Sabtu, 01 Oktober 2011

[fic/On Writting] : The Dream Lovers-chapter 17


CHAPTER 17


“Kuantar masuk?” Nada bicara Ryosuke sedikit ragu-ragu, tidak begitu yakin dengan tawarannya barusan. Jelas saja, masih terngiang di benaknya bagaimana dia disusir oleh kepala keluarga Kawashima semalam. Seumur-umur, belum pernah ada satupun manusia di muka bumi ini yang berani mengusirnya. Selamat untuk kawashima Yuya karena sudah menjadi yang pertama—dan semoga yang terakhir. Jujur, pemuda itu rada kurang percaya diri untuk menjejakan kakinya walau hanya seambang pintu rumah. Takut, kalau-kalau saja pengusiaran semalam ada season duanya. Tidak menutup kemunginan kan, kalau semalam hanya diusir, kali ini mungkin dirinya akan dihajar habis-habisan, secara kalau semalam Umika hanya datang dengan wajah sembab dan berliput air mata, kali ini malah membawa luka memar. Penyebabnya orang yang sama pula.

“kalau masih takut Touchan, tidak usah. Eh, tapi…touchan di kantor sih jam segini…”balas Umika melihat ekspresi ‘aku nggak yakin deh mau masuk’ di wajah Ryosuke. “Aku turun ya? Jaa…” Gadis itu sudah membuka pintu mobil dan menghampaskannya kmbali. Namun, tanpa disangka-sangka, pemuda di sampingnya itu juga ikut melakukan hal yang sama. “yakin nih mau ikut?” sambung gadis itu ketika Ryosuke sudah berdiri sigap disampingnya. Ryosuke mengangguk mantap.

“Aku yang membuatmu terluka, makanya aku harus tanggung jawab..”

“tanggung jawab? Hah! Bicaramu sudah seperti aku luka parah saja…” Umika mulai menarik kenop pintu “ayo masuk..!”

Ryosuke menurut. Kedya manusia itu lalu memasuki rumah keluarga kawashima. Cukup sepi, sampai Umika harus berteriak memanggil ibunya yang entah ada dimana. Sepertinya di dapur karena hari ini sang ibu tidak masuk kantor. Ada acara apalah, entah, yang pasti membuat sang ibu enggan berkunjung ke tempat kerjanya tersebut.

“Kaa-chan, tadaimaaa…!”

“Okaeri..!”balas Rubi sambil buru-buru berlari dari dapur. Wanita itu seketika kaget melihat putrinya di jam sekolah bergini malah ada di ruang tamu rumahnya, bersama Ryosuke Yamada pula. Ditambah perban putih yang menempel di kening kirinya itu, pasti telah terjadi sesuatu.

“Umika, Doushita…”tanya Rubi panik dan buru-buru memeriksa luka putrinya itu. Rubi jadi tidak bisa tahu sebesar apa luka di kening Umika tersebut karena sudah tertutup perban.

“Tadi aku—“

“Gomenasai!” Ryosuke memutuskan kata-kata Umika tadi dengan satu permintaan maaf bervolume tinggi. Ditambah lagi, pemuda itu membungkuk hingga nyaris 90 derajat. “Hontou ni Gomenasai! Tadi karena aku tidak memperhatikan jalanan, kami berdua mengalami kecelakaan ringan dan kening Umika terbentur dasbor. Lukanya tidak parah kok, aku sempat membawanya ke rumah sakit dan kata sensei tidak ada tanda-tanda akan gegar otak. Untuk itu, aku minta maaf, bibi. Hontou ni, Gomenasai…”lanjutnya tanpa sekalipun menegakkan punggungnya. Rubi speechless, tidak tahu bagaimana caranya menghadapi pemuda jujur ini. Umika juga ikut terpana menyaksikan tingkah nekat Ryosuke barusan.

Punggung Ryosuke mulai pegal. Sudah sekitar 5 menitan pemuda itu membungkuk dan 2 manusia yang dimintainya maaf tak juga menyuruhnya bangun. Dia sendiri juga tidak enak kalau langsung menegakan tubuhnya tanpa disuruh. Belum tentu dirinya dimaafkan juga. Melihat Ryosuke yang sudah tidak begitu nyaman dengan pose menunduknya, Rubi tersadar, lalu buru-buru menyuruh pemuda itu bangun.

“sudahlah Yamada-kun, tidak perlu. Yang penting Umika sehat-sehat saja…”

Mendengar kata-kata pembebasannya, Ryosuke secepat kilat menegakan punggungnya yang bila ditinggalkan semenit lagi dalam posisi tadi, mungkin saja dirinya akan berakhir bungkuk seumur hidup.

“hai..arigatou Bibi. Aah.. aku harus ke sekolah sekarang untuk memberitakan kalau Umika sakit. Aku pamit dulu, itekimas…” Ujar pemuda itu sebelum keluar dan dibalas sapaan manis Rubi dan senyuman lembut Umika. Berbeda dengan semalam ketika kepergiannya hanya dibanjiri tatap dingin Yuya juga wajah pasrah Rubi dan Ryuu.

Sesaat senyuman Umika kembali terbayang. Pemuda itu ikut tersenyum, sebelum menstater mobilnya dan pergi.

~ 0 ~ 0 ~ 0 ~


Jam pertama sudah berlalu nyaris tiga puluh menit ketika seorang Yamada Ryosuke dengan seenaknya memasuki kelas 3-D, wilayah teritorinya. Yaotome-sensei—yang kali ini sedang menerangkan tentang termokimia—seketika langsung terdiam. Begitupun keadaan kelas yang semulanya cukup gaduh karena Yaotome-sensei banyak bercanda dalam memberi penjelasan, tiba-tiba saja ikut senyap ketika pemuda itu datang.

“Umika sakit…dia ijin dulu hari ini..”Ujar pemuda itu to the point. Persetan dengan keadaan kelas yang langsung berubah 180 derajat. Bukan masalah baginya kalau dia mau seenaknya seperti ini. Toh sekolahan ini miliknya.

Mendengar ucapan Ryosuke barusan, yaotome-sensei secepat kilat menarik daftar absen di mejanya dan menulis huruf ‘I’ besar di kolom kehadiran Kawashima Umika. “hai! Sudah kuisi.”

“bagus” jawab Ryosuke singkat lalu kemudian berjalan ke tempat duduknya, tanpa sekalipun memperhatikan tampang Yaotome-sensei yang terlihat gugup plus ketakutan. Malang sekali nasib sensei yang satu ini. Kemarin dibantai Chinen Yuri, dan hari ini giliran Yamada Ryosuke—putra pemilik sekolah. Hidup memang sulit.

Ryouke sampai ke bangkunya, melempar tas seenaknya,  dan langsung menempati kursi tersebut. Ketika menoleh kedepan, matanya tidak sengaja menangkap wajah Mirai, tepat ketika gadis itu melihatnya. Seketika semburat merah muncul di kedua pipi Mirai, membuat gadis itu memutar wajahnya agar semburat itu tidak terlihat penyebarannya ke bagian wajahnya yang lain. Melihatnya, Ryosuke tersenyum lembut. Pengakuannya semalam itu ternyata berbalas. Mirai juga menyukainya, meskipun hanya malam itu dirinya bisa menggantikan Yuto. Ryosuke bahagia, teramat sangat bahagia. Apalagi ketika didapatinya lagi Mirai mencuri pandang ke arahnya beberapa kali.

Dan ketika itu juga, Ryosuke lupa Yuto begitu juga Umika. Baik Ryosuke maupun Mirai sama sekali tidak menyadari tatapan tidak suka di sinar mata Yuto untuk keduanya.

~ 0 ~ 0 ~ 0 ~

Suara deru mesin mobil kembali bergema di depan rumah keluarga Kawashima. Umika berdecak kesal, mengira kunjungan kali ini juga dari Ryosuke yang kembali dengan berbagai alasan bodohnya. Tapi kedua bola matanya sontak melebar ketika menemukan siapa yang berdiri di depan sebuah sedan mewah mahal yang terparkir depan rumahnya.

“Yamada Tsukasa-san?”bisiknya kaget. Tsukasa tersenyum lembut.

“Ohayou,…”

“Aah..Ohayou!” jawab Umika gugup, membuat Tsukasa tertawa makin lebar. “Anoo.. ada apa ya?”

“Aku mau—“

“Waa..tunggu. tunggu. Yamada-san masuk dulu…”Umika memotong kata-kata pria itu dengan menyuruhnya masuk. Penjelasannya biar nanti di dalam saja, soalnya Umika takut kemunculan Yamada Tsukasa yang tiba-tiba ini bisa menghebohkan ibu-ibu tetangga.

Tsukasa baru mau melangkahkan kakinya ketika sebuah serangan rasa sakit  menyerang dadanya. Seketika pria itu tersungkur di tanah, sambil memegang dada kirinya. Umika refleks mendekatinya. Begitu pula supir keluarga Yamada yang sejak tadi berdiri di belakang Tsukasa.

“Yamada-san?..Yamada-san, doshita? Yamada-san?!”

~ 0 ~ 0 ~ 0 ~

Ryosuke memainkan kakinya menginjak-injak rerumputan di dasar. Senyum cerah terkembang di bibirnya. Hari ini memang hari terbaik. Setelah sukses dimaafkan Umika pagi tadi, kali ini Mirai mengirim e-mail, mengajaknya untuk bertemu. Dilihat dari banyaknya motion ‘happy’ dan tingkah malu-malu mau gadis itu sebelumnya, Ryosuke semakin yakin perbuatannya semalam tidak salah-salah amat. Mengungkapkan cinta merupakan salah satu hal yang harus dilakukan dalam hidup kan?—meskipun terhadap gadis yang merupakan pacar sahabatnya sendiri.

Kata ‘sahabat’ dan ’pacar’ tiba-tiba saja menyadarkannya. Ya, fakta bahwa dia telah mencuri salah satu yang berharga milik Yuto. Egois? Tentu saja. Tapi ketika cinta yang ditahan 10 tahun n menjeritkan kebebasan, adakah hal lain yang bisa dilakukannya selain mengikuti keinginan itu, meskipun dia sadar, sahabatnya, gadis yang dicintainya, dan bahkan dirinya sendiri bisa terluka. Seseorang sudah cukup terluka untuk hal itu—Umika. Dan kali ini mungkin saja, Yutolah yang akan terluka berikutnya.

“Oi! Ngelamunin apa?” Mirai tiba-tiba muncul dan menepuk pundak Ryosuke semangat. Pemuda itu menoleh, memberikan senyum terbaiknya. 

“betsuni~”

“betsuni? Ck! Menyembunyikan sesuatu dariku ya? Ayo katakan! Ngelamunin apa?” Mirai mulai mencubit-cubit perut Ryosuke. Pemuda itu menggeliat kegelian sambil tertawa kencang.

“Yamete yo, Miraichan..!!”

“hahaha… tidak mau..”

“Miraichan Yamete—”

“Mirai!” suara seseorang tiba-tiba saja terdengar, menghentikan aktivitas mesra kedua sejoli itu. Keduanya hafal betul suara itu. Pelan-plan mereka berbalik.

“Yuto, doushita?” Mirai mencoba bersikap sewajarnya. Meskipun tertangkap basah bersama Ryosuke kali ini, untunglah keduanya tidak melakukan hal yang aneh-aneh. Dia masih bisa berkelit.

“Kita, dipanggil ke ruangan Yabu-sensei…” jawab Yuto tenang, nampak tidak begitu terganggu mendapati keakraban yang tak begitu wajar antara gadisnya dan Ryosuke.

“Imakara?”

“Un!”

Mirai balik menatap Ryosuke. “Aku pergi dulu. Jaa, Buttachan..!”

“Jaa, Ryosuke!”Yuto ikut pamit. Ryosuke hanya tertawa garing sambil melambaikan tangannya. Setelah kedua manusia itu menghilang dibalik tikungan koridor, Ryosuke mengelus-elus dadanya lega.

“Syukurlah…untung tadi aku belum sempat melakukan yang aneh-aneh…”ujarnya sambil berjalan ke kelas. Setelah sempurna tiba di kelas dan menjangkau bangkunya, pemuda itu lalu mengambil keitai disakunya dan memainkannya. Terbesit pikiran untuk menelpon Umika. Namun, kalau menelpon Umika sekarang, dia takut kedengaran Mirai. Bisa-bisa dia cemburu. Ya, semenjak kejadian semalam, Ryosuke merasa sudah memiliki tanggung jawab terhadap gadis itu. Meskipun mungkin hanya disaat Yuto tidak bersamanya.

Namun tak ayal, Ryosuke sudah kelewat penasaran ingin mendengar suara bernada ceria Umika. Digulirnya daftar kontak satu persatu sampai menemuka nama ‘Umika’. Salah satu jarinya nyaris menekan tombol ‘call’ kalau saja suara langkah kaki seseorang yang terburu-buru tidak mengganggunya.

“Ryosuke! Ayahmu!” Yuto mendatangi pemuda itu dengan wajah panik, begitu pula dengan Mirai di belakangnya. Ryosuke keheranan.

“Yuto, doshita?”

Yuto menarik nafas sejenak. “Ayahmu kena serangan jantung. Sekarang dia ada di rumah sakit, dan kata Inoo-sensei kondisinya sangat kritis.”

“APA?!”

“Ayahmu, dia kena serangan jantung!” Yuto mengulangi kta-katanya dengan sedikit penekanan. Ryosuke tersentak, wajahnya ikut memucat layaknya Yuto dan Mirai.

“U-uso..” bisiknya pelan, sangat pelan, nyaris tak terdengar. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Tidak didengarnya lagi langkah-langkah panik Chinen dan Daiki yang kini juga sudah berdiri di dekatnya.

“Ryo—“ Ryosuke tidak lagi memberikan kesempatan bagi Yuto untuk bicara karena kini kaki-kakinya sudah membawanya berlari meninggalkan kelas. Keempat manusia yang tadi berdiri di dekatnya segera menyusul.

“Tidak…ini tidak mungkin!”

Ryosuke menerobos lorong sekolah yang karena jam istirahat, terlihat begitu padat dengan siswa-siswi yang lalu-lalang. Semua segera menyingkir begitu melihatnya muncul, memberikan jalan yang cukup lebar bagi pemuda itu serta keempat sahabatnya yang tertinggal tidak terlalu jauh untuk lewat. Berita tentang ayah Ryosuke ini belum menyebar, karena itu setiap siswa yang melihat wajah panik mereka hanya memiringkan kepalanya heran.

Ryosuke tetap tidak peduli. Ketika mobilnya yang terparkir telah nampak jelas didepannya, buru-buru pemuda itu masuk dan melarikan mobil sport miliknya itu secepat mungkin. Kepanikan masih menguasainya. Seingat pemuda itu, Ayahnya tidak pernah didiaknosa menderita penyakit serius apapun. Dan kini, ketika tiba-tiba saja ayahnya terkena serangan jantung bahkan sampai kondisinya kritis tidak ada yang bisa Ryosuke lakukan selain secepatnya melihat kondisi ayahnya itu, serta berharap tidak terjadi apapun yang buruk. Ryosuke selalu mengaku dia membenci ayahnya, namun jauh dalam lubuk hatinya, pemuda itu sangat mencintai satu-satunya keluarganya yang masih hidup tersebut.

Mobil Ryosuke akhirnya memasuki kawasan rumah sakit. Dihentikan mobilnya seenaknya, lalu buru-buru berlari ke dalam. Pemuda itu tidak lagi bertanya kepada resepsionis dan langsung menuju ruang Inoo-sensei. Namun tanpa sengaja, matanya melihat sosok Inoo sensei yang baru keluar dari ruang ICU. Wajahnya sendu dan pucat. Ryosuke semakin khawatir dan secepat kilat mendatangi dokter muda itu.

“SENSEI!” Teriaknya agar Inoo bisa mendengar suaranya. Inoo segera menoleh ke sumber suara itu. “Tou-san! Bagaimana keadaannya? Dia baik-baik saja kan?” tanya pemuda itu langsung. Inoo terdiam, matanya enggan menatap pemuda di depannya. Hal itu membuat Ryosuke makin tidak tenang.

“ne, Sensei! Katakan! Tou-san baik-baik saja kan? IYA KAN?!” Ryosuke mengguncang-guncangkan tubuh Inoo. Pria itu masih terdiam, sampai ketika Yuto, Mirai, Chinen, dan Daiki tiba.

“SENSEI!!”

Inoo sensei mengangkat wajahnya pelan, lalu bersuara. “Maaf, Ryosuke. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin.”

“Tidak…Tidak mungkin…!” Ryosuke berlari melewati Inoo, lalu memasuki ruangan yang sempat dimasuki dokter itu tadi. Tubuhnya membeku melihat sosok seorang pria yang tertutup wajahnya oleh kain putih sedang terbaring di tempat tidur pasien. Pelan-pelan dibukannya kain penutup tubuh pria itu. Nafas Ryosuke tercekat ketika menemukan bahwa pria yang nampaknya sudah tak bernyawa lagi itu adalah Ayahnya sendiri.

“U-Uso…”bisiknya pelan. Tangannya menyentuh kedua pipi ayahnya. Dingin. Wajah ayahnya sangat dingin. Air mata menetes begitu saja mengaliri pipinya.

“BANGUN!” Frustrasi, Ryosuke menguncang-guncangkan pundak ayahnya keras.”BANGUN BRENGSEK! KENAPA KAU JUGA MENINGGALKANKU?! KENAPA?! CEPAT BANGUN YAMADA TSUKASA! BUKA MATAMU, BRENGSEK!!!!!” teriaknya sambil terus terisak. Tetap saja, sosok di depannya tidak juga menunjukan tanda-tanda akan menuruti perintahnya. Ryosuke makin frustrasi. Dipeluknya tubuh sang ayah yang dingin itu erat.

“Tou-san, Gomenasai…” Untuk pertama kalinya dalam 10 tahun terakhir, Ryosuke memanggil sosok itu dengan sebutan ayah. Tetap saja, yang dipanggil tak kunjung membuka mata. Wajah pemuda itu masih berlinang air mata. Dia tidak lagi punya cukup kekuatan untuk berteriak bahkan untuk menahan tubuhnya sehingga kemudian tubuhnya merosot ke lantai. Tangannya masih erat memeluk sebelah bahu ayahnya sementara tangisnya tak sedikitpun reda. “Tou-san, Bangunlah…kumohon, buka matamu…” Ryosuke tidak sekalipun berhenti meminta ayahnya untuk bangkit. Pemuda itu masih terus menangis dan menangis.

“TOU-SAN!!”

“Ryosuke…”

Ryosuke tersentak.

“Ryosuke…”

Pemuda itu bangkit berdiri, masih terisak.  

“Kau..?”

Tubuh yang terbaring sejak tadi itu lalu terbangun dan mengambil posisi duduk.

“Ryosuke, aku…”

“KAU MENIPUKU?!”

“Maafkan aku… aku hanya…”

“Kenapa kau menipuku?! Kau tidak tahu betapa paniknya aku tadi?! Aku berkali-kali membahayakan keselamatan orang lain dengan buru-buru datang kemari. Aku nyaris menabrak banyak orang hanya untuk menonton drama angst-mu ini!!! BRENGSEK!” Ryosuke berputar, siap melangkah pergi. Tsukasa buru-buru bangun dari tempat tidur dan menarik lengan putranya.

“Dengarkan aku dulu, Ryosuke! Aku memang terkena serangan jantung, namun itu tidak membunuhku kali ini. Mungkin lain kali, kapanpun, aku bisa saja mati. Tapi sebelum hal itu terjadi, aku ingin memperbaiki hubunganku denganmu. Aku tidak ingin meninggalkanmu sendiri begitu saja seperti ibumu meninggalkan kita. Aku ingin menciptakan kenangan, meski hanya sekali bersama putraku..”

Ryosuke terdiam. Dalam hatinya, dia tersentuh dengan perkataan Tsukasa. Pemuda itu merasakan hal yang sama. Dia sangat tidak ingin kehilangan ayahnya itu, yang sudah dimusuhinya 10 tahun. 10 tahun saja, sudah cukup kan? Bukankah sebaiknya saat ini dia memperbaiki hubungannya dengan sang ayah? Keduanya jelas menginginkan yang sama.

Tsukasa tiba-tiba merangkul Ryosuke erat. Pria itu tersenyum. Meskipun sudah 18 tahun, ternyata tinggi putranya itu tak juga menjangkaunya. Ryosuke sendiri tertegun. Ini pertama kalinya dalam 10 tahun terakhir dia merasakan pelukan sang ayah. Hangat. Lebih hangat dari siapapun—selain ibunya— yang pernah memeluknya selama ini. Perasaannya jadi tentram.

“Gomenasai yo, Ryochan…Tousan wa, hontou ni gomenasai…” Tsukasa berujar pelan. Ryosuke kembali dibuat tertegun ketika nama kecilnya itu dipanggil. Dulu, nama itulah yang digunakan kedua orang tuanya untuk memanggilnya. Sektika hatinya luluh. Pemuda itu seolah kembali merasakan masa-masa bahagianya dulu.

“tousan..”Ryosuke berbisik, agak lama sampai kemudian balas memeluk Ayahnya. Tsukasa tersentuh, air matanya nyaris mengalir kalau saja tidak segera dihapusnya dengan punggung tangannya. Sementara Ryosuke yang memang sudah berderai air mata sejak tadi, kembali memproduksi tetes bening yang sama.

Sekian detik berlalu sampai Tsukasa melepas pelukannya, lalu mengacak rambut Ryosuke gemas. “Tinggimu masih belum bisa menandingiku waktu SMU..”

Ryosuke tertawa kecil sambil sesekali ikut menghapus air matanya. “Aku masih punya 3 tahun untuk menandingi tinggimu yang sekarang. Lihat saja, aku pasti akan lebih tinggi dan keren darimu..”

Gantian Tsukasa yang tertawa. “Ganbatte ne?!...Oh ya, dimana Umika?”

Alis Ryosuke terangkat sebelah. “Umika?”

“Iya. Kawashima Umika. Tadi dia ikut membawaku kemari. Ah, sudah kuceritakan belum? Semua ini idenya. Dia bahkan berani jamin hubungan kita akan membaik..”

Ryosuke ternganga. “HAH?!’


Chapter 17 end ~ continue to chapter 18

Tidak ada komentar:

Posting Komentar