CHAPTER 18
Umika memainkan kakinya pelan dalam genangan dangkal kolam ikan taman rumah sakit. Sesekali gadis itu terkekeh geli ketika beberapa ikan koi datang dan menggigit kakinya pelan. Sedetik kemudian benaknya kembali dipenuhi rentetan tindakan tanpa pikir panjang yang sempat dilakukannya beberapa saat lalu.
“Pura-pura mati? Maksudmu apa, Kawashima?”
Umika menggigit bibir. “Yamada-san ingin hubunganmu dengan Ryosuke kembali membaik kan? Aku rasa ini satu-satunya cara. Aku berani jamin, Ryosuke akan memaafkanmu. Dia akan menyadari betapa penting Ayahnya untuknya.”
Gadis itu mengerjap beberapa kali. Cukup berani juga dia mengusulkan ide nekat seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi? Yang terbesit dalam pikirannya tadi ya cuma ide semacam itu dan entah kenapa ada keyakinan besar dalam hatinya kalau semua yang diusulkannya itu akan berjalan lancar. Dan semoga saja, Ryosuke bisa berdamai dengan ayahnya.
“Aah, anak itu sudah datang belum ya?”
“Ternyata kau disini.” Satu suara tiba-tiba menyambung gumaman Umika barusan. Tersentak hebat, gadis itu buru-buru menoleh, mendapati manusia yang tadi disebutnya secara tidak langsung berdiri tegak dibelakangnya. Wajahnya tampak kesal.
“R-Ryosuke..”
“Maksudmu apa membohongiku?” Tanya pemuda itu tanpa basa-basi. Langkahnya mendekat. Umika buru-buru keluar dari kolam dan bergerak menghindar dari sosok Ryosuke yang nampaknya siap menerkamnya begitu saja.
“Dengar dulu Ryosuke, aku—“
HAP!
Tiba-tiba saja lengan pemuda itu sudah melingkari bahu kecilnya. Ryosuke memeluk gadis itu erat. Dagunya ditopang di puncak kepala Umika. Sementara umika sendiri terlalu shock untuk menanyakan apa pada Ryosuke.
Beberapa detik bertahan dalam posisi tersebut, Ryosuke kemudian berujar. “Arigatou na, Umika…hontou ni arigatou…”
Umika masih diam. Tidak tahu mau menjawab apa. Tapi lebih dari itu, Umika menikmati pelukan hangat pemuda yang disukainya itu. Ini mungkin hadiah dari Kami-sama karena usul nekatnya sudah menciptakan perdamaian antara pasangan ayah-anak tersebut. Pelan-pelan, semburat merah muncul di kedua pipinya.
“hontou ni, Arigatou…” Ryosuke masih tak melepaskan pelukannya. Begitu pula Umika, tidak sama sekali memberikan penolakan pada tubuh pemuda didepannya ini. Nyaman, keduanya merasakan yang sama.
Tanpa mereka sadari seseorang menatap pemandangan tersebut nanar. Matanya nyaris ditetesi air mata karena rasa sakit yang tiba-tiba saja menghujam hatinya.
Shida Mirai berbalik pergi, meninggalkan satu tetes bening air mata yang sempat mengaliri pipinya dan jatuh membasahi lantai. Gadis itu merasa dikhianati. Padahal, baru semalam Ryosuke bilang suka padanya dan bahkan menciumnya. Tapi hari ini, pemuda itu malah sudah memeluk mesra gadis lain. Apa pemuda itu serius? Apa benar pemuda itu menyukainya? Ataukah ini hukuman dari Kami-sama karena sebelumnya dialah yang sudah menghianati Yuto?
Mirai tidak lagi peduli. Gadis itu hanya terus melangkah, menjauh, sejauh mungkin, sampai kemanapun ketika sakit hatinya mereda.
Mirai bahkan sama sekali tidak sadar, seseorang sedang menatapnya dan Ryosuke-Umika bergantian. Seseorang yang sebenarnya sudah curiga dengan hubungan rumit ketiganya namun belum juga berniat membuka suara. Hari ini dia memperoleh satu lagi bukti, bahwa dibelakangnya telah terjadi sesuatu.
Yuto Nakajima mengepalkan tangannya kuat lalu meninju tembok disampingnya.
“ck!”
