CHAPTER 16
- Final Decision -
Chinen menatap gerakan jarum merah tua dalam jam weker hitam di atas meja belajarnya intens. Saat ini akhirnya tiba. Waktu sudah menunjukan pukul 17.55. Pemuda itu telah siap berangkat, menemui Suzuka dan menyelesaikan segala persoalan cinta yang telah menyakiti hati masing-masing beberapa hari ini. Meskipun begitu, jujur, Chinen sendiri belum siap menghadapinya. Ia belum siap jika Suzuka juga ikut melontarkan kata ‘berakhir’ seperti yang dikatakannya berhari lalu. Dia takut, terlalu takut. Rasa cintanya terhadap Suzuka terlalu besar, dan meskipun dialah oknum yang memperumit hal ini, pemuda itu mesih tetap tak bisa menerima perpisahan mereka. Dia memang bodoh karena sudah memulainya dengan memutuskan Suzuka. Dan entah kenapa, penyesalan sial itu baru datang sekarang, membuatnya dilanda kegalauan pangkat sepuluh atas apa yang harus dilakukannya saat ini.
Suzuka tidak mau menunggu. Suzuka tidak bisa lagi menahan diri atas semua perlakuan menyakitkan Chinen padanya sebagai balasan dari sakit hati yang juga gadis itu tinggalkan. Suzuka tidak mau menanti Chinen menarik kembali ucapannya, tidak mau menunggu Chinen menyesali segala keputusannya, tidak mau memberikan Chinen cukup waktu untuk menentukan yang mana yang terbaik baginya. ‘Jika harus diselesaikan, maka selesaikan saja semuanya sekarang’ begitulah prinsip Suzuka sepanjang Chinen mengenalnya selama ini, dan prinsip itulah yang membuat Chinen semakin gentar. Suzuka nyaris tidak pernah main-main dengan apa yang dikatakannya. Dan untuk hal ini, gadis itu 100% serius. Jika ingin mengakhiri hubungannya dengan Chinen, maka akhirilah sekarang daripada menyisakan sakit yang lebih lama.
Jantung pemuda itu berdegub cepat. Keringat dingin pelan-pelan membasahi telapak tangannya. Pikirannya berkecamuk, mempertandingkan 2 kata yang masing-masing menentukan jalan sendiri bagi kehidupan cintanya. Pergi—yang artinya siap mengakhiri hubungannya secara resmi dengan gadis yang telah menjadi bunga-bungan mimpinya 7 tahun terakhir, atau Tinggal—yang secara tak langsung mengkategorikannya sebagai seorang pengecut yang tidak berani mengahadapi nasibnya sendiri. Butuh waktu lama baginya untuk berpikir, sementara jarum jam menit kini sudah terarah tepat pada angka 12, menunjukan waktu sudah pukul 18.00. Alarm weker itu berbunyi nyaring, namun sontak terhenti oleh pencetan telunjuk Chinen pada satu tumbol diatasnya.
Sudah waktunya. Chinen harus memutuskan. Dan pemuda itu telah mendapatkannya. Kaki-kakinya dilangkahkan pelan demi menjangkau kenop pintu yang masih tertancap kunci pada lubangnya.
Cklek!
Pintu itu dikunci, bukan sebaliknya. Dengan gerakan yang sama pelannya, pemuda itu lalu kembali ke posisinya semula dan sontak melemparkan dirinya di kasur, meskipun dengan pakaian lengkap berserta sepatu dan topi. Matanya terpejam.
Chinen memilih menjadi pengecut, belum siap menerima akhir takdirnya bersama Suzuka.
* * * * * * * *
Kamiki mendengus kesal sembari menatap jam tangannya. Jam 8 malam, waktu yang seharusnya digunakannya untuk berkunjung ke rumah Misaki terpaksa terganti oleh dosennya yang tiba-tiba saja ingin memberikan materi tambahan kepada beberapa siswa yang menurutnya memiliki bakat yang lebih. Dan—sialnya, Kamiki adalah salah satu dari beberapa siswa itu sehingga akibatnya, jam pulangnya harus mundur beberapa jam dari waktu biasanya pulang di hari senin seperti ini. Mana langit sedang dipenuhi awan hitam kelabu penampung hujan dan terkadang terdengar bunyi petir yang menggelegar, bisa diprediksi bahwa beberapa saat lagi, hujan akan menyapu Tokyo. Dan Kamiki benci itu. Dia tidak mau pulang disaat hujan deras karena akan sulit baginya untuk main ke rumah Misakinya dalam cuaca buruk seperti itu.
