Kamis, 27 Oktober 2011

[fic/On Writting] : The Dream Lovers-chapter 19


CHAPTER 19

“Miraichan…” Ryosuke melambai senang melihat Mirai sedang terduduk manis di salah satu bangku taman sekolah. Sejak menerima e-mail dari gadis itu semenit lalu, Ryosuke nampak kegirangan akut melangkah keluar dari kelasnya menuju tempat yang dijanjikan tersebut. Jam sekolah sudah usai, sehingga jumlah manusia di sekolah sudah sangat langkah sekarang.

“Gomen ne…. aku kelamaan ya?” tanya pemuda itu sontak mengetahui raut wajah Mirai nampak sedikit berbeda dari biasanya. Mirai menggeleng lemah, lalu segera bangkit dari kursinya.  

“Ryosuke, Gomenasai…” gadis itu sontak bersuara. Ryosuke terdiam agak lama.

“Minta maaf untuk apa Mirai-chan? Aku—“

“hontou ni gomenasai…” Mirai cepat memotong. “Kita, tidak bisa bersama lagi…”

Nafas Ryosuke tercekat. Kaget. Baru saja pemuda itu merasa memiliki hati gadis pujaannya dan kali ini gadis itu memintanya untuk kembali melepaskannya. Tapi kenapa?

“Doushite? Apa aku melakukan sesuatu yang salah? Maafkan aku kalau begitu. Aku tidak—“

“bukan itu Ryosuke!”Mirai sedikit menaikan nada suaranya. Tak ayal, tetesan bening yang ditahannya sedari tadi ikut mengalir keluar seiring kata-kata menyakitkannya yang terlontar kemudian. “Aku sudah tidak bisa bersamamu lagi. Aku sudah memilih Yuto, aku tidak bisa mengkhianatinya..” jeda sejenak sembari salah satu tangannya mengelap setetes air yang kembali mengaliri pipinya. “..dan kau sudah punya Umika..”

Ryosuke kembali tercekat sebelum kemudian menolak keras. “Tidak Mirai-chan… aku dan Umika tidak ada hubungan apa-apa. Kami hanya teman..!”

“Aku sudah memutuskan, Ryosuke! Aku menyukaimu juga, tapi aku tidak bisa..” Mirai bersiap meninggalkan pemuda itu, namun seketika itu juga tubuh mungilnya sudah masuk dalam lingkaran tangan Ryosuke.

“Jangan pergi, kumohon…jangan tinggalkan aku…”

~ 0 ~ 0 ~ 0 ~

“Kau mencari Ryosuke?” Satu sosok menjulang tiba-tiba muncul di depan Umika membuat gadis itu kaget setengah akut dengan kehadirannya. Sadar tak sadar siapa manusia di depannya, segera di geplaknya bahu eksistensi tersebut.

“kau mengagetkanku, Nakajima!” serunya kesal. Manusia yang adalah seorang Yuto Nakajima itu nyengir lebar sembari mengulangi pertanyaan yang ia lontarkan  sebelumnya.

“Kau mencari Ryosuke, Umika?”

Gadis yang ditanyai itu mengangguk. “Aku mau mengembalikan buku catatannya. Tadi ketinggalan di mejaku. Kau sendiri, Tidak bersama Mirai?”

Yuto tersenyum tipis. “aku juga sedang mencarinya…uhm, bagaimana kalau kita cari mereka berdua bareng? Mungkin saja mereka sedang bersama-sama…”

Umika memiringkan kepalanya sedikit, tidak begitu setuju dengan usul Yuto barusan.

“Anoo..kurasa lebih baik kukembalikan besok saja. Mungkin anak itu sudah pulang…”

“Tidak mungkin Ryosuke meninggalkanmu di sekolah. Dia selalu mengantarmu pulang kan? Ayolah…” sedetik setelah mencelatkan ajakan kedua, pemuda itu lalu menarik tangan Umika agar ikut melangkah bersamanya. Terpakasa, gadis mungil itu mengikuti. Secara tubuh Yuto yang meskipun kurus ternyata cukup bertenaga itu sanggup menyeretnya untuk ikut bergerak.

Yuto punya satu tujuan. Pemuda itu yakin benar, saat ini Mirai bersama Ryosuke, karena itu dengan mengajak Umika bersamanya, Yuto ingin tahu bagaimana reaksi Ryosuke terhadap Mirai jika ada Umika. Atau lebih jelasnya, pemuda itu sangat ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya.

Lengkah kedua eksistensi tersebut terus menelusuri lorong sekolah, nyaris memasuki taman belakang ketika 2 pasang mata masing-masing menangkap sesuatu.

“Lepaskan aku Ryosuke..kau tahu, aku tidak bisa! Kau sudah punya Umika dan aku sudah jadi milik Yuto!”

“tidak Mirai….aku yang tidak bisa. Dengar, tidak pernah ada hubungan apapun antara aku dan Umika. kami hanya teman…”

Mereka berdua terpaku. Didepan mereka ada Ryosuke dan Mirai dengan posisi yang sangat-sangat tidak menguntungkan keduanya. Ryosuke mencengkram kedua pundak Mirai, mencoba memberinya penjelasan sementara gadis itu terus saja berontak. Pelan-plan genggaman di tangan Umika lepas, dikarnakan sosok sang penggenggam sudah berlari cepat menjangkau kedua manusia di depannya.

Ryosuke masih belum juga melepaskan cengkramannya ketika seseorang tiba-tiba saja menyentuh pundaknya dan menariknya keras ke belakang, disusul satu tinjuan kemudian di wajahnya. Pemuda itu seketika tersungkur ke tanah.

“Apa maksudmu Ryosuke?!” Sosok itu membentak marah. Ryosuke merintih kesakitan sembari menoleh ke sumber suara itu. jantungnya seketika mencelos ketika melihat pelaku penganiayaan terhadapnya tadi adalah sahabatnya sendiri.

“Yuto! Apa yang kau lakukan ?!” Mirai ikut berteriak, kaget dengan tindakan Yuto barusan. Pemuda itu tidak mengubris, malahan kembali menarik kerah baju Ryosuke dan melayangkan tinjuan kedua. Otomatis, darah segar menetes perlahan dari tepi bibir pemuda itu.

“Yuto hentikan!” Umika ikut bergerak mendekati pemuda itu. Namun sama seperti sebelumnya, dia tak memberi respon. Ryosuke sendiri hanya terdiam setelah kembali tersungkur untuk yang kedua kalinya.

“Aku tidak percaya kau melakukan ini padaku. Kukira selama ini kau saudaraku! Brengsek!”

“Yuto, aku.. minta maaf…” Ryosuke menjawab terbata. Yuto masih terbakar emosi. Bukannya turun dan membantu Ryosuke bangun, pemuda itu malah kembali memberinya pukulan bertubi-tubi.

“YUTO, HENTIKAN! RYOSUKE BISA MATI!”

“NAKAJIMA! SUDAH! HENTIKAN!”

Teriakan Mirai dan Umika kembali terdengar. Yuto masih belum juga berhenti sampai akhirnya Mirai memberanikan diri untuk maju dan menghentikan tindakan Yuto dengan kedua tangannya sendiri.

“Hentikan Yuto! Ryosuke bisa mati!”

Yuto akhirnya berhenti. Pemuda itu lalu bangun dan membersihkan seragamnya yang agak kotor. Mata elangnya menatap ryosuke tajam.

“Aku tidak percaya kau mengkhinatiku. Kau bukan saudaraku lagi, Ryosuke Yamada!” Pemuda itu lalu melangkah pergi, kekesalan masih menguasai pikirannya. Mirai ikut berlari mengejar Yuto, mencoba sebisa mungkin untuk memberinya penjelasan lengkap apa yang terjadi saat ini. Kini tinggal Umika dan Ryosuke yang sudah terduduk sambil terus merintih kesakitan di tanah.

“Ryosuke! Daijoubu?!” cepat-cepat Umika mendatanginya. Baru saja salah satu tangan gadis itu ingin membersihkan noda darah di tepi bibirnya, ketika tiba-tiba saja Ryosuke menampik tangannya keras. Umika tersentak lalu menatap Ryosuke heran.

“Kau senang sekarang? Hubunganku dengan Mirai berakhir, Yuto memusuhiku, kau senang kan, semua yang kau prediksi selama ini menjadi kenyataan?”

Umika mendongak, menatap kedua manik mata pemuda itu kaget.

“apa maksudmu?”tanyanya tidak percaya. Apa yang barusan dikatakan pemuda itu tidak sama sekali dimengertinya.

“Jangan pura-pura Umika. kau yang memanggil Yuto, supaya dia menyaksikan semuanya kan? Bukankah ini yang kau inginkan? Hubunganku dan Mirai selesai dan Yuto bahkan sudah membenciku. Jadi kau, bisa dengan mudah masuk. Kau sudah tidak punya saingan lagi.” Pemuda itu menghentikan analisanya sebentar sembari tertawa pahit. “Caramu tepat. Kau pintar Umika. “

PLAK!

Satu tamparan keras mendarat di pipi Ryosuke, membuat pemuda itu tertegun beberapa detik. Mata coklat kembarnya balas menatap kedua bola mata hitam milik gadis yang menamparnya barusan. Pandangannya terpaku.

Umika meneteskan air mata. Lagi.

“Cetek sekali pikiranmu, Ryosuke.” Umika mengelap sebagian aliran air matanya sambali tak juga melepaskan pandangannya dari bola mata coklat pemuda itu. “Dengar brengsek. Sesuka apapun aku padamu atau sebenci apapun aku melihatmu bersama gadis lain, aku tidak akan sepicik itu. aku tidak akan merusak hubungan kalian atau membuat saudaramu sendiri membencimu. Aku tidak serendah itu, kau tahu!”

Ryouke tidak bereaksi. Bola matanya diputar, tidak sanggup melihat kedua mata Umika yang tergenang air mata. Sakit seketika mengujam hatinya.

“kenapa diam? Kau tidak punya kata-kata lagi untuk menghakimiku?” Umika menarik nafas panjang dan berat. Sesekali isakannya terdengar pelan. “aku mengerti Ryosuke. Kau sakit. Tentang Mirai dan Yuto, demi Tuhan aku tidak tahu apa-apa. Aku tidak pernah merencanakan apapun.”

Ryosuke masih diam. Masih tidak mampu menatap kedua mata Umika.

“Kutinggalkan kau disini. Silahkan pikirkan solusinya sendiri” Gadis itu bangun lalu melangkah pergi. Namun setelah beberapa meter, ia berbalik lagi.

“dan soal tamparan tadi, aku minta maaf. Aku terlalu emosi.” Ujarnya kemudian lalu kembali melanjutkan perjalanannya.

Ryosuke menunduk. Matanya mnerawang. Suara hatinya memarahinya, memakinya berkali-kali, menyesali tidakan bodohnya barusan. Menuduh Umika, bagaimana bisa? Jelas gadis itu tidak tahu apa dan bagaimana sampai Yuto mengetahui semua pegkhianatannya. Umika bukan gadis seperti itu, dia sudah mengenalnya berbulan-bulan. Lalu kenapa emosi bodoh dalam hatinya bisa menyalahkan gadis itu atas semua ..kesalahannya sendiri. Kesalahannya yang tidak bisa mengontrol diri? Bukankah sejak awal dia sudah sadar kalau Mirai memang bukan miliknya?

Ryosuke menunduk makin dalam. Pandangannya mengabur, tubuhnya lemas seketika dan pelan-pelan merosot ke tanah.

~ 0 ~ 0 ~ 0 ~

“Yuto! Tunggu! Yuto!!” Mirai berlari secepat mungkin mengejar langkah-langkah tergesa pemuda di depannya. Suaranya sudah nyaris habis berteriak sejak tadi, namun tetap saja si pemilik nama tadi enggan berhenti alih-alih berbalik.

“YUTO BERHENTI!” akhirnya setelah puluhan meter mengejarnya, pemuda jangkung itu berhasil dijangkau. Mirai seketika memeluk pinggangnya, membuatnya ikut berhenti seketika.

“Gomenasai—“ Mirai tidak sempat menyelesaikan kata-katanya karena Yuto sudah keburu melepaskan rangkulan gadis itu dari pinggangnya.

“Maaf? Setelah semua ini?! Setelah kalian melakukan semua ini padaku?”