~ 0 ~ 0 ~ 0 ~
“Ri-yo-chan~” satu panggilan kekanakan terdengar, disusul sebagian kepala seorang Yamada Tsukasa yang menyembul dari balik pintu kamar Ryosuke. Pemuda itu menghentikan aktivitas bermain gamenya seketika, lalu tertawa geli melihat Touchannya yang nampak childish sekali malam ini.
“Naaa-niii?” Ryosuke ikut mencelatkan kata tanya bernada kekanakan, membuat sosok dibalik pintu itu juga tertawa kecil sebelum wujudnya sempurna masuk ke kamar mewah putra sematawayangnya tersebut.
“sedang apa? —Aah Street Racer! Ini mainan favoritku semasa SMU. Ternyata sudah ada versi 8nya ya? Kalau dulu baru yang versi satu…” Mata Tsukasa seketika melebar melihat beberapa mobil dalam lintasan balap di TV layar datar milik Ryosuke. Yah, game itu. Street Racer, game andalannya masa SMU. Salah satu game yang paling sering dimainkannya bersama Rui—ayah Yuto, serta Soujiro—ayah Chinen, dan Akira—ayah Daiki. Hanya saja, Street Racer dimasanya belum diembeli apa-apa, sedangkan yang dimankan putranya kali ini sudah ada pangkat delapan dikanan atas judulnya.
Ryosuke menatap sang ayah setengah WOW setengah heran. Tidak menyangka, ayahnya yang sehari-hari workaholic ini ternyata tahu game asyik juga. Segera, pemuda itu bergeser dari posisi duduknya dan memberi sebagian tempat di sofa.
“Berani melawanku?” tantang pemuda itu sambil bersiap melemparkan satu lagi gamestick yang dimilikinya. Tsukasa tersenyum kecil sebelum akhirnya gamestick tadi berpindah ke tangannya.
Dan pertandingan Street Racer ayah-anak Yamada dimulai. Ryosuke duluan memilih mobilnya. Pemuda itu memilih sebuah mobil merah terang, nyaris menyerupai Lightening Mc Queen dalam film animasi Cars, sementara ayahnya mendapatkan sebuah mobil hitam metalik yang setipe dengan pilihan putranya itu. Selesai modifikasi mobil masing-masing, ayah anak itu bersiap di garis start. Setelah aba-aba berakhir, melajulah mobil-mobil pilihan keduanya melalui jalanan malam kota Las Vegas yang dipenuhi lampu warna-warni berbagai kasino.
10 menit kemudian, garis finish mulai terlihat. Ryosuke dan Tsukasa berjuang mati-matian mengarahkan gamestick masing-masing agar bisa memenangkan pertandingan. Saat itu pulalah terlintas satu pertanyaan dalam benak Tsukasa—yang seharusnya ditanyakan sejak tadi karena itulah tujuannya mampir ke kamar sang putra.
“Ryochan, sejak kau kapan pacaran dengan Kawashima Umika?”
Ryosuke kehilangan kendali atas gamesticknya, bahkan nyaris menjatuhkan benda itu ke lantai. Alhasil, Tsukasa dengan mudah menjuarai pertandingan, sementara Ryosuke harus puas finish di urutan kedua.
“YEAH!! Aku menang!” seru pria 40 tahunan itu senang, sebelum gantian memandang putranya yang tiba-tiba pipinya sudah memerah. “Ne,Ryosuke.. jadi kau pacaran dengan Umika sejak kapan?”tanyanya lagi, menyadari ekspresi malu-malu pemuda itu. Ryosuke secepat kilat menggeleng.
“Tidak..Tidak. aku tidak detto dengan Umika..”
Tsukasa mengerutkan kening.
“jadi kalian belum pacaran..demo, kau menyukainya kan?”sambungnya lagi sambil tersenyum lembut. Pria itu menyadari, perbincangan anatr pria ini tidak mungkin terjadi jika tidak ada seorang Umika Kawashima yang membantu mereka berdua.
“itu….entahlah. aku menyukai orang lain.”jawab Ryosuke jujur. Tsukasa nampak tidak kaget.
“Mirai?”
Ada jeda beberapa lama sampai Ryosuke mengangguk.
“Kau yakin benar-benar menyukainya?”
Pemuda itu menoleh, tidak begitu mengerti kata-kata yang berusan tercelat dari kedua sisi bibir ayahnya. Tsukasa makslum, namun kembali mengulangi pertanyaan yang sama.