“Sial!” Umpat pemuda itu di sela-sela pergerakannya berjalan keluar dari pelataran kampus. Jalanan menuju lokasi parkir memang sepi, disebabkan mahasiswa-mahasiswi yang kebagian jatah kuliah malam sudah memulai kelas masing-masing pukul 7, dan nongkrong di pelataran kampus pada malam hari bukanlah hobi penghuni Meiji University sehingga saat ini, Kamiki menjadi satu-satunya manusia yang sibuk melangkah ke area parkir. Entah dimana rekan-rekannya yang lain—Peduli setan sama mereka!
Tangan kanan pemuda itu nyaris menyentuh pintu mobilnya ketika tiba-tiba sesuatu menariknya keras ke belakang hingga terhunyung sekaligus memberinya tinjuan menyakitkan di rahang kanan. Kamiki sontak tersungkur ke belakang dengan tepi bibir yang sedikit berdarah akibat pukulan tadi. Syukur tubuhnya tertahan oleh mobilnya sendiri agar tidak jatuh ke tanah. Cepat-cepat matanya digulir menangkap sosok siapa yang baru sja melayangkan bogem mentah ke wajah nyaris sempurnanya tersebut.
“Kau—“ belum juga Kamiki mengeluarkan makiannya, sosok yang baru saja memukulnya itu balas membentak marah.
“Beraninya kau membohongiku! Dasar brengsek!” tinjuan kembali mendarat di rahang kiri Kamiki tepat setelah oknum peninju itu menarik kerah bajunya. Kamiki kembali terhunyung. Bekas kebiruan sontak muncul di sebelah wajahnya. Setengah meringis perih, Kamiki lalu tertawa mengejek.
“Jadi kau sudah tahu, huh?” ujarnya sakratis. “Sepertinya aku akan punya rival baru..” Ujarnya lagi sembari mengelap noda darah di tepi bibirnya tadi. Ryosuke makin emosi, lalu melayangkan tinjuannya sekali lagi di wajah Kamiki.
“Aku tidak akan melepaskan Umika untukmu, bangsat!” Umpatnya terakhir sebelum melangkah pergi. Ryosuke memang masih menyimpan amarah pada pemuda itu, namun jika ia tetap meneruskan penganiayaannya, ia tidak tahu akan jadi apa Kamiki nanti di tangan penuh kebenciannya. Dan lebih parahnya, Misaki mungkin saja akan membencinya. Well, meskipun melakukan penginayaan tahap rendah kali ini pada Kamiki tidak menutup kemungkinan bahwa hal yang ditakutkannya itu bisa saja terjadi.
Selepas Ryosuke pergi, Kamiki hanya menatapnya tajam sambil tetap tertawa mentah. Tangannya kembali diangkat, menghapus aliran darah dari luka yang diperparah Ryosuke oleh pukulan ketiganya tadi.
“Brengsek!” Umpatnya.
* * * * * * * *
Misaki membaringkan tubuhnya yang terbalut kaos pink dan celana pendek katun hitam di tempat tidur dengan resah. Sudah sejak belasan jam lalu gadis itu memikirkan sesuatu. Sesuatu yang mengejutkan tentu saja. Sesuatu--* author udah nyanyi lagunya syahrini nih. Alalala~—digampar*. Suatu Kejadian, spesifiknya, rentetan kalimat-kalimat yang didengarnya pagi itu yang sangat sangat sangat membekas baik di pikiran maupun hatinya. Ditinjau dari kronologinya, pagi itu seharusnya hanyalah hari yang biasa baginya—meskipun ia sedikit terkesima bisa menemukan sesosok pemuda tampan menangis di depannya. Namun, prediksinya itu berubah 180 drajat ketika Yamada Ryosuke dengan ketenangannya yang luar biasa mengatakan sesuatu yang dalam mimpinya pun tak pernah terlintas.
Memori percakapannya dengan Ryosuke pagi tadi terlintas.
“Chigau yo.. Miki bukan pacarku. Kami hanya teman..”
“Eh?! Demo, Kamiki…”
“Ooh..” Misaki tertawa kecil “Pasti karena di pertemuan pertama kita, Miki ngaku-ngaku jadi pacarku, deshou? Hehe… chigau. Dia hanya pura-pura, soalnya dia takut kalian nanti akan menggangguku. Gomen na sudah berbohong…”
“Iie…hanya saja, Kamiki…”
“Miki nani?”
Ryosuke terdiam cukup lama.
“Eh? Yamada-kun, nani? Katakan padaku, memangnya kenapa dengan Miki?”
“Tidak ada masalah dengan Kamiki. Masalahnya ada padaku..”
“Eh?”
“Daisuki dayo, Misaki..”
Misaki mengacak-ngacak rambutnya frustrasi. Apa itu DAISUKI DAYO, MISAKI??? Dan kenapa kalimat pernyataan macam itu bisa keluar dari bibir seorang Yamada Ryosuke?! Demi Tuhan! Dia baru bertemu pemuda itu nyaris seminggu lalu! Seperti apa dirinya saja belum tentu Ryosuke kenal baik. Misaki juga, hanya satu hal yang diketahui gadis itu tentang Yamada Ryosuke, yaitu pemuda itu memiliki hati yang baik meskipun sikapnya sedikit egois. Lalu, bagaimana bisa pemuda itu bilang suka—ah tidak, CINTA padanya?
Dan lagi…bukankah Yamada Ryosuke hanya mencintai Umika?
Rasa sakit kembali menghujamnya, menambah macam pesona emosi dan perasaan dalam hatinya saat ini. Sakit—karena entah kenapa mengingat air mata Ryosuke ketika melihatnya sebagai Umika menunjukan dengan jelas betapa pemuda itu mencintai mantan kekasihnya, Bimbang—karena sehari sebelumnya, Kamiki dengan caranya sendiri seolah menyatakan hal yang sama, Takut—karena sampai saat ini ia belum bisa menjawab perasaan pemuda itu. Ryosuke hanya berpesan ‘tidak usah dijawab sekarang. Pikirkan baik-baik dulu’ sebelum bolos kelas ekonomi pagi ini, dan yang terakhir sekaligus paling sensasional…bahagia. Ini yang menjadi tanda tanya besar dikepalanya. Volume rasa bahagia seolah mengisi hampir 50% hatinya, menyisakan hanya separuh bagian bagi perasaan-perasaannya yang lain tadi. Dan lagi, presentase rasa bahagianya oleh Ryosuke ini jauh jauh lebih besar dari yang dialaminya sebagai akibat dari kata-kata manis Kamiki kemarin. Kanapa? Bukankah Kamikilah orang yang lebih dikenalnya? Dan bukannya selama ini… ia juga menyukai pemuda itu?
Kenapa Yamada Ryosuke?
Pertanyaan itu tak terjawab verbal, namun ditransmisikan pikirannya menjadi kilasan rentetan kenangan yang dialami gadis itu bersama Ryosuke seminggu setelah pertemuan pertama mereka.
Air mata pemuda itu, pelukannya yang hangat, bantuannya di saat yang tepat, caranya mengebut dan tawanya yang kekanakan, wajah kesalnya, sikap egoisnya, dan yang terakhir sekaligus yang paling indah…genggaman tangannya yang hangat serta jaket jeansnya yang dipakaikan ke bahu gadis itu…
Perputaran kenangan dalam memori Misaki belum menyentuh endingnya ketika serangan rasa sakit itu kembali menghujamnya, entah untuk kali yang keberapa. Tangan gadis itu terangkat mencengkram kepalanya sendiri sementara pikirannya menampilkan ilustarsi hitam putih bergerak yang sama seperti sebelumnya, masih sulit dideteksinya sebagai apa.
“……! Kemari kau!”
“Nee-chan, ada apa sih?! Haah, haah!”
