Rabu, 30 November 2011

HAPPY BIRTHDAY 18th CHINEN YURI !!

CHINEN_CHAN!!!!
OTANJOUBI OMEDETOU NE~
semoga kamu makin cakep, tinggi, keren, pintar, dan sukses dalam karirmu sebagai bintang^^

Daisuki<3

--------


the no.3 pic is me~ wahahaha XD

Sabtu, 26 November 2011

Bagaimana Caranya Menerbitkan Naskah di Gramedia Pustaka Utama? - Gramedia Penerbit Buku Utama

Bagaimana Caranya Menerbitkan Naskah di Gramedia Pustaka Utama? - Gramedia Penerbit Buku Utama

[fic] : The Dream Lovers 2 - second chance -chp.4



CHAPTER 4
- Living at the day without you -


Saturday, February 4, 2012
From: Nakajima Yuto (Nakayan@yahoo.co.jp)
To: Yamada Ryosuke (Ryosuke_Yamada@yahoo.co.jp)
Subject: [none]

Gomen Ryosuke…
Tim pencari belum juga menemukan Umika.
Dan.., mereka sudah memutuskan untuk menghentikan pencarian.
Ini sudah nyaris seminggu, mereka sama sekali tidak menemukan petunjuk apapun.
Gomen..,

Ryosuke meleparkan keitainya marah setelah membaca e-mail dari Yuto. Benda segi empat flip itu seketika terbanting keras ke tanah. Tidak terjadi apa-apa, benda itu masih diam saja sementara Ryosuke sudah mulai mengeluarkan tetesan-tetesan bening lewat kedua matanya.

“Brengsek..” Umpatnya pelan, tak kuasa menahan sesak berlebih di dadanya. Pemuda itu duduk diam di lantai kamar dengan punggungnya bersandar pada tembok. Salah satu lututnya diangkat untuk memangku tangan kanannya sementara yang satunya biarkan tertidur. Disampingnya, satu album foto berwarna merah tua tengah terbuka satu halamannya, menampakan selembar foto manis dirinya bersama seseorang.
Perlahan, Ryosuke mengangkat album itu, hanya untuk kembali melihat—entah untuk yang keberapa kalinya gadis manis dengan senyuman yang terpajang disana. Pemuda itu masih ingat jelas hari dimana foto itu diambil. Bagaimana Umika bisa muncul tiba-tiba dengan kamera ditangannya dan seruan ‘Hai! Senyum!’. Bagaimana Umika begitu bersikeras meminta ijinnya untuk pergi—

Seharusnya dia tahu. Seharusnya dia tidak pernah membiarkan gadis itu pergi, karena pada akhirnya dia sama sekali tidak kembali.

“Begini saja! Kalau kau ijinkan aku pergi, sepulang nanti aku akan memberimu hadiah! Iya! Apa saja yang kau minta! Ne?...”

“Bagaimana kalau aku memintamu untuk kembali…?” setengah berbisik, Ryosuke bertanya pada selembar foto didepannya. Tidak ada jawaban. Baik foto didepannya maupun dirinya sendiri tak mampu menjawab. Ryosuke meringis perih. Perih karena harus menerima fakta bahwa Umika memang telah meninggalkannya...dan kali ini untuk selamanya.

“Umichan…” tetesan-tetesan bening itu kembali mengaliri pipinya.

* * * * * * * *

Yuto menutup flip keitainya dengan sekali katupan. Dadanya sesak. Ada setitik rasa bersalah dalam dirinya karena harus menyampaikan kabar terburuk bagi Ryosuke. Pencarian terhadap Umika dihentikan karena sudah nyaris seminggu tidak ada tanda-tanda dimana keberadaan gadis itu. Kedua orang tua gadis itu sudah dimakamkan 3 hari yang lalu, dan Ryuu kini pindah ke Kyuushu karena tidak lagi memiliki kerabat di Tokyo. Sejak saat itu, kebahagiaan seolah menghilang dalam lingkaran persahabatan mereka. Umika pergi dengan hanya menyisakan kenangan yang akan menghujam perih setiap mereka yang berusaha mengingatnya. Baik dirinya, Mirai, yang lainnya, dan tentu saja Ryosuke.

“Yuto..”Seseorang tiba-tiba memeluknya dari belakang sembari menyandarkan kepalanya di punggung pemuda itu. Yuto seketika mengenali siapa yang berada di belakangnya saat ini.
“…Ryosuke..bagaimana dengannya?”

Dengan masih merasakan kesesakan yang sama, Yuto berbalik lalu mengelus puncak kepala eksistensi yang memeluknya tadi, lembut.

“Entahlah Mirai-chan…Ryosuke…, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuknya. Dia masih tidak bisa menerima hal ini..”

Mirai—eksistensi tadi menggigit bibir bawahnya. “aku tidak percaya Umika benar-benar sudah pergi...” isakannya mulai terdengar. “Seharusnya waktu itu kita tidak membiarkannya pergi, ya kan? Kalau saja Umika tidak pergi dengan bus itu, semuanya tidak akan jadi seperti ini…”

“Ssh…Mirai, sudahlah. Tidak ada pihak yang bisa disalahkan atas kejadian ini. Semuanya murni kecelakaan, ini sudah takdir. Kalaupun sebelumnya kita tahu, kita tetap tidak bisa melakukan apa-apa..”

Mirai mengangguk mengerti meskipun rasa sakitnya tidak sama sekali reda oleh kalimat peneguhan Yuto barusan. Gadis itu merindukan Umika, merindukan saat-saat yang dilewatinya bersama kekasih Ryosuke tersebut selama 3 bulan terakhir mereka bersahabat dekat. Umika adalah sahabat yang berharga. Dan kehilangan sahabat yang berharga adalah pukulan besar bagi Mirai, juga Momoko dan Suzuka. Meskipun gadis itu kini—mungkin saja—telah tiada, namun kenangan itu masih berbekas. Masih menunggu waktunya untuk lenyap sebagaimana gadis itu pergi menyisakannya.

* * * * * * * *

“gomenasai…”

“Ehh..?”

“Sayonara Ryosuke…”

“UMIKA!!” Ryosuke bangkit, tersentak kaget dengan teriakannya sendiri. Keringat dingin mengucur deras melewati pelipisnya, nafasnya berderu cepat. Pikirannya berkecamuk memikirkan imaji apa yang tadi baru saja terlintas dalam benak lelapnya.
Mimpi yang mengerikan, potongan dari mimpi pertamanya sebelum Umika menghilang. Kenapa kembali terulang? Apakah ini adalah petanda lain kalau Umika memang benar-benar telah mengucapkan sayonara padanya? Apa Umika telah…mati?

Satu kalimat tanya itu menyayat hati Ryosuke seketika. Rasa perih dan sesak kembali muncul, entah untuk yang keberapa kalinya. Ryosuke mencengkram dada kirinya, mencoba mencapai rasa sakit itu dan menghancurkannya. Namun tidak bisa. Rasa itu malah makin menusuknya dalam, memberi luka menganga pada hatinya yang masih diliputi kepedihan mendalam.


“Umika baka…sudah kubilang jangan pergi..” tidak ada cara lain selain melampiaskannya pada seseorang. Dan Umika hanya salah satu yang dijadikan pelampiasan sakit hatinya selain dirinya sendiri.

“Seharusnya kau tidak pergi, kau tahu? Seharusnya kita ada di paris hari ini..” Ryosuke meringis. “seharusnya aku bisa menjagamu…seharusnya aku tidak membiarkanmu pergi…”

“gomenasai…”

“Kau melanggar janjimu, Umika. kau tidak kembali…” pemuda itu masih berbisik.
Ryosuke mengangkat tangannya menutupi setengah wajahnya. Air matanya sudah mengalir dan dia pasti akan terisak sedetik berikutnya. Pemuda itu menekan setiap suara yang keluar dari mulutnya, khawatir suara yang ditimbulkannya itu bisa membangunkan siapapun diluar. Namun tetap saja, jeritan tertahannya beberapa menit lalu sudah sukses membuat seseorang beranjak dari kamarnya untuk menemuinya.

“Ryochan…” Yamada Tsukasa masuk begitu saja karena sejak tadi kamar Ryosuke sama sekali tidak terkunci. Perlahan, ditutupnya pintu kamar lalu didekatinya putranya yang sedang kesulitan mengatur isakan tangisnya tersebut. Perih ikut menghujamnya. Sudah kerap kali pria itu menemukan putra satu-satunya menangis pelan bahkan terisak keras sejak kecelakaan seminggu lalu. Tidak dipungkiri, Ryosuke melakukan hal yang sama persis dengan yang dilakukannya ketika ditinggalkan istri tercintanya 11 tahun silam. Tsukasa mengerti betul perasaan putranya, lebih dari siapapun. Rasa sakit yang mengerikan, membuatnya nyaris bunuh diri waktu itu kalau saja tidak ada Ryosuke yang menjadi tanggung jawabnya. Dan kali ini, Ia tidak mau sedikitpun terlintas pikiran macam itu dalam benak Ryosuke, karena bagaimanapun putranya itu masih memiliki banyak sekali orang yang mencintai dan membutuhkannya, termasuk Tsukasa sendiri.

Ryosuke mendongak, mendapati sosok yang mendekatinya kali ini adalah ayahnya sendiri. Segera, dihapusnya beberapa tetes air mata yang mengaliri pipinya barusan.

“Touchan..” pemuda itu paksa tersenyum. “Aah..gomen ne, aku membangunkanmu. Sudah begitu, kau harus melihatku sekacau ini…”

Tsukasa tersenyum lambut, lalu ikut duduk di tepi ranjang Ryosuke. “daijoubu… Touchan tahu perasaanmu. Kita senasib na..”

Ryosuke tersenyum miris lalu bergeser sedikit untuk memberikan ayahnya tempat. Pikirannya melayang mencerna kata-kata Tsukasa barusan. Memang benar, keduanya mengalami nasib yang sama. Kehilangan orang yang dicintai karena kecelakaan yang mengerikan. Selang beberapa detik dalam diam, pemuda itu kembali membuka suara.

“Touchan..”

“Hmm?”

“Aku tidak yakin Umika sudah meninggal.”