“Kau yakin, orang yang kau cintai benar-benar Mirai?”
Ryosuke meletakan gamestick di tangannya. “maksud Touchan apa? Tentu saja orang yang kusukai itu Mirai. Sejak dulu, bahkan sebelum Yuto menjadi kekasihnya.”
Tsukasa tersenyum tipis sembari ikut meletakan gamestick yag sedari tadi dipegangnya.
“Lalu terhadap Umika, bagaimana perasaanmu?”
Ryosuke terdiam, bingung mau menjawab apa. Pernyataan Umika hanyalah sekedar sahabat baik baginya tidak bisa dilontarkannya dengan mudah kali ini. Entah apa yang dilakukan sang ayah, atau apapun pengaruh pria itu, Ryosuke tidak bisa mengelak seperti biasa. Ada sesuatu yang memaksa hatinya untuk berkata jujur, kalau Umika bukanlah sekedar sahabatnya kali ini. Gadis itu telah memiliki sebagian dari hatinya, meskipun pemuda itu masih tidak mengerti bagaimana Umika bisa.
“Kau menyukainya juga kan?”tidak sabar menunggu jawaban Ryosuke, Tsukasa memberi opsi. Sama seperti sebelumnya, butuh waktu cukup lama bagi Ryosuke untuk menjawab.
“Entahlah…aku juga tidak tahu apakah aku menyukainya atau tidak. Hanya saja, sudahlah. Aku sudah memilih Mirai—”
“Lalu bagaimana dengan Yuto? Dia sahabat terbaikmu kan? Dan kurasa kalian sudah seperti saudara. Apa kau tega, merebut gadis yang berarti baginya?” Tsukasa memotong panjang, meninggalkan kebekuan yang terbesit tiba-tiba saja antara keduanya. Dalam hati, dia membenarkan pertanyaan Ayahnya barusan. Bagaimana dengan perasaan saudaranya sendiri?.
“Aku—aku tidak tahu..“ jawab pemuda itu kemudian lemah. Perasaan telah mengkhianati sahabat terbaiknya mencuat begitu saja. Ryosuke sadar benar, dia salah. Tapi harus bagaimana?
“Ryosuke…”Tsukasa menarik nafas sejenak. “aku pernah melakukan hal yang sama. Aku mengambil ibumu dari ayah Yuto. Tapi itu karena kami benar-benar saling mencintai, dan Rui merelakan hal itu. Tapi bagaimana denganmu? Apakah kau benar-benar mencintai Mirai? Lalu bagaimana dengan perasaanmu pada Umika? kau juga tahu, itu cinta kan? Berarti secara tidak langsung kau akan menduakan Mirai. Lalu Mirai, apakah kau yakin dia sungguh-sungguh mencintaimu sepenuhnya? Ingat betapa dia bahagia bersama Yuto. Ketika kau memilih untuk memperjuangkan cintamu, kau tahu berapa banyak hati yang akan terluka?”
Ryosuke makin terdiam. Tidak ada apapun—bahkan satu katapun yang bisa dilontarkannya untuk menjawab tanya sang ayah. Begitu pula Tsukasa. Entah nasihat refleksinya kali ini cukup atau tidak untuk menyadarkan putra sematawayangnya itu agar berani mengambil sikap terhadap keadaan hatinya.
Pelan-pelan pria itu bangkit dari posisi duduknya.
“tenangkan hatimu dan pikirkan. Jika butuh bantuanku, katakan saja..” Tsukasa mengacak-ngacak rambut putranya gemas. “sudah malam, tidurlah..”. lalu keluar dari kamar tersebut meninggalkan Ryosuke yang masih terdiam.
Harus bagaimana?
~ 0 ~ 0 ~ 0 ~
“Momochan! Momochan, matte yo!!”
Momoko tidak sama sekali mengubris panggilan bertubi-tubi dibelakangnya. Peduli setan sama si pemuda yang sudah 5 menit lebih marathon sambil adu suara dibelakang. Emosinya sudah kian memuncak sejak kajadian itu. 2 hari memang telah berlalu, tapi tidak berarti masalah ini selesai begitu saja. Minta maaf saja si penguin satu itu belum.
“Momochaaan!!!” teriak pemuda di belakang makin brutal. Still, momoko bukannya berhenti malah mempercepat lajunya. Kesal berlipat ganda, pemuda itu lalu berlari makin cepat, sampai akhirnya menangkap pinggang gadis itu dan mengangkatnya beberapa puluh centi dari tanah.
“KYAAA!!” Momoko spontan berteriak. “Apa yang kau lakukan? Turunkan aku!”
Tapi pemuda yang barusan melakukan tindakan heboh itu balas tidak mengubris dan membawa Momoko bersamanya menjauh dari jalur yang seharusnya mereka lewati untuk tiba di kelas. Puluhan pasang mata manusia lain yang kebetulan datang berbarengan dengan kedua pasangan heboh itu seketika ternganga. Alasannya ada 2. Yang pertama, karena adegan gendong-menggendong di pagi hari bukanlah hal yang lumrah ditemukan di kawasan Horikoshi gakuen, dan yang kedua, karena yang barusan ,menjadi oknum penggendong adalah salah satu member Idola sekolah, The Dream Lovers. Daiki Arioka. Seorang Daiki Arioka, bayangkan, menggendong seorang gadis—pendek yang tidak begitu dikenal disekolahan setelah sebelumnya marathon plus teriak-teriak kencang. Jadi, ada apa ini?
Pertanyaan berikutnya kembali muncul di kepala para penonton—kusunya para gadis.
‘gadis itu bukannya yang datang bareng Arioka-kun semalam ya? Mereka ada hubungan apa sih?
Dan akhirnya, menyebarlah kabar gembira tersebut seisi sekolah.
~ 0 ~ 0 ~ 0 ~
“Daichan, turunkan aku cepaat! Semua orang memperhatikan kitaa!!” Momoko sebisa mungkin memberontak, meminta kekasihnya itu untuk segera membiarkan kedua kakinya menyentuh tanah. Namun sayang, Daiki malah bertindak selayaknya gerobak sampah. Diam dan tak berbunyi.*A/N:kecuali kalo si tukang sampah tereak sampaaah...sampaah… gitu ya..*
Setelah sampai di salah satu tempat sepi di sekolah—taman belakang, as ususal, Daiki kemudian memenuhi permintaan gadisnya itu dengan menurunkannya. Tapi bukannya di tanah, pemuda itu malah melepaskan Momoko tepat di atas bagnku taman, sambil tak juga melepas pelukannya.
“sudah turun kan? Sekarang jawab pertanyaanku. Kenapa kau marah?” tanya pemuda itu langsung. Senyuman terukir tipis di bibirnya. Momoko melipat tangannya, lalu membuang muka. Enggan menjawab tentu saja.
“ne, Momochan…kalau Momochan diam terus, aku kan jadi tidak tahu apa yang terjadi. Kuhubungi dari kemarin, telponku selalu dimatikan. Kerumahmu pun, kau tidak mau keluar. Emang kenapa momochan? Aku salah apaan?”
Momoko masih tidak mau menjawab. Daiki jadi setengah senewen.
“kalau Momochan tidak mau memberitahuku alasannya, aku tidak akan menurunkanmu ke tanah. Biar Momochan berdiri di bangku ini terus..!”
Momoko seketika menoleh kaget. “Eeh?! Jangan! Daichan turunkan akuu!!”
“kalau begitu jawab. Aku salah apa, Momochan??”
Momoko mencibir. “bukankah seharusnya kau yang tahu!”
Daiki memiringkan kepalanya. “tahu apa?”
“Iih! Daichan jangan pura-pura bego deh! Kau pikir aku tidak lihat apa kau mesra-mesraan dengan perempuan itu! padahal hanya kutinggal sebentar!” gadis itu menjawab kesal, membuat pemuda didepannya melongo sebentar.
“Perempuan…mana? Perempuan yang mana Momochan? Sumpah! Aku tidak pernah mesra-mesraan dengan perempuan lain selain kau!!”
“Jangan pura-pura lupa! Perempuan dewasa yang datang ke pesta Yuto itu! setelah ditinggal Chinen, malah kau yang mendekatinya kan?! Ternyata seleramu sudah berubah ya, Daichan? Aku tidak tahu kau sekarang tertarik dengan wanita yang lebih tua. Chinen berhenti, kau malah mau menggantikan ternyata!” omel momoko panjang lebar setelah sebelumnya menarik nafas panjang.
“pesta Yuto………..Miyuki? maksudmu Miyuki-chan?” Daiki masih ternganga beberapa detik sampai kemudian tawanya membahana. “ HAHAHAHAHA” pemuda itu berhenti sebentar untuk mengatur nafasnya, lalu lanjut tertawa lagi. “WAHAHAHAHAH..”. Momoko menatapnya ajaib.
“Ne, Momochan…” Daiki akhirnya menyelesaikan parade tawanya dan mulai memberi penjelasan. “Miyuki-chan itu adik perempuan ibuku… jadi dia itu Oba-chan ku… dan dia sudah berkeluarga. Tidak mungkin aku selingkuh dengannya…”
“Tuh kan! Sudah kubilang—APA?!” Momoko sadar terlambat. Daiki masih mengeluarkan persediaan tawa sisa melihat ekspresi tidak percaya kekasihnya tersebut. “Ho-Hontou?”
Pemuda itu mengangguk mantap. “Miyukichan memang pernah pacaran sama Chinen, tapi itu tidak lama. Dan aku tidak mungkin akan mengikuti jejak Chii untuk pacaran dengan wanita yang lebih dewasa, apalagi dengan bibiku sendiri..” Pemuda itu memeluk momoko makin erat lalu menurunkannya ke tanah. “lagipula, aku kan sudah terlalu bahagia punya kanojo yang kawaii seperti ini..” pemuda itu mendekatkan wajahnya ke wajah Momoko. Momoko pelan-pelan mulai memiringkan kepalanya sembari lambat laun menutup kedua kelopak matanya, menanti aksi pemuda itu selanjutnya.
“Apa yang kalian berdua lakukan?” satu suara bernada tanda tanya tiba-tiba saja terdengar. Daiki segera menghentikan gerakan wajahnya dan menoleh ke sumber suara dibelakangnya, begitu pula momoko yang kontan membuka mata.
Berdirilah disana Ryosuke dengan kedua tangan terlipat didada bersama Chinen dan Umika. ternyata pemuda itulah oknum perusak suasana romantis Momo-Dai tadi.
“Ryosuke baka! Kau menghancurkan momen romantisnya..” Chinen Yuri protes, tontonan dorama gratis sahabatnya barusan harus terhenti karena pertanyaan introgasi Ryosuke. “Ne, Kalian jangan pedulikan si butta in. Lanjutkan saja..”sarannya kemudian. Ryosuke mengangkat alisnya sebelah, begitu juga Umika yang memilih mengangkat kedua alisnya.
Daiki dan Momoko merubah posisi, membentuk barisan bersaf menghadap ketiga manusia didepan mereka. Keduanya tertawa garing, lalu pelan-pelan bergeser menjauh.
“Ne, Chii, Ryosuke, Umika, kami ke kelas dulu ya. Jaa~” Daiki secepat kilat menarik tangan Momoko dan membawa gadis it bersamanya. Langkah keduanya cepat dan panjang, sehingga hanya dalam waktu beberapa sekon, kedua menusia itu sudah hilang entah kemana.
“Ck! Ryosuke sih, mengganggu. Padahal kan lagi seru!” Chinen Yuri kembali mengomeli sahabatnya yang satu itu. ryosuke menoleh, menatap pemuda itu kesal.
“bukannya bagus kalau mereka berdua kuhentikan? Ini sekolah, oi! Kalau mau mesra-mesraan ya, kenapa tidak cari hotel saja sana.”
Chinen manyun. “bilang saja kau cemburu karena tidak bisa gituan sama Umichan. Cih, sudahlah. Aku mau nyari Suzuchan dulu…” balasnya kemudian ikut berlalu meninggalkan Ryosuke yang kini nampak kaget akut sendirian berdua Umika.
Sama seperti pemuda disampingnya yang juga kaget dengan kata-kata Chinen barusan, Umika mulai menatap intens ke arah Ryosuke. Seketika, Ryosuke menangkap pandangannya.
“Apa? Kau juga mau protes opera sabunnya kukacaukan? Kalau begitu kita panggil saja mereka berdua lagi. Lalu minta mereka me-replay aksi tadi..” seru pemuda itu sewot. Umika bukannya menjawab malah tertawa keras-keras.
Chapter 18 end ~ continue to chapter 19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar