CHAPTER 16
Suzuka memanas, entah karena apa. Apakah pendingin ruangan kediaman Nakajima tiba-tiba mati kah? Atau pakaian yang dikenakannya terlalu tebal sehingga tidak ada angin yang berani menerjangnya? Ataukah?
Sayangnya tidak. Suzuka tidak memanas karena itu. Tapi karena manusia—yang dalam pandangannya berjenis pithecanthropus sial didepannya yang kali ini sedang mencari semacam homo sapiens untuk dikawinkan. Ck, kacau, deshou? Siapakah pithecanthropus itu? bisa menebak?
Bingo! Tersebutlah dia Chinen Yuri yang kali ini—ehem—menjabat sebagai kekasih tunggal Suzuka. Tapi kenapa dia malah duduk-duduk sambil merangkul seorang wanita cantik yang nampaknya berumur nyaris 30nan tahun, mesra pula. Bagaimana Suzuka tidak cemburu?
Takut kalau-kalau dirinya bisa terbakar ditempatnya berdiri sekarang, suzuka lalu putar balik dan melangkah ke salah satu pintu. Pintu apapun itu terserah, yang penting bisa menjauhkan pandangannya dari Chinen untuk waktu yang lama. Sedetik setelahnya, sampailah gadis itu di taman belakang keluarga Nakajima *AN/kok dari tadi settingnya disini mulu*—sepi. Tidak, kosong. Tempat yang cocok untuk mendinginkan kepalanya sejenak. Suzuka baru saja mau mendekati bangku didepannya ketika tiba-tiba seseorang memeluknya mesra dari belakang. Sontak gadis itu menoleh, dan mendapati senyum cerah Chinen yang menatapnya lembut.
“Suzuchan kok sendirian aja disini…?” Tanya pemuda itu. Bukannya menjawab, suzuka malah melepaskan pelukannya dan bergerak menjauh. Chinen menatapnya kaget. “suzuchan, doushita?”lanjutnya. wajah Suzuka kembali memerah.
“Pergi kau!”
“hah?”expresi bingung chinen sudah berpangkat dua. Heran, kok gadisnya bisa marah-marah tak jelas begini? PMS ya?
“Kubilang pergi. Lanjutin mesra-mesraanmu dengan wanita tadi!”bentaknya. Chinen ternganga sesaat namun sedetik kemudian tawanya meledak. Didekatinya gadis itu lalu mengacak-ngacak puncak kepalanya gemas.
“Suzuchan cemburu deshou?” godanya. Suzuka tersentak, wajahnya bertambah merah.
“Chigau! Aku tidak cemburu!”
Chinen nyengir makin lebar. “yang tadi itu mantan pacarku, Suzuchan. Jangan dipikirkan. Dia sudah menikah ini…”jelas pemuda itu. suzuka seketika teringat cerita momoko dulu, kalau Chinen pernah pacaran dengan wanita 27 tahunan. Pasti yang tadi. Terus, apa katanya tadi? Sudah menikah? Syukurlah. Suzuka bisa bernapas laga. Namun spersekian detik kemudian gadis itu tersadar. Status sudah menikah tidak menutup kemungkinan Chinen bisa selingkuh dengan wanita itu. Chinen Yuri ini.
“Jadi kau kencan dengan wanita yang sudah menikah ya? Hebat! Lalu untuk apa masih mempermainkanku? Padahal sudah kutolak, Kau masih bisa cari perempuan yang lain kan?” cecar Suzuka kemudian. Chinen seketika terdiam dan menatap gadis itu serius. Suzuka merinding, entah kenapa tatapan pemuda itu terlihat menakutkan kali ini.
“Suzuchan.”Chinen mulai bicara. “ketika aku meminta Suzuchan menjadi Kanojoku, aku tidak pernah main-main karena memang Suzuchanlah yang aku sukai sejak dulu. Aku main-main dengan banyak gadis karena aku belum punya cukup keberanian untuk mendatangi Suzuchan dan mengatakan semuanya. Setelah kita menjadi classmatelah, aku baru memahami Suzuka yang sebenarnya dan mulai mendekatimu secara terang terangan. Selama ini, tidak pernah sekalipun aku mempermainkan Suzuchan. Aku selalu serius jika berkaitan dengan suzuchan, titik!” jelas Chinen panjang lebar. Suzuka tertegun agak lama.