Tsukasa diam sejenak sebelum kemudian menjawab hati-hati. “wakatta… demo Ryosuke, terkadang perasaan cinta yang sedemikian besar terhadap seseorang bisa menutup segala indramu terhadap apapun kemungkinan terburuk yang menimpanya. Karena kau mencintai Umika, pikiranmu seolah menolak kepergiannya. Itulah yang membuatmu merasa Umika masih hidup. Kau kau belum rela melepaskannya…”

“Tidak, Touchan. Aku yakin. Meskipun kecil, pasti ada kemungkinan bagi Umika untuk selamat.”

“kau sudah lihat lokasi kecelakaan itu kan?” Wajah Tsukasa mulai serius. “apa menurutmu gadis seperti Umika bisa selamat jika terjatuh ke jurang securam itu. Apalagi dengan ombak yang ganas dibawah. Mustahil Ryosuke…, bahkan jika aku atau atau kau yang jatuh kedalam pun, kita tidak akan mungkin selamat..”

“Demo, Aku—“

“kau hanya perlu merelakannya. Kau hanya harus menerimanya Ryosuke, itu saja. Tidak ada cara lain. Kau harus tetap berdamai dengan hatimu dan menjalani hidupmu kedepan tanpa bayang-bayang rasa bersalah ataupun kata seandainya atau seharusnya yang hanya akan menuntunmu ke kepedihan ketika kehilangan orang yang kau cintai. Kau hanya menyakiti dirimu sendiri, Ryosuke. Dan ketahuilah, dimanapun Umika berada saat ini, dia akan ikut merasa sedih jika melihatmu seperti ini. Kau bukan hanya menyakiti dirimu sendiri, tapi juga Umika dan yang lainnya..”

Ryosuke termenung. Nasihat panjang ayahnya serasa tak mengganggunya sama sekali. Keyakinan kecil bahwa Umika masih hidup itu terus membara di dadanya, seolah tak mau padam meskipun dengan siraman teduh nasihat dan argumen dari ayahnya. Mungkin memang benar, keyakinan itu hanya tercipta dari rasa cintanya yang terlampau besar terhadap Umika dan ketidakrelaannya ditinggal pergi gadis itu. Tapi tetap saja, berbagai kabar bahkan bukti bahwa Umika telah benar-benar lenyap dari dunia ini sama sekali tidak bisa diterimanya.

Ryosuke paksa tersenyum. “arigatou..”

Tsukasa bisa membaca penolakan terhadap nasihatnya barusan dari mata Ryosuke sekeras apapun pemuda itu menyembunyikannya. Namun pria itu memustukan untuk membiarkan putranya itu tenang dulu. Seperti dirinya yang butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa melupakan Tsukushi, akan ada waktunya sampai Ryosuke bisa menerima sepenuhnya semua yang terjadi.
Dan tindakan Tsukasa selanjutnya membuat Ryosuke terbelalak. Kaget akut melihat ayahnya itu tiba-tiba saja sudah mengambil posisi berbaring disampingnya.

“Tou-chan, ngapain…?” refleks, pemuda itu memberi respon.

“Betsuni. Aku cuma mau bobo bareng putra kesayanganku. Kenapa? Ada masalah?” jawabnya sekaligus bertanya—sok egois. Ryosuke menaikan sebelah alisnya.

“Hah?”

“Oyasumi, Ryochan~” Pria itu menutup matanya, dan mengambil posisi tidur senyaman mungkin. Ryosuke masih ternganga.

“EHH?!”


* * * * * * * *

“Oi, Ryosuke. Kenapa? Kusut amat tuh muka?” Daiki berjalan mendekat sembari menggenggam sekaleng diet pepsi di tangannya. Ryosuke bergeser dari posisi duduknya, memberi sedikit tempat bagi penguin satu itu untuk ikut duduk bersamanya. Di bangku depan mereka ada Yuto dan Chinen. Sepertia biasa, acara nongkrong bareng TDL. Hanya saja kali ini keempatnya tidak menyantroni rumah salah satu dari mereka tetapi memilih sebuah taman yang santer ditongkrongi kaum seumuran mereka. 

“Tou-sannya eror, sudah semingguan ini tidur bareng dia terus..” Chinen yang menjawab mewakili Ryosuke yang enggan-engganan bicara karena aura kesal lebih mendominasinya dibanding harus menjawab pertanyaan salah satu sahabatnya barusan. Daiki mengangguk sambil tersenyum, sementara Yuto cekikikan. Melihat reaksi 3 manusia yang bersamanya saat itu seolah mengejeknya, Ryosuke memajukan bibirnya beberapa senti, makin cemberut.

Sedetik, Daiki, Yuto dan Chinen saling menatap penuh arti. Mereka tahu, tindakan Yamada Tsukasa yang rada memalukan itu adalah sebagai salah satu cara membuat Ryosuke menghilangkan kesedihannya. 2 minggu nyaris berlalu sejak kecelakaan naas itu menimpa Umika, dan sampai saat ini, terkadang mereka masih menemukan wajah sendu Ryosuke terpampang jelas, sekeras apapun pemuda itu menyembunyikannya. Namun rencana gila seorang kepala keluarga Yamada ini, mungkin pelan-pelan bisa megembalikan senyuman Ryosuke yang dulu, meskipun akibatnya Ryosuke lebih sering berwajah kesal karena ulah ayahnya.

“Orang tua itu, apa sih yang dipikirkannya? Dikira aku anak kecil apa?” Akhirnya Ryosuke ikut bersuara, mendumbel. Ketiga manusia yang mengelilinginya nyengir kuda, lucu melihat Ryosuke mengutuk tingkah kekanakan ayahnya barusan.

“Sudahlah Ryosuke. Tsukasa Oji-san mungkin cuma mau nostalgia..” Yuto menebak-nebak. Ryosuke mendengus.

“Nostalgian apaan? Gila kali nostalgianya tidur bareng aku..”

“Siapa yang tidur bareng kamu?” seseorang tiba-tiba menyusup kedalam pembicaraan penuh cengiran 4 eksistensi barusan. Seorang gadis manis dengan tinggi 160 sentian sudah berdiri keheranan disebelah Chinen.

“Loh, Suzu? Kok bisa ada disini?” Daiki yang duluan bereaksi atas kemunculan Ohgo Suzuka yang tiba-tiba tersebut. Mendengar nama pujaan hatinya disebut, Chinen sontak menoleh ke sampinng. Wajahnya langsung sumringah menemukan kekasihnya tercinta tengah berdiri di sampingnya.

“SUZUCHAAAN~” Pemuda itu berseru senang sambil bersiap memeluk gadis di sampingnya mesra. Namun, boro-boro meluk! Yang ada kepala Chinen ditoyor sang gadis menjauhi tubuhnya yang masih berdiri konstan. 

“Tadi aku habis nganterin dokumen ayahku. Kelupaan. Kalian sendiri ngapain? Terus siapa tadi yang katanya tidur bareng Ryosuke?” Suzuka menjawab sekaligus kembali ke topik pertanyaannya sebelumnya.
Yuto baru saja ingin menjawab namun sesegera mungkin disela Chinen dengan 2 kata manis bermakna.

“duduk dulu~”

Suzuka mengamati panorama di depannya. “Mau duduk dimana?” tanya gadis itu cepat melihat tak ada tempat baginya untuk menyusup masuk. Ya, biar dikata itu bangku dan biasanya bangku bisa diduduki bertiga*emang bajaj?*, namun karena postur keempat pemuda tampan itu rada sixpack—kecuali Yuto yang agak kurus sedikit *A/N: nyeret Yuto ke Gym* jelas saja tidak memungkinkan gadis itu untuk duduk seperti halnya mereka.

Mendengar pertanyaan Suzuka, Chinen langsung tersenyum manis.

“sini?”

Sini? Suzuka berpikir, meneliti, nampaknya tidak ada tempat lagi deh baginya untuk ikutan duduk. Terus, di sini dimana—Ouh! Suzuka tahu sekarang apa yang pemuda mini itu maksud dengan ‘sini’.
Chinen menepuk-nepuk kedua pahanya, memberi kode nonverbal untuk gadis itu agar memfungsikan 2 anggota tubunya tersebut sebagai kursinya yang baru.
Sedetik Suzuka terdiam.

HAP!

Dengan gerakan tiba-tiba, Suzuka melompat kecil ke pangkuan Chinen dengan posisi tubuh membelakangi pemuda itu. Untuk menjaga agar gadis dalam pangkuannya tidak jatuh, Chinen lalu memeluk pinggangnya erat. Tak lupa, gadis itu mengoyang-goyangkan kakinya, memberi efek WOW bagi ketiga pemuda diepannya.

Ryosuke, Yuto dan Daiki ternganga.

“Kok, mereka kayak ayah sama anak ya?” Daiki berbisik sepelan mungkin di telinga Ryosuke. Pemuda yang beberapa menit lalu masih diliputi aura kesal itu seketika berubah atmosfer menjadi kaget luar biasa. Apalagi setelah Suzuka sesukanya mulai menyedot cola dingin dalam gelas milik Chinen di depannya. Kok beneran kayak ayah dan anak ya?

Ryosuke mengangguk. “ayah-anak yang sama besarnya…”

Sementara Ryosuke dan Daiki tengah berbisik, Yuto yang duduk di samping Chinen hanya bisa mangap.

Sejak kapan the Lady of coolness Ohgo Suzuka bisa bertingkah kekanakan begini?

Tidak ada yang menjawab.*A/N:jelas lah. Yuto nanyanya aja dalam hati!*

Terlepas dari atmosfer kekesalan dan empati yang tadi terjalin antara kelompok tersebut yang segera berganti dengan atmosfer bahagia plus keheranan akibat kemunculan sesosok Ohgo Suzuka, keadaan lalu berubah kembali normal dengan satu pertanyaan interogasi yang terluncur dari sisi-sisi bibir gadis itu.

“Ne, Ryosuke. Yang tadi itu, siapa yang tidur bareng kamu?”

Ryosuke menyedot colanya yang tinggal setengah, lalu menjawab asal. “Orang yang menyebalkan..”

“Chinen?” tebak Suzuka seolah oknum yang disinggungnya tidak berada bersama mereka saat itu. Chinen yang memangkunya langsung cemberut, tidak begitu senang mendengar tebakan Suzuka itu. Pacar sendiri kok digituin.

Ryosuke sendiri tertawa kecil sebelum menjawab. “Chii memang menyebalkan juga, tapi bukan dia orangnya.”

Chinen melempari Ryosuke dengan koin 500 yen di atas meja didepannya. Pemuda itu tertawa makin keras.