“Yuto, itu—“

“Aku tidak percaya Mirai! Kenapa harus  kalian? Kenapa harus kau dan Ryosuke yang menyakitiku. Kalian berdua adalah orang paling kusayangi, tapi kenapa? kenapa Ryosuke, Mirai?” Nada bicara Yuto melunak, namun garis wajahnya masih keras. Mirai diam, sadar dalam masalah ini dirinya merupakan salah satu yang patut disalahkan. Dia sudah berkhianat, padahal hatinya sendiri tahu betapa pemuda itu menyayanginya, dan sebaliknya, betapa dia juga menyayangi pemuda itu. Mirai tidak mau kehilangan Yuto tentu saja. Sejak awal, pria yang dicintainya hanya Yuto.

“Yuto, gomenasai…hontou ni gomenasai…” Mirai sudah kehabisan kata-kata. Air matanya mengalir seketika, seiring dengan betapa besarnya penyesalan dan rasa bersalah yang menyeruak tulus dari hatinya. Mirai tidak ingin kehilangan Yuto. Tidak sama sekali!

Yuto benci itu. Yuto benci saat dimana gadis yang dicintainya itu menangis. Entah untuk hal apapun, Yuto benci itu! Hatinya sakit setiap kali melihat Mirai menitikkan air mata. Meskipun perbuatan gadis itu sudah terlampaui menyakitkan hatinya, Yuto tetap tidak bisa menyaksikannya terisak begitu saja. Tak tahan lagi menahan ribuan jarum yang menusuk hatinya, tangan Pemuda itu terangkat lalu pelan-pelan merangkul gadis mungil didepannya.

Mirai tersentak.

Yuto tetap mencintai Mirai, sesakit apapun pengkhianatan gadis itu terhadapnya.

Tangis Mirai bertambah besar dalam pelukan Yuto. Dia tidak menyangka, secepat itu Yuto akan memaafkannya. Rasa bersalahnya makin besar, makin menyesakan hatinya. Meskipun begitu, ada sedikit kelegaan karena Yuto tidak meninggalkannya. Yuto ternyata selalu mencintainya. Dan mulai detik inipun gadis itu bersumpah, tidak ada pengkhianatan yang kedua kalinya untuk pemuda berhati melaikat yang memeluknya saat ini.

“Daisuki dayo…” Yuto bahkan sempat berbisik di telinga Mirai, membuat gadis itu memeluknya makin erat. Tangisnya tak kunjung berhenti meskipun hatinya sudah lebih lega sekarang.

“Atashi mo….” Balasnya di sela-sela tangis. Yuto tersenyum tipis, penuh arti, sambil terus memeluk gadisnya erat.

~ 0 ~ 0 ~ 0 ~

Ryosuke membuka matanya pelan. Cahaya matehari yang menyilaukan menusuk matanya, membuatnya menutup kembali kedua kelopak itu. Tubuhnya digerakan sembari menarik nafas berat. Butuh waktu beberapa detik sampai matanya kembali dibuka untuk mengamati keadaan sekeliling. Kamar mewahnya yang bernuansa hitam-putih-merah menjadi pemandangan pertama yang dilihatnya. Pemuda itu mengerjap beberapa kali sebelum mengambil posisi duduk di ranjang.

Pandangannya terpaku.

Disampingnya—tepatnya di kursi samping ranjangnya terbaring pulas seorang wanita. Kedua tangan wanita itu berada di atas ranjang menopang kepalanya. Wajahnya kelihatan lelah. Rambutnya tergurai menutupi sebagian wajah dan telinga. 

Ryosuke mengenalinya. Sangat jelas.

“Kaa-chan?”

Tiba-tiba saja sesuatu seolah menariknya melewati kegelapan terpekat sebelum akhirnya pemuda itu kembali melihat plafon merah-hitam kamarnya.

Dia kembali.

Apa itu tadi?

Secepat kilat Ryosuke bangkit. Tubuhnya masih agak sakit untuk berdiri, sehingga pemuda itu hanya bisa pasrah dan memilih duduk di ranjang.

Seperti tadi.

Pemuda itu menoleh ketempat dimana dia menemukan ibunya barusan. Dan sama seperti sebelumnya, dia juga menemukan sesorang. Seseorang yang tertidur pulas disamping ranjangnya dengan tangan berada di atas ranjang menopang kepalanya. Rambutnya tergurai menutupi sebagian telinga dan wajahnya yang nampak lelah.

Tapi itu bukan ibunya.

Namun, meskipun begitu, Ryosuke juga mengenal baik siapa yang tertidur itu. seseorang yang sudah dia sakiti hatinya kemarin. Bahkan selama ini.  

Umika Kawashima. Umika. bagaimana mungkin gadis itu bisa menemaninya disini?

Rasa bersalah seketika merayapi hatinya. Pemuda itu menggigit bibir sebelum kemudian memperhatikan gadis disampingnya lekat-lekat. Gadis itu yang sudah memberi terlalu banyak untuknya. Apapun untuknya, dan kemarin dia telah membuatnya menangis. Ryosuke seketika merasa hatinya tertusuk.

Umika mencintainya,kan?

Dan dia….bukankah tousannya pernah bilang, kalau dia juga?

Ryosuke mengangkat tangan kanannya. Agak nyeri, namun tetap dipaksanya untuk bergerak. Tangan itu menyentuh wajah Umika, menyibak helaian-helaian rambut yang menutupi wajahnya.

“cantik” gumamnya sambil memperhatikan lekat-lekat wajah gadis itu. Tak ketinggalan, tangan Ryosuke berpindah, mengusap lembut puncak kepala Umika.

Ryosuke memang menyayangi gadis itu. tapi apakah rasa sayang itu cinta? Ataukah hanya rasa sayangnya kepada sahabat?

“kau menungguku?” bisiknya pelan. Tidak meminta eksistensi yang ditanyainya itu menjawab, hanya merasa tersentuh dengan kesetiaan gadis itu padanya.

“Arigatou na…”

Ryosuke belum juga memindahkan tangannya ketika seseorang menarik kenop pintu dan memasuki kamar.

“Kau sudah bangun…” Sebuah suara terdengar. Ryosuke mendongak, kaget mendengar suara tak asing barusan.

“Yuto?!” serunya tak percaya melihat sosok siapa yang kini berjalan mendekatinya. Sosok yang dipanggil itu tidak menjawab. Wajahnya masih sedingin kemarin. Jantung Ryosuke seketika berdetak cepat. Dilihat dari caranya mendekat, Yuto mungkin saja ingin melanjutkan penganiayaannya yang sempat tertunda kemarin. Ketika pemuda itu sudah terlalu dekat dengannya, Ryosuke sontak menutup mata. Pasrah, jika Yuto ingin membunuhnya saat ini, silahkan saja.

“Bagaimana keadaanmu?”

Ryosuke membuka matanya seketika, terbelalak.

“EEH?!”

“aku tanya, bagaimana keadaanmu? Daijoubu?”

“A-Hai! Daijoubu desu!” Ryosuke menjawab agak gugup. Yuto tersenyum tipis, lalu mengambil tempat di kursi kosong sebelah Umika. Ryosuke memperhatikan pemuda jangkung di depannya agak heran. Yuto bukannnya lanjut mukul, malah menanyakan kabarnya. Apakah dia sudah dimaafkan?

Yuto memperhatikan gadis yang masih terlelap di sampingnya.

“Umika belum bangun?”

Ryosuke mengangguk. “Sejak kapan Umika disitu?”

“Sejak kau ditemukan pingsan 2 hari yang lalu. Dia terus-terusan menjagamu, kau tahu…”

Ryosuke mengangkat sebelah alisnya. “Aku pingsan?”

“yup! Setelah kutinggalkan, ternyata kau malah pingsan. Syukur Umika kembali dan menemukanmu..” jawab Yuto santai. Ryosuke mengangguk mengerti. Seketika itu juga, pemuda itu teringat sesuatu.

“Anoo, Yuto..”

“Hmm?”

Ryosuke menggigit bibir sebelum melanjutkan kata-katanya. “Gomenasai yo…aku sudah menyakitimu, dan Mirai…” ujar pemuda itu pelan. Wajah Yuto kembali mengeras sebelum akhirnya senyuman tipis bibirnya terkembang.

“Aku sudah melupakan itu…” jawabnya tenang. “dan maafkan aku juga. Padahal aku sahabatmu, tapi aku malah tidak sadar kalau kita berdua memiliki perasaan yang sama terhadap Mirai..”

Ryosuke terdiam sebentar, lalu ikut tersenyum. “Mirai memilihmu Yuto. Dia mencintaimu. Tidak usah pedulikan aku..” pemuda itu menarik nafas panjang. “kurasa aku menyayangi Mirai karena aku merindukan ibuku. Sikapnya…sikap Mirai membuatku selalu teringat Oka-chan..”

Yuto mengangguk. “aku mengerti. Sudahlah… semua sudah selesai. Dan…maafkan aku tentang luka-lukamu itu. aku sulit mengendalikan emosiku saat menghajarmu..”lanjutnya sambil menyeringai. Ryosuke tertawa kecil sebelum tubuhnya berusaha diangkat untuk berdiri.

“mau kemana?”tanya Yuto sambil sesegera mungkin membantu Ryosuke bangun.

“Ayahku dimana?” bukannya menjawab Ryosuke malah balas bertanya. Yuto memiringkan kepalanya sebentar sebelum akhirnya menjawab.

“ayahmu ada di luar. Ada apa?”

“aku ingin bicara dengannya.” Jawab Ryosuke lalu segera melangkah. Yuto cepat-cepat memapah tubuh sahabatnya yang agak kesulitan bergerak itu. Sekali, pemuda itu menatap gadis yang masih tertidur di belakang mereka.

“lalu Umika bagaimana?”

Ryosuke menoleh, mendapati wajah lelah Umika masih terus tertidur pulas. Pemuda itu tersenyum lembut.

“Biarkan saja…Umika butuh istirahat. Dia nampak lelah sekali.”

Yuto balas tersenyum menyadari perhatian Ryosuke pada Umika kali ini terasa spesial. Pelan-pelan, dipapahnya tubuh temannya itu sampai keduanya meninggalkan kamar Ryosuke 30 detik kemudian.

Sosok yang nampak sedang terlelap itu membuka matanya pelan-pelan. Ternyata sejak Yuto memasuki kamar tadi dia sudah terbangun, hanya saja tidak mau keberadaannya merusak suasana persahabatan antara Ryosuke dan Yuto yang terjalin kembali.

Bibir gadis itu tersenyum tipis sebelum kemudian matanya kembali menutup, melanjutkan istirahatnya sebelumnya.

Chapter 19 end ~ continue to chapter 20

Sabtu, 15 Oktober 2011

[fic/On Writting] : The Dream Lovers-chapter 18

CHAPTER 18

Umika memainkan kakinya pelan dalam genangan dangkal kolam ikan taman rumah sakit. Sesekali gadis itu terkekeh geli ketika beberapa ikan koi datang dan menggigit kakinya pelan. Sedetik kemudian benaknya kembali dipenuhi rentetan tindakan tanpa pikir panjang yang sempat dilakukannya beberapa saat lalu.

“Pura-pura mati? Maksudmu apa, Kawashima?”

Umika menggigit bibir. “Yamada-san ingin hubunganmu dengan Ryosuke kembali membaik kan? Aku rasa ini satu-satunya cara. Aku berani jamin, Ryosuke akan memaafkanmu. Dia akan menyadari betapa penting Ayahnya untuknya.”

Gadis itu mengerjap beberapa kali. Cukup berani juga dia mengusulkan ide nekat seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi? Yang terbesit dalam pikirannya tadi ya cuma ide semacam itu dan entah kenapa ada keyakinan besar dalam hatinya kalau semua yang diusulkannya itu akan berjalan lancar. Dan semoga saja, Ryosuke bisa berdamai dengan ayahnya.

“Aah, anak itu sudah datang belum ya?”

“Ternyata kau disini.” Satu suara tiba-tiba menyambung gumaman Umika barusan. Tersentak hebat, gadis itu buru-buru menoleh, mendapati manusia yang tadi disebutnya secara tidak langsung berdiri tegak dibelakangnya. Wajahnya tampak kesal.

“R-Ryosuke..”

“Maksudmu apa membohongiku?” Tanya pemuda itu tanpa basa-basi. Langkahnya mendekat. Umika buru-buru keluar dari kolam dan bergerak menghindar dari sosok Ryosuke yang nampaknya siap menerkamnya begitu saja.