“hontou?” bisik gadis itu bertanya. Chinen mengangguk mantap. Senyum lebar terkembang di bibirnya. Suzuka tidak tersenyum malah menatap balik pemuda itu tajam. Lama, cukup lama sampai bisa membuat Chinen salah tingkah.
“Hentikan ah, Suzuchan menatapku lama sekali. Aku kan malu…” ujar pemuda itu akhirnya. Bukannya berhenti menatap, Suzuka malah memperjelas ketajaman matanya dengan semakin merapatkan wajahnya ke wajah Chinen. Gantian pemuda itu yang memerah.
Cuuup!
Bibir Suzuka seketika bersarang di pipi kiri Chinen. Kurang lebih sedetik sampai ditariknya kembali wajahnya dari wajah pemuda itu. Chinen membeku.
“Itu saja. Jaa~” Suzuka berbalik pergi, meninggalkan Chinen yang masih berliput es ditempatnya(?). pemuda itu tertegun agak lama, menyentuh bekas kecupan tadi hati-hati. Wajahnya memerah.
“YEEEAAAAHHH!!!!” teriaknya kemudian, senang sekali.
~ 0 ~ 0 ~ 0 ~
Gadis itu menerjang masuk dengan langkah cepat. Tidak dipedulikannya pintu yang terbanting keras di belakang, juga suara ayah, ibu, dan adiknya yang kemudian menyambutnya dengan kata tanya apa disetiap kalimat meraka. Ada apa, apa yang terjadi,.. sungguh. Dia tidak ingin membicarakannya saat ini. Gadis itu kacau, bahkan terlalu kacau untuk hanya mengucapkan tadaima kepada mereka yang menunggunya dengan sorot bahagia sebelumnya, yang kali ini terganti tanda tanya besar di wajah masing-masing. Gadis itu tidak ingin bicara. Menggerling sebentar kearah 3 manusia itu, memberi isyarat agar jangan mendekatinya sekarang, gadis itu lalu berakhir dengan masuk ke kamarnya dan merebahkan diri di kasur. Tangisnya pecah seketika. Cukup kuat dan terisak, membuat mereka yang ada di lantai bawah samar-samar bisa mendengar. Tapi tidak ada aksi berikutnya. Ketiga orang itu hanya diam, seolah mengerti, saat ini bukan saat yang tepat untuk menanyakan apa pada gadis kecil mereka itu. Dia sudah dewasa dan bisa mengatasi guncangan batinnya sendiri. Mereka percaya, nanti, ketika tangisnya reda, gadis itu akan mendatangai ketiganya dan siap berbicara.
10 menit cukup sampai isakan tak lagi terdengar. Namun gadis di dalam kamar itu tak kunjung menampakan sosoknya. Heran, sang ayahlah yang duluan berdiri.
“Aku mau mengecek Umika.” katanya pelan sebelum melangkah menaiki tangga. Istrinya, serta putra bungsunya siap menghalangi, dengan alasan sang putri pasti belum siap bercerita. Jika sudah, tentulah dia yang akan menadatangi mereka. Namun, langkah Yuya bukannya terhenti karena cegatan Ryuu dan Rubi, melainkan suara decitan bel yang berulang kali. Terdengar panik dan terburu-buru. Memandang jam tangannya, yuya sedikit kebingungan. Jam 11 malam, jarang ada tamu yang berkunjung larut malam begini. Apalagi, kali ini tamu tersebut nampak ngotot sekali memasuki rumah sederhana tersebut. Berpindah tujuan, Yuya lalu melangkah mendekati pintu dan menarik kenop benda persegi panjang kayu yang belum sempat dikunci tersebut.
Dan tampaklah disana, sosok seorang pemuda yang tak kalah kacaunya dengan putri mereka tadi. Gerakannya tidak tenang, lebih terkesan panik. Pelan-pelan ditatapnya pria paruh baya yang sudah berdiri di depannya kini.
“Paman, Umika!” serunya buru-buru, namun diredakan lagi nada bicaranya ketika mengetahui raut wajah Yuya terlihat tidak biasa.”Maaf, paman. Umika…sudah pulang?”
Yuya mengangguk. “baru sepuluh menit lalu.” Jawabnya singkat, tanpa memberitahukan sama sekali bagaimana kondisi putri sulungnya itu ketika tiba di rumah. Sendirian pula! Secara pria itu tahu, pemuda didepannya ini juga pasti mengetahui betul apa yang terjadi sebelumnya. Bahkan kemungkinan besar, dialah penyebabnya.
“Paman, aku minta maaf. Bibi, Ryuu…” tegurnya lagi begitu Rubi dan Ryuu ikut muncul di ambang batas pintu. Cukup kejam, sejak tadi Yuya sama sekali tidak mempersilahkan pemuda itu masuk atau menanyakan kabarnya seperti yang biasa dilakukannya ketika pemuda itu berkunjung. Terasa, pria itu tidak begitu suka kemunculan sang pemuda setelah melihat putrinya datang dengan mata sembab dan kemudian terisak keras.
“Maaf aku tidak mengantar Umika pulang, dan…” Ryosuke berhenti sejenak, menelan ludah dan kesesakan yang dirasanya. “Maaf karena sudah membuat Umika menangis. Maafkan aku…”pemuda itu membungkuk dalam, menunjukan penyesalannya yang teramat sangat pada sekeluarga itu. Rubilah yang duluan bereaksi atas tindakan berani Ryosuke barusan.
“Sudahlah, Yamada-kun. Tidak apa-apa. Umika juga sudah reda tangisnya.”
“Dan kau boleh pulang sekarang.” Satu kalimat terakhir dari Yuya kemudian menjadi penutup kunjungan singkat Ryosuke. Rubi dan Ryuu sempat ternganga memandangi sang ayah tersebut. Pria itu nampak tenang-tenang saja, tapi jauh dalam hatinya mereka bisa membaca amarah Yuya yang mungkin saja bisa memuncak kalau Ryosuke tidak segera enyah dari hadapan pria itu. Mengerti betul situasi saat ini menghakiminya sebagai yang bersalah, serta kalimat singkat Yuya yang berupa usiran barusan, Ryosuke lalu pamit pulang. Setelah mendapat salam balik dari Rubi dan Ryuu, Pemuda itu menghilang, ditelan mobil hitam mewahnya.
“Tou-chan terlalu kasar pada Yamada-kun.” Rubi memberi komentar beberapa menit kemudian, namun hanya dibalas dengan tatapan tajam Yuya.
“Aku tidak suka caranya melukai putriku yang berharga.” Jawaban finalnya, kemudian memasuki kamar utama rumah tersebut. Rubi dan Ryuu saling pandang sedetik, kemudian menggeleng pasrah.
Samar-samar, diatas anak tangga yang dilaluinya, gadis itu bisa mendegar percakapan berbeda latar yang barusan terjadi. Niatnya mau ambil minum, sekaligus menunjukan kepada Ayah, Ibu, serta adiknya bahwa kondisinya sudah membaik sekarang. Namun diurungkannya niat tersebut, lalu kembali ke dalam kamarnya yang malam ini tak terjamah siapapun kecuali dirinya sendiri. Pelan-pelan menaiki kasur dan kembali terhempas. Ingatan di taman rumah Yuto tadi kembali terbesit. Ryosuke dan Mirai, berciuman, air mata, semuanya menimbulkan tetes bening baru yang ikut mengaliri pipinya seiring dengan bayangan kejadian tadi yang berputar ulang, terus berputar.
Dan sekali lagi, Umika menangis.
~ 0 ~ 0 ~ 0 ~
Esoknya, Umika baru menunjukan wujudnya ketika jam sudah mendekati pukul 7. cukup telat, karena biasanya gadis itu sudah akan nimbrung di meja makan sejak jam setengah 7 pagi, membahas apa saja yang ingin dibahasnya bersama Ayah, Ibu, dan adik tercinta sambil menghabiskan sarapan bersama. Dan kali ini, ketika Umika datang dengan wajah kusutnya—akibat habis menangis semalaman, ketiga manusia yang tengah menunggu kedatangannya sejak tadi itu hanya bisa menatapnya simpati dan penuh kasih.