“Becandamu nggak lucu ah!”

“gomen~” Ryosuke mengatupkan tangannya. Sedetik kemudian bola matanya digulir sedikit ke kiri untuk menatap kedua mata indah Suzuka. “Ayahku. Lagi stress kali..”

“Kau tidur bareng ayahmu?!” Nada pertanyaan Suzuka sedikit menanjak, menunjukan kekagetannya. Tentu saja kaget. Jaman sekarang ini, pemuda 18 tahun masih tidur bareng orang tuanya—terlebih ayahnya, bukankah itu agak aneh.

Menyimak ada perbedaan nada dalam kalimat tanya Suzuka barusan, Ryosuke langsung meluruskan.
“Bukan keinginanku, okay?. Ayahku saja yang entah kesambat apa pengen tidur bareng aku.” Jelasnya. Seperti yang diketahui, Suzuka kan otak detektif. Jadi mungkin saja jawaban singkatnya itu akan memunculkan banyak argumen gadis itu terhadap kasus yang terjadi padanya tersebut.

Suzuka manggut-manggut. “Ayahmu memberimu alasan kenapa tiba-tiba dia gabung dikamarmu begitu?”

He gives me a simple one.” Ryosuke memangku dagunya. “Katanya dia cuma pengen tidur bareng aku..“

Weird.” Suzuka ikut memangku dagu.

Tanpa mereka sadari, 3 eksistensi lelaki lain memandangi mereka heran.

“Kok kita udah berasa di kantor polisi ya?” Yuto berbisik pelan pada Chinen sehingga Suzuka tidak mendengar kata-katanya. Pemuda itu hanya tersenyum lemah.

“Ryosuke ngaktiffin ‘sakelar detektif’nya Suzuchan sih..”

Yuto mengernyit. “Sakelar apaan?”

“Sakelar detektif.” Chinen mengulangi sepasang kalimat tersebut. “You know Suzuka… when she finds out something unusual happen, she will try to solve that with her magical argument, right?”

Yuto mengangguk.

“dan Suzuka menganggap masalah ‘tidur bareng ayah itu’ unusual. Menurutku, Sekarang Suzu pasti lagi berusaha menemukan alasan kenapa Tsukasa oji-san bisa eror begitu.”

right..” Yuto kembali mengangguk setuju.

“THAT’S IT!” gerak anggukan kepala Yuto seketika terhenti karena satu seruan berbahasa inggris terdengar dari sosok terpangku disampingnya. Dari siapa lagi kalau bukan dari satu-satunya eksistensi yang duduk beralaskan eksistensi lain, Ohgo Suzuka.  

“Apaan?” Daiki bertanya, tidak ngeh dengan kata ‘THAT’S IT’ yang tiba-tiba tersebut. Suzuka menatapnya sebentar lalu berpindah ke Ryosuke.

“Tentang kenapa ayahmu tiba-tiba menemanimu tidur, aku tahu kenapa.”

“Kenapa?” Ryosuke agak penasaran. Suzuka tersenyum simpul sebelum menjawab.

“Ayahmu menjagamu, demi Umika.”

To Be Continued

------------------------------------------------------------------------------------------------------------ 


note: covernya baru jadi tuh...hehehe XD

Kamis, 24 November 2011

When it comes to you, I'll definitely say 'Love is suck!'

based on the title above....why do i say that?    

well, since i had a crush on that DAMN reiki, i always felt hurts.
reiki is never never ever be the one i expected. his attitude, it always makes me felt angry and hurts.
it's sucks You know, had a feeling to the one who never understand you.. i begin to hate you, na~

Why you?


Why you?


Why it hurts?


 whereas, there is too many boys outside who better than you, but why i have to falling in love with a dummy like you. HAH?!

IT's your FAULT you know!!

DAMN YOU!!

YOU ARE SUCK!!!

@ %$%&^%&^)
                      


Sabtu, 19 November 2011

[fic] : The Dream Lovers 2 - second chance -chp.3

CHAPTER 3
-Lost-

Chinen mendengus. Acara berkuda hari ini sangat sangat membosankan. Apalagi kalau bukan karena lawan berpacunya malah berkuda asal-asalan. Gerakannya lambat, mukanya memelas, kuda putih andalannya keluar kandang sia-sia hanya untuk jalan-jalan santai di arena balapan. Apanya yang seru? Mending pemuda di belakangnya itu tidak usah susah payah diseretnya keluar rumah kalau ujung-ujungnya akan tetap seperti ini.

“Oi, Ryosuke..” Chinen memacu kuda coklat tuanya berputar ke belakang dan mensejajarkan posisinya dengan Ryosuke yang nampak tidak ada semangat kehidupan sama sekali. Chinen kembali mendengus. “Ne, mau balapan tidak?”

Ryosuke menggeleng. “aku begini saja…”

Bosan mendengus, Chinen gantian mendecak kesal. Sembari memperlambat gerakan kudanya yang kelewat aktif mau berlari terus dan menyamakan kecepatannya dengan kuda Ryosuke, Chinen berpikir. Bagaimana membuat pemuda pemalas yang kini duduk tenang diatas kuda disampingnya ini untuk melayani tantangannya. Padahal selama ini kalau ditantang adu cepat—baik dengan kuda maupun mobil Ryosuke akan langsung mengiyakan karena seperti apapun pertandingannya, Ryosuke—entah kenapa, apa pake jampi-jampi atau tidak, selalu menjadi pemenangnya. Tapi kali ini, tumben-tumbenan.

“Ayolah Ryosuke..kita bertaruh. Kalau kau menang, Jam tangan baruku buatmu deh. Sama tablet pc juga…gimana?” Chinen memberi tawaran sambil senyam-senyum. Ryosuke tetap bereaksi yang sama.

“nggak ah..”

Chinen dongkol. “Kalau begitu sepeda motorku, gimana?”

“nggak.”

“mobil deh. Pilih mobilku yang mana saja..”

“nggak.”

“kura-kura raksasa?”

“nggak.”

“harimau. Harimau Sumatra? Harimau putih?”

“nggak ah. Gila kali, itu hewan yang dilindungi.”

“kalau gitu Villa. Oke? Yang di Okinawa juga boleh~”

“nggak Chii.., Aku juga punya.”

Chinen bertambah dongkol dengan keteguhan Ryosuke kali ini. Padahal biasanya, paling diiming-imingi cake strawberry sepotong Ryosuke sudah akan mengangguk setuju. Sungguh, pemuda tampan itu sudah kehabisan ide bagaimana membujuk Ryosuke agar mau bertanding.

Untuk yang ketiga kalinya, Chinen kembali mendengus.

Melihat ekspresi Chinen yang seolah-olah mengatakan ‘Ampun-deh-gue-udah-tobat-ngebujuk-lo’ Ryosuke tersenyum tipis. Tidak enak juga sih menolak ajakan battle sahabatnya itu. Apalagi Chinen sampai harus mempertaruhkan segala macam harta bendanya bahkan hewan-hewan terlindungi. Sebagai teman kok ya dia jahat sekali? Padahal kalau dia yang ngajak perang, teman-temannya akan selalu bilang ‘oke’ pada ajakan pertama kan?

Ryosuke menggigit bibir bawahnya sebentar. “hadiahnya bisa diubah tidak?” tanyanya. Mendengar hal itu, Chinen langsung sumringah full.

“boleh…boleh…” iyanya. “kau mau apa?”

“kalau kau menang, aku akan jadi pelayanmu sehari…”

Chinen tersenyum makin lebar, jelas tertarik sekali dengan hadiah yang akan diperolehnya jika menang. Sesuatu banget kan kalau sampai Ryosuke jadi pelayannya. “Aku setuju! Tapi, kalau kau menang?”

Gantian Ryosuke yang tersenyum. Licik.

“Temani aku ke Kyuushu sore ini. Kita ikuti Umika diam-diam. Kalau aku sudah tahu dimana tepatnya posisi Umika.., baru tugasmu selesai..” jelas Ryosuke masih dengan seringaian di wajahnya.

Chinen ternganga.

“Itu saja?”

Ryosuke mengerutkan kening. “Hah?!”

“Kau menolak kura-kura raksasa, harimau Sumatra, bahkan villaku hanya untuk itu? membuntuti Umika selama beberapa jam?”

Seringaian di wajah Ryosuke berubah menjadi anggukan polos. Chinen memiringkan kepalanya sedikit.

“Kenapa tidak minta pelayanmu saja, eh? Lebih cepat dan akurat kan?” usulnya. Ryosuke menggeleng.

“aku ingin lihat Umika dengan mata kepalaku sendiri...apa dia baik-baik saja..”

“Terus kenapa harus sembunyi-sembunyi? Bukannya lebih bagus kalau kau temui langsung?”

Ryosuke mendecak.“ck! Nanti pamorku turun. Pasti Umika akan berpikir aku tidak bisa apa-apa kalau dia tidak ada..”

“memang tidak bisa apa-apa kan?”

Mata elang Ryosuke seketika menyerang Chinen tepat ketika pemuda itu melontarkan argumennya. Chinen hanya bisa nyegir, nyaris tertawa ngakak.

“Hai! Hai! Iya, kutemani! Berhentilah menatapku seperti itu. kau membuatku ngeri ah!” ujarnya. Ryosuke menormalkan tensi tatapannya.

“bagus! Kalau begitu darimana kita start?”

“dari sini.. lewati putaran depan..”Chinen menunjuk sebuah lintasan berputar dengan dagunya. “..terus balik lagi, finish disini. Ok?”

Ryosuke mempelajari lintasan adu kudanya sepersekian detik sebelum mengiyakan.

“Baiklah..”

2 pemuda itu bersiap dengan kuda masing-masing. Aba-aba di putar lewat handphone Chinen yang diletakannya di tanah—diantara keduanya. Peduli setan handphone itu mau terinjak kuda atau tidak. Toh kalau rusak, Chinen tinggal beli yang baru.

Aba-aba mulai terdengar.

3
.
2
.
1
.
GO!!

Ryosuke memacu kudanya secepat mungkin. Begitu pula Chinen, tak mau ketinggalan. Lintasan demi lintasan keduanya lewati dengan posisi yang tidak stabil. Sedetik Ryosuke didepan, sedetik kemudian Chinen sudah melewatinya begitu saja. Keduanya sama-sama ingin menang, mengingat hadiah yang cukup menggiurkan bagi masing-masing jika memenangkan pertandingan.
Namun tampaknya presentase keinginmenangan Chinen yang super tinggi tidak bisa memacunya untuk menyaingi Ryosuke yang secepat kilat sudah meluncur di depannya. Dan dalam waktu beberapa sekon saja Ryosuke sudah resmi melewati garis finish, meninggalkan Chinen beberapa meter di belakangnya.

“YATTA!! I WIN!!” teriak pemuda itu senang tanpa menghentikan laju kudanya. Hewan tinggi putih besar itu dibawanya berkeliling lintasan, menemaninya berseru kegirangan karena menang dan berkesempatan untuk ‘mengunjungi’ Umika sore ini. Mengunjungi dalam tanda kutip karena gadis itu tidak akan pernah tahu kalau Ryosuke—karena terlalu kangen dan khawatir akan datang dan mengamatinya diam-diam.

Chinen manyun. Ternyata, meskipun dalam keadaan tidak ok karena pacarnya tak ada, Ryosuke tetap bisa memaksimalkan kemampuan berkudanya. Merasa kalah dan akan kehilangan waktu sorenya yang berharga—yang seharusnya dihabiskannya dengan nongkrong di rumah Suzuka atau mengajak gadis itu kencan— terpaksa harus dilewatinya dengan memata-matai Umika. Terima kasih Ryosuke. Ck.
Sementara Ryosuke masih tamasya keliling sembari berseru kesenangan, Chinen turun dari kudanya, memungut handphonenya yang selamat dari injakan kuda-kuda balap tadi, membersihkannya, lalu mengantonginya. Pemuda itu nyaris menunggangi lagi kuda coklat tuanya ketika seseorang dengan panik berlari menghampiri sambil meneriakan namannya.

“CHII!!”

Chinen menoleh, mendapati eksistensi yang sedang terburu-buru mendatanginya sambil terus meneriakan namanya dengan nada panik itu adalah Yuto. Yuto? Kenapa Yuto? Kok bukan Suzuka ? Ada apa memangnya?

“Chii!” Yuto masih saja menyerukan namanya meskipun kini Chinen sudah berdiri kaget di depannya. Pemuda itu nampak kelelahan ditambah matanya merah.

“ne, Yuto. Doushita?” Chinen mulai agak khawatir. Ekspresi Yuto kali ini seolah menyatakan bahwa telah terjadi sesuatu. Dan sesuatu itu jelas bukan hal yang bagus.

Yuto berhenti, agak kesulitan mengatur nafasnya. “Chii..hahh..hahh..,Ryosuke mana..?”

*
Ryosuke masih sibuk berkeliling dengan bahagia, menyerukan ‘I WIN’ berkali-kali tanpa kenal lelah. Pikirannya melayang, membayangkan sore nanti dia akan melihat Umika, memastikan kalau gadis itu masih aman dan seaktif biasanya. Ditambah lagi karena dia akan tahu persis dimana Umika akan berdomisili, tentunya kapanpun ia merindukan gadis itu, ia bisa dengan mudah datang dan melihatnya, meskipun hanya diam-diam.

Pandangan Ryosuke teralih mendengar samar-samar nama Chinen dipanggil. ‘Chii’, nama panggilan itu akrab, dan hanya diucapkan oleh anggota The Dream Lovers. Jadi yang memanggil itu kalau bukan Yuto pasti Daiki.
Penasaran, Ryosuke mengikuti arah suara itu. Ditemukannya disana Yuto dan Chinen sedang bicara serius. Yuto nampak terengah-engah seperti habis berlari. Matanya juga merah. Entah kenapa, satu perasaan tidak enak muncul dalam hatinya. Ada apa? Kenapa Yuto berwajah seperti itu? apa telah terjadi sesuatu?. Semua pertanyaan tersebut menggelitiknya, memandunya untuk turun dari kuda putihnya dan bergerak mendekati Yuto dan Chinen.

“Chii..hahh..hahh..,Ryosuke mana..?” Ryosuke mendengar namanya di sebutkan. Segera pemuda itu merapatkan jaraknya.

“ne, Doushita?” belum sempat Chinen menjawab, Ryosuke sudah berdiri di sampingnya dengan ekspresi ‘ada apa’ yang kentara jelas di wajahnya. Chinen sontak terkaget mengethui Ryosuke sudah berdiri di sebelahnya, begitu pula Yuto yang sama sekali tak mengira Ryosuke akan muncul setiba-tiba ini.

“Ne, Yuto. Doushita?” Ryosuke membuyarkan kekagetan Yuto dan Chinen dengan mengulang pertanyaan yang sama. Pemuda itu sudah kelewat pensaran, apa yang terjadi sebenarnya. Kenapa Yuto sebegitu inginnya bertemu dengannya? Pakai lari-lari segala. Padahal Yuto kan bisa langsung menghubunginya lewat telepon—ralat. Keitainya ditinggal di tas dalam loker. Meskipun begitu, Yuto bisa juga kan datang tenang-tenang saja, tidak harus sampai marathon begini.

Yuto kembali mengatur nafasnya sebentar lalu bicara amat hati-hati. “Bus yang ditumpangi Umika… kecelakan, Ryosuke…”

Mata Ryosuke membulat sempurna mendengarnya. “APA?! Apa maksudmu kecelakaan? Ne, Yuto! Umika baik-baik saja kan?! Iya Kan?!” Pemuda itu menerjang Yuto begitu saja, meminta penjelasan spesifik dari berita yang Yuto sampaikan barusan. Yuto tidak berkutik, agak ragu-ragu bicara.

“NE YUTO! Katakan! Umika baik-baik saja kan? Paman dan bibi juga, Iya kan? Mereka baik-baik saja kan??!” Frustrasi, Ryosuke menarik baju Yuto, mengusiknya agar setidaknya mau menyampaikan—meskipun hanya sedikit informasi tentang kondisi Umika dan keluarganya sekarang.

Yuto menatap Ryosuke yang lebih pendek beberapa senti darinya itu dengan wajah sendu. Setetes air mata tiba-tiba saja mengaliri salah satu pipinya.

“Oji-san dan Oba-san…tewas.”

Tubuh Ryosuke seketika membeku. Otaknya secara otomatis langsung menampilkan rupa suami-istri Kawashima dalam benaknya. Satu rasa perih seketika menjuluri hatinya. Kedua orang dewasa yang baik itu—yang nyaris dianggapnya orang tua sendiri itu…tewas? Meninggal?
Lalu, bagaimana dengan Umika?

“Umika…” seolah mengetahui pertanyaan yang akan dilontarkan Ryosuke berikutnya, Yuto langsung menyambung kabar tadi dengan satu lagi info yang dimilikinya. Mendengar nama Umika disebut, Ryosuke spontan menahan nafasnya. Tidak sanggup mendengarkan apapun—bahkan kemungkinan Umika mungkin saja selamat. Apapun! Ryosuke bisa menerima apapun asalkan gadis itu tidak diambil darinya.

“...Umika hilang.”

Ryosuke membatu.

“Busnya menabrak pagar pembatas dan jatuh ke laut. Tim penolong sudah menemukan semua penumpang bus dan semuanya dinyatakan tewas. Tapi Umika… dia tidak ada..”

Chinen tak kalah terbelalak kagetnya dengan Ryosuke kemudian segera mengalihkan fokus pandangannya ke pemuda itu. Feelingnya kuat, Ryosuke akan melakukan sesuatu terhadap hal ini.

Tubuh Ryosuke sendiri bergetar, campuran antara rasa sedih, takut, dan marah. Sedih karena dia sudah kehilangan 2 orang dewasa yang berharga dalam sekali waktu, takut karena mungkin saja Umika akan bernasib sama dengan orang tuanya, dan marah karena ia tidak ada disana, tidak ada untuk menyelamatkan Umika. Tidak ada untuk menjaga gadis itu. Marah karena dia tidak bisa berbuat apa-apa.

Tetesan-tetesan bening mulai membanjiri matanya lalu bergerak turun melewati pipinya perlahan ditarik graviatsi bumi.

“Tidak..” pemuda itu berbisik pelan. Chinen mulai merasa tidak enak. Didekatinya Ryosuke perlahan.

“Ryosu—“

“TIDAK MUNGKIN! UMIKA MASIH DISANA! AKU YAKIN UMIKA MASIH HIDUP!” seru pemuda itu marah kemudian segera berlari pergi. Chinen dan Yuto buru-buru mengejarnya. Mereka tahu Ryosuke. Dalam keadaan panik dia bisa melakukan apapun, bahkan yang membahayakan nyawanya sendiri. Ryosuke tidak bisa dibiarkan begitu saja.

Dibelakangnya, Chinen dan Yuto terus berteriak memanggil namanya. Tapi, Ryosuke tidak peduli. Sekarang yang terpenting adalah Umika. Mereka sudah menemukannya? Bagaimana keadaannya?

Ryosuke melarikan mobil sport hitam metaliknya secepat mungkin. Beruntung, karena tahu kemana kemungkinan Ryosuke akan pergi, Yuto mengirimkan peta menuju lokasi kecelakaan kepada navigator mobilnya. Ryosuke tidak sempat berterima kasih karena dia masih punya belasan kilometer untuk dilalui sebelum sampai ke tempat itu. Ryosuke sama sekali tidak tanggung-tanggung melarikan mobilnya. Tidak peduli siapapun, atau apapun yang sempat menggangu lajunya, pemuda itu hanya ingin segera sampai di tujuan dan memastikan Umika baik-baik saja. Sepanjang perjalanan Ryosuke memohon, terus memohon agar Umika tidak diambil darinya. Tuhan boleh meminta apapun, mengambil apapun darinya. Tapi jangan saat ini, jangan Umika.

Nyaris satu setengah jam terlewati sampai Ryosuke akhirnya tiba di lokasi kejadian. Ada beberapa mobil polisi di sana, beberapa ambulans, dan tim pencari korban yang jumlahnya belasan orang. Sebagian dari mereka bertugas mengangkut korban-korban ke dalam ambulans.
Ryosuke memarkir mobilnya asal lalu turun dengan tergesa-gesa. Ketika jaraknya sudah dekat, pemuda itu baru melihat jelas kalau disana juga ada Mirai, Suzuka dan Momoko. Ryuu tidak ada, mungkin anak itu belum diberitahu. Langkah Ryosuke yang sebelumnya cepat dan terburu-buru langsung melambat melihat 2 korban yang tergolek tak bernyawa di atas tandu, siap dimasukan kedalam ambulans.

Kawashima Yuya dan Rubi.

Baru beberapa jam lalu dia melihat pasangan suami istri itu masih tertawa dan tersenyum kepadanya, namun kini yang dilihatnya hanya tubuh kosong penuh luka yang tak lagi bernyawa. Tangis Ryosuke pecah begitu saja. Hatinya makin sesak mengetahui Umika tak sama sekali terlihat di tempat itu, bahkan diantara para korban tewas.

Tangis Ryosukelah yang kemudian membuat Mirai tahu kalau pemuda itu sudah bersama mereka saat ini. Cepat-cepat, dengan mata yang juga masih menunjukan bekas tangisannya tadi, Mirai mendatangi Ryosuke lalu merangkuh tubuhnya yang nampak bergetar. Ryosuke tidak mampu lagi berdiri. Perlahan, bahunya merosot begitu saja ke tanah.

“Umika…” Ujar pemuda itu di sela-sela tangisnya. Mirai tidak bisa menjawab, malah ikut tenggelam dalam kesedihan pemuda itu yang kentara jelas dari wajahnya. Kesedihan itu, dia juga mengalaminya tentu saja.

Tidak mendapat jawaban apapun dari Mirai membuat Ryosuke tidak puas. Sambil melepaskan rangkulan gadis itu pelan-pelan dari bahunya, Ryosuke kembali bertanya.

 “Umika dimana? MIRAI, UMIKA DIMANA?!”

Mirai menitikn air matanya lagi sebelum dengan ragu-ragu menjawab.
“Umika hilang Ryosuke. Sampai sekarang belum juga ditemukan. Tim pencari sudah menyisiri seluruh daerah ini tapi tidak menemukannya..”jawabnya jelas. Ryosuke berang. Dengan gusar, pemuda itu bangun lalu mulai meracau.

“Tidak mungkin Umika hilang begitu saja! Pasti karena mereka tidak mencarinya dengan teliti! Aku yakin Umika masih terjebak di bawah!” Ryosuke menatap galau sekelilingnya. “Aku yang akan mencarinya sendiri.”
Pemuda itu berlari mendekati TKP dimana bangkai bus yang terjun kelaut tadi sudah diangkat dan sedang dicek kondisinya. Mengetahui di dalam bus tidak ada tanda-tanda kehidupan apapun, Ryosuke kembali berlari. Langkahnya baru terhenti ketika posisinya sudah tepat berada di depan pagar pembatas yang amblas tertabrak bus celaka itu beberapa jam lalu. Jantungnya berdegub kencang menyaksikan pemandangan dibawah. Jurang curam setinggi puluhan meter dengan gulungan ombak ganas menunggu didasar, siap mengulum dan menghancurkan apapun yang jatuh kedalamnya.
Pemuda itu tahu, siapapun tidak mungkin selamat jika terjebak di sana. Begitu pula Umika. Mustahil.
Tapi kenapa dia tidak bisa menerimanya? Kenapa perasaannya mengatakan bahwa Umika masih disana, masih membutuhkan pertolongannya?
Ryosuke takut. Namun, rasa takutnya itu seketika melengos memikirkan kemungkinan Umika masih ada didalam. Bagaimana kalau Umika masih hidup?
Tanpa pikir panjang, pemuda itu bersiap melompat masuk. Resiko terbesar—tentu saja dia akan mati. Dan resiko terbesar itu sama sekali tidak dipikirkannya saat ini.
Gerakannya terhenti. Seseorang dengan keras menariknya kebelakang.

“APA YANG KAU LAKUKAN RYOSUKE?!!” Yuto berteriak frustrasi sambil memandang penuh emosi Ryosuke yang baru saja jatuh tersungkur di tanah karenanya. “KAU BISA MATI!!”

“BUKAN URUSANMU BRENGSEK! BIARKAN AKU! AKU HARUS MENCARI UMIKA!!” Ryosuke bangkit lagi, bergerak mendekati posisinya semula. Makin panas, Yuto kembali menghempaskannya ke tanah. Namun kali ini dengan satu tinjuan keras didaratkan di pipinya.

“JANGAN BODOH!! KAU HANYA AKAN MENAMBAH JUMLAH KORBAN JIKA KAU IKUT MASUK KE DALAM! TUNGGU TIM PENCARI! MEREKA AKAN MENYISIRI DAERAH INI SEKALI LAGI!!” Yuto menarik kerah baju Ryosuke kemudian melepaskannya. Pemuda itu tertunduk lalu kembali berderai air mata.

“Aku harus mencari Umika, Yuto… Umika masih hidup…aku harus mencarinya…” Ryosuke berbisik dalam tangisnya. Yuto menelan ludah, pahit. Dadanya sesak melihat Ryosuke yang terduduk lemah ditanah. Dia juga ingin mencari Umika. Gadis itu juga sahabatnya.
Dibelakang mereka, baik Mirai, Momoko dan Suzuka juga ikut meneteskan air mata. Chinen yang barus saja tiba bersama Yuto tadi langsung memeluk Suzuka yang masih terus saja menagis sementara pemuda itu sendiri berusaha menahan air matanya agar tidak tumpah begitu saja.

Hati mereka sesak, semuanya. Umika adalah sahabat yang berharga, dan ketika mereka tidak bisa melakukan apa-apa, hanya rasa sakit yang menghujam terus-menerus hati masing-masing.

“TOUCHAN!!! KAACHAAN!!” seolah kesedihan tidak juga berhenti menimpa mereka, tiba-tiba saja datanglah Ryutaro dan Kanon yang tadi dijemput Daiki. Pemuda 16 tahun itu sontak berlari mendekati jenazah kedua orang tuanya sambil menangis keras. Kanon yang berada disebelahnya langsung memeluk pacarnya itu kuat, mencoba menyerap meskipun sedikit, kesedihan pemuda itu.

Selesai dengan Ryosuke, Yuto lalu mendekati Ryuu dan mengelus punggung pemuda itu, menenangkannya. Ryuu mengelap air matanya lalu memandang sekeliling. “..Nee-chan..?”

Yuto langsung berhenti bergerak. Perasaan Ryuu bertambah tidak enak membayangkan bagaimana Nee-channya saat ini. Matanya lalu berhenti pada sosok Ryosuke yang tak kalah kacaunya dengan dirinya yang sejak tadi tidak juga bangun dari posisinya di tanah. Ryuu mendekati pemuda yang 2 tahun lebih tua darinya itu.

“Ne, Ryosuke-nii… Nee-chanku dimana? Dia selamat kan? Dia baik-baik saja, deshou..?”

Ryosuke masih menangis setengah kesulitan bernapas. Matanya yang basah oleh air mata bergerak memusatkan perhatian pada Ryuu.

Perlahan, pemuda itu menggeleng.

Tangis Ryuu kembali pecah untuk yang kedua kalinya. Ryosuke mendekatinya, merangkul pundak pemuda itu kuat. Mereka merasakan yang sama, perasaan sakit yang teamat perih akibat kehilangan orang yang dicintai.

Kenapa semuanya terjadi? Kenapa nyaris seluruh keluarga Kawashima yang diambil-Nya? Kenapa bukan orang lain saja?
Pertanyaan itu berputar dikepala Ryosuke di sela tangisnya. Dan seketika saja, bagaikan jawaban tersirat atas semua pertanyaan itu, satu kata terakhir Umika terngiang di kepala Ryosuke.

“sayonara Ryosuke...”

Apa itu salam perpisahan? Apakah Umika memang harus meninggalkannya secepat ini? Dengan cara sesakit ini?

Inikah takdirnya?

To Be Continued

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Selasa, 15 November 2011

[fic] : The Dream Lovers 2 - second chance -chp.2

CHAPTER 2
-The word ‘sayonara’-

“Umika …?”
Ryosuke tersenyum senang sembari berlari menyongsong sesosok gadis manis yang berdiri tidak jauh di depannya. Gadis itu tersenyum, membuat langkah Ryosuke makin bersemangat menjangkaunya.

Tapi, kenapa?

Sudah nyaris ratusan langkah terhitung sejak Ryosuke mulai berlari, namuni kenapa gadis itu tak juga terjangkau olehnya? Padahal dia tidak bergerak, padahal Umika masih terus tersenyum padanya.

“Umika..!” Ryosuke berhenti untuk mengatur nafas sebentar. Tapi di detik itu juga senyum di bibir Umika menghilang, terganti dengan air mata yang mengalir deras. Terus mengalir.

“gomenasai…”

“Eh?”

Ryosuke secepat mungkin memulihkan tenaganya lalu kembali berlari.

Kenapa Umika menangis? Kenapa minta maaf?

Tinggal selangkah lagi sampai Ryosuke menjangkau tubuh mungil gadis itu ketika tiba-tiba saja sosoknya remuk menjadi butiran-butiran debu yang kemudian berterbangan entah kemana.

Satu kata terakhir terdengar sebelumnya.

“sayonara Ryosuke…”

* * * * * * * *

Pagi ini kediaman keluarga Kawashima berlimpah pengunjung. Bukan hanya satu, tapi 3 orang dan semuanya adalah gadis-gadis. Shida Mirai, Tsugunaga Momoko, dan Ohgo Suzuka hari ini datang berkunjung, rencanaya sih untuk bantu-bantu Umika berbenah sebelum pergi meninggalkan Tokyo selama seminggu. Tapi entah kenapa rencana awal itu melenceng karena ternyata kedatangan mereka tidak membawa bantuan alih-alih keuntungan apapun. Umika tetap mengurusi keperluan bepergiannya sendiri sementara 3 dara manis itu sibuk memenuhi kamarnya dengan curhatan, majalah remaja, dan chocolate cookies buatan ibu Umika. Meskipun begitu, pada akhirnya kedatangan mereka tidak begitu sia-sia. Umika sambil membereskan perlengkapannya, memanfaatkan sesi curhat yang mereka ciptakan sebelumnya menjadi ajang sharing tingkah Ryosuke yang rada egois kemarin. Mirai  Momoko dan Suzuka mencermati dengan seksama keluhan-keluhan Umika tanpa sekalipun berkedip.

“Terus, habis itu dia ngamuk?” Mirai yang duluan memberi tanggapan atas cerita Umika sedari tadi. satu tangannya bergerak, mengambil sepotong chocolate cookies yang tertata rapi di piring di depannya lalu mulai mengunyahnya sambil memperhatikan Umika yang nampak agak kesibukan memilih-milih baju mana saja yang akan dibawanya ke Kyuushu. Di sampingnya ada Momoko yang juga ikut memperhatikan sambil mengunyah jenis hidangan yang sama. Di tempat tidur di belakang mereka, Suzuka tengah tidur tengkurap sambil iseng membaca majalah.

Umika berhenti sejenak lalu barbalik menatap teman-temannya. “tidak juga sih… cuma butuh perjuangan besar sekali sampai dia mengijinkanku pergi..”gadis itu kembali mengurusi tumpukan baju di depannya kemudian menarik keluar sebuah gaun merah muda selutut. “ini bagus tidak?” tanyanya sambil menunjuk gaun tersebut. 3 eksistensi lain dalam ruangan tersebut mengangguk.

“Kenapa tidak bilang saja, ‘ijinkan aku pergi atau kita putus’. Yakin deh, Ryosuke pasti akan langsung mengijinkanmu pergi..” Suzuka menimpali tanpa berpindah focus dari majalah di depannya. Umika, Mirai, dan Momoko langsung memandang gadis itu dengan dahi mengkerut, jelas usulan telat Suzuka ‘nggak boleh banget’ dicoba. Suzuka hanya tersenyum kecil merasakan aura-aura tidak setuju dari ketiga temannya.

“Tapi menurutku wajar saja sih kalau Ryosuke sampai begitu…kau sendiri tahu sifatnya kan, Umika..”Mirai membawa pembicaraan kembali ke topik. Umika mengangguk sambil tetap memilih beberapa baju.

 “Egois, cerewet, keras kepala, meyebalkan..”

Suzuka dan Momoko langsung tertawa ngakak sedangkan Mirai hanya nyengir sambil geleng-geleng kepala.

“Ryosuke banyak sifat jeleknya ternyata..”Momoko menambahkan. Memang sejak sebulan lalu gadis itu tidak lagi memanggil Ryosuke dengan sebutan Yamada-kun. Begitu pula Suzuka. Entah kenapa, sejak Umika berpacaran dengan Ryosuke, hubungan mereka ber-8 menjadi semakin akrab. Sangat akrab bahkan. Momoko dan Suzuka tidak lagi segan dengan Mirai ataupun sahabat-sahabat kekasih mereka yang lain.

“Demo, Umichan hebat yo.., bisa mengatasi sifat-sifat jelek Ryosuke itu..” kembali ke kamar Umika, Suzuka ikut bicara—atau lebih tepatnya memuji. Yang dipuji hanya cengengesan.

“Berarti kami pasangan serasi, deshou?”balas Umika memuji dirinya sendiri. Mirai, Momoko, dan suzuka membuka mulut mereka sembari menjulurkan lidahnya keluar—pose muntah.

“Cih! Baru dipuji sekali saja sudah besar kepala..”Momoko menambahkan. Umika nyengir lebar sambil kembali berurusan dengan tumpukan baju dalam lemarinya.

* * * * * * * *


Hari yang ditunggu-tunggu Kawashima sekeluarga sekaligus hari yang paling tidak diharapkan Ryosuke akhirnya tiba. 30 Januari, hari yang tepat untuk bergerak ke Kyuushu guna mempersiapkan acara pernikahan salah satu anggota keluarga mereka. Yuya, Rubi dan Umika sudah siap berangkat dengan bus kesana. Sekeluarga itu tidak memilih Shinkasen karena kabarnya terdapat pemandangan indah dan exotis sepanjang perjalanan dengan bus. Lalu, bagaimana dengan putra bungsu, Ryutaro?

Pemuda 16 tahun itu tidak diijinkan ikut karena harus menjalani kelas remedial. Ya, malang memang nasibnya karena tidak lulus 5 mata pelajaran ujian dan harus mengikuti pelajaran tambahan di sekolah, padahal sedang musim libur. Oleh sebab itu, selain karena harus mengikuti pelajaran tambahan di masa liburan, ketidakikutsertaan Ryuu ke Kyuushu juga merupakan sebuah hukuman dari sang ayah. Berbeda dengan Umika yang diajak karena nilainya nyaris sempurna dalam semua mata pelajaran—minus bahasa inggris tentu saja. Sudah bukan rahasia lagi kalau Umika sangat amat ‘buta’ berbahasa inggris.
Meskipun ditelantarkan begitu saja*A/N: ditelantarkan? Emang Ryuu anak jalanan??*, Ryuu tidak terlalu berkecil hati karena Kanon Fukuda—pacarnya yang termanis, terkawaii, tersayang, tercintanya sepanjang masa juga harus mengikuti kelas remedial bersamanya—tidak lulus 6 mata pelajaran ujian soalnya. Paling tidak, Ryuu tidak sendirian di Tokyo.

Pada akhirnya, pagi ini, berkumpulah Kawashima sekeluarga di terminal bus antar prefektur bersama Ryosuke, Yuto, Mirai, Chinen, Suzuka, Daiki, Momoko, dan Kanon. Sepuluh menit mereka menunggu, bus menuju Kyuushu akhirnya tiba. Sebelum bus tersebut benar-benar berhenti di depan mereka, Ryosuke sontak menggenggam tangan Umika sambil berbisik.  

“Sudah, bilang ayahmu kuantar saja..” tawar pemuda itu—lagi. Sebelum-sebelumnya, Ryosuke sudah menawari berkali-kali baik Umika maupun keluarganya untuk diantar saja ke Kyuushu. Selain karena keamanannya terjamin, tawaran ini juga berupa cara agar Ryosuke mengetahui dimana persisnya Umika berdomisili di Kyuushu nanti. Supaya, pemuda itu bisa dapat dengan mudah mengunjunginya kapanpun ia merindukan gadis itu, tanpa harus cari-cari alamat lagi.  
Tapi alasan-alasan tadi hanyalah alasan penyerta dari satu alasan terbesarnya tidak merestui kepergian Umika.  Meskipun hanya seminggu disana, entah kenapa, pemuda itu tidak bisa begitu saja melepaskannya pergi. Ada sesuatu, entah apa yang membuat hatinya takut. Sesuatu itu seolah memberinya sugesti kalau –mungkin saja, gadis itu tidak akan kembali padanya lagi.

Melihat Ryosuke yang berwajah agak khawatir, Umika tersenyum lalu meremas tangan pemuda itu kuat.
“Daijoubu…kami sudah lama tidak naik bus. Anggap saja kami bernostalgia yo..”

“demo..,”

“da-i-jo-bu..”Umika mengeja perkataannya sambil satu tangannya terangkat mengacak-ngacak rambut Ryosuke. Saat itu juga, pintu bus terbuka dan siap memberi jalan bagi penumpangnya untuk masuk. Umika berpisah dari Ryosuke, lalu mendekati teman-temannya. Kelompok manusia itu lalu saling mendekat, mengucapkan perpisahan.

“nee-chan curang!” Ryuu melengos, sok menatap kakak perempuannya kesal. Umika hanya nyengir.

“Makanya belajar biar nilaimu bagus. Baik-baik sama Kanon ya...Dan ingat! Seminggu ini jangan macam-macam. Kau sendirian di rumah tapi harus ada aturannya!” ancam Umika sambil menjitak pelan kepala Ryuu. Ryuu kembali melengos namun kemudian mengangguk, sementara Kanon hanya tertawa kecil. Umika berpindah kepada Mirai dan yang lain.

“Hati-hati di jalan ya Umichan..nikmati pestanya!” Ujar Mirai. Umika tersenyum lalu memberi pelukan selamat tinggal pada gadis itu juga Suzuka dan Momoko serta pacar-pacar ketiganya, Yuto, Chinen dan Daiki.

“jaga diri ya..”ujar Yuto.

“ingat oleh-oleh loh…”tambah Momoko.

“ne, Umichan, ketika kau pulang nanti persiapkan dirimu, karena berikutnya aku dan Suzuchan yang bakal merit. Ne Suzuchan?” satu salam perpisahan panjang—yang sebenarnya lebih mirip pengumuman tersebut terlontar dari 2 sisi bibir milik Chinen. Suzuka yang tepat berdiri di sampingnya menggeplak bahu pemuda itu pelan sambil manyun. Umika hanya cekikikan. Bola matanya lalu diputar, menatap satu pemuda yang sampai detik ini pun masih terlihat belum bisa merelakannya pergi. Umika menyentuh kedua pipi pemuda itu dengan telapak tangannya yang hangat.

“Daijoubu, Ryosuke…”

Ryosuke terlihat hampir menangis. Dadanya sesak, jelas memberi penolakan terhadap kata-kata Umika barusan. Sesuatu dalam hatinya itu terus menyiksanya, memberinya perasaan tidak nyaman hanya untuk memberikan senyum terbaiknya sebelum gadis itu pergi. Hanya seminggu kan? Dan Umika.., pasti akan kembali kan?

“Umika…” Ryosuke agak kesulitan menghirup udara. Gadis itu menatapnya, menunggu lanjutan kata-katanya. Ryosuke menekan semua perasaannya, semua ketidaknyamanan dalam hatinya, mencoba mengukir sebentuk senyum dan ucapan perpisahan yang pantas.

“..jaga dirimu. Ingat, kembalilah dengan selamat..”

Umika terkesima sesaat mendengar pesan kekasihnya itu. Senyumnya merekah lalu diikuti anggukan mantap. “Hai!”

“Umichan, ayo cepat. Busnya hampir berangkat..”Rubi memanggil dari dalam bus setelah menyediakan satu tempat kosong untuk putrinya. Gadis itu mengangguk lagi.

“hai!”

Umika memberikan kecupan terakhir di pipi Ryosuke. “sayonara Ryosuke…” ujarnya pelan, kemudian segera melompat masuk ke bus. Tak lupa, satu salam lagi bagi mereka yang ditinggal di belakang.

“JAA MINAA~”

Pintu lalu ditutup. Masih samar terlihat sosok Umika di dalam terus melambai ketika bus bergerak menjauh. Kelompok manusia yang ditinggal ikut melambaikan tangan sampai bus tidak terlihat lagi.

Ryosuke masih diam ditempatnya. Tubuhnya entah kenapa membeku mendengar ucapan terakhir Umika yang khusus diberikan padanya tersebut.

“sayonara Ryosuke...”

Rasa-rasanya ia pernah mendengar Umika menyebut kata itu sekali. Tapi dimana? Kenapa dia lupa?

“sayonara Ryosuke...”

* * * * * * * *

Kekasihnya baru berangkat dua jam lalu namun kini Ryosuke sudah sangat merindukannya. Pemuda itu terbaring lemah di tempat tidurnya. Sejak tiba di rumah tadi, ia langsung masuk kamar dan belum sekalipun keluar hingga sekarang. Bukan karena apa, Ryosuke hanya ingin menenangkan pikirannya dan meluruskan sesuatu. Kalimat terakhir Umika tadi, ia yakin100 % pernah mendengarnya sekali dari gadis itu dengan cara penyampaian dan intonasi yang sama persis. Tapi dimana?

“sayonara Ryosuke...”

“Oi, Ryosuke!” satu suara familiar terdengar disusul dengan munculnya sesosok kepala yang menyembul dari balik pintu kamar Ryosuke yang tak terkunci. Sosok itu kemudian masuk dan langsung duduk di tempat tidur pemuda itu. Ryosuke tidak bergerak.

“Apaan Chii?”

Chinen—orang yang dipanggil Chii itu mendecak kesal.
“Apaan…! Ayo bangun pemalas. Kau mirip orang yang baru diputusin ah! Baru datang langsung diam-diaman di kamar…” Chinen menarik lengan Ryosuke agar bangun. Namun Ryosuke tidak juga mau bergerak.

“Aku malas aah..” tolaknya. Chinen mengangkat sebelah alis.

“JIAAH! Malas. Umika masih pulang seminggu lagi heh, nikmati waktumu sedikit. Ayo ikut aku berkuda!”

Ryosuke menggeleng. “Kau ajak Yuto saja aah! Atau Daiki!”

“Yuto nggak bisa, lagi ada urusan di perusahaanya. Daiki nggak tau kemana. Ayolah Ryosuke…!”

“Suzuka? Bukannya bagus kalau kau bareng Suzuka?”

“Suzuka lagi bareng Miraichan dan Momoko. Susah gangguin gadis-gadis kalau mereka lagi ngegosip..”

“Lha? Jadi aku bisa diganggu?”

“YUP! Ayolah~ Cuma kau yang punya waktu luang!” Chinen kembali menarik-narik lengan Ryosuke, kali ini dengan sedikit paksaan. Tidak tahan lagi goncangan di tubuhnya Ryosuke akhirnya bangun dengan amat sangat teramat terpaksa. Matanya menatap Chinen kesal.

“iya. Puas?”

Chinen nyengir kuda lalu mengangguk. “Ayo berangkat!” ujarnya kemudian segera bergerak keluar kamar. Ryosuke mengambil kunci mobilnya yang terletak dimeja. Saat itu juga, sorot matanya menangkap sebentuk wajah penuh senyum yang tercetak dalam pigura kecil yang juga terletak diatas meja. Wajah itu milik gadis yang dicintainya.

Hatinya tiba-tiba terasa sesak.

Kenapa?

To Be Continued

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sabtu, 12 November 2011

[fic] : The Dream Lovers 2 - second chance


Title: The Dream Lovers 2 – second chance –
Author: Yamada Dhy a.k.a Dhyamajima a.ka Me 8)
Genre: Romance, Angst, Drama
Cast  : Ryosuke Yamada-Umika Kawashima(Umi-Yama), Yuto Nakajima-Shida
Mirai(NakaShi), Chinen Yuri-Ohgo Suzuka(Chizuka), Daiki Arioka-Tsugunga Momoko(Momo-Dai), Kamiki Ryuunosuka, Irie Jingi, dll~
Discl : I just own the plot

Sekuel The Dream Lovers. Bagaimana lanjutan kisah Umi-Yama, NakaShi, Chizuka, dan Momo-Dai??

No more talk, ~Dozou……..

CHAPTER 1
-The canceled plan-

January 27th 2012

Umika Kawashima duduk diam di tempat tidur Ryosuke Yamada, memperhatikan kekasihnya yang nampak sibuk sekali menghitung hari di kalender. Sesekali gadis itu berbaring, lalu bangun lagi. Tapi tetap saja, pemuda di depan meja itu belum mau berpisah dengan lembaran kertas dan kalender di tangannya.

“Ryosuke, ngapain sih?!” jengah memperhatikan, gadis itu lalu berseru kesal. Ryosuke menghentikan aktivitasnya sejenak, memandang Umika. Wajahnya serius. Melihatnya, Umika agak takut.

“a-apa?”tanya gadis terbata-bata. Ryosuke tidak merespon, malah kembali menekuni pekerjaan hitung-hitungannya. Umika mendengus, namun memaklumi. Memang sudah kebiasaan, pacarnya itu kalau sedang serius sangat sulit diganggu.

Bosan memperhatikan Ryosuke, Umika lalu bangkit dari posisinya dan berjalan ke samping Ryosuke, mengambil sebuah album foto merah berukuran sedang yang modelnya sama persis dengan miliknya di rumah. Ya, album foto itu dibeli bersama Ryosuke sebagai hadiah jadian di bulan pertama. Lucu memang, Ryosuke mewajibkan keduanya merayakan hari jadi mereka setiap bulan.
Gadis itu menggerakan tangannya, membuka lembardemi lembar foto yang tertata rapi dalam album. Sesekali ia tertawa melihat ekspresi wajah keduanya yang aneh dan lucu dalam beberapa foto. Kadang gadis itu juga bersemu merah melihat foto mereka yang nampak mesra.
Gerakan tangan Umika berhenti di satu foto. Fotonya bersama Ryosuke dengan posisi pemuda itu memeluknya dari belakang sambil menopangkan dagunya di bahu Umika. Di belakang mereka, latar suasana pantai berpasir putih dengan bentangan luas laut biru jenih Okinawa terlihat memukau.  Mengingat bagamana foto itu diambil membuat Umika tersenyum geli. Sudah sebulan lalu sejak mereka ke Okinawa, merayakan hari jadi mereka yang ke-2 bulan. Ryosuke tiba-tiba saja muncul di rumahnya tanggal 4 Januari, lalu menghadangnya agar tidak ke sekolah dan membawanya begitu saja ke Okinawa. Umika juga masih ingat bagaimana Ryosuke dengan sekali bicara langsung bisa mnghipnotis kedua orang tuanya untuk memberi mereka ijin, lalu bagaimana perasaanya bisa naik pesawat pribadi Ryosuke dengan hanya berisi 8 manusia –TDL dan kekasih masing-masing tentu saja—serta 2 pilot dan 2 pramugari. Semua itu terlalu WOW untuk bisa dialaminya secara realita. Namun ternyata, Ryosuke berhasil mewujudkannya.
Umika baru sadar foto yang dilihatnya itu adalah foto terakhir dalam album ketika tidak lagi menemukan lembaran foto di halaman berikutnya. Gadis itu cemberut. Sudah nyaris sebulan mereka tidak mengambil foto bersama, dan nampaknya keduanya butuh foto baru untuk ditambahkan ke album masing-masing.
Umika melirik sekeliling kamar Ryosuke sampai ketika matanya menangkap satu kamera digital perak di rak buku disamping Ryosuke. Tersenyum singkat, gadis itu kemudian bangun lalu mendekati kamera tersebut. Beberapa detik kemudian, benda elektronik itu sudah diaktifkannya.

“Hai! senyum!!” secara tiba-tiba, Umika mengarahkan kamera digital itu kearahnya dan Ryosuke. Ryosuke yang tidak sama sekali siap difoto langsung melongo kebingungan sambil menatap lensa kamera.

CKLIK!

“HAHAHAH!! Wajahmu lucu sekali Ryosuke! Hontou ni!” tawa Umika nyaris memekikan telinga Ryosuke ketika melihat wajah polos pemuda itu di layar kamera. Ryosuke menarik tangan Umika turun agar bisa melihat fotonya yang unexpectedly taken tadi.  Pemuda itu hanya bisa mendengus menyaksikan ekspresi wajahnya yang benar-benar polos.
Umika masih sempat tertawa kencang melirik pacarnya sebelum bergerak menuju laptop putih Ryosuke di tempat tidur dan membawanya ke meja. Gadis itu duduk di sebelah Ryosuke sambil mengutak-atik laptop dan seperangkat printer disamping mejanya. Beberapa menit kemudian, Umika berhasil mencetak keluar 2 foto yang diambilnya tadi.

“Bagus!” gumamnya sambil tersenyum manis. Segera, di rapikannya 2 foto itu lalu memasukan salah satu foto kedalam album milik Ryosuke, sementara yang satunya berniat disimpannya dalam tas.

Ketika nyaris menjangkau tasnya yang tergeletak sembarang di tempat tidur Ryosuke, keitai gadis itu tiba-tiba memekik nyaring minta diangkat. Umika segera mengeluarkan benda itu dari sakunya sambil terus berjalan mendekati tasnya.

“Hai, Tou-chan…moshi-moshi?” jawab gadis itu setelah membaca nama penelpon dari layar keitainya. Dari seberang sang ayah mulai menjelaskan maksudnya menelpon. Umika mendengarkan dengan seksama sembari memasukan foto tadi kedalam tas.

“Hai..Hai..Aree? Miyu ba-chan?” Umika berseru kaget. Ryosuke langsung menoleh ke arahnya. “hai..Hai..wakarimashita. Hai, Tou-chan. Jaa ne..!” gadis itu menutup flip keitainya dangan wajah berbinar-binar.

“ada apa?” Ryosuke bertanya, penasaran. Umika tersenyum senang.

“Oba-chan ku mau nikah…hehe. Dan acaranya akan diadakan di Kyushuu.”

Ryosuke mengangguk sembari kembali ke aktivitas semula. “kapan?” lanjutnya tanpa menoleh lagi.

“4 Februari..”

Kesibukan Ryosuke seketika terhenti, diganti dengan gerakan tiba-tibanya menoleh ke Umika dengan ekspresi kaget luar biasa.

“HAH?!”

Umika mendecak, heran dengan kelemahan Ryosuke menangkap informasi kali ini.

“Kubilang tanggal 4 Februari..”

“Di kyushuu?” tanya Ryosuke lagi. Gadis itu mengangguk pelan.

“Tidak bisa!” protesnya tiba-tiba. Umika mengangkat sebelah alisnya.

“Apanya yang tidak bisa?” tanyanya heran melihat reaksi Ryosuke yang aneh kali ini. Sementara Ryosuke sendiri dari wajahnya saja nampak menolak mati-matian rencana pernikahan bibi Umika barusan. Pemuda itu mengerutkan kening sambil menatap Umika cemberut.

“kau lupa?”

“lupa apa?” Umika ganti memiringkan kepalanya beberapa derajat.

Ryosuke menghela nafas gusar. “Umi-baka! 4 Februari kan hari jadi kita yang ke 3 bulan!!”

“heh?!”

“aku sudah mengatur rencana dan waktunya. Seharusnya hari itu kita ke Paris bareng!”

Umika melongo. “hah?!”

“heh hah heh hah! Aku serius Umichan…ini tinggal semingguan lagi loh. Aku sudah mau pesan tiket..”nada suara Ryosuke sedikit menurun. Umika menatapnya ragu. Hari itu memang hari jadian mereka, tapi gadis itu sudah setuju untuk ikut keluarganya ke Kyuushu. Apalagi ini demi pernikahan adik kandung ayahnya..

“ne, Ryosuke…” Umika mengatur kata-katanya sepelan dan sehati-hati mungkin. Takut Ryosuke akan kecewa dengan jawabannya. “itu…gomen ne..aku tidak bisa.”

“EEH?!” ternyata benar. Bukan hanya berwajah kecewa, Ryosuke malah kelihatan ingin protes keras.

“TA—“sebelum Ryosuke mengeluarkan kalimat-kalimat protesnya, Umika sudah keburu membekap mulut pemuda itu dengan kedua tangannya. Antisipasi. Dari raut wajahnya saja sudah dipastikan pemuda itu akan ngamuk besar.

“Gomen ne? aku cuma pergi seminggu kok…”

Mata Ryosuke melebar mendengar kata-kata Umika berusan.

“A-FHA? SEMPFHINGU?” Ryosuke masih saja bisa berteriak meskipun mulutnya sedang susah payah dibekap Umika. Sudah begitu, kata-kata yang keluar dari mulut pemuda itu sama sekali tidak jelas. Tapi kata A-FHA? SEMPFHINGU? itu bisa dimengerti Umika dan ditransformasikan otaknya sebagai 2 kata bernada tanya, apa? dan seminggu?
Umika mengangguk perlahan sambil tak juga melepaskan tangannya dari mulut Ryosuke. Sulit juga menahan posisi seperti itu mengingat tinggi Ryosuke belasan senti diatasnya. Ryosuke sendiri masih belum menunjukan tanda-tanda setuju.

“Ayolah Ryosuke..seminggu saja! Ini kan pernikahan bibiku. Adik ayahku sendiri…”

“TFIDAKH BFISHA” Ryosuke masih menolak. Umika mulai kehabisan akal.

“Ne, Ryosuke…”

“TFIDAKH”

Umika meringis. Sulit sekali mengurus manusia setan di depannya itu. Ia baru saja mau menyerah dan menelpon sang ayah untuk membatalkan keikutsertaannya ke Kyuushu ketika sebuah ide menghinggapi otak jeniusnya.

“Begini saja! Kalau kau ijinkan aku pergi, sepulang nanti aku akan memberimu hadiah! Iya! Apa saja yang kau minta! Ne? aah! Dan aku akan buatkan strawberry cake special untukmu, ya? bagaimana??” Umika sudah membebaskan bekapan tangannya dari mulut Ryosuke. Pemuda itu hampir menggeleng, tapi karena tersentuh dengan wajah memohon Umika yang teramat sangat penuh permohonan, pemuda itu dengan sangat terpaksa—catat! Dengan sangat terpaksa!—mengangguk. Senyum merekah Umika langsung tercetak dalam sekejap.

“Arigatou!” serunya girang luar biasa sambil memeluk Ryosuke. Ryosuke tersenyum tipis lalu balas memeluk Umika. Setelah pelukannya terlepas pun, Umika masih menunjukan kegirangan dan ucapan terima kasihnya lewat ekspresi wajahnya yang cerah. Melihat Umika begitu kesenangan akut, Ryosuke diam-diam berniat mengerjainya.

“sebagai hadiahnya, aku bisa meminta apa saja kan?” tanya pemuda itu mengulangi tawaran Umika sebelumnya. Gadis yang ditanyai itu mengangguk semangat. Ryosuke menyeringai. “Kalau begitu hadiahnya boleh kuminta sekarang?”

“eeh?”

Sambil bergerak maju, Ryosuke mencondongkan tubuhnya ke arah Umika membuat gadis itu refleks mundur. Dengan beberapa kali hentakan, langkah kedua manusia itu terhenti di tepi tempat tidur. Namun, karena tak tahu ada apa di belakangnya, Umika langsung terjatuh ke kasur. Dan parahnya lagi, gadis itu tak sengaja menarik kaos Ryosuke sehingga keduanya jatuh bersama dengan posisi yang..uhm…cukup tidak terduga. Ryosuke diatas dengan tangan menahan beban tubuhnya di kasur agar tidak menindih Umika yang berada dibawahnya. Persis sama dengan posisi mereka waktu tidak sengaja jatuh di pantai dulu * A/N: baca TDL 1 chp 9*

“sepertinya kau sudah tahu maksudku..”Ryosuke kembali menyeringai sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Umika. Gadis itu kehilangan akal sehatnya dan hanya bisa menutup matanya takut. Lambat laun, dirasakannya nafas Ryosuke menggelitik telinganya.

“ayo kita makan es krim..” ujar pemuda itu dengan nada sesexymungkin sebelum kemudian tertawa dan mengambil tas Umika lalu membawanya keluar. Umika cepat-cepat membuka mata sambil menatap punggung kekasihnya tersebut tidak percaya. Ternyata kejadian tadi tidak seperti yang dibayangkannya. Dalam hati Umika sedikit kecewa. Namun, buru-buru ditampiknya rasa kecewa berkadar 10 % itu.

“Dasar bodoh! Bukannya untung Ryosuke tidak melakukan yang aneh-aneh!” pikirnya sambil berusaha bangun. Ryosuke yang sudah sampai pintu kamar berhenti berjalan karena tidak dirasakannya Umika mengikutinya dari belakang.

“Oi, Umichan… mau ikut tidak?” serunya. Dan seruan itulah yang akhirnya membuat Umika tersadar.

“Ah, Hai! Matte..”jawabnya sambil berlari menghampiri Ryosuke.  

* * * * * * * *

“HOAH! Sialan!” Ryosuke meletakan gelas kosongnya ke meja dengan sekali hentakan keras. Mukanya manyun, masih terbawa frustasi yang dialaminya siang tadi. Di sampingnya, ada Chinen yang meliriknya sejenak kemudian tertawa kecil.

“Jangan sok dewasa, oi! Cuma minum cola doang lagaknya kayak minum bir!” Ejek pemuda itu sambil memperhatikan sebotol minuman bertitle ‘Coca Cola’ yang isinya tinggal dua per tiga botol disamping gelas Ryosuke. Daiki dan Yuto yang juga ada bersama keduanya langsung ngakak. Ryosuke makin manyun, tidak bisa mengungkiri kenyataan bahwa masih butuh setahun lagi bagi mereka berempat untuk bisa menikmati bir atau apapun minuman keras level elite lainnya.

“Jadi, apa ini? Pesta melepas Umika? kok Umikanya malah nggak ada?”Yuto memulai topik baru dengan mengajukan pertanyaan sehubungan dengan cerita Ryosuke puluhan menit yang lalu.

“Mungkin ini pesta lajang! Lihat, gadis-gadis tidak ada yang diundang kan?” Daiki ikut bicara sambil meneguk colanya. Melihat hal itu, Ryosuke kembali menuangkan cola lagi ke gelasnya dan ikut meneguknya.

“Aku tidak mengerti Umika. Padahal tanggal 4 nanti hari jadi kami yang ketiga bulan..”

“Tapi kau juga tidak bisa memaksanya melewatkan pernikahan bibinya kan? Jangan egois Ryosuke..” Yuto menasehati. Pemuda yang jadi obyek nasihatnya itu hanya diam. Sejujurnya dia juga merasa tidak tega kalau harus melarang gadisnya pergi seperti itu. apalagi ini acara keluarga. Tapi kenapa kok harus dihari itu? dihari jadi mereka yang ketiga bulan?

“Kenapa harus di hari jadi kami yang ketiga bulan sih? Kenapa harus tanggal 4?”Ryosuke mengeluarkan unek-uneknya. Chinen memoncongkan bibirnya beberapa senti.

“Mana kutahu? Hari sial kalian mungkin. Tanggal 4, angka 4, kanji shi. Sial kan? Makanya kalau mau nembak itu lihat tanggalnya dul—” protes Chinen terhenti ketika dirasakannya satu tatapan maut sudah telak menusuk pipi kirinya. Pemuda itu tersenyum garing. “Gomen. Soalnya aku bosan lah Ryochan. Ini sudah nyaris yang kesepuluh kalinya kau mengumumkan hari jadi kalian itu.” Jawabnya jujur. Ryosuke langsung cemberut.

“Hhhm..padahal aku sudah merencanakan perjalanan ke Paris. Si bodoh itu, kalau saja dia menolak pergi...!”

“Ne, Ryochan..”Yuto menepuk bahu Ryosuke. “ini bukan salah Umika…”

“Yang salah bibinya..” sambung Daiki. Yuto mengangguk setuju.

“Iya! Yang salah bibinya…”

“Kalau begitu kita batalkan saja pernikahan bibinya…” Usul Chinen refleks. Yuto kembali mengangguk, namun sepersekian detik kemudian, baru ia sadar dengan usul apa yang baru saja disetujuinya.

“Eh, jangan!” bantahnya. “Ryosuke bisa dibenci Umichan seumur hidup..”

Chinen dan daiki mengangguk, sementara Ryosuke sudah menenggelamkan kepalanya di kedua tangannya yang terlipat di meja. Sempat dipikirkannya untuk menjalankan rencana konyol Chinen tadi, namun setelah mengetahui kemungkinan dampak yang bisa ditimbulkannya sangat-sangat fatal—Umika jadi membencinya, adakah yang lebih buruk dari itu?—Ryosuke akhirnya mengurungkan niat tersebut.

Sekarang apa yang harus dilakukannya? Melepaskan Umika dan menunggunya selama seminggu sambil melewatkan hari jadi mereka sendirian?

Pemuda itu menghela nafas panjang dan lama.

To Be Continued
------------------------------------------------------------------------------------------------------------