“Dengar dulu Ryosuke, aku—“

HAP!

Tiba-tiba saja lengan pemuda itu sudah melingkari bahu kecilnya. Ryosuke memeluk gadis itu erat. Dagunya ditopang di puncak kepala Umika. Sementara umika sendiri terlalu shock untuk menanyakan apa pada Ryosuke.

Beberapa detik bertahan dalam posisi tersebut, Ryosuke kemudian berujar. “Arigatou na, Umika…hontou ni arigatou…”

Umika masih diam. Tidak tahu mau menjawab apa. Tapi lebih dari itu, Umika menikmati pelukan hangat pemuda yang disukainya itu. Ini mungkin hadiah dari Kami-sama karena usul nekatnya sudah menciptakan perdamaian antara pasangan ayah-anak tersebut. Pelan-pelan, semburat merah muncul di kedua pipinya.

“hontou ni, Arigatou…” Ryosuke masih tak melepaskan pelukannya. Begitu pula Umika, tidak sama sekali memberikan penolakan pada tubuh pemuda didepannya ini. Nyaman, keduanya merasakan yang sama.

Tanpa mereka sadari seseorang menatap pemandangan tersebut nanar. Matanya nyaris ditetesi air mata karena rasa sakit yang tiba-tiba saja menghujam hatinya.

Shida Mirai berbalik pergi, meninggalkan satu tetes bening air mata yang sempat mengaliri pipinya dan jatuh membasahi lantai. Gadis itu merasa dikhianati. Padahal, baru semalam Ryosuke bilang suka padanya dan bahkan menciumnya. Tapi hari ini, pemuda itu malah sudah memeluk mesra gadis lain. Apa pemuda itu serius? Apa benar pemuda itu menyukainya? Ataukah ini hukuman dari Kami-sama karena sebelumnya dialah yang sudah menghianati Yuto?

Mirai tidak lagi peduli. Gadis itu hanya terus melangkah, menjauh, sejauh mungkin, sampai kemanapun ketika sakit hatinya mereda.

Mirai bahkan sama sekali tidak sadar, seseorang sedang menatapnya dan Ryosuke-Umika bergantian. Seseorang yang sebenarnya sudah curiga dengan hubungan rumit ketiganya namun belum juga berniat membuka suara. Hari ini dia memperoleh satu lagi bukti, bahwa dibelakangnya telah terjadi sesuatu.

Yuto Nakajima mengepalkan tangannya kuat lalu meninju tembok disampingnya.

“ck!” 

~ 0 ~ 0 ~ 0 ~



“Ri-yo-chan~” satu panggilan kekanakan terdengar, disusul sebagian kepala seorang Yamada Tsukasa yang menyembul dari balik pintu kamar Ryosuke. Pemuda itu menghentikan aktivitas bermain gamenya seketika, lalu tertawa geli melihat Touchannya yang nampak childish sekali malam ini.

“Naaa-niii?” Ryosuke ikut mencelatkan kata tanya bernada kekanakan, membuat sosok dibalik pintu itu juga tertawa kecil sebelum wujudnya sempurna masuk ke kamar mewah putra sematawayangnya tersebut.

“sedang apa? —Aah Street Racer! Ini mainan favoritku semasa SMU. Ternyata sudah ada versi 8nya ya? Kalau dulu baru yang versi satu…” Mata Tsukasa seketika melebar melihat beberapa mobil dalam lintasan balap di TV layar datar milik Ryosuke. Yah, game itu. Street Racer, game andalannya masa SMU. Salah satu game yang paling sering dimainkannya bersama Rui—ayah Yuto, serta Soujiro—ayah Chinen, dan Akira—ayah Daiki. Hanya saja, Street Racer dimasanya belum diembeli apa-apa, sedangkan yang dimankan putranya kali ini sudah ada pangkat delapan dikanan atas judulnya.

Ryosuke menatap sang ayah setengah WOW setengah heran. Tidak menyangka, ayahnya yang sehari-hari workaholic ini ternyata tahu game asyik juga. Segera, pemuda itu bergeser dari posisi duduknya dan memberi sebagian tempat di sofa.

“Berani melawanku?” tantang pemuda itu sambil bersiap melemparkan satu lagi gamestick yang dimilikinya. Tsukasa tersenyum kecil sebelum akhirnya gamestick tadi berpindah ke tangannya.

Dan pertandingan Street Racer ayah-anak Yamada dimulai. Ryosuke duluan memilih mobilnya. Pemuda itu memilih sebuah mobil merah terang, nyaris menyerupai Lightening Mc Queen dalam film animasi Cars, sementara ayahnya mendapatkan sebuah mobil hitam metalik yang setipe dengan pilihan putranya itu. Selesai modifikasi mobil masing-masing, ayah anak itu bersiap di garis start. Setelah aba-aba berakhir, melajulah mobil-mobil pilihan keduanya melalui jalanan malam kota Las Vegas yang dipenuhi lampu warna-warni berbagai kasino.

10 menit kemudian, garis finish mulai terlihat. Ryosuke dan Tsukasa berjuang mati-matian mengarahkan gamestick masing-masing agar bisa memenangkan pertandingan. Saat itu pulalah terlintas satu pertanyaan dalam benak Tsukasa—yang seharusnya ditanyakan sejak tadi karena itulah tujuannya mampir ke kamar sang putra.

“Ryochan, sejak kau kapan pacaran dengan Kawashima Umika?”

Ryosuke kehilangan kendali atas gamesticknya, bahkan nyaris menjatuhkan benda itu ke lantai. Alhasil, Tsukasa dengan mudah menjuarai pertandingan, sementara Ryosuke harus puas finish di urutan kedua.

“YEAH!! Aku menang!” seru pria 40 tahunan itu senang, sebelum gantian memandang putranya yang tiba-tiba pipinya sudah memerah. “Ne,Ryosuke.. jadi kau pacaran dengan Umika sejak kapan?”tanyanya lagi, menyadari ekspresi malu-malu pemuda itu. Ryosuke secepat kilat menggeleng.

“Tidak..Tidak. aku tidak detto dengan Umika..”

Tsukasa mengerutkan kening.

“jadi kalian belum pacaran..demo, kau menyukainya kan?”sambungnya lagi sambil tersenyum lembut. Pria itu menyadari, perbincangan anatr pria ini tidak mungkin terjadi jika tidak ada seorang Umika Kawashima yang membantu mereka berdua.

“itu….entahlah. aku menyukai orang lain.”jawab Ryosuke jujur. Tsukasa nampak tidak kaget.

“Mirai?”

Ada jeda beberapa lama sampai Ryosuke mengangguk.

“Kau yakin benar-benar menyukainya?”

Pemuda itu menoleh, tidak begitu mengerti kata-kata yang berusan tercelat dari kedua sisi  bibir ayahnya. Tsukasa makslum, namun kembali mengulangi pertanyaan yang sama.

“Kau yakin, orang yang kau cintai benar-benar Mirai?”

Ryosuke meletakan gamestick di tangannya. “maksud Touchan apa? Tentu saja orang yang kusukai itu Mirai. Sejak dulu, bahkan sebelum Yuto menjadi kekasihnya.”

Tsukasa tersenyum tipis sembari ikut meletakan gamestick yag sedari tadi dipegangnya.

“Lalu terhadap Umika, bagaimana perasaanmu?”

Ryosuke terdiam, bingung mau menjawab apa. Pernyataan Umika hanyalah sekedar sahabat baik baginya tidak bisa dilontarkannya dengan mudah kali ini. Entah apa yang dilakukan sang ayah, atau apapun pengaruh pria itu, Ryosuke tidak bisa mengelak seperti biasa. Ada sesuatu yang memaksa hatinya untuk berkata jujur, kalau Umika bukanlah sekedar sahabatnya kali ini. Gadis itu telah memiliki sebagian dari hatinya, meskipun pemuda itu masih tidak mengerti bagaimana Umika bisa.

“Kau menyukainya juga kan?”tidak sabar menunggu jawaban Ryosuke, Tsukasa memberi opsi. Sama seperti sebelumnya, butuh waktu cukup lama bagi Ryosuke untuk menjawab.

“Entahlah…aku juga tidak tahu apakah aku menyukainya atau tidak. Hanya saja, sudahlah. Aku sudah memilih Mirai—”

“Lalu bagaimana dengan Yuto? Dia sahabat terbaikmu kan? Dan kurasa kalian sudah seperti saudara. Apa kau tega, merebut gadis yang berarti baginya?” Tsukasa memotong panjang, meninggalkan kebekuan yang terbesit tiba-tiba saja antara keduanya. Dalam hati, dia membenarkan pertanyaan Ayahnya barusan. Bagaimana dengan perasaan saudaranya sendiri?.

“Aku—aku tidak tahu..“ jawab pemuda itu kemudian lemah. Perasaan telah mengkhianati sahabat terbaiknya mencuat begitu saja. Ryosuke sadar benar, dia salah. Tapi harus bagaimana?

“Ryosuke…”Tsukasa menarik nafas sejenak. “aku pernah melakukan hal yang sama. Aku mengambil ibumu dari ayah Yuto. Tapi itu karena kami benar-benar saling mencintai, dan Rui merelakan hal itu. Tapi bagaimana denganmu? Apakah kau benar-benar mencintai Mirai? Lalu bagaimana dengan perasaanmu pada Umika? kau juga tahu, itu cinta kan? Berarti secara tidak langsung kau akan menduakan Mirai. Lalu Mirai, apakah kau yakin dia sungguh-sungguh mencintaimu sepenuhnya? Ingat betapa dia bahagia bersama Yuto. Ketika kau memilih untuk memperjuangkan cintamu, kau tahu berapa banyak hati yang akan terluka?”

Ryosuke makin terdiam. Tidak ada apapun—bahkan satu katapun yang bisa dilontarkannya untuk menjawab tanya sang ayah. Begitu pula Tsukasa. Entah nasihat refleksinya kali ini cukup atau tidak untuk menyadarkan putra sematawayangnya itu agar berani mengambil sikap terhadap keadaan hatinya.

Pelan-pelan pria itu bangkit dari posisi duduknya.

“tenangkan hatimu dan pikirkan. Jika butuh bantuanku, katakan saja..” Tsukasa mengacak-ngacak rambut putranya gemas. “sudah malam, tidurlah..”. lalu keluar dari kamar tersebut meninggalkan Ryosuke yang masih terdiam.

Harus bagaimana?

~ 0 ~ 0 ~ 0 ~


“Momochan! Momochan, matte yo!!”

Momoko tidak sama sekali mengubris panggilan bertubi-tubi dibelakangnya. Peduli setan sama si pemuda yang sudah 5 menit lebih marathon sambil adu suara dibelakang. Emosinya sudah kian memuncak sejak kajadian itu. 2 hari memang telah berlalu, tapi tidak berarti masalah ini selesai begitu saja. Minta maaf saja si penguin satu itu belum.

“Momochaaan!!!” teriak pemuda di belakang makin brutal. Still, momoko bukannya berhenti malah mempercepat lajunya. Kesal berlipat ganda, pemuda itu lalu berlari makin cepat, sampai akhirnya menangkap pinggang gadis itu dan mengangkatnya beberapa puluh centi dari tanah.

“KYAAA!!” Momoko spontan berteriak. “Apa yang kau lakukan? Turunkan aku!”

Tapi pemuda yang barusan melakukan tindakan heboh itu balas tidak mengubris dan membawa Momoko bersamanya menjauh dari jalur yang seharusnya mereka lewati untuk tiba di kelas. Puluhan pasang mata manusia lain yang kebetulan datang berbarengan dengan kedua pasangan heboh itu seketika ternganga. Alasannya ada 2. Yang pertama, karena adegan gendong-menggendong di pagi hari bukanlah hal yang lumrah ditemukan di kawasan Horikoshi gakuen, dan yang kedua, karena yang barusan ,menjadi oknum penggendong adalah salah satu member Idola sekolah, The Dream Lovers. Daiki Arioka. Seorang Daiki Arioka, bayangkan, menggendong seorang gadis—pendek yang tidak begitu dikenal disekolahan setelah sebelumnya marathon plus teriak-teriak kencang. Jadi, ada apa ini?

Pertanyaan berikutnya kembali muncul di kepala para penonton—kusunya para gadis.

‘gadis itu bukannya yang datang bareng Arioka-kun semalam ya? Mereka ada hubungan apa sih?

Dan akhirnya, menyebarlah kabar gembira tersebut seisi sekolah.

~ 0 ~ 0 ~ 0 ~

“Daichan, turunkan aku cepaat! Semua orang memperhatikan kitaa!!” Momoko sebisa mungkin memberontak, meminta kekasihnya itu untuk segera membiarkan kedua kakinya menyentuh tanah. Namun sayang, Daiki malah bertindak selayaknya gerobak sampah. Diam dan tak berbunyi.*A/N:kecuali kalo si tukang sampah tereak sampaaah...sampaah… gitu ya..*

Setelah sampai di salah satu tempat sepi di sekolah—taman belakang, as ususal, Daiki kemudian memenuhi permintaan gadisnya itu dengan menurunkannya. Tapi bukannya di tanah, pemuda itu malah melepaskan Momoko tepat di atas bagnku taman, sambil tak juga melepas pelukannya.

“sudah turun kan? Sekarang jawab pertanyaanku. Kenapa kau marah?” tanya pemuda itu langsung. Senyuman terukir tipis di bibirnya. Momoko melipat tangannya, lalu membuang muka. Enggan menjawab tentu saja.

“ne, Momochan…kalau Momochan diam terus, aku kan jadi tidak tahu apa yang terjadi. Kuhubungi dari kemarin, telponku selalu dimatikan. Kerumahmu pun, kau tidak mau keluar. Emang kenapa momochan? Aku salah apaan?”

Momoko masih tidak mau menjawab. Daiki jadi setengah senewen.

“kalau Momochan tidak mau memberitahuku alasannya, aku tidak akan menurunkanmu ke tanah. Biar Momochan berdiri di bangku ini terus..!”

Momoko seketika menoleh kaget. “Eeh?! Jangan! Daichan turunkan akuu!!”

“kalau begitu jawab. Aku salah apa, Momochan??”

Momoko mencibir. “bukankah seharusnya kau yang tahu!”

Daiki memiringkan kepalanya. “tahu apa?”

“Iih! Daichan jangan pura-pura bego deh! Kau pikir aku tidak lihat apa kau mesra-mesraan dengan perempuan itu! padahal hanya kutinggal sebentar!” gadis itu menjawab kesal, membuat pemuda didepannya melongo sebentar.

“Perempuan…mana? Perempuan yang mana Momochan? Sumpah! Aku tidak pernah mesra-mesraan dengan perempuan lain selain kau!!”

“Jangan pura-pura lupa! Perempuan dewasa yang datang ke pesta Yuto itu! setelah ditinggal Chinen, malah kau yang mendekatinya kan?! Ternyata seleramu sudah berubah ya, Daichan? Aku tidak tahu kau sekarang tertarik dengan wanita yang lebih tua. Chinen berhenti, kau malah mau menggantikan ternyata!” omel momoko panjang lebar setelah sebelumnya menarik nafas panjang.

“pesta Yuto………..Miyuki? maksudmu Miyuki-chan?” Daiki masih ternganga beberapa detik sampai kemudian tawanya membahana. “ HAHAHAHAHA” pemuda itu berhenti sebentar untuk mengatur nafasnya, lalu lanjut tertawa lagi. “WAHAHAHAHAH..”. Momoko menatapnya  ajaib.

“Ne, Momochan…” Daiki akhirnya menyelesaikan parade tawanya dan mulai memberi penjelasan. “Miyuki-chan itu adik perempuan ibuku… jadi dia itu Oba-chan ku… dan dia sudah berkeluarga. Tidak mungkin aku selingkuh dengannya…”

“Tuh kan! Sudah kubilang—APA?!” Momoko sadar terlambat. Daiki masih mengeluarkan persediaan tawa sisa melihat ekspresi tidak percaya kekasihnya tersebut. “Ho-Hontou?”

Pemuda itu mengangguk mantap. “Miyukichan memang pernah pacaran sama Chinen, tapi itu tidak lama. Dan aku tidak mungkin akan mengikuti jejak Chii untuk pacaran dengan wanita yang lebih dewasa, apalagi dengan bibiku sendiri..” Pemuda itu memeluk momoko makin erat lalu menurunkannya ke tanah. “lagipula, aku kan sudah terlalu bahagia punya kanojo yang kawaii seperti ini..” pemuda itu mendekatkan wajahnya ke wajah Momoko. Momoko pelan-pelan mulai memiringkan kepalanya sembari lambat laun menutup kedua kelopak matanya, menanti aksi pemuda itu selanjutnya.

“Apa yang kalian berdua lakukan?” satu suara bernada tanda tanya tiba-tiba saja terdengar. Daiki segera menghentikan gerakan wajahnya dan menoleh ke sumber suara dibelakangnya, begitu pula momoko yang kontan membuka mata.

Berdirilah disana Ryosuke dengan kedua tangan terlipat didada bersama Chinen dan Umika. ternyata pemuda itulah oknum perusak suasana romantis Momo-Dai tadi.

“Ryosuke baka! Kau menghancurkan momen romantisnya..” Chinen Yuri protes, tontonan dorama gratis sahabatnya barusan harus terhenti karena pertanyaan introgasi Ryosuke. “Ne, Kalian jangan pedulikan si butta in. Lanjutkan saja..”sarannya kemudian. Ryosuke mengangkat alisnya sebelah, begitu juga Umika yang memilih mengangkat kedua alisnya.

Daiki dan Momoko merubah posisi, membentuk barisan bersaf menghadap ketiga manusia didepan mereka. Keduanya tertawa garing, lalu pelan-pelan bergeser menjauh.

“Ne, Chii, Ryosuke, Umika, kami ke kelas dulu ya. Jaa~” Daiki secepat kilat menarik tangan Momoko dan membawa gadis it bersamanya. Langkah keduanya cepat dan panjang, sehingga hanya dalam waktu beberapa sekon, kedua menusia itu sudah hilang entah kemana.

“Ck! Ryosuke sih, mengganggu. Padahal kan lagi seru!” Chinen Yuri kembali mengomeli sahabatnya yang satu itu. ryosuke menoleh, menatap pemuda itu kesal.

“bukannya bagus kalau mereka berdua kuhentikan? Ini sekolah, oi! Kalau mau mesra-mesraan ya, kenapa tidak cari hotel saja sana.”

Chinen manyun. “bilang saja kau cemburu karena tidak bisa gituan sama Umichan. Cih, sudahlah. Aku mau nyari Suzuchan dulu…” balasnya kemudian ikut berlalu meninggalkan Ryosuke yang kini nampak kaget akut sendirian berdua Umika.

Sama seperti pemuda disampingnya yang juga kaget dengan kata-kata Chinen barusan, Umika mulai menatap intens ke arah Ryosuke. Seketika, Ryosuke menangkap pandangannya.

“Apa? Kau juga mau protes opera sabunnya kukacaukan? Kalau begitu kita panggil saja mereka berdua lagi. Lalu minta mereka me-replay aksi tadi..” seru pemuda itu sewot. Umika bukannya menjawab malah tertawa keras-keras.

Chapter 18 end ~ continue to chapter 19

Sabtu, 01 Oktober 2011

[fic/On Writting] : The Dream Lovers-chapter 17


CHAPTER 17


“Kuantar masuk?” Nada bicara Ryosuke sedikit ragu-ragu, tidak begitu yakin dengan tawarannya barusan. Jelas saja, masih terngiang di benaknya bagaimana dia disusir oleh kepala keluarga Kawashima semalam. Seumur-umur, belum pernah ada satupun manusia di muka bumi ini yang berani mengusirnya. Selamat untuk kawashima Yuya karena sudah menjadi yang pertama—dan semoga yang terakhir. Jujur, pemuda itu rada kurang percaya diri untuk menjejakan kakinya walau hanya seambang pintu rumah. Takut, kalau-kalau saja pengusiaran semalam ada season duanya. Tidak menutup kemunginan kan, kalau semalam hanya diusir, kali ini mungkin dirinya akan dihajar habis-habisan, secara kalau semalam Umika hanya datang dengan wajah sembab dan berliput air mata, kali ini malah membawa luka memar. Penyebabnya orang yang sama pula.

“kalau masih takut Touchan, tidak usah. Eh, tapi…touchan di kantor sih jam segini…”balas Umika melihat ekspresi ‘aku nggak yakin deh mau masuk’ di wajah Ryosuke. “Aku turun ya? Jaa…” Gadis itu sudah membuka pintu mobil dan menghampaskannya kmbali. Namun, tanpa disangka-sangka, pemuda di sampingnya itu juga ikut melakukan hal yang sama. “yakin nih mau ikut?” sambung gadis itu ketika Ryosuke sudah berdiri sigap disampingnya. Ryosuke mengangguk mantap.

“Aku yang membuatmu terluka, makanya aku harus tanggung jawab..”

“tanggung jawab? Hah! Bicaramu sudah seperti aku luka parah saja…” Umika mulai menarik kenop pintu “ayo masuk..!”

Ryosuke menurut. Kedya manusia itu lalu memasuki rumah keluarga kawashima. Cukup sepi, sampai Umika harus berteriak memanggil ibunya yang entah ada dimana. Sepertinya di dapur karena hari ini sang ibu tidak masuk kantor. Ada acara apalah, entah, yang pasti membuat sang ibu enggan berkunjung ke tempat kerjanya tersebut.

“Kaa-chan, tadaimaaa…!”

“Okaeri..!”balas Rubi sambil buru-buru berlari dari dapur. Wanita itu seketika kaget melihat putrinya di jam sekolah bergini malah ada di ruang tamu rumahnya, bersama Ryosuke Yamada pula. Ditambah perban putih yang menempel di kening kirinya itu, pasti telah terjadi sesuatu.

“Umika, Doushita…”tanya Rubi panik dan buru-buru memeriksa luka putrinya itu. Rubi jadi tidak bisa tahu sebesar apa luka di kening Umika tersebut karena sudah tertutup perban.

“Tadi aku—“

“Gomenasai!” Ryosuke memutuskan kata-kata Umika tadi dengan satu permintaan maaf bervolume tinggi. Ditambah lagi, pemuda itu membungkuk hingga nyaris 90 derajat. “Hontou ni Gomenasai! Tadi karena aku tidak memperhatikan jalanan, kami berdua mengalami kecelakaan ringan dan kening Umika terbentur dasbor. Lukanya tidak parah kok, aku sempat membawanya ke rumah sakit dan kata sensei tidak ada tanda-tanda akan gegar otak. Untuk itu, aku minta maaf, bibi. Hontou ni, Gomenasai…”lanjutnya tanpa sekalipun menegakkan punggungnya. Rubi speechless, tidak tahu bagaimana caranya menghadapi pemuda jujur ini. Umika juga ikut terpana menyaksikan tingkah nekat Ryosuke barusan.

Punggung Ryosuke mulai pegal. Sudah sekitar 5 menitan pemuda itu membungkuk dan 2 manusia yang dimintainya maaf tak juga menyuruhnya bangun. Dia sendiri juga tidak enak kalau langsung menegakan tubuhnya tanpa disuruh. Belum tentu dirinya dimaafkan juga. Melihat Ryosuke yang sudah tidak begitu nyaman dengan pose menunduknya, Rubi tersadar, lalu buru-buru menyuruh pemuda itu bangun.

“sudahlah Yamada-kun, tidak perlu. Yang penting Umika sehat-sehat saja…”

Mendengar kata-kata pembebasannya, Ryosuke secepat kilat menegakan punggungnya yang bila ditinggalkan semenit lagi dalam posisi tadi, mungkin saja dirinya akan berakhir bungkuk seumur hidup.

“hai..arigatou Bibi. Aah.. aku harus ke sekolah sekarang untuk memberitakan kalau Umika sakit. Aku pamit dulu, itekimas…” Ujar pemuda itu sebelum keluar dan dibalas sapaan manis Rubi dan senyuman lembut Umika. Berbeda dengan semalam ketika kepergiannya hanya dibanjiri tatap dingin Yuya juga wajah pasrah Rubi dan Ryuu.

Sesaat senyuman Umika kembali terbayang. Pemuda itu ikut tersenyum, sebelum menstater mobilnya dan pergi.

~ 0 ~ 0 ~ 0 ~


Jam pertama sudah berlalu nyaris tiga puluh menit ketika seorang Yamada Ryosuke dengan seenaknya memasuki kelas 3-D, wilayah teritorinya. Yaotome-sensei—yang kali ini sedang menerangkan tentang termokimia—seketika langsung terdiam. Begitupun keadaan kelas yang semulanya cukup gaduh karena Yaotome-sensei banyak bercanda dalam memberi penjelasan, tiba-tiba saja ikut senyap ketika pemuda itu datang.

“Umika sakit…dia ijin dulu hari ini..”Ujar pemuda itu to the point. Persetan dengan keadaan kelas yang langsung berubah 180 derajat. Bukan masalah baginya kalau dia mau seenaknya seperti ini. Toh sekolahan ini miliknya.

Mendengar ucapan Ryosuke barusan, yaotome-sensei secepat kilat menarik daftar absen di mejanya dan menulis huruf ‘I’ besar di kolom kehadiran Kawashima Umika. “hai! Sudah kuisi.”

“bagus” jawab Ryosuke singkat lalu kemudian berjalan ke tempat duduknya, tanpa sekalipun memperhatikan tampang Yaotome-sensei yang terlihat gugup plus ketakutan. Malang sekali nasib sensei yang satu ini. Kemarin dibantai Chinen Yuri, dan hari ini giliran Yamada Ryosuke—putra pemilik sekolah. Hidup memang sulit.

Ryouke sampai ke bangkunya, melempar tas seenaknya,  dan langsung menempati kursi tersebut. Ketika menoleh kedepan, matanya tidak sengaja menangkap wajah Mirai, tepat ketika gadis itu melihatnya. Seketika semburat merah muncul di kedua pipi Mirai, membuat gadis itu memutar wajahnya agar semburat itu tidak terlihat penyebarannya ke bagian wajahnya yang lain. Melihatnya, Ryosuke tersenyum lembut. Pengakuannya semalam itu ternyata berbalas. Mirai juga menyukainya, meskipun hanya malam itu dirinya bisa menggantikan Yuto. Ryosuke bahagia, teramat sangat bahagia. Apalagi ketika didapatinya lagi Mirai mencuri pandang ke arahnya beberapa kali.

Dan ketika itu juga, Ryosuke lupa Yuto begitu juga Umika. Baik Ryosuke maupun Mirai sama sekali tidak menyadari tatapan tidak suka di sinar mata Yuto untuk keduanya.

~ 0 ~ 0 ~ 0 ~

Suara deru mesin mobil kembali bergema di depan rumah keluarga Kawashima. Umika berdecak kesal, mengira kunjungan kali ini juga dari Ryosuke yang kembali dengan berbagai alasan bodohnya. Tapi kedua bola matanya sontak melebar ketika menemukan siapa yang berdiri di depan sebuah sedan mewah mahal yang terparkir depan rumahnya.

“Yamada Tsukasa-san?”bisiknya kaget. Tsukasa tersenyum lembut.

“Ohayou,…”

“Aah..Ohayou!” jawab Umika gugup, membuat Tsukasa tertawa makin lebar. “Anoo.. ada apa ya?”

“Aku mau—“

“Waa..tunggu. tunggu. Yamada-san masuk dulu…”Umika memotong kata-kata pria itu dengan menyuruhnya masuk. Penjelasannya biar nanti di dalam saja, soalnya Umika takut kemunculan Yamada Tsukasa yang tiba-tiba ini bisa menghebohkan ibu-ibu tetangga.

Tsukasa baru mau melangkahkan kakinya ketika sebuah serangan rasa sakit  menyerang dadanya. Seketika pria itu tersungkur di tanah, sambil memegang dada kirinya. Umika refleks mendekatinya. Begitu pula supir keluarga Yamada yang sejak tadi berdiri di belakang Tsukasa.

“Yamada-san?..Yamada-san, doshita? Yamada-san?!”

~ 0 ~ 0 ~ 0 ~

Ryosuke memainkan kakinya menginjak-injak rerumputan di dasar. Senyum cerah terkembang di bibirnya. Hari ini memang hari terbaik. Setelah sukses dimaafkan Umika pagi tadi, kali ini Mirai mengirim e-mail, mengajaknya untuk bertemu. Dilihat dari banyaknya motion ‘happy’ dan tingkah malu-malu mau gadis itu sebelumnya, Ryosuke semakin yakin perbuatannya semalam tidak salah-salah amat. Mengungkapkan cinta merupakan salah satu hal yang harus dilakukan dalam hidup kan?—meskipun terhadap gadis yang merupakan pacar sahabatnya sendiri.

Kata ‘sahabat’ dan ’pacar’ tiba-tiba saja menyadarkannya. Ya, fakta bahwa dia telah mencuri salah satu yang berharga milik Yuto. Egois? Tentu saja. Tapi ketika cinta yang ditahan 10 tahun n menjeritkan kebebasan, adakah hal lain yang bisa dilakukannya selain mengikuti keinginan itu, meskipun dia sadar, sahabatnya, gadis yang dicintainya, dan bahkan dirinya sendiri bisa terluka. Seseorang sudah cukup terluka untuk hal itu—Umika. Dan kali ini mungkin saja, Yutolah yang akan terluka berikutnya.

“Oi! Ngelamunin apa?” Mirai tiba-tiba muncul dan menepuk pundak Ryosuke semangat. Pemuda itu menoleh, memberikan senyum terbaiknya. 

“betsuni~”

“betsuni? Ck! Menyembunyikan sesuatu dariku ya? Ayo katakan! Ngelamunin apa?” Mirai mulai mencubit-cubit perut Ryosuke. Pemuda itu menggeliat kegelian sambil tertawa kencang.

“Yamete yo, Miraichan..!!”

“hahaha… tidak mau..”

“Miraichan Yamete—”

“Mirai!” suara seseorang tiba-tiba saja terdengar, menghentikan aktivitas mesra kedua sejoli itu. Keduanya hafal betul suara itu. Pelan-plan mereka berbalik.

“Yuto, doushita?” Mirai mencoba bersikap sewajarnya. Meskipun tertangkap basah bersama Ryosuke kali ini, untunglah keduanya tidak melakukan hal yang aneh-aneh. Dia masih bisa berkelit.

“Kita, dipanggil ke ruangan Yabu-sensei…” jawab Yuto tenang, nampak tidak begitu terganggu mendapati keakraban yang tak begitu wajar antara gadisnya dan Ryosuke.

“Imakara?”

“Un!”

Mirai balik menatap Ryosuke. “Aku pergi dulu. Jaa, Buttachan..!”

“Jaa, Ryosuke!”Yuto ikut pamit. Ryosuke hanya tertawa garing sambil melambaikan tangannya. Setelah kedua manusia itu menghilang dibalik tikungan koridor, Ryosuke mengelus-elus dadanya lega.

“Syukurlah…untung tadi aku belum sempat melakukan yang aneh-aneh…”ujarnya sambil berjalan ke kelas. Setelah sempurna tiba di kelas dan menjangkau bangkunya, pemuda itu lalu mengambil keitai disakunya dan memainkannya. Terbesit pikiran untuk menelpon Umika. Namun, kalau menelpon Umika sekarang, dia takut kedengaran Mirai. Bisa-bisa dia cemburu. Ya, semenjak kejadian semalam, Ryosuke merasa sudah memiliki tanggung jawab terhadap gadis itu. Meskipun mungkin hanya disaat Yuto tidak bersamanya.

Namun tak ayal, Ryosuke sudah kelewat penasaran ingin mendengar suara bernada ceria Umika. Digulirnya daftar kontak satu persatu sampai menemuka nama ‘Umika’. Salah satu jarinya nyaris menekan tombol ‘call’ kalau saja suara langkah kaki seseorang yang terburu-buru tidak mengganggunya.

“Ryosuke! Ayahmu!” Yuto mendatangi pemuda itu dengan wajah panik, begitu pula dengan Mirai di belakangnya. Ryosuke keheranan.

“Yuto, doshita?”

Yuto menarik nafas sejenak. “Ayahmu kena serangan jantung. Sekarang dia ada di rumah sakit, dan kata Inoo-sensei kondisinya sangat kritis.”

“APA?!”

“Ayahmu, dia kena serangan jantung!” Yuto mengulangi kta-katanya dengan sedikit penekanan. Ryosuke tersentak, wajahnya ikut memucat layaknya Yuto dan Mirai.

“U-uso..” bisiknya pelan, sangat pelan, nyaris tak terdengar. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Tidak didengarnya lagi langkah-langkah panik Chinen dan Daiki yang kini juga sudah berdiri di dekatnya.

“Ryo—“ Ryosuke tidak lagi memberikan kesempatan bagi Yuto untuk bicara karena kini kaki-kakinya sudah membawanya berlari meninggalkan kelas. Keempat manusia yang tadi berdiri di dekatnya segera menyusul.

“Tidak…ini tidak mungkin!”

Ryosuke menerobos lorong sekolah yang karena jam istirahat, terlihat begitu padat dengan siswa-siswi yang lalu-lalang. Semua segera menyingkir begitu melihatnya muncul, memberikan jalan yang cukup lebar bagi pemuda itu serta keempat sahabatnya yang tertinggal tidak terlalu jauh untuk lewat. Berita tentang ayah Ryosuke ini belum menyebar, karena itu setiap siswa yang melihat wajah panik mereka hanya memiringkan kepalanya heran.

Ryosuke tetap tidak peduli. Ketika mobilnya yang terparkir telah nampak jelas didepannya, buru-buru pemuda itu masuk dan melarikan mobil sport miliknya itu secepat mungkin. Kepanikan masih menguasainya. Seingat pemuda itu, Ayahnya tidak pernah didiaknosa menderita penyakit serius apapun. Dan kini, ketika tiba-tiba saja ayahnya terkena serangan jantung bahkan sampai kondisinya kritis tidak ada yang bisa Ryosuke lakukan selain secepatnya melihat kondisi ayahnya itu, serta berharap tidak terjadi apapun yang buruk. Ryosuke selalu mengaku dia membenci ayahnya, namun jauh dalam lubuk hatinya, pemuda itu sangat mencintai satu-satunya keluarganya yang masih hidup tersebut.

Mobil Ryosuke akhirnya memasuki kawasan rumah sakit. Dihentikan mobilnya seenaknya, lalu buru-buru berlari ke dalam. Pemuda itu tidak lagi bertanya kepada resepsionis dan langsung menuju ruang Inoo-sensei. Namun tanpa sengaja, matanya melihat sosok Inoo sensei yang baru keluar dari ruang ICU. Wajahnya sendu dan pucat. Ryosuke semakin khawatir dan secepat kilat mendatangi dokter muda itu.

“SENSEI!” Teriaknya agar Inoo bisa mendengar suaranya. Inoo segera menoleh ke sumber suara itu. “Tou-san! Bagaimana keadaannya? Dia baik-baik saja kan?” tanya pemuda itu langsung. Inoo terdiam, matanya enggan menatap pemuda di depannya. Hal itu membuat Ryosuke makin tidak tenang.

“ne, Sensei! Katakan! Tou-san baik-baik saja kan? IYA KAN?!” Ryosuke mengguncang-guncangkan tubuh Inoo. Pria itu masih terdiam, sampai ketika Yuto, Mirai, Chinen, dan Daiki tiba.

“SENSEI!!”

Inoo sensei mengangkat wajahnya pelan, lalu bersuara. “Maaf, Ryosuke. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin.”

“Tidak…Tidak mungkin…!” Ryosuke berlari melewati Inoo, lalu memasuki ruangan yang sempat dimasuki dokter itu tadi. Tubuhnya membeku melihat sosok seorang pria yang tertutup wajahnya oleh kain putih sedang terbaring di tempat tidur pasien. Pelan-pelan dibukannya kain penutup tubuh pria itu. Nafas Ryosuke tercekat ketika menemukan bahwa pria yang nampaknya sudah tak bernyawa lagi itu adalah Ayahnya sendiri.

“U-Uso…”bisiknya pelan. Tangannya menyentuh kedua pipi ayahnya. Dingin. Wajah ayahnya sangat dingin. Air mata menetes begitu saja mengaliri pipinya.

“BANGUN!” Frustrasi, Ryosuke menguncang-guncangkan pundak ayahnya keras.”BANGUN BRENGSEK! KENAPA KAU JUGA MENINGGALKANKU?! KENAPA?! CEPAT BANGUN YAMADA TSUKASA! BUKA MATAMU, BRENGSEK!!!!!” teriaknya sambil terus terisak. Tetap saja, sosok di depannya tidak juga menunjukan tanda-tanda akan menuruti perintahnya. Ryosuke makin frustrasi. Dipeluknya tubuh sang ayah yang dingin itu erat.

“Tou-san, Gomenasai…” Untuk pertama kalinya dalam 10 tahun terakhir, Ryosuke memanggil sosok itu dengan sebutan ayah. Tetap saja, yang dipanggil tak kunjung membuka mata. Wajah pemuda itu masih berlinang air mata. Dia tidak lagi punya cukup kekuatan untuk berteriak bahkan untuk menahan tubuhnya sehingga kemudian tubuhnya merosot ke lantai. Tangannya masih erat memeluk sebelah bahu ayahnya sementara tangisnya tak sedikitpun reda. “Tou-san, Bangunlah…kumohon, buka matamu…” Ryosuke tidak sekalipun berhenti meminta ayahnya untuk bangkit. Pemuda itu masih terus menangis dan menangis.

“TOU-SAN!!”

“Ryosuke…”

Ryosuke tersentak.

“Ryosuke…”

Pemuda itu bangkit berdiri, masih terisak.  

“Kau..?”

Tubuh yang terbaring sejak tadi itu lalu terbangun dan mengambil posisi duduk.

“Ryosuke, aku…”

“KAU MENIPUKU?!”

“Maafkan aku… aku hanya…”

“Kenapa kau menipuku?! Kau tidak tahu betapa paniknya aku tadi?! Aku berkali-kali membahayakan keselamatan orang lain dengan buru-buru datang kemari. Aku nyaris menabrak banyak orang hanya untuk menonton drama angst-mu ini!!! BRENGSEK!” Ryosuke berputar, siap melangkah pergi. Tsukasa buru-buru bangun dari tempat tidur dan menarik lengan putranya.

“Dengarkan aku dulu, Ryosuke! Aku memang terkena serangan jantung, namun itu tidak membunuhku kali ini. Mungkin lain kali, kapanpun, aku bisa saja mati. Tapi sebelum hal itu terjadi, aku ingin memperbaiki hubunganku denganmu. Aku tidak ingin meninggalkanmu sendiri begitu saja seperti ibumu meninggalkan kita. Aku ingin menciptakan kenangan, meski hanya sekali bersama putraku..”

Ryosuke terdiam. Dalam hatinya, dia tersentuh dengan perkataan Tsukasa. Pemuda itu merasakan hal yang sama. Dia sangat tidak ingin kehilangan ayahnya itu, yang sudah dimusuhinya 10 tahun. 10 tahun saja, sudah cukup kan? Bukankah sebaiknya saat ini dia memperbaiki hubungannya dengan sang ayah? Keduanya jelas menginginkan yang sama.

Tsukasa tiba-tiba merangkul Ryosuke erat. Pria itu tersenyum. Meskipun sudah 18 tahun, ternyata tinggi putranya itu tak juga menjangkaunya. Ryosuke sendiri tertegun. Ini pertama kalinya dalam 10 tahun terakhir dia merasakan pelukan sang ayah. Hangat. Lebih hangat dari siapapun—selain ibunya— yang pernah memeluknya selama ini. Perasaannya jadi tentram.

“Gomenasai yo, Ryochan…Tousan wa, hontou ni gomenasai…” Tsukasa berujar pelan. Ryosuke kembali dibuat tertegun ketika nama kecilnya itu dipanggil. Dulu, nama itulah yang digunakan kedua orang tuanya untuk memanggilnya. Sektika hatinya luluh. Pemuda itu seolah kembali merasakan masa-masa bahagianya dulu.

“tousan..”Ryosuke berbisik, agak lama sampai kemudian balas memeluk Ayahnya. Tsukasa tersentuh, air matanya nyaris mengalir kalau saja tidak segera dihapusnya dengan punggung tangannya. Sementara Ryosuke yang memang sudah berderai air mata sejak tadi, kembali memproduksi tetes bening yang sama.

Sekian detik berlalu sampai Tsukasa melepas pelukannya, lalu mengacak rambut Ryosuke gemas. “Tinggimu masih belum bisa menandingiku waktu SMU..”

Ryosuke tertawa kecil sambil sesekali ikut menghapus air matanya. “Aku masih punya 3 tahun untuk menandingi tinggimu yang sekarang. Lihat saja, aku pasti akan lebih tinggi dan keren darimu..”

Gantian Tsukasa yang tertawa. “Ganbatte ne?!...Oh ya, dimana Umika?”

Alis Ryosuke terangkat sebelah. “Umika?”

“Iya. Kawashima Umika. Tadi dia ikut membawaku kemari. Ah, sudah kuceritakan belum? Semua ini idenya. Dia bahkan berani jamin hubungan kita akan membaik..”

Ryosuke ternganga. “HAH?!’


Chapter 17 end ~ continue to chapter 18

[fic/On Writting] : The Dream Lovers-chapter 16

CHAPTER 16


Suzuka memanas, entah karena apa. Apakah pendingin ruangan kediaman Nakajima tiba-tiba mati kah? Atau pakaian yang dikenakannya terlalu tebal sehingga tidak ada angin yang berani menerjangnya? Ataukah?

Sayangnya tidak. Suzuka tidak memanas karena itu. Tapi karena manusia—yang dalam pandangannya berjenis pithecanthropus sial didepannya yang kali ini sedang mencari semacam homo sapiens untuk dikawinkan. Ck, kacau, deshou? Siapakah pithecanthropus itu? bisa menebak?
Bingo! Tersebutlah dia Chinen Yuri yang kali ini—ehem—menjabat sebagai kekasih tunggal Suzuka. Tapi kenapa dia malah duduk-duduk sambil merangkul seorang wanita cantik yang nampaknya berumur nyaris 30nan tahun, mesra pula. Bagaimana Suzuka tidak cemburu?

Takut kalau-kalau dirinya bisa terbakar ditempatnya berdiri sekarang, suzuka lalu putar balik dan melangkah ke salah satu pintu. Pintu apapun itu terserah, yang penting bisa menjauhkan pandangannya dari Chinen untuk waktu yang lama. Sedetik setelahnya, sampailah gadis itu di taman belakang keluarga Nakajima *AN/kok dari tadi settingnya disini mulu*—sepi. Tidak, kosong. Tempat yang cocok untuk mendinginkan kepalanya sejenak. Suzuka baru saja mau mendekati bangku didepannya ketika tiba-tiba seseorang memeluknya mesra dari belakang. Sontak gadis itu menoleh, dan mendapati senyum cerah Chinen yang menatapnya lembut.

“Suzuchan kok sendirian aja disini…?” Tanya pemuda itu. Bukannya menjawab, suzuka malah melepaskan pelukannya dan bergerak menjauh. Chinen menatapnya kaget. “suzuchan, doushita?”lanjutnya. wajah Suzuka kembali memerah.

“Pergi kau!”

“hah?”expresi bingung chinen sudah berpangkat dua. Heran, kok gadisnya bisa marah-marah tak jelas begini? PMS ya?

“Kubilang pergi. Lanjutin mesra-mesraanmu dengan wanita tadi!”bentaknya. Chinen ternganga sesaat namun sedetik kemudian tawanya meledak. Didekatinya gadis itu lalu mengacak-ngacak puncak kepalanya gemas.

“Suzuchan cemburu deshou?” godanya. Suzuka tersentak, wajahnya bertambah merah.

“Chigau! Aku tidak cemburu!”

Chinen nyengir makin lebar. “yang tadi itu mantan pacarku, Suzuchan. Jangan dipikirkan. Dia sudah menikah ini…”jelas pemuda itu. suzuka seketika teringat cerita momoko dulu, kalau Chinen pernah pacaran dengan wanita 27 tahunan. Pasti yang tadi. Terus, apa katanya tadi? Sudah menikah? Syukurlah. Suzuka bisa bernapas laga. Namun spersekian detik kemudian gadis itu tersadar. Status sudah menikah tidak menutup kemungkinan Chinen bisa selingkuh dengan wanita itu. Chinen Yuri ini.

“Jadi kau kencan dengan wanita yang sudah menikah ya? Hebat! Lalu untuk apa masih mempermainkanku? Padahal sudah kutolak, Kau masih bisa cari perempuan yang lain kan?” cecar Suzuka kemudian. Chinen seketika terdiam dan menatap gadis itu serius. Suzuka merinding, entah kenapa tatapan pemuda itu terlihat menakutkan kali ini.

“Suzuchan.”Chinen mulai bicara. “ketika aku meminta Suzuchan menjadi Kanojoku, aku tidak pernah main-main karena memang Suzuchanlah yang aku sukai sejak dulu. Aku main-main dengan banyak gadis karena aku belum punya cukup keberanian untuk mendatangi Suzuchan dan mengatakan semuanya. Setelah kita menjadi classmatelah, aku baru memahami Suzuka yang sebenarnya dan mulai mendekatimu secara terang terangan. Selama ini, tidak pernah sekalipun aku mempermainkan Suzuchan. Aku selalu serius jika berkaitan dengan suzuchan, titik!” jelas Chinen panjang lebar. Suzuka tertegun agak lama.

“hontou?” bisik gadis itu bertanya. Chinen mengangguk mantap. Senyum lebar terkembang di bibirnya. Suzuka tidak tersenyum malah menatap balik pemuda itu tajam. Lama, cukup lama sampai bisa membuat Chinen salah tingkah.

“Hentikan ah, Suzuchan menatapku lama sekali. Aku kan malu…” ujar pemuda itu akhirnya. Bukannya berhenti menatap, Suzuka malah memperjelas ketajaman matanya dengan semakin merapatkan wajahnya ke wajah Chinen. Gantian pemuda itu yang memerah.

Cuuup!

Bibir Suzuka seketika bersarang di pipi kiri Chinen. Kurang lebih sedetik sampai ditariknya kembali wajahnya dari wajah pemuda itu. Chinen membeku.

“Itu saja. Jaa~” Suzuka berbalik pergi, meninggalkan Chinen yang masih berliput es ditempatnya(?). pemuda itu tertegun agak lama, menyentuh bekas kecupan tadi hati-hati. Wajahnya memerah.

“YEEEAAAAHHH!!!!” teriaknya kemudian, senang sekali.

~ 0 ~ 0 ~ 0 ~


Gadis itu menerjang masuk dengan langkah cepat. Tidak dipedulikannya pintu yang terbanting keras di belakang, juga suara ayah, ibu, dan adiknya yang kemudian menyambutnya dengan kata tanya apa disetiap kalimat meraka. Ada apa, apa yang terjadi,.. sungguh. Dia tidak ingin membicarakannya saat ini. Gadis itu kacau, bahkan terlalu kacau untuk hanya mengucapkan tadaima kepada mereka yang menunggunya dengan sorot bahagia sebelumnya, yang kali ini terganti tanda tanya besar di wajah masing-masing. Gadis itu tidak ingin bicara. Menggerling sebentar kearah 3 manusia itu, memberi isyarat agar jangan mendekatinya sekarang, gadis itu lalu berakhir dengan masuk ke kamarnya dan merebahkan diri di kasur. Tangisnya pecah seketika. Cukup kuat dan terisak, membuat mereka yang ada di lantai bawah samar-samar bisa mendengar. Tapi tidak ada aksi berikutnya. Ketiga orang itu hanya diam, seolah mengerti, saat ini bukan saat yang tepat untuk menanyakan apa pada gadis kecil mereka itu. Dia sudah dewasa dan bisa mengatasi guncangan batinnya sendiri. Mereka percaya, nanti, ketika tangisnya reda, gadis itu akan mendatangai ketiganya dan siap berbicara.

10 menit cukup sampai isakan tak lagi terdengar. Namun gadis di dalam kamar itu tak kunjung menampakan sosoknya. Heran, sang ayahlah yang duluan berdiri.

“Aku mau mengecek Umika.” katanya pelan sebelum melangkah menaiki tangga. Istrinya, serta putra bungsunya siap menghalangi, dengan alasan sang putri pasti belum siap bercerita. Jika sudah, tentulah dia yang akan menadatangi mereka. Namun, langkah Yuya bukannya terhenti karena cegatan Ryuu dan Rubi, melainkan suara decitan bel yang berulang kali. Terdengar panik dan terburu-buru. Memandang jam tangannya, yuya sedikit kebingungan. Jam 11 malam, jarang ada tamu yang berkunjung larut malam begini. Apalagi, kali ini tamu tersebut nampak ngotot sekali memasuki rumah sederhana tersebut. Berpindah tujuan, Yuya lalu melangkah mendekati pintu dan menarik kenop benda persegi panjang kayu yang belum sempat dikunci tersebut.

Dan tampaklah disana, sosok seorang pemuda yang tak kalah kacaunya dengan putri mereka tadi. Gerakannya tidak tenang, lebih terkesan panik. Pelan-pelan ditatapnya pria paruh baya yang sudah berdiri di depannya kini.

“Paman, Umika!” serunya buru-buru, namun diredakan lagi nada bicaranya ketika mengetahui raut wajah Yuya terlihat tidak biasa.”Maaf, paman. Umika…sudah pulang?”

Yuya mengangguk. “baru sepuluh menit lalu.” Jawabnya singkat, tanpa memberitahukan sama sekali bagaimana kondisi putri sulungnya itu ketika tiba di rumah. Sendirian pula! Secara pria itu tahu, pemuda didepannya ini juga pasti mengetahui betul apa yang terjadi sebelumnya. Bahkan kemungkinan besar, dialah penyebabnya.

“Paman, aku minta maaf. Bibi, Ryuu…” tegurnya lagi begitu Rubi dan Ryuu ikut muncul di ambang batas pintu. Cukup kejam, sejak tadi Yuya sama sekali tidak mempersilahkan pemuda itu masuk atau menanyakan kabarnya seperti yang biasa dilakukannya ketika pemuda itu berkunjung. Terasa, pria itu tidak begitu suka kemunculan sang pemuda setelah melihat putrinya datang dengan mata sembab dan kemudian terisak keras.

“Maaf aku tidak mengantar Umika pulang, dan…” Ryosuke berhenti sejenak, menelan ludah dan kesesakan yang dirasanya. “Maaf karena sudah membuat Umika menangis. Maafkan aku…”pemuda itu membungkuk dalam, menunjukan penyesalannya yang teramat sangat pada sekeluarga itu. Rubilah yang duluan bereaksi atas tindakan berani Ryosuke barusan.

“Sudahlah, Yamada-kun. Tidak apa-apa. Umika juga sudah reda tangisnya.”

“Dan kau boleh pulang sekarang.” Satu kalimat terakhir dari Yuya kemudian menjadi penutup kunjungan singkat Ryosuke. Rubi dan Ryuu sempat ternganga memandangi sang ayah tersebut. Pria itu nampak tenang-tenang saja, tapi jauh dalam hatinya mereka bisa membaca amarah Yuya yang mungkin saja bisa memuncak kalau Ryosuke tidak segera enyah dari hadapan pria itu. Mengerti betul situasi saat ini menghakiminya sebagai yang bersalah, serta kalimat singkat Yuya yang berupa usiran barusan, Ryosuke lalu pamit pulang. Setelah mendapat salam balik dari Rubi dan Ryuu, Pemuda itu menghilang, ditelan mobil hitam mewahnya.

“Tou-chan terlalu kasar pada Yamada-kun.” Rubi memberi komentar beberapa menit kemudian, namun hanya dibalas dengan tatapan tajam Yuya.

“Aku tidak suka caranya melukai putriku yang berharga.” Jawaban finalnya, kemudian memasuki kamar utama rumah tersebut. Rubi dan Ryuu saling pandang sedetik, kemudian menggeleng pasrah.

Samar-samar, diatas anak tangga yang dilaluinya, gadis itu bisa mendegar percakapan berbeda latar yang barusan terjadi. Niatnya mau ambil minum, sekaligus menunjukan kepada Ayah, Ibu, serta adiknya bahwa kondisinya sudah membaik sekarang. Namun diurungkannya niat tersebut, lalu kembali ke dalam kamarnya yang malam ini tak terjamah siapapun kecuali dirinya sendiri. Pelan-pelan menaiki kasur dan kembali terhempas. Ingatan di taman rumah Yuto tadi kembali terbesit. Ryosuke dan Mirai, berciuman, air mata, semuanya menimbulkan tetes bening baru yang ikut mengaliri pipinya seiring dengan bayangan kejadian tadi yang berputar ulang, terus berputar.

Dan sekali lagi, Umika menangis.

~ 0 ~ 0 ~ 0 ~


Esoknya, Umika baru menunjukan wujudnya ketika jam sudah mendekati pukul 7. cukup telat, karena biasanya gadis itu sudah akan nimbrung di meja makan sejak jam setengah 7 pagi, membahas apa saja yang ingin dibahasnya bersama Ayah, Ibu, dan adik tercinta sambil menghabiskan sarapan bersama. Dan kali ini, ketika Umika datang dengan wajah kusutnya—akibat habis menangis semalaman,  ketiga manusia yang tengah menunggu kedatangannya sejak tadi itu hanya bisa menatapnya simpati dan penuh kasih.

“Ohayo…” desahnya pelan, nyaris tak terdengar kalau saja ketiga eksistensi tersebut tidak menajamkan telinga dan menanti kemungkinan suara apa saja yang akan muncul dari kedua bibir gadis itu. Apa tangisan lagi, keluhan, bentakan, atau malah tawa lebar—ketiganya menduga, Umika bisa saja stress sampai jadi gila—. Dan ketika yang didapat adalah salam pagi yang tenang namun masih sarat dengan luka ini, ketiganya baru bernafas lega. paling tidak, gadis itu sudah bisa mengendalikan emosinya.

“Ohayou, Umichan…”balas ketiganya serentak sambil tersenyum lebar. Rubi bangkit dan mendekati putrinya itu semangat.

“Kaa-chan bikin sarapan kesukaanmu. Makan dulu ya? Terus bentonya sudah kaa-chan siapkan, jadi kamu tinggal bawa ke sekolah saja..” bujuk Rubi agar gadis itu segera turun. Umika tersenyum lembut, lalu mengikuti ibunya ke bawah. Bisa diciumnya bau masakan sang ibu yang menggugah selelra, jelas saja, ini makanan favoritnya.

Bola mata cemerlangnya melirik ke atas meja makan bertaplak putih didepannya sekarang. Ada sashimi ikan tuna, sup miso, onigiri, dan satu lagi yang jadi favoritnya selama ini. Ebi katsu! Semuanya tersaji dengan indah dan lezat di meja, membuat perut gadis itu  mau tak mau minta segera diisi. Melihat pandangan ketertarikan dari kedua mata putrinya tersebut, Yuya buru-buru mengambil mangkuk nasi dan menyendokan nasi didalamnya.

“Ini nasinya. Lauknya tinggak pilih sendiri…” Ujar pria itu lembut. Umika berterima kasih, sebelum mengatupkan kedua tangan di depan dada, pose berdoa.

“Hai! Itadaikimasu…” serunya kemudian, diikuti gerakan tangannya yang mulai menjepit ebi katsu dengan kedua sumpit dalam genggamannya lalu menikmati potongan udang goreng tepung itu semangat. Senyum terkembang dibibir mungilnya, memancing 3 senyum lain ikut terkembang. Kali ini, biarlah dirinya tersenyum sepuas mungkin, tertawa selebar mungkin, karena nanti, beberapa jam lagi dari sekarang, hatinya akan kembali mengahadpi siksaan yang dialaminya semalam, yang akan terulang kembali ketika matanya kelak menemukan Ryosuke, Mirai, atau keduanya bersamaan di kompleks Horikoshi. Dan ketika saat laknat itu tiba, Umika sudah berjanji tidak akan lagi menangis ataupun mengasihani dirinya sendiri, karena begitu diputuskannya dulu untuk jatuh hati dengan seorang Ryosuke Yamada, batinnya sudah siap untuk menerima segala konsekuensi yang bisa mengakibatkan hatinya sakit, terluka, bahkan hancur berkping-keping seperti yang dialaminya semalam. Sudah resiko, dia bisa dengan mudah kahilangan Ryosuke hanya berselang sejentikan jari karena sejak awalpun, hati pemuda itu memang bukan miliknya.

Umika meletakan sumpitnya diatas mangkuk kosong bekas makannya. “Hai! Aku selesai…”

“Makannya cepat amat! Tidak dikejar setan juga..” komentar Ryuu menyaksikan mangkuk kosong dan Umika bergantian. Jarang-jarang Nee-channya makan kilat begitu.

“Aku harus ke sekolah lah, baka!” ditoyornya kepala adiknya itu pelan. “Touchan, Kaachan..aku berangkat ya.. itekimas..”lanjutnya sambil bangkit berdiri dan mengambil tas serta kotak bentonya. Yang ditegur memberi salam balik.

“Hai, itarashai…”

10 detik kemudian, Umika sudah resmi keluar dari tempat yang disebutnya rumah itu. Kaki-kakinya melangkah pelan. Toh, baru jam 7 lewat 5 menit. Dia masih punya sekitar 20 menit untuk tiba di sekolah tanpa terlambat. Sepanjang jalan gadis itu terus menggumamkan jutaan kata penguat hati. Ganbatte, jangan menyerah, kau pasti bisa…, berulang-ulang, meneguhkan dirinya agar menerima dengan lapang dada apapun yang terjadi nanti disekolah antara Ryosuke dan juga Mirai.

Langkahnya tiba-tiba saja terhenti ketika melihat sebuah mobil sport hitam metalik terparkir tepat didepannya. Tidak begitu mengenali kendaraan tersebut, Umika tetap cuek melangkah. Namun tiba-tiba saja, sesosok makhluk berseragam SMU keluar dari balik kemudi dan seketika menahannya. Dari perawakan, seragam, dan wajahnya tentu saja, Umika langsung bisa mengenali sosok siapakah itu.

“Umika, Gomen…” dan itulah yang terlontar dari kedua sisi bibir sosok tersebut. Satu kata terakhir sarat akan makna tersirat. Ada terlalu banyak kesalahannya yang kali ini hanya bisa terbayar dengan satu kata itu, sebab lidahnya pasti bisa keriting melontarkan kata yang sama berulang-ulang jika menyesuaikan dengan banyak kesalahannya.

Umika tidak bereaksi. Matanya pelan-pelan menatap rangkulan di tangannya, serta pemuda itu bergantian.

“Aah, gomen.” Cepat-cepat rangkulannya dilepaskan. Namun setelah itupun, Umika tak juga berbicara. Dada Ryosuke sesak, menyadari betapa brengseknya dia semalam. Hanya mempedulikan perasaannya tanpa tahu yang sebenarnya tentang gadis itu. Mengatainya orang luar, padahal selama ini justru gadis itulah yang paling sering terlibat. Bodoh! Sangat bodoh!

“Umika, kumohon. Aku tahu semalam aku memang sudah bersikap seenaknya. Tapi aku—“

“Sudahlah Ryosuke. Lupakan kejadian malam itu.” akhirnya, kedua sisi bibir Umika terbuka, menciptakan kelegaan sesaat di dada pemuda itu. Paling tidak, umika tak memilih menjadi patung batu sekarang. “…kau datang menjemputku kan? Ayo berangkat..” lanjutnya dengan wajah biasa. Wajah yang Ryosuke kenal betul setelah 2 bulan lebih kedekatan mereka. Kawashima Umika yang selalu dicarinya pertama kali ketika menemui masalah. Kawashima Umika yang sama seperti ketika Ryosuke pertama kali menemukannya di samping tempat duduknya dulu. Bersemangat, cuek, dan penuh ketegaran. Tersenyum lembut, pemuda itu lalu segera membukakan pintu mobil untuk gadis manis tersebut. Semenit kemudian, kendaraan itu sudah meninggalkan ruas jalan kecil rumah Umika, membelah angin menuju sekolah Horikoshi.

“Kau ganti mobil? Semalam bawa yang tipenya elite kan?” Tanya Umika santai, membuat Ryosuke yakin gadis ini sudah memaafkannya sepenuhnya. Pemuda itu tersenyum simpul.

“Ini mobilku yang lain. Kupakai karena aku takut kalau aku muncul dengan mobil yang biasa, kau bisa langsung mengenaliku, dan mungkin saja berlari menghindar…” Jawabnya jujur sejujur jujurnya. Dia memang sengaja menggunakan mobil sport hitam—yang tak kalah mahal dengan sedan mewahnya yang biasa dikendarai—tersebut, yang hanya digunakannya ketika bosan dengan jenis mini macam sedan atau apapun sebangsanya itu. toh, pemuda 18 tahun memiliki 4 mobil mewah atas namanya sendiri. Tinggal pilih saja kan mau bawa yang mana?

Mendengar alasan kekanakan Ryosuke, umika tertawa kacil, lalu ganti berdecak kagum. “mobilmu pasti banyak sekali ya dirumah? Tinggal pilih dong mau pakai yang mana saja~” sepertinya Umika dapat membaca pikiran author(?) sehingga pertanyaan norak macam itulah yang kemudian terluncur dari bibirnya sebagai reaksi atas pengakuan Ryosuke barusan.

Sebagai timbal balik pertanyaan Umika, Ryosuke menggeleng. “tidak juga. Sebenarnya aku hanya punya empat mobil yang atas namaku. Sisanya masih milik Tou-san..”

Umika mengangguk mengerti, masih dengan decak kagum yang sesekali terlepas, membayangkan kira-kira seberapa kayanya keluarga Yamada itu.

Ryosuke melirik sesekali ke arah Umika. Entah kenapa, sejak pengakuan cinta Umika semalam, seolah ada gaya magnet tersendiri yang berkerja pada gadis itu dan dirinya. Ryosuke jadi selalu ingin menatapnya, melihat senyumannya, mendengarkan celotehannya, semuanya! Apapun yang menyangkut gadis itu, Ryosuke jadi tertarik, dan itu terjadi hanya dalam waktu singkat saja. Hanya semalam.

Terlalu larut dalam pandangannya ke Umika disamping, tidak disadarinya sebuah sepeda motor sedang melaju dari persimpangan depan. Mobil yang dikendarai Ryosuke nyaris lepas kendali dan menabrak sepeda motor didepannya kalau saja pemuda itu tidak cepat menginjak rem. Karena injakan rem yang tiba-tiba itulah, Ryosuke dan Umika terpental keras ke depan. Kepala umika bahkan sempat terbentur ke dasbor mobil karena kantong udara pelindung terlambat menggembung. Melihat memar di kening kiri Umika, Ryosuke seketika panik dan menarik gadis itu dalam lingkar lengannya. Bukan bermaksud apa-apa, Dia hanya ingin memeriksa, apakah memar tersebut parah—supaya Umika bisa segera dilarikannya ke RS terdekat, atau hanya sekedar memar ringan. Umika yang sebelumnya shock dengan benturan tiba-tiba di kepalanya, kembali diserang perasaan kaget itu ketika Ryosuke membawa tubuhnya ke dalam pelukannya.

“daijoubu, Umika? Daijoubu?!” tanyanya super panik sambil memeriksa dengan seksama kening kiri Umika. Hanya luka ringan, syukurlah. Namun seketika raut kelegaan pemuda itu kembali menegang.

Kalau luka ringan begini tidak menutup kemungkinan ada sesuatu yang terjadi kan? Bagaimana kalau ada luka dalam? Atau Umika bisa saja gegar otak? Jerit Ryosuke panik dalam hatinya. Melihat ekpresi panik Ryosuke yang nampaknya bertambah parah itu, Umika melepaskan lingkar tangan pemuda itu dari bahunya.

“Daijoubu, Ryosuke. Hanya luka kecil kok…” gumamnya. “ daripada mengkhawatirkanku, lebih baik kau cek dulu pengendara motor tadi, dia selamat tidak?” saran gadis itu. Ryosuke menggeleng.

“kalau kau gegar otak bagaimana? aku harus membawamu ke rumah sakit sekarang!” perintah pemuda itu. Umika menaikan alisnya sebelah.

“Aku tidak apa-apa. Tidak sakit, err.. sedikit sakit juga sih. Tapi tidak gegar otak. Aku tidak kena gegar otak!”

“aku tidak peduli. Yang penting sekrang aku harus membawamu ke ruamh sakit.” Ryosuke siap menstater mobilnya lagi, namun tidak jadi karena Umika secepat kilat turun dan mendekati pengendara sepeda motor yang nyaris mereka tabrak tadi. Orang itu sudah di pinggir jalan, tertatih sambil mendorong sepeda motornya yang nampaknya rusak cukup parah akibat terpelanting tiba-tiba ke aspal. Salah satu sayapnya remuk, lalu beberapa bagian lain yang ada di depan-belakang—termasuk sebelah kaca spion—ikut rusak parah. Merasa agak bersalah, Ryosuke ikut turun dan mendatangi pria paruh baya itu.

“maaf, Paman. Maaf sekali. Kami sedang buru-buru, jadi temanku tidak sadar kalau paman akan muncul di tikungan itu..” Umika memberi alasan sambil membungkuk minta maaf berkali-kali. pria itu hanya tersenyu tipis.

“tidak apa-apa nak. Tadi paman yang salah karena tidak memperhatikan sekeliling, langsung main terobos saja. Makannya jadi begini…”

“Kerusakan motornya biar kuganti, Paman…” suara Ryosuke menjadi pengantar kemunculannya sambil merogoh saku celana dan mengambil dompet. Pria paruh baya didepannya seketika terperangah melihat pemuda itu.

“Yamada Ryosuke-sama?” tanyanya tidak percaya. “Benar kan, Yamada Ryosuke-sama?”

Ryosuke—sedikit keheranan—mengangguk. “Iya, aku…”

“Saya bekerja di perusahaan milik Ayah Tuan. Waah, sudah lama saya mendengar cerita tentang putra Tuan Tsukasa, tapi baru kali ini saya melihatnya. Memang benar-benar tampan seperti ayahnya…” Puji pria itu—yang lagi-lagi membuat Ryosuke keheranan. Umika yang berdiri di sampingnya ikut bingung. “aah, Yamada-sama buru-buru ke sekolah kan? Silahkan saja.. tidak usah pikirkan saya…”lanjutnya kemudian, menyadari lama-lama berbincang dengannya, sepasang pelajar SMU ini bisa saja telat ke sekolah. Mendengar itu Ryosuke, seketika mengeluarkan beberapa lembar sepuluh ribu yen dari dompetnya.

“Ini, untuk reparasi motormu…”ujarnya. Pria didepannya menolak.

“Tidak usah Yamada-sama. Ini bukan masalah besar juga…”

“terimalah..”

“tidak usah. Aku sungguh-sungguh.”

Ryosuke memasukan kembali lembaran-lembaran sepuluh ribu yen itu kedalam dompetnya, gantian mengambil hanphone di saku depan.

“namamu?” tanyanya singkat. Pria didepannya itu sedikit terlonjak.

“Sa- Satoshi Ohno desu.”

“Satoshi Ohno..”bisik pemuda itu pelan, sebelum menghubungi salah satu nomor dalam kontak keitainya. “Aiba? Iya ini aku. Tolong cari data seorang pegawai ayah yang namanya Satoshi Ohno..”pemuda itu mulai berbicara setelah panggilannya dijawab. Sedetik kemudian, data pegawai bernama Satoshi Ohno itu didapat. ”sudah? Divisi 5? Baiklah. Sekarang tolong suruh orang menjemputnya disini. Hah? Jalan… aku tidak tahu. Nanti kau telepon dia saja dan tanyakan. Aku tidak sengaja menabraknya dan sekarang sepeda motornya rusak parah. Jadi tolong reparasi cepat sepeda motornya, kalau terlalu parah belikan yang baru.. sudah jelas? Baiklah.” Setelah mengakhiri acara teleponannya, Ryosuke mendekati pria bernama Satoshi Ohno itu tadi. “sedikit lagi ada orang kantor yang menjemput paman disini. Paman tunggu saja ya. Maaf kalau kami tinggal, karena aku harus membawa anak ini ke rumah sakit..” Ryosuke melirik Umika sejenak ketika menyebut kata ‘anak ini’.  Umika balik menatap Ryosuke, menolak. Sementara Ohno memandang pemuda itu bak malaikat baik hati yang turun dari surga.

“Arigatou, Yamada-kun. Arigatou Gozaimas..”

Dan balasan ‘Douita’ menjadi penutup perjumpaan singkat Ryosuke dan Umika dengan paman bernama Satoshi Ohno itu. Ryosuke kembali menggandeng Umika memasuki mobil, kemudian memasangkan seatbelt gadis itu.

“Sekarang kita ke rumah sakit.”

“tapi Ryo—“

“Ssh! Tidak ada bantahan. Aku tidak mau kalau kau sampai gegar otak kerena tidak diperiksa dengan teliti.” Potong Ryosuke mengakhiri protes Umika—bahkan sebelum gadis itu berkata apapun—sambil menyalakan mesin mobil dan akhirnya melaju pergi beberapa detik kemudian. Umika hanya diam, kesal dengan keputusan semena-mena pemuda itu. Ryosuke tidak ambil pusing dengan cemberutnya wajah Umika itu, karena yang terpenting saat ini adalah memastikan kondisi gadis itu baik-baik saja.

10 menit kemudian, sampailah kedua manusia berseragam SMU itu ke rumah sakit. Segera Ryosuke membawa Umika—agak paksa—ke ruangan dokter pribadi keluarganya.

“Inoo-sensei..”Seru pemuda itu seketika tanpa permisi sebelumnya apalagi basa-basi. Dokter tampan berusia 28 tahun itu terlonjak kaget mendengar namanya dipanggil, apalagi oleh salah satu suara yang paling dikenalnya ini. Maklum, Inoo Kei—nama lengkapnya—sudah menjadi dokter pribadi keluarga Yamada sejak 5 tahun yang lalu, sehingga pemuda putra tunggal keluarga tersebut sudah dianggapnya adik sendiri.

“Ryosuke-sama, ada apa?” tanyanya melihat Ryosuke yang menerobos masuk dengan wajah panik. Apalagi, tetumbenan pemuda itu mampir bersama seorang gadis. Seingat Inoo, gadis yang dekat dengan Ryosuke paling hanya Mirai.

“Kau bisa tolong periksa temanku? Tadi ada kecelakaan kecil dan kepalanya terbentur dasbor. Aku takut dia kenapa-napa..” Pinta pemuda itu, masih terdengar panik. Inoo menurut, lalu mengajak Umika ke ruang pemeriksaan bersama seorang perawat cantik yang sedari tadi duduk di tempatnya. Ryosuke menunggu di ruangan Inoo. Pemuda itu nampak tidak tenang. Kerjanya hanya berdiri, mondar-mandir, kembali duduk, lalu berdiri lagi, dst. Pemeriksaanya intensif, sehingga memakan waktu yang cukup lama. Ryosuke bahkan sampai berkeringat dingin ditempatnya, takut Umika betulan kenapa-napa. Sungguh, gegar otak merupakan salah satu penykit paling mengerikan versinya, dan dia sangat-sangat tidak mau penyakit itu menjamah sahabat terbaiknnya, apalagi kalau itu karena ulahnya pula.

15 kemudian Umika kembali bersama 2 orang yang mendampinginya tadi. Ryosuke menanti dengan gugup, hasil seperti apa yang akan disampaikan Inoo.

“Tidak ada apa-apa. Nona Kawashima baik-baik saja. Memar itu hanya luka luar..”Ujar Inoo melihat expresi tegang Ryosuke. Pemuda itu seketika bernafas lega, lalu melirik Umika sebentar. Syukurlah gadis itu tidak kenapa-kenapa.

“…kusarankan sebaiknya hari ini Nona Kawashima tidak usah masuk sekolah dulu. Memar dikepalanya cukup menyakitkan, aku yakin dia akan sulit menerima pelajaran dengan kondisi seperti ini…”

“Baiklah. Aku akan mengantarnya pulang agar beristirahat. Arigatou na,..Inoo-sensei..” ucap pemuda itu sebelum ngeloyor keluar dari ruangan Inoo. Selama perjalanan keluar rumah sakit, Umika sesekali menari-narik jas seragam Ryosuke dan memintanya untuk mengabaikan saran Inoo untuk tidak kesekolah tadi. Sungguh, gadis itu takut kalau harus ketinggalan pelajaran.

“Nanti kalau beasiswaku dicabut bagaimana?” begitu alasannya ketika untuk yang kesekian kalinya meminta Ryosuke agar tidak mengantarnya pulang. Ryosuke untuk yang kesekian kalinya pula menolak mentah-mentah.

“Tidak. Kau harus istirahat. Sekolah biar aku yang urus..”

Umika hanya bisa manyun sampai keduanya mencapai mobil Ryosuke di parkiran dan akhirnya bergerak meninggalkan rumah sakit tersebut menuju kediaman keluarga Kawashima.

Chapter 16 end ~ continue to chapter 17