“Ohayo…” desahnya pelan, nyaris tak terdengar kalau saja ketiga eksistensi tersebut tidak menajamkan telinga dan menanti kemungkinan suara apa saja yang akan muncul dari kedua bibir gadis itu. Apa tangisan lagi, keluhan, bentakan, atau malah tawa lebar—ketiganya menduga, Umika bisa saja stress sampai jadi gila—. Dan ketika yang didapat adalah salam pagi yang tenang namun masih sarat dengan luka ini, ketiganya baru bernafas lega. paling tidak, gadis itu sudah bisa mengendalikan emosinya.
“Ohayou, Umichan…”balas ketiganya serentak sambil tersenyum lebar. Rubi bangkit dan mendekati putrinya itu semangat.
“Kaa-chan bikin sarapan kesukaanmu. Makan dulu ya? Terus bentonya sudah kaa-chan siapkan, jadi kamu tinggal bawa ke sekolah saja..” bujuk Rubi agar gadis itu segera turun. Umika tersenyum lembut, lalu mengikuti ibunya ke bawah. Bisa diciumnya bau masakan sang ibu yang menggugah selelra, jelas saja, ini makanan favoritnya.
Bola mata cemerlangnya melirik ke atas meja makan bertaplak putih didepannya sekarang. Ada sashimi ikan tuna, sup miso, onigiri, dan satu lagi yang jadi favoritnya selama ini. Ebi katsu! Semuanya tersaji dengan indah dan lezat di meja, membuat perut gadis itu mau tak mau minta segera diisi. Melihat pandangan ketertarikan dari kedua mata putrinya tersebut, Yuya buru-buru mengambil mangkuk nasi dan menyendokan nasi didalamnya.
“Ini nasinya. Lauknya tinggak pilih sendiri…” Ujar pria itu lembut. Umika berterima kasih, sebelum mengatupkan kedua tangan di depan dada, pose berdoa.
“Hai! Itadaikimasu…” serunya kemudian, diikuti gerakan tangannya yang mulai menjepit ebi katsu dengan kedua sumpit dalam genggamannya lalu menikmati potongan udang goreng tepung itu semangat. Senyum terkembang dibibir mungilnya, memancing 3 senyum lain ikut terkembang. Kali ini, biarlah dirinya tersenyum sepuas mungkin, tertawa selebar mungkin, karena nanti, beberapa jam lagi dari sekarang, hatinya akan kembali mengahadpi siksaan yang dialaminya semalam, yang akan terulang kembali ketika matanya kelak menemukan Ryosuke, Mirai, atau keduanya bersamaan di kompleks Horikoshi. Dan ketika saat laknat itu tiba, Umika sudah berjanji tidak akan lagi menangis ataupun mengasihani dirinya sendiri, karena begitu diputuskannya dulu untuk jatuh hati dengan seorang Ryosuke Yamada, batinnya sudah siap untuk menerima segala konsekuensi yang bisa mengakibatkan hatinya sakit, terluka, bahkan hancur berkping-keping seperti yang dialaminya semalam. Sudah resiko, dia bisa dengan mudah kahilangan Ryosuke hanya berselang sejentikan jari karena sejak awalpun, hati pemuda itu memang bukan miliknya.
Umika meletakan sumpitnya diatas mangkuk kosong bekas makannya. “Hai! Aku selesai…”
“Makannya cepat amat! Tidak dikejar setan juga..” komentar Ryuu menyaksikan mangkuk kosong dan Umika bergantian. Jarang-jarang Nee-channya makan kilat begitu.
“Aku harus ke sekolah lah, baka!” ditoyornya kepala adiknya itu pelan. “Touchan, Kaachan..aku berangkat ya.. itekimas..”lanjutnya sambil bangkit berdiri dan mengambil tas serta kotak bentonya. Yang ditegur memberi salam balik.
“Hai, itarashai…”
10 detik kemudian, Umika sudah resmi keluar dari tempat yang disebutnya rumah itu. Kaki-kakinya melangkah pelan. Toh, baru jam 7 lewat 5 menit. Dia masih punya sekitar 20 menit untuk tiba di sekolah tanpa terlambat. Sepanjang jalan gadis itu terus menggumamkan jutaan kata penguat hati. Ganbatte, jangan menyerah, kau pasti bisa…, berulang-ulang, meneguhkan dirinya agar menerima dengan lapang dada apapun yang terjadi nanti disekolah antara Ryosuke dan juga Mirai.
Langkahnya tiba-tiba saja terhenti ketika melihat sebuah mobil sport hitam metalik terparkir tepat didepannya. Tidak begitu mengenali kendaraan tersebut, Umika tetap cuek melangkah. Namun tiba-tiba saja, sesosok makhluk berseragam SMU keluar dari balik kemudi dan seketika menahannya. Dari perawakan, seragam, dan wajahnya tentu saja, Umika langsung bisa mengenali sosok siapakah itu.
“Umika, Gomen…” dan itulah yang terlontar dari kedua sisi bibir sosok tersebut. Satu kata terakhir sarat akan makna tersirat. Ada terlalu banyak kesalahannya yang kali ini hanya bisa terbayar dengan satu kata itu, sebab lidahnya pasti bisa keriting melontarkan kata yang sama berulang-ulang jika menyesuaikan dengan banyak kesalahannya.
Umika tidak bereaksi. Matanya pelan-pelan menatap rangkulan di tangannya, serta pemuda itu bergantian.
“Aah, gomen.” Cepat-cepat rangkulannya dilepaskan. Namun setelah itupun, Umika tak juga berbicara. Dada Ryosuke sesak, menyadari betapa brengseknya dia semalam. Hanya mempedulikan perasaannya tanpa tahu yang sebenarnya tentang gadis itu. Mengatainya orang luar, padahal selama ini justru gadis itulah yang paling sering terlibat. Bodoh! Sangat bodoh!
“Umika, kumohon. Aku tahu semalam aku memang sudah bersikap seenaknya. Tapi aku—“
“Sudahlah Ryosuke. Lupakan kejadian malam itu.” akhirnya, kedua sisi bibir Umika terbuka, menciptakan kelegaan sesaat di dada pemuda itu. Paling tidak, umika tak memilih menjadi patung batu sekarang. “…kau datang menjemputku kan? Ayo berangkat..” lanjutnya dengan wajah biasa. Wajah yang Ryosuke kenal betul setelah 2 bulan lebih kedekatan mereka. Kawashima Umika yang selalu dicarinya pertama kali ketika menemui masalah. Kawashima Umika yang sama seperti ketika Ryosuke pertama kali menemukannya di samping tempat duduknya dulu. Bersemangat, cuek, dan penuh ketegaran. Tersenyum lembut, pemuda itu lalu segera membukakan pintu mobil untuk gadis manis tersebut. Semenit kemudian, kendaraan itu sudah meninggalkan ruas jalan kecil rumah Umika, membelah angin menuju sekolah Horikoshi.
“Kau ganti mobil? Semalam bawa yang tipenya elite kan?” Tanya Umika santai, membuat Ryosuke yakin gadis ini sudah memaafkannya sepenuhnya. Pemuda itu tersenyum simpul.
“Ini mobilku yang lain. Kupakai karena aku takut kalau aku muncul dengan mobil yang biasa, kau bisa langsung mengenaliku, dan mungkin saja berlari menghindar…” Jawabnya jujur sejujur jujurnya. Dia memang sengaja menggunakan mobil sport hitam—yang tak kalah mahal dengan sedan mewahnya yang biasa dikendarai—tersebut, yang hanya digunakannya ketika bosan dengan jenis mini macam sedan atau apapun sebangsanya itu. toh, pemuda 18 tahun memiliki 4 mobil mewah atas namanya sendiri. Tinggal pilih saja kan mau bawa yang mana?
Mendengar alasan kekanakan Ryosuke, umika tertawa kacil, lalu ganti berdecak kagum. “mobilmu pasti banyak sekali ya dirumah? Tinggal pilih dong mau pakai yang mana saja~” sepertinya Umika dapat membaca pikiran author(?) sehingga pertanyaan norak macam itulah yang kemudian terluncur dari bibirnya sebagai reaksi atas pengakuan Ryosuke barusan.
Sebagai timbal balik pertanyaan Umika, Ryosuke menggeleng. “tidak juga. Sebenarnya aku hanya punya empat mobil yang atas namaku. Sisanya masih milik Tou-san..”
Umika mengangguk mengerti, masih dengan decak kagum yang sesekali terlepas, membayangkan kira-kira seberapa kayanya keluarga Yamada itu.
Ryosuke melirik sesekali ke arah Umika. Entah kenapa, sejak pengakuan cinta Umika semalam, seolah ada gaya magnet tersendiri yang berkerja pada gadis itu dan dirinya. Ryosuke jadi selalu ingin menatapnya, melihat senyumannya, mendengarkan celotehannya, semuanya! Apapun yang menyangkut gadis itu, Ryosuke jadi tertarik, dan itu terjadi hanya dalam waktu singkat saja. Hanya semalam.
Terlalu larut dalam pandangannya ke Umika disamping, tidak disadarinya sebuah sepeda motor sedang melaju dari persimpangan depan. Mobil yang dikendarai Ryosuke nyaris lepas kendali dan menabrak sepeda motor didepannya kalau saja pemuda itu tidak cepat menginjak rem. Karena injakan rem yang tiba-tiba itulah, Ryosuke dan Umika terpental keras ke depan. Kepala umika bahkan sempat terbentur ke dasbor mobil karena kantong udara pelindung terlambat menggembung. Melihat memar di kening kiri Umika, Ryosuke seketika panik dan menarik gadis itu dalam lingkar lengannya. Bukan bermaksud apa-apa, Dia hanya ingin memeriksa, apakah memar tersebut parah—supaya Umika bisa segera dilarikannya ke RS terdekat, atau hanya sekedar memar ringan. Umika yang sebelumnya shock dengan benturan tiba-tiba di kepalanya, kembali diserang perasaan kaget itu ketika Ryosuke membawa tubuhnya ke dalam pelukannya.
“daijoubu, Umika? Daijoubu?!” tanyanya super panik sambil memeriksa dengan seksama kening kiri Umika. Hanya luka ringan, syukurlah. Namun seketika raut kelegaan pemuda itu kembali menegang.
Kalau luka ringan begini tidak menutup kemungkinan ada sesuatu yang terjadi kan? Bagaimana kalau ada luka dalam? Atau Umika bisa saja gegar otak? Jerit Ryosuke panik dalam hatinya. Melihat ekpresi panik Ryosuke yang nampaknya bertambah parah itu, Umika melepaskan lingkar tangan pemuda itu dari bahunya.
“Daijoubu, Ryosuke. Hanya luka kecil kok…” gumamnya. “ daripada mengkhawatirkanku, lebih baik kau cek dulu pengendara motor tadi, dia selamat tidak?” saran gadis itu. Ryosuke menggeleng.
“kalau kau gegar otak bagaimana? aku harus membawamu ke rumah sakit sekarang!” perintah pemuda itu. Umika menaikan alisnya sebelah.
“Aku tidak apa-apa. Tidak sakit, err.. sedikit sakit juga sih. Tapi tidak gegar otak. Aku tidak kena gegar otak!”
“aku tidak peduli. Yang penting sekrang aku harus membawamu ke ruamh sakit.” Ryosuke siap menstater mobilnya lagi, namun tidak jadi karena Umika secepat kilat turun dan mendekati pengendara sepeda motor yang nyaris mereka tabrak tadi. Orang itu sudah di pinggir jalan, tertatih sambil mendorong sepeda motornya yang nampaknya rusak cukup parah akibat terpelanting tiba-tiba ke aspal. Salah satu sayapnya remuk, lalu beberapa bagian lain yang ada di depan-belakang—termasuk sebelah kaca spion—ikut rusak parah. Merasa agak bersalah, Ryosuke ikut turun dan mendatangi pria paruh baya itu.
“maaf, Paman. Maaf sekali. Kami sedang buru-buru, jadi temanku tidak sadar kalau paman akan muncul di tikungan itu..” Umika memberi alasan sambil membungkuk minta maaf berkali-kali. pria itu hanya tersenyu tipis.
“tidak apa-apa nak. Tadi paman yang salah karena tidak memperhatikan sekeliling, langsung main terobos saja. Makannya jadi begini…”
“Kerusakan motornya biar kuganti, Paman…” suara Ryosuke menjadi pengantar kemunculannya sambil merogoh saku celana dan mengambil dompet. Pria paruh baya didepannya seketika terperangah melihat pemuda itu.
“Yamada Ryosuke-sama?” tanyanya tidak percaya. “Benar kan, Yamada Ryosuke-sama?”
Ryosuke—sedikit keheranan—mengangguk. “Iya, aku…”
“Saya bekerja di perusahaan milik Ayah Tuan. Waah, sudah lama saya mendengar cerita tentang putra Tuan Tsukasa, tapi baru kali ini saya melihatnya. Memang benar-benar tampan seperti ayahnya…” Puji pria itu—yang lagi-lagi membuat Ryosuke keheranan. Umika yang berdiri di sampingnya ikut bingung. “aah, Yamada-sama buru-buru ke sekolah kan? Silahkan saja.. tidak usah pikirkan saya…”lanjutnya kemudian, menyadari lama-lama berbincang dengannya, sepasang pelajar SMU ini bisa saja telat ke sekolah. Mendengar itu Ryosuke, seketika mengeluarkan beberapa lembar sepuluh ribu yen dari dompetnya.
“Ini, untuk reparasi motormu…”ujarnya. Pria didepannya menolak.
“Tidak usah Yamada-sama. Ini bukan masalah besar juga…”
“terimalah..”
“tidak usah. Aku sungguh-sungguh.”
Ryosuke memasukan kembali lembaran-lembaran sepuluh ribu yen itu kedalam dompetnya, gantian mengambil hanphone di saku depan.
“namamu?” tanyanya singkat. Pria didepannya itu sedikit terlonjak.
“Sa- Satoshi Ohno desu.”
“Satoshi Ohno..”bisik pemuda itu pelan, sebelum menghubungi salah satu nomor dalam kontak keitainya. “Aiba? Iya ini aku. Tolong cari data seorang pegawai ayah yang namanya Satoshi Ohno..”pemuda itu mulai berbicara setelah panggilannya dijawab. Sedetik kemudian, data pegawai bernama Satoshi Ohno itu didapat. ”sudah? Divisi 5? Baiklah. Sekarang tolong suruh orang menjemputnya disini. Hah? Jalan… aku tidak tahu. Nanti kau telepon dia saja dan tanyakan. Aku tidak sengaja menabraknya dan sekarang sepeda motornya rusak parah. Jadi tolong reparasi cepat sepeda motornya, kalau terlalu parah belikan yang baru.. sudah jelas? Baiklah.” Setelah mengakhiri acara teleponannya, Ryosuke mendekati pria bernama Satoshi Ohno itu tadi. “sedikit lagi ada orang kantor yang menjemput paman disini. Paman tunggu saja ya. Maaf kalau kami tinggal, karena aku harus membawa anak ini ke rumah sakit..” Ryosuke melirik Umika sejenak ketika menyebut kata ‘anak ini’. Umika balik menatap Ryosuke, menolak. Sementara Ohno memandang pemuda itu bak malaikat baik hati yang turun dari surga.
“Arigatou, Yamada-kun. Arigatou Gozaimas..”
Dan balasan ‘Douita’ menjadi penutup perjumpaan singkat Ryosuke dan Umika dengan paman bernama Satoshi Ohno itu. Ryosuke kembali menggandeng Umika memasuki mobil, kemudian memasangkan seatbelt gadis itu.
“Sekarang kita ke rumah sakit.”
“tapi Ryo—“
“Ssh! Tidak ada bantahan. Aku tidak mau kalau kau sampai gegar otak kerena tidak diperiksa dengan teliti.” Potong Ryosuke mengakhiri protes Umika—bahkan sebelum gadis itu berkata apapun—sambil menyalakan mesin mobil dan akhirnya melaju pergi beberapa detik kemudian. Umika hanya diam, kesal dengan keputusan semena-mena pemuda itu. Ryosuke tidak ambil pusing dengan cemberutnya wajah Umika itu, karena yang terpenting saat ini adalah memastikan kondisi gadis itu baik-baik saja.
10 menit kemudian, sampailah kedua manusia berseragam SMU itu ke rumah sakit. Segera Ryosuke membawa Umika—agak paksa—ke ruangan dokter pribadi keluarganya.
“Inoo-sensei..”Seru pemuda itu seketika tanpa permisi sebelumnya apalagi basa-basi. Dokter tampan berusia 28 tahun itu terlonjak kaget mendengar namanya dipanggil, apalagi oleh salah satu suara yang paling dikenalnya ini. Maklum, Inoo Kei—nama lengkapnya—sudah menjadi dokter pribadi keluarga Yamada sejak 5 tahun yang lalu, sehingga pemuda putra tunggal keluarga tersebut sudah dianggapnya adik sendiri.
“Ryosuke-sama, ada apa?” tanyanya melihat Ryosuke yang menerobos masuk dengan wajah panik. Apalagi, tetumbenan pemuda itu mampir bersama seorang gadis. Seingat Inoo, gadis yang dekat dengan Ryosuke paling hanya Mirai.
“Kau bisa tolong periksa temanku? Tadi ada kecelakaan kecil dan kepalanya terbentur dasbor. Aku takut dia kenapa-napa..” Pinta pemuda itu, masih terdengar panik. Inoo menurut, lalu mengajak Umika ke ruang pemeriksaan bersama seorang perawat cantik yang sedari tadi duduk di tempatnya. Ryosuke menunggu di ruangan Inoo. Pemuda itu nampak tidak tenang. Kerjanya hanya berdiri, mondar-mandir, kembali duduk, lalu berdiri lagi, dst. Pemeriksaanya intensif, sehingga memakan waktu yang cukup lama. Ryosuke bahkan sampai berkeringat dingin ditempatnya, takut Umika betulan kenapa-napa. Sungguh, gegar otak merupakan salah satu penykit paling mengerikan versinya, dan dia sangat-sangat tidak mau penyakit itu menjamah sahabat terbaiknnya, apalagi kalau itu karena ulahnya pula.
15 kemudian Umika kembali bersama 2 orang yang mendampinginya tadi. Ryosuke menanti dengan gugup, hasil seperti apa yang akan disampaikan Inoo.
“Tidak ada apa-apa. Nona Kawashima baik-baik saja. Memar itu hanya luka luar..”Ujar Inoo melihat expresi tegang Ryosuke. Pemuda itu seketika bernafas lega, lalu melirik Umika sebentar. Syukurlah gadis itu tidak kenapa-kenapa.
“…kusarankan sebaiknya hari ini Nona Kawashima tidak usah masuk sekolah dulu. Memar dikepalanya cukup menyakitkan, aku yakin dia akan sulit menerima pelajaran dengan kondisi seperti ini…”
“Baiklah. Aku akan mengantarnya pulang agar beristirahat. Arigatou na,..Inoo-sensei..” ucap pemuda itu sebelum ngeloyor keluar dari ruangan Inoo. Selama perjalanan keluar rumah sakit, Umika sesekali menari-narik jas seragam Ryosuke dan memintanya untuk mengabaikan saran Inoo untuk tidak kesekolah tadi. Sungguh, gadis itu takut kalau harus ketinggalan pelajaran.
“Nanti kalau beasiswaku dicabut bagaimana?” begitu alasannya ketika untuk yang kesekian kalinya meminta Ryosuke agar tidak mengantarnya pulang. Ryosuke untuk yang kesekian kalinya pula menolak mentah-mentah.
“Tidak. Kau harus istirahat. Sekolah biar aku yang urus..”
Umika hanya bisa manyun sampai keduanya mencapai mobil Ryosuke di parkiran dan akhirnya bergerak meninggalkan rumah sakit tersebut menuju kediaman keluarga Kawashima.
Chapter 16 end ~ continue to chapter 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar