tiba-tiba terdengar. Ryosuke dan Umika menoleh, mendapati suara tersebut berasal dari putra bungsu keluarga Kawashima. Keduanya memandang Ryuu heran.
“Nande?” Tanya Umika. Dalam hati gadisi itu sedikit berdebar-debar, takut kalau Ryuu menghujani pertanyaan macam ‘furaretanda?’ Atau ‘kalian sudah baikan?’ Atau mungkin juga ‘kenapa tidak pacaran dengan kakakku saja? Dia sudah cantik, baik lagi’. Umika bisa membayangkan wajah kaget plus keheranan Ryosuke jika Ryuu sampai bertanya seperti itu. Atau bahkan, Ryosuke bisa saja berguling-guling di jalanan depan karena kebanyakan tertawa, mengira Ryuu sedang memberinya joke.
Bukannya menjawab pertanyaan sang kakak, Ryuu malah maju beberapa langkah mendekati Yamada Ryosuke, salah satu manusia yang paling dikaguminya tersebut, karena terpengaruh Kanon tentu saja. Manusia satu itu langsung menyerahkan gulungan kertas yang sejam lalu sempat menjadi akar pertengkaran konyolnya dengan sang kakak.
“Tolong tanda tangani ini!” Ryuu berseru sambil menunduk hormat. Ryosuke memandang benda di tangan Ryuu itu heran, namun akhirnya mengambilnya. Pemuda itu menerka-nerka, kira-kira apa isi gulungan kertas tersebut sampai harus ditanda-tanganinya. Cek kah?—maklumi saja, salah satu jenis benda yang paling sering ditandatangani oleh putra tunggal keluarga Yamada ini adalah kertas cek. Tapi rasanya cek yang satu ini kok aneh? Apa kertas cek yang dimiliki orang biasa sebesar dan selebar ini? Berbeda dengan kertas-kertas cek yang sering ditandatanganinya.
Penasaran dengan apa isi gulungan lebar kertas tersebut, Ryosuke membukannya. Mulutnya langsung memanjatkan bunyi “Waa” ketika melihat isi gulungan tersebut.
“Ini aku ya? Kok bisa ada di poster begini?” tanyanya bingung melihat wajahnya sendiri terpampang indah di dalam poster tersebut—Ryosuke baru sadar itu poster setelah membukanya. Matanya tidak memandang kamera, jelas diambil ketika dia tidak sadar. Kerjaan paparazzi kah?
Ryuu mengangguk cepat ketika Ryosuke melontarkan pertanyaannya. “Itu milik kanojoku. Dia fans Yamada-kun. Ahh, gadis-gadis di kelasku memang banyak yang ngefans sama Yamada-kun. Aku mau kasih dia poster yang ada tanda tangan Yamada-kun sebagai hadiah.” Ryuu berhenti sejenak untuk menelan ludah. “Bisa tidak?” tanyanya ragu-ragu. Ryosuke memandang manusia di depannya dan gulungan kertas tersebut bergantian.
“Ne, memangnya fotoku dijual bebas ya?” tanyanya sedikit ngeri. Seram juga kalau gambarnya diambil diam-diam begini, lalu dijual di antara gadis-gadis. Lebih seram lagi kalau dikasih harga murah, bahkan diskon. Ryuu mengangguk cepat.
“Meskipun harganya cukup mahal, tapi teman-temanku banyak yang rela nabung hanya untuk membeli foto atau posternya Yamada-kun.”
“Sou ka…” jawab Ryosuke, sedikit lega. Paling tidak foto-fotonya tidak dijual murah. Pemuda itu kemudian mengambil pena yang memang selalu tersedia di saku kemejanya lalu memberikan tanda tangan tepat diatas poster tersebut. Cukup besar, sampai orang bisa melihatnya jelas meskipun jaraknya beberapa meter. Ryuu tersenyum berterima kasih.
“Waa! Kanon pasti suka! Arigatou gozaimaz, Yamada-kun..”
Ryosuke mengangguk. Umika yang menyaksikan tingkah kedua pemuda beda usia dan tinggi itu—cuma info, Ryuu jauh lebih tinggi—tersenyum lembut. Ryosuke bisa sangat baik ternyata. Selesai dengan urusan tanda menanda tangannya dengan Ryuu, Ryosuke lalu pamit. Sekalian minta ijin ke Ryuu untuk membawa kakak perempuannya pergi sebentar. Ryuu tentu saja dengan hati yang berbunga-bunga mengijinkan.
“Tidak dibalikin juga tak apa kok, Yamada-kun!” responnya ketika Ryosuke meminta ijin. Pemuda tampan itu hanya tertawa kecil sementara Umika manyun berat.
“Hai..hai! Tidak akan kupulangkan deh!”Ryosuke ikut bercanda. Umika penggeplak punggungnya pelan. Selesai ber-say goodbye dengan Ryuu, keduanya lalu masuk ke mobil super mewah milik Ryosuke. Umika sempat mangap-mangap ketika masuk ke mobil itu. Gila! Pikirnya. Dalamnya elite sekali. Ada LCD touch screen, kursinya kulit asli dilengkapi pengatur otomatis, lampu LED mewah, plus supir yang gayanya seperti butler-butler dalam komik yang biasa dibacanya. Pokoknya WOW sekali deh!
“Kenapa?” Ryosuke menyadari tampang katro Umika balik lagi. “Kaget dengan mobilku? Terlalu mewah?”
Umika manyun. “biasa saja tuh!”
“sou kah?” ejeknya lalu mengacak-acak rambut Umika gemas. “Kau memang lucu sekali Umika!”
Umika membeku. Jantungnya kembali berdegup kencang. Kenapa? Setiap kali Ryosuke melakukan sesuatu yang sweet seperti tadi, debaran jantungnya jadi berkali-kali lipat?
“a-apanya yang lucu?” balasnya gugup. Sumpah, Ryosuke ini memang membingungkan—dan membuat jantungnya dag dig dug tentu saja. Ryosuke tidak membalas, memilih tersenyum lembut saja.
~0~0~0~
“Yuto!” Ryosuke berseru senang ketika menemukan sosok Yuto di tengah lapangan. Pertandingan belum dimulai sehingga tribun penonton masih sepi. Hanya ada beberapa orang yang menempatinya, entah itu keluarga peserta, teman-teman, atau supporter yang kelewat semangat mendukung team idola mereka sampai-sampai rela datang sejam lebih awal.
Yuto menghentikan latihan shootnya mendengar panggilan sahabat terakrabnya tersebut. Cepat-cepat dia melepaskan bola di tangannya lalu bergerak menyongsong pemuda yang belasan senti lebih pendek darinya itu.
“Kau datang!” serunya senang, lalu merangkul sahabat yang sudah dianggapnya adik sendiri itu. Ryosuke membalas pelukan ‘saudaranya’.
“Tentu saja! Aku tidak akan melewatkan pertandingan sahabat terbaikku!” jawab Ryosuke sambil tersenyum. Disamping mereka, Umika ikut tersenyum lembut. Ryosuke dan Yuto memang seperti saudara. Sangat akrab. Wajar saja jika Ryosuke menekan mati-matian perasaannya pada Mirai agar Yuto tidak terluka. Ryosuke menyayangi keduanya, seimbang. Pemuda itu tidak mau harus memilih kebahagiaannya dan menyakiti orang terdekatnya di dunia tersebut.
Yuto melepas rangkulannya, lalu memandang Ryosuke dan Umika bergantian. Pemuda jangkung itu tersenyum nakal.
“Baru kali ini Ryosuke jalan bareng cewek.” Ujarnya. Matanya menatap Ryosuke saja sekarang. “kanojo wa?”
Wajah Umika seketika memerah. “Chigau yo!” jawabnya tanpa ditanya. “Kami hanya teman. Iya kan, Ryosuke?” Umika ikut menatap Ryosuke. Yuto mengelus-elus dagunya yang bebas jenggot seolah berpikir.
“Ryosuke hah?” nadanya bertanya. Umika meremas tangannya kuatir.
‘Mampus kalau Nakajima mikir yang macam-macam!’ batinnya. Umika menatap pemuda menjulang itu dari atas sampai bawah. Orang ini, tampangnya saja berwibawa. Pikirannya ternyata jahil juga. Ryosuke sendiri memilih menjawab pertanyaan Yuto dengan tersenyum kecil. Tapi lengkungan bibirnya tiba-tiba saja kembali datar ketika seseorang masuk ke lapangan.
“Yuto, kucari dari tadi—“ Mirai menghentikan omelannya ketika 2 bola matanya menangkap sosok Ryosuke, dan…seorang gadis? Jarang-jarang Ryosuke jalan bareng cewek. “Ryosuke! Kau sudah datang! Ah, Kawashima mo!” lanjutnya ketika menyadari gadis yang bersama Ryosuke itu adalah kawashima Umika, newcomer di kelas mereka. Umika hanya tersenyum kikuk. Bingung, apa yang harus dilakukannya kalau berhadapan langsung dengan Mirai. Ryosuke ikut tersenyum, namun datar.
“aku tidak akan melewatkan pertandingan sahabatku. Mirai-chan juga pasti tidak akan melewatkan pertandingan Yuto kan?” Ryosuke balas bertanya. Mirai tersenyum kecil.
“Tentu saja.” jawabnya lembut, tapi tidak begitu lepas. Gadis itu kembali teringat pengakuan Ryosuke di bus, ciumannya. Apakah Ryosuke sungguh-sungguh? Apakah hati Ryosuke sakit sekarang melihatnya begitu setia menemani Yuto? Dan kenapa sekarang ada sesuatu yang berbeda ketika matanya menatap sinar redup mata Ryosuke?
Jauh di dalam hatinya, Ryosuke merasakannya. Presepsi Mirai memang telak mengenainya. Dia sakit hati melihat Mirai begitu bersemangat mengurusi Yuto. Tapi dia tidak bisa berbuat banyak, secara Mirai adalah kekasih Yuto sekarang. Yang mampu ia lakukan sekarang hanya tersenyum berpura-pura tidak ada perasaan apapun dalam hatinya.
Umika merasakannya juga. Rasa sakit hati Ryosuke, entah kenapa dia bisa membacanya lewat mata pemuda itu. Bibirnya tersenyum, tapi matanya menitikan air mata. Kalimat klasik itu kali ini terbukti nyata dalam pandangan Umika. Dia bisa melihat jelas bagaimana Ryosuke berjuang melawan keinginannya untuk memiliki Mirai sekarang, bagaimana caranya harus bersikap biasa di depan gadis itu dan sahabatnya. Umika tahu—dan hatinya entah kenapa ikut sakit.
Ketiga eksistensi itu tenggelam dalam pikiran masing-masing, menimbulkan atmosfer yang jauh berbeda dari sebelumnya. Yuto yang menyadari hal itu langsung menyeletuk.
“Ne, kanapa semuanya diam?” tanyanya heran. Ketiga orang itu langsung tersadar.
“Aah, gomen. Aku teringat adikku di rumah, kayaknya belum dikasih makan. Hehe…” Umika mengembalikan atmosfer denagn candaan ringannya, refleks ketiga manusia lain tertawa kecil. Apakah adiknya hewan peliharaan sampai harus ‘di’kasih makan? Kalau untuk manusia tidak perlu awalan ‘di’ dan kata ‘kasih’ kan?
Ryosuke diam-diam memandang Umika lembut.
“Arigatou, na…” batinnya.
“Saa~ sekarang kalian bisa bantu aku mengurusi keperluan pemain di belakang?” Mirai menatap Ryosuke dan Umika, lalu matanya beralih pada Yuto. “Yuto juga, jangan terlalu semangat latihannya. Nanti saat pertandingan kau bisa kecapean.”
“Hai! Hai! Wakatta!” jawabnya senang sambil mengacak-ngacak poni Mirai gemas. Gadis itu tersenyum lembut.
Ryosuke menyaksikan semua, dan diam saja. Begitu pula Umika. Sekarang ini yang terpenting bagi keduanya adalah ‘menerima’.
~0~0~0~
“Ne, Kawashima-chan pacaran dengan Ryosuke ya?” satu pertanyaan yang terlontar dari kedua sisi bibir Mirai membuat Umika nyaris menjatuhkan box Styrofoam berisi potongan-potongan kecil es dalam rangkulannya.
“Chigau! Kami hanya teman kok!” jawabnya gugup. Demi apa seharian ini sudah berapa manusia yang mengira dia dan Ryosuke pacaran. Wajar saja memang, dilihat dari kedekatannya dengan Ryosuke, tidak aneh kalau banyak orang melontarkan pertanyaan serupa.
Mirai mengangguk—mengerti. “sou kah? Padahal kukira Ryosuke sudah menemukan gadis lain…” Gumamnya, namun Umika bisa menangkap kata-kata gadis itu jelas.
“Eeh?” Umika menghentikan langkahnya seketika. “gadis lain? Jadi maksudmu… kau tahu?”
Mirai ikut berhenti lalu menatap mata Umika dalam. Sepersekian detik berlalu sampai akhirnya gadis itu mengangguk.
Chapter 7 end~ continue to chapter 8
[fic/On Writting] : The Dream Lovers-chapter 6
CHAPTER 6
Umika dan Momoko melangkah gontai menyusuri lorong sekolah. Masih sedikit terkesima dengan tingkah salah satu member the dream lovers—Chinen Yuri yang nampaknya naksir Suzuka tersebut. Momoko tidak berjalan tenang. Sedikit-sedikit kepalanya ditolehkan ke arah Umika.
“Ne, Umi-chan…” panggilnya. Umika menoleh. Alisnya diangkat sebelah karena kaget nama panggilan dari Chinen tadi ikut digunakan Momoko.
“Nani?”
“Kau...beneran nih tidak bisa bahasa Inggris?”
Umika menatap momoko cemberut lalu menunduk dan mengangguk. “Nilai bahasa inggrisku tidak pernah tuntas…” jawabnya pelan. Momoko memiringkan kepalanya sedikit agak tidak mengerti. Bagaimana Umika bisa dapat beasiswa Horikoshi? Padahal waktu tes masuk SMU T.O.P itu dulu, nilai bahasa inggris siswa yang bisa lulus minimal 85. Jadi secara tidak langsung, semua siswa Horikoshi ini bisa bahkan lancar berbahasa inggris. Nah sekarang? Siswa beasiswa kali ini tidak disaring nilai bahasa inggrisnya ya?
Momoko mengingat-ngingat. Sejak TK dia sudah satu sekolah dengan Umika dan baru berpisah ketika mereka menginjak bangku SMU. Momoko didaftarkan orang tuanya—yang memang kaya raya ke Horikoshi, sekolah swasta TOP tersebut, sementara Umika memilih SMU negeri. Selama 10 tahun mereka bersahabat itupun yang Momoko tahu Umika adalah nomor satu dalam setiap pelajaran. Tak pernah sekalipun terbesit kabar Umika tidak lulus satu mata pelajaran. Bahkan ketika SMP, ada kabar kalau nilai Bahasa Inggris Umika hanya 55, semua siswa tidak ada yang percaya. Semuanya mengira itu hanya gossip yang disebarkan saingan gadis itu sehingga tidak ada satupun manusia yang percaya. Umika sendiri cenderung tertutup soal nilai-nilainya, sehingga untuk urusan bahasa inggris ini tidak ada satu manusia pun yang tahu.
Momoko menatap sahabatnya itu lekat-lekat, simpati dengan salah satu kelemahannya tersebut seolah-olah siswa yang tidak bisa berbahasa inggris di horikoshi sama dengan tentara siap perang yang lupa bawa senjata. Bisa tamat kapan saja.
“ne, Umika… kau harus les bahasa inggris.” Usulnya. Umika menggeleng.
“Aku tidak apa-apa kok kalau nilai bahasa inggrisku rendah.”
“Bukan begitu!” momoko menyela cepat. “Horikoshi ini seperti belantara lebat, dan bahasa inggris itu persediaan makananmu. Kalau tak ada makanan, kau bisa mati kapan saja. Dengar Umi-chan, Horikoshi ini sekolah internasional. Siswa-siswa disini bukan hanya menguasai bahasa jepang, ada bahasa inggris, mandarin, perancis, jerman bahkan ada yang bisa bahasa spanyol. Sudah begitu ada saat-saat dimana bahasa inggris hanya akan menjadi satu-satunya bahasa yang bisa kau gunakan. Misalnya saja ketika pelajaran bahasa inggris, kedatangan guru orang asing, atau pertukaran pelajar, atau…ah study tour! Horikoshi tidak pernah melangsungkan study tour di dalam negeri. Sehari-harinya di eropa semua.” Momoko menghabiskan ceramahnya. Wajah Umika jadi makin cemberut.
“terus? aku harus les bahasa inggris? Tapi sama siapa? Pelajaran bahasa inggris minggu depan!” rengeknya. Momoko tersenyum punya ide.
“Yamada Ryosuke.”
“HA?!”
“Yamada Ryosuke. Kau mau belajar cepat bahasa inggris kan? Yamada Ryosuke adalah satu-satunya orang yang tepat.”
Umika membuka mulutnya sedikit, terheran. Momoko menarik nafas agak berat.
“Yamada-sama itu master bahasa Inggris. Aslinya menguasai 8 bahasa, Jepang, Inggris, Korea, mandarin, Perancis, Jerman, Italia, dan spanyol. Nilai bahasa inggrisnya selalu menakjubkan, grammarnya bagus, pronouncenya sempurna, kosakatanya berjibun, mungkin hampir seluruh kata dalam kamus dikuasainya. Sudah begitu, jika menerangkan kau akan cepat mengerti. Harus kuakui, jika mendengarkannya diminta Keito-sensei menerangkan bahasa inggris, aku akan lebih cepat mengerti bila dibandingkan sensei sendiri yang menerangkan.” Momoko berhenti sebentar untuk melihat reaksi Umika. gadis itu Nampak ragu-ragu.
“jadi? Bagaimana? mau meminta yamada-sama?”
Umika menggeleng. “Ryosuke mana mau nagajar aku bahasa inggris…”jawabnya lagi pelan. Telinga Momoko seketika terangsang mendengar kata-kata Umika barusan.
“Ryosuke? Kau memanggilnya Ryosuke?”
“Eh? Ah… tidak. Itu, aku salah ngomong saja.” Tidak cukup puas hanya dengan bicara Umika juga menggoyang-goyang tangan kanannya memberi sign ‘tidak’. Momoko menatapnya seolah mengintrogasi.
“Uso. Pasti ada sesuatu. Lagian Kau dan Yamada-sama akhir-akhir ini dekat sekali. Jangan-jangan… kalian saling menyukai ya?” Momoko menoel-noel lengan Umika.
“Ha? Haha..apa? suka? Kami saling menyukai begitu? Tidak mungkin. Tidak akan pernah!” jawab Umika sambil tertawa sedikit gugup. Momoko masih saja mencium ada yang tidak beres dan Umika bisa menangkap kecurigaan Momoko itu.
“Mati aku! Momoko kalau udah curiga begini susah ngelesnya!” pikir Umika. Matanya lalu mencari-cari, kira-kira ada apa—atau siapa yang bisa dipakai untuk mengalihkan perhatian teman berambut lurus pendeknya itu. Doanya terkabul! Kami-sama mengirimkan seseorang untuk membebaskannya dari jeratan pertanyaan Momoko. Dari seberang lewat seorang Arioka Daiki, sendirian pula. Langsung saja Umika memanfaatkan kesempatan ini untuk lepas dari Momoko.
“ARIOKA-KUN!” Umika berteriak sekeras-kerasnya, membuat obyek yang dipanggil sontak memandang mereka. Momoko ikut memandang Umika shock mendengar teriakan gadis itu, terutama siapa yang dipanggilnya. Tapi Umika masih belum mau berhenti. Dia harus sepenuhnya lepas dari perhatian Momoko.
“MOMOKO ADA PERLU NIH!!” lanjutnya. Momoko langsung tersentak kaget dan hampir menoyor kepala sahabatnya satu itu kalau saja Daiki tidak mendekat disertai senyumnya yang menawan. Umika menepuk-nepuk bahu Momoko pelan “Selamat ngobrol ya!” seru gadis itu senang lalu cepat-cepat meninggalkan Momoko yang sedikit lagi posisinya hampir dijangkau daiki.
“Yabai! Umika! oi, Umika!” momoko mencoba menghentikan Umika, namun gadis itu keburu jauh. Dia sudah bebas, urusan belakang, itu terserah momoko.
Daiki yang akhirnya tinggal berjarak beberapa inchi saja dari Momoko langsung memperlembut senyumannya. “Doushita, Momo-chan?” tanyanya pelan.
“Hei..Daichan. itu… hehehe…” Momoko tertawa gugup.
~0~0~0~
“hampir..hampir! kalau Momo tau kan bisa bahaya!” Umika memperlambat larinya setelah dirasanya posisinya sudah cukup jauh dari Momoko. Gadis itu mengelus-elus dadanya lega. Kecepatannya baru mau ditambah lagi ketika 2 bola mata cemerlangnya menatap siluet sesosok manusia yang tengah berdiri diam mengintai di balik pintu ruang klub basket yang sedikit terbuka. Wajahnya senduh, dan Umika kenal betul pemilik wajah sendu itu. Gadis itu melangkah pelan.
“Ryosuke…” panggilnya. Sosok itu tidak memberi jawaban. Matanya masih saja terpaku ke dalam. Penasaran, Umika ikut mengintai dari jendela ruangan tersebut. Matanya sontak melebar melihat siapa-siapa saja yang ada di dalam.
Mirai dan Yuto, sedang berciuman dengan tangan masing-masing saling memeluk tubuh lawannya. Keduanya terlihat bahagia, jelas mereka saling mencintai. Umika sontak mengerti kenapa ekspresi sendu yang dilihatnya beberapa hari yang lalu kembali terpajang di wajah sempurna Ryosuke. Tidak ingin melihat Ryosuke terus terluka, Umika lalu melangkah mendekati pemuda itu.
“Ryosuke.”
Tidak ada reaksi. Pemuda itu masih kaku melihat ke dalam. Umika mempercepat langkahnya sehingga akhirnya ia sampai tepat di samping Ryosuke.
“Ryosuke!” seru gadis itu pelan, namun sambil mencengkram lengan Ryosuke. Pemuda itu langsung tersadar.
‘H-Hai..Umika?” tanyanya kaget. Umika tersenyum, lalu menggantikannya melihat Mirai dan Yuto yang sedang tertawa senang.
“tidak apa-apa Ryosuke.” ujar gadis itu sambil tetap melihat kedalam. “Kau boleh cemburu…”
Ryosuke mengikuti arah pandang Umika. Dia melihat Yuto, tertawa sambil menunjuk-nunjuk handband dari Mirai ditangannya. Perasaan itu datang lagi. Sudah berpuluh kali dalam 1 menit terakhir ini Ryosuke berkeinginan masuk kedalam, lalu membawa Mirai pergi. Tapi ketika dilihatnya kedua orang di dalam itu tersenyum bahagia, entah kenapa keinginannya itu langsung luluh. Yuto adalah sahabat terdekatnya, bahkan sudah seperti kakaknya sendiri. Meskipun dia mencintai Mirai sampai mati, dia tidak bisa dengan mudah merebut gadis itu dari sahabatnya tersebut. Sampai kapanpun tidak akan bisa, karena mereka berdua saling mencintai, dan dia hanya akan jadi pengganggu.
“Aku mengerti Umika.” jawabnya pelan. Umika tersenyum kecil, lalu menarik lengan Ryosuke menjauh.
“Ayo pergi.”. agak berat Ryosuke mengangguk dan melangkah menjauh setelah sempat menoleh sesaat ke dalam.
~0~0~0~
“Mirai-chan, doushita?” Yuto memandang gadisnya sedikit khawatir. Entah kenapa sepersekian detik ini gadis itu terus saja memandang ke rah pintu yang sedikit terbuka di belakangnya.
“ii yo! Daijoubu…” balas Mirai cepat diiringi senyum manisnya. Yuto ikut tersenyum lalu kembali merangkul tubuh mungil gadis itu dalam pelukannya. Mirai balas memeluknya, namun pikirannya tidak sempurna tertuju pada Yuto. Ada sesuatu yang mengganggu.
Dia melihat Ryosuke. Tadi, ketika bibirnya lepas dari sentuhan bibir Yuto. Wajah anak itu sendu, bahkan terlihat hampir menangis. Satu rasa asing timbul dalam dirinya, entah apa. Dia seolah tidak rela Ryosuke melihatnya seperti itu dengan Yuto. Dia tidak ingin Ryosuke sakit hati.
“oh ya. Akhir-akhir ini aku merasa ada yang aneh dengan Ryosuke.” Yuto tiba-tiba menyeletuk. Tubuh Mirai sontak membeku.
“Maksudmu?”
“Itu loh. Akhir-akhir ini kok Ryosuke sepertinya dekat sekali dengan siswi beasiswa yang duduk dengannya itu.” Yuto melipat tangannya di dada. Mirai langsung teringat Umika.
“Kawashima Umika?” tanyanya. Yuto mengangguk.
“Un! Tidak biasanya Ryosuke mau akrab sama orang, apalagi ini siswa baru.”
“yah, mungkin saja Ryosuke mau berubah kan. Gadis itu sepertinya baik. Mereka berdua cocok kok!” jawab Mirai. Ada sedikit kekecewaan dalam nada bicaranya.
~0~0~0~
“Kenapa wajahmu kusut begitu?” Umika melepaskan tangan Ryosuke ketika dirasanya sudah aman bagi mereka untuk bicara secara pribadi. Tempat yang sama seperti 2 hari yang lalu Ryosuke menceritakan rahasianya, ketenangan yang sama, tidak ada orang.
“Wajar saja kalau mereka ciuman kan? Mereka pacaran. Saling mencintai.”
Ryosuke tidak menjawab.
“Aku tahu kau cemburu. Tapi mau bagaimana lagi..,”
“aku tahu.” Ryosuke akhirnya membalas. “aku tahu Umika. Sudahlah.”
Umika menaikan alisnya sebelah. “sudahalah? Dan kau masih berwajah seperti itu? Apanya yang sudah Ryosuke. Kau terlalu memaksakan diri.”
Ryosuke tersentak. Matanya tidak mempu menatap Umika sekarang.
“Sebentar temani aku nonton Yuto tanding basket ya…” Ujar Ryosuke tiba-tiba, pelan.
“Jangan mengalihkan pembicaraan!” Umika membentak Ryosuke. Pemuda itu kaget, ngeri juga Umika bisa membentaknya yang adalah seorang Yamada Ryosuke itu seenaknya? Dia Yamada Ryosuke loh! Orang paling berkuasa dan —kata siswa + guru lain—paling kejam di bumi horikoshi. Lalu bagaimana bisa gadis yang cuma setinggi bahunya ini membentaknya? Gayanya menyeramkan pula!
Ryosuke yang merasa tersaingi balas membentak Umika.
“Kubilang sudah ya sudah! Jangan membuatku mengingatnya lagi! Itu hanya akan membuatku sakit!”
Sekarang gantian Umika yang terperangah. Agak seram juga bentakan Ryosuke barusan.
“Ya Sudah! Sudah! Sudah! Sudah! Semuanya sudah selesai! Jangan tunjukan wajah nyaris menangis seperti tadi lagi padaku atau aku akan menghabisimu!” Umika masih tidak mau kalah. Ryosuke salah kalau mau melawanya adu bentak. Pemuda itu terpana sesaat, kagum dengan keberanian gadis pendek itu. Ia akhirnya memilih untuk mengalah.
“gomen.” Terpaksa ia yang minta maaf. Umika kembali berwajah normal.
“kau seharusnya—“
“Sebentar temani aku nonton pertandingan basket Yuto ya. Jam 4 kujemput di rumahmu.” Ryosuke memotong perkataan Umika lalu pergi tanpa sebelumnya mendapat persetujuan atau paling tidak jawaban iya dari gadis itu.Umika hanya bisa mangap.
“Dasar bodoh!” pekiknya.
Chapter 6 end~ Continue to chapter 7
Kamis, 21 Juli 2011
[fic/On Writting] : The Dream Lovers-chapter 5
CHAPTER 5
Ohgo Suzuka baru saja menutup buku besar bertitle ‘BIOLOGI untuk 3 SMA’ yang sebelumnya dibacanya. Tangannya lalu bergerak cepat membereskan beberapa potongan kertas buram kemudian membuangnya di tempat sampah. Gadis itu lelah, dan dia butuh istirahat. Baru saja kakinya hendak menaiki single bad di depannya, keitainya tiba-tiba berbunyi nyaring. Agak malas, gadis itu buru-buru menyambar benda flip persegi panjang tersebut. Raut mukanya menampakan ekspresi agak heran melihat nomor hanphone baru yang tidak dikenalnya tertera di layar keitai. Pelan-pelan ditekannya tombol ‘answer’.
“Moshi-moshi…?”
“Moshi-moshi Suzu-chan…” suara dari seberang membalas. Kening Suzuka mengeryit, aneh mendengar suara yang agak asing tadi memanggilnya sok akrab.
“Siapa ini?” tanyanya spontan. Suara tadi tertawa kecil.
“ini aku…”jawabnya. Suzuka makin merasa aneh. Apalagi suara itu seperti bertambah dekat. Apa jangan-jangan—gadis itu seketika menoleh ke samping. Benar saja! Sesosok pemuda dengan keitai hitam di tangan kanannya sudah berdiri tegak membelakangi jendela kamarnya yang terbuka lebar, membiarkan angin malam masuk dengan leluasa. Suzuka terdiam beberapa detik, mencoba menyadari apa yang sebenarnya terjadi.
“Chinen Yuri-kun?!” tanyanya kemudian tidak percaya. Sosok pemuda yang adalah Chinen Yuri itu tersenyum misterius. Tangan kanannya pelan-palan memasukan keitai miliknya kedalam saku celana jeansnya.
“Yo, Suzu-chan!”
“Bagaimana—Apa yang kau lakukan disini?!” tanyanya lagi. Intonasinya lebih tinggi dari sebelumnya, namun volume suaranya diperkecil agar ayah-ibunya dibawah tidak mendengar. Chinen masih saja tersenyum.
“Aku naik pake selang air depan rumahmu. Kau tahu, selang air bisa digunakan untuk memanjat ke lantai 2 loh!” jawab pemuda itu santai. Suzuka makin tidak mengerti. Otaknya kosong, bingung mau menjawab apa. Namun tiba-tiba, Chinen sudah melangkah maju dan mendekatinya. Gadis itu refleks mundur, membuat tubuhnya berakhir terhimpit di antara tubuh pemuda itu dan tembok. Tidak lupa Chinen menggunakan kedua lengannya untuk mengurung Suzuka agar tidak bergerak kemana-mana.
“Ma-mau apa kau?!”Tanyanya gugup. Entah kenapa, tatapan dingin yang biasa ditunjukannya kali ini terganti dengan wajah penuh kekagetan. Chinen sendiri tidak berhenti tersenyum. Tangannya diangkat, lalu menyentuh sebagian helaian rambut sebahu susuka, menariknya pelan, dan mencium wanginya. Jantung suzuka langsung berdegup kencang. Gadis itu membeku.
“Aku Cuma mau bilang, Oyasumi…” bisik Chinen pelan lalu mundur, dan akhirnya menghilang di kedua jendela kamar yang terbuka. Suzuka masih membeku, namun beberapa detik kemudian tubuhnya cepat bergerak mendekati jendela itu dan melongok ke bawah.
Tidak ada siapa-siapa. Chinen sudah sempurna menghilang.
Jendela itu akhirnya ditutup. Suzuka lalu menyentuh helaian-helaian rambut yang tadi dicium Chinen pelan.
“tadi itu apa?!” bisiknya.
~0~0~0~
Umika melangkah lunglai. Mukanya kusut, bahunya seolah melorot teringat kejadian heboh di rumahnya semalam. Kedatangan Ayah-Anak Yamada yang —well cukup membuat heboh seisi rumahnya.
“Haaa~” suara meratapi terdengar dari kedua sisi bibrnya. Namun tidak begitu panjang karena bunyi tersebut tertutup satu suara lain yang semakin mendekat.
“Semalam cuma mimpi! Semalam cuma mimpi!” Suzuka melangkah brutal sambil mengulang-ngulang kalimat mirip mantra tadi bersamanya. Umika memiringkan kepalanya heran melihat tingkah aneh teman barunya itu.
“Suzu-chan?”
“Semalam cuma mimpi! Semalam cuma mimpi!” tidak sadar Umika didepan siap menghadapinya, suzuka masih saja berjalan agak brutal—seperti kesetanan sembari mengulang-ulang mantra yang sedari tadi diucapkannya. Umika makin tidak mengerti.
“Suzu-chan? WOI, SUZU-CHAN!” gadis itu berteriak dan menghentikan gerakan Suzuka dengan menangkap lengannya. Suzuka langung tersadar.
“hah?! Apa?!” tanyanya kaget. Umika masih memberinya tatapan heran.
“kau kenapa?”
“Ahh, betsuni~ aku—“
“SUZU-CHAN OHAYOU!!!” teriakan lain berikutnya terdengar. Umika dan Suzuka langsung menoleh. Seorang pemuda berwajah maha tampan sedang berlari mendekat sambil melambai-lambaikan tangannya. Wajah umika seketika ngeri melihat gaya yang lebih mirip kecentilan dari pada keren pemuda itu. .
“itu anaknya Chinen soujiro kan? Siapa namanya—Yuri kan? Chinen Yuri?” Umika menggumam selagi matanya memperhatikan lekat-lekat pemuda yang mendekat itu. Sama sepertinya, Suzuka pun kelihatan enggan berkedip apalagi menjawab pertanyaan Umika. Butuh waktu beberapa detik sampai Chinen berdiri tegak di depan 2 gadis yang lebih pendek darinya itu. Hal tersebut menarik perhatian sekitar. Kerumunan massa mulai terbentuk.
“Ne suzuka, ada apa ini?” Tanya Umika polos. Masih tidak ada jawaban. Suzuka belum sadar betul dari sihir tak tampak yang diberikan tatapan kedua puppy eye Chinen. Pemuda itu tersenyum ringan melihat kekhawatiran Umika. Tangannya kemudian terangkat, menggenggam tangan kanan Suzuka dan menciumnya.
“Good morning, my princess…”
“KYAAAAAAAAAAAAAA!!!” Seketika kerumunan massa—yang kebanyakan perempuan itu menjeritkan teriakan yang serupa. Ada yang karena kaget, kesal, iri, heran juga tidak percaya. Semuanya shock, meskipun tidak jarang seorang Chinen yuri mencium tangan gadis-gadis, tapi kalau dengan siswi yang baru dikenalnya beberapa hari, apakah itu tidak aneh?
Tidak seperti gadis-gadis lainnya yang harus melengkingkan jeritan sebagai ekspresi shock mereka, Umika yang sedari tadi berdiri di samping Suzuka hanya bisa mangap.
~0~0~0~
“Suzu-chan! Sekarang ceritakan padaku, bagaimana bisa Chinen…..” Momoko enggan melanjutkan pertanyaannya karena bisa dirasanya Suzuka sudah cukup jelas dengan hal yang ingin ia ketahui. Suzuka diam, masih memikirkan sesuatu.
“Dia datang, bilang Ohayou, lalu langsung mencium tangan Suzu-chan!” Umika—yang nampaknya juga masih shock memberi ringkasan kejadian menggemparkan tadi. “ne, Suzu-chan, kalian sedang PDKT ya?”
“Chigau yo!” suzuka akhirnya menjawab. “aku tidak tahu kenapa. Tingkahnya sudah aneh sejak semalam—“
“EHH??! Semalam?” Momoko menjerit ngeri. “kau bertemu dengannya semalam? Iya?”
“Itu…aku tidak tahu kenapa, dia tiba-tiba saja muncul di kamarku. Katanya cuma datang untuk mengucapkan selamat malam…”
“Hee?? Chinen-kun bilang begitu?”
Suzuka mengangguk.
“kakkoi ne! demo, hal begitu sih sudah biasa untuk seorang Chinen Yuri.”
“Sudah biasa?” Suzuka dan Umika serentak bertanya. Momoko menganggukan kepalanya.
“Un! Gosipnya chinen-kun dekat dengan banyak gadis. Dan rata-rata dari kalangan atas. Ada putri-putri pejabat, siswi sekolah elite lain, sampai-sampai artis terkenal. Sudah begitu gadis-gadis itu bukan hanya seumur kita saja, ada yang sudah sampai kepala 2. bahkan ketika baru kelas satu SMU, dia katanya pacaran dengan wanita berumur 27 tahun.” Jelas momoko. Umika dan suzuka ternganga.
“27 tahun?” Tanya Umika lagi.
‘Un! 27 tahun!”
“Hebaaat!”
“Biasa saja kok!” Umika dan Momoko sontak menoleh mendengar satu suara lain bergabung. Entah darimana asalanya, Chinen Yuri sekarang sudah berdiri di samping Suzuka dengan senyuman kawaiinya terpampang di wajah. “kau tidak perlu memujiku begitu kok, Umi~chan...” sambung pemuda itu. Umika memiringkan kepalanya.
“Umi~chan??” Tanya gadis itu heran dengan nama panggilan barunya tersebut. Chinen masih tersenyum, lalu memutar bola matanya menatap momoko.
“Kau juga Momo-chan! Hebat sekali kau tahu semua info tentangku. Tapi, tidak apa-apa nih? Daichan itu sahabatku loh!” Wajah Momoko sontak memerah mendengar godaan pemuda mini itu.
“Ka-Kau tahu dari mana?”tanyanya terbata-bata. Chinen enggan menjawab.
“I wanna say something to Suzu-chan. So, can you two beautiful girls leave us alone?” balas pemuda itu dengan bahasa inggris. Umika dan Momoko sesaat terpana.
“say..wanna..apaan?” Tanya Umika polos. Ketiga pasang mata di tempat itu langsung memandangnya heran.
“Umika, kau tidak mengerti?” Tanya Momoko pelan. Gadis yang ditanya barusan mengangguk.
“Habis Chinen pake bahasa aneh begitu, mana kutahu?” jawab Umika masih juga polos.
“Ne, itu bahasa inggris. Bagaimana bisa kau tidak tahu? Kau siswi beasiswa kan?!”
“i-itu! Uhm, itu Karena waktu tes untuk beasiswa tidak ada soal bahasa inggris. Lalu di SMUku dulu, aku memang tidak bisa bahasa inggris…lagian ngapain belajar bahasa inggris! Toh, aku tinggalnya di jepang!” Umika membela diri. Chinen, Suzuka, dan Momoko seketika tertawa ngakak.
“Kau memang lucu Umi~chan…” ujar Chinen kemudian sambil mencubit pipi kiri Umika gemas. Umika hanya mengelus bagian tubuh yang dicubit itu kesal. “jadi, bisakah sekarang kalian berdua meninggalkan kami??”
Momoko dan Umika lalu pergi sambil mencibir, menyisakan Suzuka dan Chinen yang kini duduk berhadap-hadapan.
“mau apa kau?” Tanya Suzuka dingin. Chinen tersenyum manis.
“Aku cuma mau bilang…” pemuda itu mendekatkan wajahnya ke telinga suzuka lalu berbisik mesra. “…Daisuki dayo.”
Chapter 5 end~ Continue to chapter 6
Label:
chinen Yuri,
daiki arioka,
fanfiction,
fic:The Dream Lovers,
genre: romance,
ohgo suzuka,
Shida MIrai,
Tsugunaga Momoko,
umika kawashima,
Yamada Ryosuke,
Yuto Nakajima
Rabu, 20 Juli 2011
[fic/On Writting] : The Dream Lovers-chapter 4
CHAPTER 4
“Tou-chan, kaa-chan, cepaaaat!!” Ryutaro setengah berdesis memanggil kedua orang tuanya agar segera mengikutinya bergerak ke kamar Umika. Kawashima Yuya*Yuyan jadi papaaaa :D* dan Rubi yang penasaran setelah sebelumnya diberi cerita singkat putra bungsu mereka itu langsung antusias mengikutinya melangkah menuju kamar kakak perempuannya.
“Ryuu, kau yakin kakakmu itu bersama putra konglomerat Yamada Tsukasa? Siapa lagi namanya?” Bisik Yuya ketika mereka bertiga sudah sampai tepat di depan pintu kamar putri satu-satunya itu.
“Yamada Ryosuke!” sambung istrinya cepat. Ryutaro mengangguk semangat.
“tentu saja! Soalnya Kanon saja punya posternya. Yamada Ryosuke ini dan teman-temannya beken sekali di sekolahku. Gadis-gadis banyak yang punya foto dan poster mereka. Katanya foto-foto itu diambil oleh paparazzi dan banyak muncul di majalah. Kanon bilang, ketenaran mereka sudah menyaingi artis terkenal!!” jawab pemuda 17 tahun itu antusias sambil sesekali menyinggung nama pacarnya—kanon sebagai bukti. Yuya dan Rubi mengangguk mengerti.
“Bajumu dibukannya susah sekali sih?!!” tiba-tiba terdengar seruan dari dalam kamar. Yuya, Rubi, dan Ryutaro sontak merapatkan telinga masing-masing ke pintu. Mata mereka beradu, pikirannya berkecamuk.
Di dalam pasti terjadi sesuatu.
“Nee-chan mau ngapain tuh nyuruh Yamada-kun buka baju?” bisik Ryutaro ngeri.
“Ssht!!” kedua orang tuanya refleks menyuruhnya diam. Ketiganya kembali berkonsentrasi dengan kemungkinan suara-suara apa lagi yang akan ditimbulkan dari dalam.
“AAH! Umikaa!! Sakiit!!” kini teriakan Ryosuke terdengar. Ketiga orang itu kembali beradu pandang sejenak—menggerling penuh arti, lalu melanjutkan kegiatan mencuri dengar yang sempat terhenti.
“Kau ini manja sekali sih?! Hanya segini juga! Aku saja tidak kenapa-napa!”
“Tapi ini kan pertama kalinya untukku!! AAH!! Cukup Umika! Sakiit!!”
Yuya-Rubi-Ryutaro saling menatap penuh arti. Lagi!
“Umika hebat sekali ya~” Yuya berbisik tidak sengaja. Istri dan anaknya mengangguk setuju. Terdiam sebentar, telinga mereka lalu kembali dirapatkan ke pintu, namun kali ini tanpa sengaja Ryutaro memutar kenopnya. Pintu putih polos berlabel ‘Umi-chan’s room’ yang sebelumnya lupa dikunci itu langsung terbuka, mengakibatkan ketiga manusia yang tadi bersandar sambil menempel telinganya jatuh berserakan di lantai. Yuya di bawah, Rubi, lalu Ryutaro. Sementara Umika dan Ryosuke hanya bisa mangap melihat kecelakaan barusan.
“Tou-chan? Kaa-chan? Ryuu? Apa yang kalian lakukan?!” sembuh dari kekagetannya, Umika lalu bertanya curiga. Yuya-Rubi-Ryutaro langsung menoleh ke atas. Mata mereka langsung kecewa melihat pose Umika-Ryosuke tidak seperti yang dibayangkan. Ryosuke duduk di sisi tempat tidur membelakangi Umika dengan bertelanjang dada dan punggung memerah sedangkan gadis itu berlutut di kasur di belakang Ryosuke masih dengan pakaian lengkap dan sebotol minyak gosok di tangan kirinya.
“Haah...” helaan nafas dari ketiga manusia yang baru jatuh itu terdengar agak kecewa.
~0~0~0~
“sou, jadi kalian berdua sebangku ya?” kepala keluarga Kawashima—Kawashima Yuya duluan bicara, sambil memamerkan senyum super cute nya. Yang ditannya mengangguk mengiyakan.
“Hai!” jawabnya diiringi senyum yang entah berapa puluh kali lebih manis dibanding milik Yuya. Pria 40 tahun itu merasa tersaingi. Dipamerkannya lagi senyum yang jauh lebih cute dari sebelumnya. Ryosuke sendiri tidak mau kalah. Dilepaskannya lagi persediaan senyum ‘kawaii’nya yang memang ada jutaan. Masih tak mau kalah, Yuya kembali memamarkan senyuman yang—kali ini jauh dari kata kawaii. Ryosuke juga tak mau tinggal diam. Pertarungan harus sampai titik darah penghabisan. Pemuda itu mengeluarkan jurus pamungkasnya. Kali ini senyuman yang luar biasa amat sangat menawan. Yuya saja sampai ngeri mau ngelawan balik. Umika, Rubi dan Ryutaro hanya bisa mangap-mangap.
“Kenapa nih pada senyum-senyum?” pertanyaan terlontar dari Umika, membuat 2 manusia lak-laki yang baru saja beradu senyuman itu terkekeh geli.
“Betsuni~” jawab keduanya nyaris bersamaan. Mereka kembali terkekeh. Umika menatap Ryosuke heran. Tetumbenan manusia satu itu mau senyum-senyuman sampai overdosis begini. Mana sekeluarganya pada memandang super kagum padanya, bak pangeran ini kali-kali saja jadi mantu mereka dan berganti marga menjadi kawashima. Dan kenapa juga seorang yamada Ryosuke mengiyakan tawaran pesaing kontes senyum menawannya untuk makan malam plus menginap di rumah sederhana keluarga kawashima? Umika jadi mencibir karena kesal dengan usulan papa tersayang tersebut.
Selesai makan sambil perang senyum eh, ngobrol-ngobrol, sekeluarga plus satu stranger itu memisah. Yuya-Rubi-Ryutaro masuk ke kamar utama, ingin menggosipkan sesuatu—tau kan apaa??—, sementara Umika-Ryosuke menaiki tangga menuju 2 kamar di atas.
“Aku tidak mengerti kenapa kau mau menginap di sini. Tapi, kau tidur di kamar Ryuu ya, biar anak itu ambil futon dan tidur di ruang tengah”
“Tidak ah! Aku mau tidur dikamarmu saja~” jawab Ryosuke asal. Umika menggeplak bahu pemuda itu pelan.
“Kubunuh! Ah, tidak! Ayahku yang akan membunuhmu duluan!” seru gadis itu kesal. Ryosuke tertawa keras, membuat Umika hampir melayangkan geplakan season 2 kalau saja bel pintu tidak berbunyi lagi.
“Demi apa hari ini kok banyak sekali yang bertamu!” ujar Umika risih lalu menuruni tangga. Tapi langkahnya langsung terhenti ketika dirasakannya seseorang mengekor dari belakang.
“kau tunggu disini saja. Bahaya kalau yang datang nanti cewek!” pesan gadis itu sebelum sosoknya benar-benar melangkah jauh. Ryosuke memiringkan kepalanya 40 derajat, tidak mengerti. Lalu tanpa mempedulikan pesan Umika sebelumnya, pemuda itu ikut menuruni tangga dengan entengnya.
Umika sudah sampai didepan pintu. Tangannya malas-malasan menggapai knop. Gadis itu sedikit terkejut melihat seorang pria seumuran ayahnya dengan wajah yang sepertinya agak familiar sudah berdiri keren di depan pintu. Dandanannya rapi, khas pengusaha-pengusaha kaya raya yang sering dilihatnya di TV. Wajahnya juga tergolong sangat tampan untuk kalangan berumur 40 tahunan ke atas.
“Ryosuke ada?” Tanya pria itu spontan. Umika kaget, om-om ini tahu dari mana Ryosuke ada di rumahnya?
“Anoo… anda siapa ya?” balas gadis itu polos.
“Aku Yamad Tsu—“
“Apa yang kau lakukan disini?!” Suara Ryosuke tiba-tiba terdengar. Nadanya marah. Pria itu bersikap biasa saja.
“Kau pergi tanpa kawalan. Aku khawatir kau kenapa-napa. Pulanglah.“
“Tidak. Aku tidak ingin melihat wajahmu hari ini.” Ryosuke masih saja bernada marah. Pria itu tersenyum sinis.
“Jangan merepotkan orang lain Ryosuke. Pulang dan berhentilah bersikap kekanakan.”
“Aku bersikap kekanakan?! Lihat dirimu! Kenapa mencariku? Kau takut merasa bersalah pada kaa-chan?!“ Nada bicara Ryosuke semakin tinggi. Muka pria itu memerah karena marah.
“RYOSUKE, HORMATI AYAHMU SEDIKIT!!” bentaknya. Umika tersentak kaget. Gadis itu nyaris terjatuh setelah mundur beberapa langkah. Matanya memandang 2 orang yang saling adu mulut itu bergantian. Tangannya panas ingin menghajar mereka karena sudah menjadikan rumah tersayangnya sebagai tempat perkelahian, meskipun Cuma saling bentak, tapi tetap saja itu perkelahian dan Umika tidak suka kalau hal macam itu terjadi di rumahnya.
“HENTIKAN!” teriak gadis itu tiba-tiba, membuat kedua manusia bermarga Yamada itu memandangnya keget. “kalau mau berkelahi di sasana tinju sana, atau di dojo sekalian. Jangan di rumahku!” dia balas membentak. Karena ini rumahnya, Umika merasa berkuasa penuh atas situasi ini. Kedua manusia laki-laki itu terdiam sejenak.
“Umichan ada apa ribut-ri—WHOOAA!” Kawashima Yuya terdorong mundur beberapa langkah bahkan sampai terjatuh melihat penampakan eksistensi baru didepan pintu rumahnya. Salah satu orang yang tidak pernah dibayangkannya dapat ia temui dalam jarak sedekat ini. “Ya-Yamada Tsukasa-san?” serunya sambil menunduk hormat. Yamada tsukasa ikut menunduk.
“Gomen. Aku mau menjemput putraku pulang. Anak ini sudah bikin susah.” Jawabnya datar. Yuya hanya bisa mengangguk-ngangguk.
“Ah, silahkan! Silahkan!” jawab Yuya spontan sambil menggoyang-goyangkan tangannya seperti mau mengusir anak Ayam. Umika dan Ryosuke memandang pria itu heran, sementara Yamada Tsukasa kembali tersenyum.
“Hai, arigatou! Ryosuke ayo pulang!”
“Tidak!” Ryosuke masih saja melawan. “aku tidak mau pulang bersamamu.”
“Kikuchi, Komatsu!” tsukasa menoleh ke belakang. “bawa Ryosuke ke mobil” perintahnya. 2 pria berseragam hitam lengkap dengan kacamatanya hitamnya segera masuk dan menarik paksa Ryosuke keluar.
“LEPASKAN AKU! HEI, LEPASKAN KUBILANG! LEPASKAN!”Pemuda itu memberontak. Tapi tetap saja tenaganya tidak cukup kuat melawan 2 pesuruh keluarga Yamada tersebut. Pemuda itu lalu berakhir terkurung di dalam mobil.
“Maaf atas keributannya. Kami permisi.” Tsukasa lalu pamit dan keluar dari kediaman Kawashima tadi. Tapi belum sempat kaki-kaki jenjangnya mendekati mobil, Umika duluan menahannya sebentar.
“Paman tunggu! Ada yang mau kusampaikan!” seru gadis itu sambil berlari kecil mendekati Tsukasa. Pria itu menatap Umika heran, agak asing dengan panggilan ‘paman’ itu.
“Maaf aku lancang memanggil anda begitu. Tadi keceplosan!” gadis itu tertawa kecil.
“Tak apa.” Tsukasa tersenyum lembut. Sesaat Umika merasa déjà vu, karena senyuman pria itu persis sama seperti senyuman Ryosuke yang dilihatnya pertama kali di taman belakang sekolah. “Jadi, apa yang mau kau katakan?” lanjutnya.
“Ryosuke menyayangimu.”
“Ha?!”
Umika ikut tersenyum. “ maafkan tingkah lakunya yang seperti itu. Dia memang kekanakan. Tapi jika kau melihat lebih dalam, dia itu anak yang baik. Dia menyayangimu dan istrimu lebih dari apapun. Dakara… aku mohon, sering-seringlah ajak dia berbicara. Aku yakin hubungan kalian akan jadi lebih baik lagi. Anoo… anda juga menginginkan yang sama kan? Agar hubungan anda dan Ryosuke bisa diperbaiki? Ryosuke banyak bercerita padaku, dan menurutku komunikasi mungkin bisa jadi salah satu alternative untuk kalian coba. Karena kalian berdua saling menyayangi, aku yakin hubungan Ayah-anak kalian bisa berhasil” Umika mengakhiri saran panjangnya. Tsukasa terdiam.
“Siapa namamu?” tanyanya tiba-tiba. Umika memiringkan kepalanya sedikit heran.
“Ah aku? Kawashima Umika desu!”
“Kawashima Umika.” pria itu kembali tersenyum lembut. “Arigatou.” ujarnya pelan sebelum sosoknya menghilang sempurna di balik pintu mobil.
~0~0~0~
Atmosfir dalam mobil itu berat, dikarenakan salah satu penumpangnya sejak dipaksa naik tadi hingga sekarang masih menampakan ekspresi marahnya. Yamada Tsukasa sesekali melirik putra semata wayangnya tersebut. Ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya.
“Kawashima Umika…” tiba-tiba pria itu berujar, pelan. Ryosuke masih membuang muka. Melihat putranya tersebut tidak memberikan reaksi apapun, Tsukasa tersenyum lembut. “Dia mirip ibumu.”
Ryosuke seketika menoleh mendengar kata-kata ayahnya.
“Ha?!”
Sabtu, 16 Juli 2011
[fic/On Writting] : The Dream Lovers-chapter 3
CHAPTER 3
Pemuda 18 tahun itu memacu kaki-kakinya cepat menuruni tangga. Dibawah terlihat siluet ayahnya yang sedang duduk dengan berbagai tumpukan dokumen penting mengelilinginya. Ryosuke—pemuda itu, lewat begitu saja, seolah tidak ada eksistensi lain di ruangan maha besar tersebut. Dan hal itu membuat sang ayah geram.
“Mau kemana kau?!” serunya ketika melihat Ryosuke sudah menjangkau gagang pintu. Pemuda itu menoleh malas-malasan.
“Bukan urusanmu. Jangan bertindak seolah-olah selama ini kau peduli padaku!” jawabnya cepat sebelum akhirnya sosoknya menghilang di balik pintu. Yamada Tsukasa seketika terduduk lemas di sofa. Matanya bergulir, memandangi sosok cantik istrinya dalam pigura yang terparkir rapi di meja.
“Lihat Tsukushi, putramu itu. Apa lagi yang harus kulakukan?” Ujarnya pelan.
~0~0~0~
“Ryosuke?!”
2 bola mata Ryosuke langsung bergulir cepat mendengar namanya dipanggil. Ditambah lagi suara pemanggil tersebut sangat-sangat dikenalnya.
“Mirai-chan?” tanyanya pura-pura kaget dengan penampakan sosok di depannya. Gadis itu tersenyum kecil.
“Apa yang kau lakukan disini? Jarang-jarang kau keluar rumah sendirian…” Balas Mirai. Sedikit aneh menemukan seorang Yamada Ryosuke berjalan sendirian di kawasan perbelanjaan Shibuya tanpa bodyguard, pengawal, atau apapun yang diutus ayahnya. Ryosuke sendiri hanya tersenyum manis.
“Betsuni~ aku hanya sekedar lewat…”
“Bohong kan?” Mirai tersenyum lembut. “ katakan. Kau bertengkar lagi dengan ayahmu?”
Pemuda itu tidak menjawab.
“Maafkan Ayahmu Ryosuke… dia masih sedih…”
“Tapi ini sudah 10 tahun!” Ryosuke setengah berteriak. Mirai masih saja menatapnya lembut, membuat emosinya kembali reda. “Aku mengerti, Mirai-chan. Aku juga merasakan yang sama. Mungkin memang lebih baik kalau kami seperti ini terus.” Pemuda itu berhenti bicara. Mirai sendiri tidak sedikitpun mengalihkan matanya dari Ryosuke. Dia tahu apa yang dirasakan sahabatnya yang satu ini, dia tahu rasa sakitnya. Hanya saja dia tidak mampu berbuat apa-apa. Ryosuke sendiri kembali terdiam.
“Ryosuke, gomen ne. aku tidak bisa berbuat apa-apa…”
“Apa yang kau katakan? Mirai-chan, selama 10 tahun ini hanya kau, Yuto, Chii, dan Daichan yang benar-benar ada disampingku. Aku sangat bersyukur karena memiliki kalian sebagai sahabatku. Terlebih kamu, Mirai. Kau sudah seperti ibuku sendiri. Aku seharusnya berterima kasih, bukannya menerima maaf darimu…” Ujar Ryosuke lembut sambil tersenyum, membuat gadis di depannya melakukan hal yang sama. “Saa, lupakan itu. Kau kesini pasti mau belanja kan? Ayo! Biar kutemani…”
Mirai kembali tersenyum.
“Boleh! Aku ingin beli sesuatu untuk Yuto. Lusa dia ada pertandingan basket, jadi aku mau carikan jimat. Menurutmu aku harus beli apa?”Jawab Mirai bersemangat. Ryosuke seketika terdiam. Wajahnya berubah Muram ketika Mirai menyebut nama Yuto. Hatinya sakit, dia cemburu. Yuto ternyata sebegitu pentingnya untuk Mirai.
Terdiamnya Ryosuke membuat Mirai sedikit heran. Gadis itu menepuk bahu Ryosuke pelan. “Ryosuke?! Oi, kau kenapa?” serunya cepat. Ryosuke tersadar dan langsung tersenyum.
“Tidak. Aku tidak apa-apa kok.” Jawabnya agak gugup. “Un, katanya mau nyari kado untuk Yuto. Kenapa tidak kita mulai saja?”
Mirai mengangguk semangat, sama sekali tidak menyadari bagaimana perasaan pemuda itu sebenarnya. Keduanya lalu bergerak, menyusuri berbagai sisi Shibuya, memasuki toko demi toko. Butuh waktu 2 jam lebih sampai kedua remaja itu menemukan apa yang mereka cari untuk Yuto. Sebuah handband putih mahal bermerk dengan symbol yang cukup langka. Benda yang tentunya tidak dapat ditemukan di sembarang pasar dan oleh sembarang orang. Namun, secara kedua manusia yang membeli tadi adalah penghuni puncak piramida kasta penduduk Jepang, mendapatkan benda berharga tinggi macam itu hanya semudah membalikan telapak tangan.
“Yuto pasti akan senang sekali menerima ini…” Ryosuke memandang handband yang baru saja berpindah ke tangan Mirai dari penjaga kasir tersebut. Sempat terbayang, seandainya Mirai memberikan hadiah seperti ini untuknya. Tentunya ia akan sangaaaat senang, mungkin melebihi tensi kesenangan Yuto ketika menerima ini lusa nanti.
“Un!”Mirai mengangguk antusias. “Ah, Ryosuke. Aku mau pulang naik bus. Kitagawa-san ku suruh libur dulu hari ini.*ceritanya opa Jojon jadi supir gituu XD XD*. Kau mau ikut?” ajak Mirai. Ryosuke sedikit kebingungan, karena selama 18 tahun hidupnya ini, pemuda itu tidak pernah sekalipun naik bus. Melihat kendaraan besar segi empat itu saja jarang. Tapi karena yang mengajak ini adalah seorang Shida Mirai, gadis yang selama ini menjadi bunga-bunga mimpinya, Ryosuke langsung mengangguk setuju.
~0~0~0~
Yamada Ryosuke memang kebingungan. Wajahnya agak enggan menoleh—takut tergoda. Tapi mau tidak mau ditolehkan wajahnya menatap gadis yang tertidur cukup pulas di sampingnya dengan kepala bersandar manis dipundaknya itu.
“Mirai? Mirai..?” pemuda itu menepuk-nepuk bahu Mirai pelan. Tapi tetap saja, gadis itu enggan membuka mata. Ryosuke stress. Senang gadis pujaannya ini tertidur lelap di sampingnya tapi juga tidak enak karena gadis ini milik sahabat terdekatnya. Apalagi sekarang keduanya tinggal sendirian di bangku penumpang. Godaan bisa saja datang tanpa dicegah deshou?.
Gerakan Ryosuke akhirnya terhenti. Matanya menatap wajah Mirai lekat-lekat. Cantik. Sangat cantik. Terlalu cantik baginya. Apalagi dengan pose tertidur yang lugu itu. Ia ingin memiliki Mirai, sangat ingin. Dan entah darimana datangnya keinginan itu, Ryosuke lalu lepas kontrol. Pelan-pelan didekatkan wajahnya ke wajah Mirai lalu mengecup bibir gadis itu lembut.
“Daisuki na, Mirai-chan…” bisiknya setelah wajahnya ditarik menjauh. “seandainya saja kau bukan milik Yuto…“
Pemuda itu tidak sadar, tindakan beraninya barusan membuat Mirai bangun. Gadis itu kaget, namun tetap diam karena tidak ingin Ryosuke jadi merasa bersalah. Ia hanya mendengarkan, dan menyimpan semua sendiri. Sesuatu yang aneh bergejolak dalam hatinya.
Sekarang Mirai tahu, Ryosuke juga menyukainya.
~0~0~0~
Ting tong!
“Ryutaro, buka pintunyaaa!!” Umika berteriak dengan volume semaksimal mungkin, memanggil satu-satunya adik laki-laki yg dimilikinya untuk membuka pintu. Namun, beberapa menit berlalu, masih tidak ada respon. Gadis itu menggerut kesal.
“RYUUU!! AKU SEDANG BELAJAR NIH! TOLONG BUKAKAN—“
“NEE-CHAN!!” kata-kata Umika seketika terhenti ketika sang adik yang dipanggil tadi secara mistis muncul di depan pintu kamarnya yang terbuka dengan wajah super pucat—seperti dilapisi bedak 5 senti dan nafas ngosh-ngosan.
“Hee? Kau kenapa?!” Tanya gadis itu panic. Ryutaro menggeleng.
“Nee-Neechan.. I-itu di depan…”
“YO!” penampakan mistis terjadi lagi. Kali ini dari satu sosok manusia tampan yang tertampan dan yang paling tampan yang tiba-tiba sudah berada di belakang Ryutaro. Umika terbelalak. Kaget, bagaimana bisa manusia yang satu itu berdiri di depan kamarnya.
“YAMADA RYOSUKE?!” dan gadis itu menjerit histeris akhirnya. “Ke-kenapa kau bisa ada di sini?”
“Un! Aku cari alamatmu lewat data sekolah.” Jawab pemuda itu polos. Umika langsung menggeleng.
“Bukan itu! Maksudku apa yang kau lakukan disini?” tanyanya lagi. Ryosuke menunduk perlahan.
“Ne, Itu…ada yang ingin kubicarakan…” jawabnya pelan. Umika seketika menangkap maksud pemuda di depannya ini.
“Baiklah. Ayo masuk!” Umika mempersilahkan Ryosuke masuk ke kamarnya. Namun belum sempat Ryosuke melangkah, Ryutaro sudah menghentikannya dengan sebuah teriakan.
“Nee-chan!” teriaknya sambil memberi kakak perempuannya tatapan Apa-Yang-Mau-Kau-Lakukan-Hah?. Umika memincingkan matanya.
“Apa?”Tanya gadis itu tidak mengerti. Sang adik yang hanya lebih muda setahun darinya itu tidak menjawab. Tidak enak, soalnya si topic pembicaraan—yang saudara-saudara ketahui adalah seorang Yamada Ryosuke—saat ini sedang berdiri manis dan tenang disampingnya. Tidak mendapatkan reaksi dari Ryutaro membuat Umika kesal.
“Kau aneh ih, Ryuu!” serunya, lalu gantian memandang Ryosuke. “Masuklah Yamada. Anak itu mungkin terpesona melihatmu…”.
Ryosuke nyengir lebar, lalu dengan entengnya masuk ke dalam kamar Umika, menyisakan Ryuu yang hanya bisa ternganga menyaksikan pemandangan barusan. Pemuda 16 tahun itu makin panic.
“Demo, Nee-chan!!”
“Panggil aku kalau Tou-chan dan Kaa-chan pulang ya..” pesan umika asal sebelum akhirnya pintu di banting di depan Ryutaro. Pemuda itu mengacak rambut belakangnya frustrasi.
“Nee-chan baka! Cowok sama cewek kalo sendirian dalam kamar kan bahaya!” bisiknya khawatir. Sementara di dalam kamar sudah lain cerita. Ryosuke sudah menempati salah satu sisi tempat tidur Umika. Lalu gadis itu sendiri memilih kembali ke tempat duduknya semula , kursi di depan meja belajar. Hanya saja arahnya berlawanan, supaya dia bisa dengan sangat jelas melihat wajah Ryosuke.
“Jadi apa yang—“belum selesai Umika mengajukan pertanyaan, Ryosuke sudah memotongnya dengan pertanyaan lain yang membuat gadis itu ingin melemparinya dengan apapun yang bisa dijangkaunya.
“Kamarmu kecil sekali? Kau bisa hidup ditempat seperti ini?”
“Bukan urusanmu!” jawabnya kesal, membuat Ryosuke mau tidak mau tertawa ngakak.
“Gomen… aku cuma bicara jujur kok…” balas pemuda itu polos. Sekali lagi, Umika nyaris mengambil kamus bahasa inggris ratusan halaman yang sedang terparkir rapi di meja belajarnya dan melemparkannya ke wajah sempurna Ryosuke, kalau bisa sampai lebam-lebam.
‘orang ini!’ pikirnya. “Jadi ada apa dengan Shida? Kau kesini pasti ingin menceritakan seuatu tentangnya kan? Atau…tentang kalian?” Tanya Umika lagi setelah pertanyaan sebelumnya terpotong oleh Ryosuke. Pemuda 18 tahun itu langsung teringat tujuannya mengunjungi Umika. Ia butuh seseorang untuk mendengarkannya, seseorang yang bisa dipercaya. Dan seperti pertama kali melihatnya, ada keyakinan dalam diri Ryosuke kalau Umika adalah orang yang pantas untuk itu. Lagipula dari pengamatannya sendiri, dia tahu Umika bukan tipe gadis-gadis ember yang akan dengan mudahnya membocorkan apapun yang dia ketahui.
“tadi…” Ryosuke mulai bicara. “Aku…”
“hmm…?”
“tadi aku mencium Mirai…”
“ooh…APA?!” Umika sontak menjerit. Ryosuke langsung menutup kedua telinganya dengan tangan.
“Kawashima, suaramu bising sekali!”
“Aah, Gomen! Gomen! Uhm, jadi kau betul mencium Mirai?”. Ryosuke mengangguk.
“mencium…dengan bibir? Kissu?”Ryosuke kembali mengangguk.
“DENGAN BIBIR?!” Umika menjerit lagi, hanya saja kali ini sambil menyentuh kedua bibirnya. Ryosuke menggaruk-garuk kepalanya agak kesal.
“Iya ah! Memang kau tidak pernah ciuman sebelumnya?” Ryosuke setengah berteriak. Kesal juga dengan pertanyaan rada blo’on gadis didepannya ini. Umika sendiri langsung terdiam, secara kata-kata Ryosuke barusan menohok sekali. Melihat Umika langsung terdiam, Ryosuke lalu mengerti.
“Jadi…kau tidak pernah ciuman?”tanyanya spontan. Umika mengangguk perlahan.
“WAHAHAHAH! Umurmu berapa sekarang? 18 kan? Masa ciuman saja tidak per—“
“Aku masih 17 tahun! Lagipula ciuman itu harus dengan orang yang disukai. Memangnya kau? Baru ciuman sekali ini!” Umika balas meledek.
“Biar saja! Dari pada kau, tidak pernah ciuman..” Ryosuke membalas lagi, mengakibatkan pertengkaran level anak SD antara dia dan Umika bisa terus berlanjut kalau saja Umika tidak mengalah dan mengembalikan topic pembicaraan ke bahan diskusi mereka sebelumnya.
“Sudahlah Yamada! Kalau begini terus kita bisa saling jotos! Sekarang ceritakan lagi tentang ciuman itu. Bagaimana reaksi Mirai ketika kau menciumnya?”
Ryosuke terdiam. Wajahnya kembali serius.
“tidak ada. Aku menciumnya ketika dia tertidur di bahuku…”
“HEH?!” Umika berteriak histeris—lagi! Membuat Ryosuke melakukan tindakan yang sama seperti sebelumnya, menutup kedua telinga dengan tangan. “Itu penyerangan dong! Shida tidak meninjumu atau apa gitu?” sambungnya.
“Tidak. Kan dia tidur!” balas Ryosuke. Umika mengangguk mengerti.
“lalu bagaimana perasaanmu. Kau tahu—biasanya setelah ciuman, hatimu pasti merasakan sesuatu kan?” Umika bertanya lagi. Wajah Ryosuke sedikit memerah.
“Entahlah Kawashima. Tapi rasanya seperti…Mirai sudah jadi milikku…”
Umika kembali mengangguk. “Aku tidak begitu mengerti begaimana dengan perasaanmu, tapi berpura-puralah aku ini expert dalam hal begituan, jadi lebih mudah untukmu menceritakannya…^^” Umika tersenyum ramah. Ryosuke bisa melihat, senyuman gadis di depannya ini tulus. Pemuda itu balas tersenyum, senyuman lembut yang sama persis seperti sebelumnya. Dan entah kenapa seperti waktu itu juga, jantung Umika kembali berdetak kencang.
“Arigatou na, Umika…ehh, tak apa kan kalau aku memanggilmu Umika? Kau juga boleh panggil aku Ryosuke!” seru Ryosuke senang, tetapi seketika menyadari perubahan raut wajah umika. “Heh? Kau kenapa? Tidak suka kupanggil Umika?”
“Betsuni~” jawab Umika gugup. Ryosuke langsung tersenyum manis, lalu kemudian menepuk-nepuk pundaknya seperti kelelahan. Umika langsung menyadari seuatu.
“Kulihat dari tadi tadi kau menepuk-nepuk pundakmu terus. Sakit ya?” Ryosuke menggeleng.
“Tidak. Hanya saja tadi aku naik bus,makanya punggungku jadi sakit…”
“HA?! Naik bus saja punggungmu sakit?”
“Habis~itu kan pertama kalinya aku naik bus..” jawab Ryosuke polos.
“Heh?! Kau baru sekali naik bus? HAHAHA, umurmu berapa sekarang? 18 kan? Aku yang setiap hari pulang-pergi naik bus saja tidak kenapa-kenapa kok!” seru Umika memplagiat kalimat ejekan Ryosuke sebelumnya. Ryosuke otomatis tertawa ngakak mendengar bagaimana gadis ini menirunya. “Ehm, punggungmu sakit kan? Biar ku pijat deh!” lanjut Umika lalu berjalan menjangkau lemari dan mengambil kotak P3K yang terparkir aman disana. Ryosuke sedikit heran melihat gadis itu mulai mengeluarkan sebuah botol asing berukuran mini berisi cairan agak bening di dalamnya.
“Apa itu?” tanyanya kemudian.
“Ini minyak gosok. Kau mau dipijat tidak?” jawab umika sembari berusaha membuka botol mini yang ternyata lumayan sulit dilepas tutupnya itu.
“Pijat?!” Tanya Ryosuke lagi, masih dengan wajah keheranan.
“Iya, pijat. Sekarang buka bajumu!”
Chapter 3 end~ continue to chapter 4
Label:
chinen Yuri,
daiki arioka,
fanfiction,
genre: romance,
ohgo suzuka,
Shida MIrai,
takaki yuya,
Tsugunaga Momoko,
umika kawashima,
Yamada Ryosuke,
Yuto Nakajima
Rabu, 13 Juli 2011
[fic/On Writting] : The Dream Lovers-chapter 2
CHAPTER 2
“tadi itu hebat sekali!”
Gerakan tangan Umika dan Suzuka yang sedang berusaha membuka kotak bento masing-masing seketika terhenti. Bola mata mereka menatap Momoko heran.
“hebat?” Umika mengulangi perkataan sahabatnya barusan. Momoko mengangguk antusias.
“Iya hebat! Lihat tadi bagaimana Chinen-kun memanggil Ohgo-chan, lalu Yamada-sama yang mengiyakan saja tempat duduk disebelahnya terisi olehmu, padahal kau murid baru. Itu WOW sekali kan?”
Umika dan suzuka masih saja menatap heran. Apanya yang WOW dengan duduk di samping Chinen dan Yamada? Paling hanya karena salah satunya putra actor TOP dan yang lain pewaris tunggal konglomerat terkenal kan? memang aneh?
Seolah mengerti wajah penuh tanda Tanya kedua temannya itu, Momoko lanjut bicara,
“Aah! Aku lupa, kalian tidak tahu sejarah tempat duduk Chinen-Yamada kan?”
Kedua manusia yang ditanya sontak mengangguk.
“kalau begitu biar kuceritakan. Begini~”
- 5 minutes later -
“~nah, begitu…”
“ooh…!” Umika dan suzuka menggumamkan kata tiga huruf tersebut nyaris sama bunyinya. Tetapi Umika masih mau melanjutkan.
“Kejam ih! Si Yamada itu, Padahal hanya semeja. Mentang-mentang orangtuanya pemilik sekolah!” Serunya agak kesal. “Memang mereka semua pada begitu ya?!”
“Tidak juga! Hanya Yamada-sama dan Chinen-kun saja. Nakajima-kun semeja dengan Shida-san, lalu Daichan—“ Momoko langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Keceplosan! Gejalanya lalu sama seperti tadi pagi saat membicarakan Daiki. Wajahnya merah dan gerak geriknya juga aneh. Umika dan Suzuka langsung tersadar dengan pengucapan aneh tak sengaja Momoko barusan.
“Daichan? HA! Benar juga! Katanya The Dream Lovers tidak duduk dengan sembarang orang, tapi kenapa kau bisa semeja dengan Arioka? Lalu panggilan Daichan? Pasti ada sesuatu kan? Iya kan? Ayo katakan! Ayo!” Umika menggebrak meja sembari menyerang Momoko dengan berbagai macam pertanyaan. Gadis itu jadi salah tingkah.
“Aku—itu…”
“Tsugunaga pacaran dengan Arioka.” Suara suzuka lalu terdengar, diikuti guliran bola matanya yang sudah menatap intens momoko sekarang. “Iya kan?”
“EEEH?!” Umika dan Momoko sama-sama berteriak.
“Ti-tidak kok! A-aku…”
“Hmm?”
Momoko menyerah. Tatapan intens plus penasaran Suzuka-Umika akhirnya merubuhnkan pertahanannya. Sekarang gantian dia tersenyum malu-malu.
“baiklah, aku memang sedang pacaran dengan Daichan. Tapi ini rahasia, mengerti?!”.
Wajah Umika berbinar-binar mendengar pernyataan sahabatnya barusan.
“WAA~ selamat ya! Arioka itu orang yang keren! Kau beruntung sekali mendapatkannya!!” serunya senang. Momoko tetap tersenyum malu-malu.
“Aku setuju dengan Kawashima.” Sambung Suzuka. “Sudah berapa lama kalian dating?”
Momoko berpikir sejenak. “Sudah sebulan lebih. Daichan menyatakannya hari valentine lalu…”
“WAA~ manis sekali! Hari valentine!!” Umika kembali berseru nyaring.
“Umika hentikan!” Momoko menggeplak kepala Umika pelan. “nanti yang lain bisa tahu!!”
“Hehehe, gomen!” gadis yang kepalanya ter-geplak itu hanya bisa terkekeh sambil mengelus organ tubuhnya yang mengalami penganiayaan barusan.
“Memang kenapa kalau orang lain tahu? Arioka tidak mau?” Tanya Suzuka lagi. Momoko menggeleng.
“bukan begitu. Kami sama-sama sepakat untuk tidak—“
“WAA~”
“Umika! Aku kan belum selesai ngomong!”
“Bukan aku!!”
“eeh? Lalu?!”
“WAA~MEREKA DATANG! DATANG!” puluhan gadis berteriak histeris menunjuk-nunjuk siluet 5 manusia yang sedang melangkah datang. Mata-mata milik Umika, Suzuka, dan Momoko langsung mengikuti arah pandang gadis-gadis histeris tersebut. Dan ketika sosok kelima manusia itu kelihatan jelas—seperti yang saudara-saudara duga,, Mereka The Dream Lovers plus Mirai—, Umika langsung memutar bola matanya malas diikuti Suzuka lalu Momoko yang sebelumnya sempat mencuri-curi pandang ke arah Daiki. Umika langsung teringat sesuatu.
“Ngomong-ngomong Si Yamada Ryosuke itu menyukai Shida Mirai ya?” pertanyaan yang terlontar tiba-tiba dari Umika tersebut menghentikan gerakan tangan momoko menyuapkan sepotong sosis bentuk gurita kedalam mulutnya.
“Tidak ah! Shida-san kan pacaran dengan nakajima-kun. Lagipula Yamada-sama dan Nakajima-kun itu sudah seperti saudara.”
“iya sih. Tapi kan—“
“Ehm, Kawashima-san?’ Satu suara agak asing menghentikan gerakan bibir Umika berujar. Penasaran juga melihat ekspresi wajah suzuka yang nampak kaget dan Momoko yang sudah gelagapan. Pelan-pelan, ditolehkan kepalanya ke belakang, tempat pemilik suara itu berdiri. Matanya sedikit menyipit melihat penampakan di depannya.
“Yamada-kun?”
“Bisa ikut aku sebentar?” Ujar pemuda itu lalu berbalik dan melangkah pergi. Umika terpaksa mengikutinya, sementara Momoko hanya bisa celangapan menyaksikan pemandangan barusan. Tapi keajaiban tidak sampai di situ saja. Chinen Yuri yang entah dari mana asalnya tiba-tiba saja sudah duduk manis di sebelah Suzuka.
“Hai! Boleh duduk disini kan?”
~0~0~0~
“kau mau apa?” Seru umika cepat ketika ia dan Ryosuke sudah tidak lagi dibanjiri tatapan manusia lain. Sekarang keduanya sendirian di taman belakang sekolah. Gadis itu menunggu, kira-kira ada gerangan apa putra pemilik horikoshi gakuen ini sampai memintannya meninggalkan makan siang dan mengikutinya untuk bicar secara personal.
Ryosuke sendiri terlihat ragu-ragu bicara.
“yang tadi itu… cukup kita berdua yang tahu ya…” pemuda itu bersuara pelan. Umika seketika mengerti, mengapa mereka harus bicara sepribadi ini.
“jadi benar? Kau menyukai Shida-san?”
Ryosuke mengangguk.
“Kenapa? Dia pacar Nakajima-kun kan?”
“Aku tahu!” Ryosuke membentak, membuat umika refleks mundur beberapa langkah kaget dengan reaksi pemuda yang lebih tinggi beberapa senti darinya tersebut. Melihat Umika yang sepertinya agak ketakutan, wajah Ryosuke langsung berubah menyesal.
“gomen…”ujarnya pelan. “aku tahu betul, Mirai milik Yuto sekarang. Hanya saja, sulit melupakannya…”. Umika tertegun. Otaknya masih dipenuhi jutaan pertanyaan. Dia masih ingin tahu. Namun, baru saja dia ingin melontarkan kata Tanya berikut, Ryosuke sudah lebih duluan bicara. “Aku menyukainya sejak kecil. Mirai-chan yang ada disampingku ketika kaa-chan meninggal… dia yang menggantikan tempat kaa-chan, menjagaku. Bahkan ketika Tou-san tidak lagi mengacuhkanku, dia yang selalu ada menghiburku…”
Umika mengangguk. Pelan-pelan, diajaknya Ryosuke duduk di sebuah bangku agak panjang di dekat mereka. Pemuda itu ikut. Setelah duduk, dia melanjutkan ceritanya.
“Sejak kaa-chan meninggal 10 tahun lalu, Tou-san jadi tidak peduli padaku. Akulah penyebab kematian kaa-chan. Semula aku sedih Tou-san memperlakukanku seperti itu. Tapi setelah tahu kalau kaa-chan meninggal karena melindungiku dalam kecelakaan mobil, aku merasa wajar saja Tou-san menyalahkanku atas semuanya—“
“Tunggu Yamada-kun! Maaf kalau aku menyela. Tapi ayahmu menyalahkanmu atas kecelakaan itu ketika kau berumur 8 tahun, iya kan? Ayah macam apa itu?! Padahal kau masih kecil begitu!” Sela Umika kesal dengan sosok ayah dalam cerita Ryosuke barusan. Wajah Ryosuke sendiri bertambah sedih.
“Tidak. Tou-san tidak salah. Semuanya karena aku. Kalau saja kaa-chan tidak melindungiku, pasti dia masih hidup. Dan tou-san, dia tidak akan frustrasi berkepanjangan seperti ini—“
“Bukan! Kau salah Yamada!” Umika memotong cepat. Ryosuke langsung tersentak. Seumur-umur belum pernah ada orang yang berani memotong kata-katanya. Ayahnya pun tidak. Tapi perempuan yang satu ini, kok?. Umika sendiri tidak mau ambil pusing dengan reaksi Ryosuke barusan. Yang penting sekarang, bagaimana mengubah presepsi pemuda malang di sampingnya ini tentang kepergian ibundanya.
“Dengarkan aku!” Ibumu memilih mati untuk melindungimu karena dia tahu, dalam keluarga kalian, kaulah yang paling berharga. Coba kau bayangkan, kalau kau yang tewas, bukan ibumu? Apa kau bisa jamin ayahmu tidak akan melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan sekarang, atau bahkan lebih buruk? Semua ini takdir Yamada. Kami-sama sudah menggariskan semua seperti ini…” Umika mengakhiri nasehatnya.
“Aku mengerti Kawashima. Hanya saja—mungkin hubunganku dan Tou-san memang harus seperti ini. Kami memang tidak pernah akur…” Ryosuke masih saja kukuh dengan presepsinya. Umika hanya menarik nafas panjang.
“terserah! Tapi lihat saja! Kalau nanti aku bertemu ayahmu, akan kubuat dia bertekuk lutut dan minta maaf padamu!” Serunya berapi api. Ryosuke langsung tertawa ngakak.
“HAHAHAHAHA! Kau lucu Kawashima! Kau tahu siapa ayahku kan? Dia itu Yamada Tsukasa. Bicara dngannya saja kau belum tentu cukup kuat…”
“HAAAH! Aku tidak peduli! Selagi ayahmu masih manusia, aku tidak takut! Toh aku membela yang benar! Tapi, lain cerita ya kalau ayahmu itu semacam hantu atau alien. Dia baru menunjukan wajahnya saja, mungkin aku sudah di Osaka…”Balas Umika sedikit bercanda. Ryosuke tertawa lagi, namun tidak se-ngakak tadi.
“Arigatou ne, Kawashima. Kau satu-satunya orang yang bisa kupercaya untuk ini…” Ryosuke tersenyum lembut, senyum yang pertama kali ditunjukannya kepada orang lain diluar lingkaran The Dream Lovers. Dan entah kenapa tiba-tiba saja jantung Umika berdetak lebih kencang. Gadis itu hanya bisa balas tersenyum—gugup, sambil sesekali merasakan perubahan detak jantungnya yang tambah cepat tersebut.
“kenapa lagi ini…?” batinnya.
Chapter 2 end— continue to chapter 3
Langganan:
Postingan (Atom)