“Apa ini?!”
“Itu poster Nee-chan!”
Misaki sontak terperanjat mengenali seseorang dalam bayangan kelabunya barusan.
Anak laki-laki barwajah sangat familiar yang hanya satahun lebih muda darinya dan memanggilnya Nee-chan. Bukankah itu… pemuda yang ditemuinya pagi tadi?!
“EEH?!”
* * * * * * * *
Setelah nyaris 5 jam dimatikan dengan sengaja, keitai hitam metalik itu tiba-tiba saja berbunyi nyaring. Chinen—Pemuda tampan pemiliknya menatap benda tersebut ragu. Telepon ini…Apakah harus dijawab? Bagaimana jika yang menelpon adalah ‘dia’ yang mau mengakhiri semuanya? Lelah menunggu dan memilih memutuskannya lewat line telepon, bisa saja kan? Komunkasi memang sudah canggih dan meskipun pemuda itu terlalu pengecut untuk mengahadapi kekasihnya sore ini, ia tetap tidak bisa lari dari yang namanya ‘akhir’.
Menyerah. Chinen tahu. Ia harus menghadapinya. Suzuka mungkin akan memakinya karena tidak datang dan yang pasti, satu jawaban sudah diketahuinya jelas.
Semuanya memang sudah berakhir. Over. Percuma jika saat ini ia berlari kepada gadis itu dan memohon satu kesempatan lagi. Suzuka memang sudah jenuh—dan kepengecutan pemuda itu karena ketidakhadirannya atas undangan gadis itu sore ini semakin membuat keputusan bersama untuk mengakhiri hubungan mereka–meskipun jauh bertentangan dengan hati masing-masing—berhasil.
Tangannya yang ragu dan mulai berkeringat di telapaknya pelan-pelan terulur demi manggapai keitai di atas meja.
“Eh?” satu pertanyaan kebingungan terlontar pelan ketika menemukan nama penghubung yang tertera di LCD keitainya bukan Suzuka. Itu telepon dari Ohgo Yui, ex mother in lawnya—Haruskah ia bilang ex sekarang? —.
“Hai, moshi-moshi Obaa-chan” pemuda itu menjawab. Dari seberang, suara Yui nampak sangat gusar.
“Moshi-moshi, Chii. Suzu ada sama kamu tidak?” Yui langsung nyerocos.
“Eh? Tidak. Aku… sendiri di rumah.”
“Sou kah? Aduh, bagaimana ini? Anak itu ijin pergi dari jam 5 sore tadi dan sampai sekarang belum juga pulang. Dia tidak bilang kemana, dan bodohnya lagi, dia tidak bawa keitai… Mana diluar hujan deras sekali. Baa-chan takut dia kenapa-kenapa…”
“EEH?!” Chinen memekik kaget. Matanya sontak bergulir cepat menatap jam wekernya yang sudah menunjukan pukul 23.04
Jam sebelas malam dan Suzuka belum pulang. Sudah begitu, Chinen baru sadar kalau bunyi dentuman yang didengarnya sejak tadi adalah bunyi Guntur—yang memang mengindikasikan hujan diluar sedang deras-derasnnya.
“Ayahnya masih mencarinya sih… Tetangga juga…Baa-chan juga sudah minta tolong Yamada-kun dan yang lainnya. Sejak tadi baa-chan sudah menelpon Chii tapi tidak tersambung...” Nada bicara Yui yang penuh kekhawatiran masih belum berubah sjak tadi.
Chinen sontak tersadar. “Ah, gomen. Keitaiku dimatikan tadi. Baa-chan tenang dulu. Aku akan mencari Suzuka sekarang..”
“Ah, hai. Tolong ya Chii-kun..”
Setelah telepon dari seberang dimatikan, Chinen bergegas memakai sepatunya dengan terburu-buru lalu menyambar topi, jaket dan kunci mobilnya yang terletak sembarang dimeja. Pemuda itu berlari membuka kunci kamarnya juga dengan tergesa-gesa, lalu berlari keluar secepat yang ia bisa.
Rasa takut, khawatir, sekaligus perasaan bersalah sontak mengiringi langkah-langkah panjangnya yang tergesa. Tak kurang, berbagai rentetan pertanyaan ikut memenuhi pikiran penatnya. Dimana Suzuka? Apa dia baik-baik saja? Apa gadis itu masih menunggunya, Apa—
Samar, satu kalimat Ryosuke kemarin tengiang di telinganya. Terdengar mencekam.
Jaga dia selagi dia masih bersamamu, karena kau tidak akan pernah tahu apa yang bisa mengambilnya darimu…
Jantung pemuda itu langsung terasa membeku.
* * * * * * * *
“Suzuka!!”
“Suzu!!!”
2 lengkingan dahsyat berbeda jenis suara menjadi penggiring bunyi desir hujan lebat di pelataran Meiji university saat itu. Kampus memang sudah kosong dan teriakan panggilan dari sepasang manusia itu sama sekali tak berbalas.
Daiki Arioka selaku salah satu pelaku dari aksi pemanggilan tadi mendekati pacarnya yang masih juga berteriak memanggil-manggil nama Suzuka.
Sudah sejak 15 menit lalu keduanya mengitari area kampus demi mencari Suzuka. Mereka ditelpon ibunda gadis itu yang sangat amat khawatir dengan menghilangnya putrinya nyaris 7 jam yang lalu. Apalagi ditambah cuaca luar yang tak bersahabat. Mereka takut, Suzuka kenapa-kenapa.
Baik Daiki maupun Momoko merasakan, kejadian ini pasti berlatar belakang pertengkaran gadis itu dengan Chinen. Sudah puluhan kali Daiki mencoba menghubungi Chinen, namun tak pernah tersambung. Apa mungkin Chinen sedang bersama Suzuka?
“Sepertinya Suzuchan tidak ada disini Momochan. Kampus sudah benar-benar kosong…” ujar Daiki pelan sambil menarik dan menutup payung biru muda gadisnya, menyebabkan keduanya kini hanya dinaungi satu payung bening berukuran agak besar yang dipegangnya tadi. Lensa mata Momoko masih menelusuri sekelilingnya, tidak begitu yakin kalau kampus sudah benar-benar kosong.
“Tidak, Daichan. Kita cari sekali lagi. Suzu mungkin saja masih ada di dalam..” ujar Momoko setengah memohon. Daiki tak kuasa menolak, mengingat betapa sayangnya Momoko pada salah satu sahabat terbaiknya itu. Pemuda itu lalu mengangguk.
“Kalau begitu kita berkeliling sekali lagi..” senyum lembutnya terulas.
“Arigatou, Daichan..”
* * * * * * * *
Pemuda itu menghentikan mobilnya dalam sekali hentakan. Tatap matanya lurus kedepan, mengarah pada obyek seseorang yang tengah duduk di salah satu bangku depan jalan dengan ditemani guyuran hujan yang membasahi seluruh raganya. Entah sudah berapa jam ia berada disana. Gadis itu tak sama sekali menghiraukan erangan petir dan garis cahaya kilat besar di langit. Tidak peduli! Dia hanya ingin menunggu seseorang.
Chinen merasakan hatinya sakit luar biasa ketika menatap wajah sendu gadis itu. Setetes air matanya mengalir, refleks mengiringi langkahnya yang secepat mungkin keluar dari mobil tanpa membawa proteksi apapun untuk melindunginya dari hujan lebat di luar.
“SUZUKA!!” Teriaknya keras demi memastikan gadis itu masih sadar benar atau tidak. Yang dipanggil menoleh lemah. Senyuman tipisnya terulas begitu melihat Chinen berlari mendekatinya.
“Chii..”Gadis itu siap bangkit dari posisinya. Namun, belum juga memulai langkah pertama, tubuhnya langsung terhunyung dan jatuh ke tanah—
— Nyaris. Untunglah Chinen tiba terlebih dahulu dan langsung memeluknya. Tubuh pemuda itu ikut merosot sambil memeluk bahu gadisnya yang lemah.
Dingin. Tubuh gadis itu terlalu dingin, nyaris sedingin es. Selain itu wajahnya juga sangat pucat dan deru nafasnya lemah. Chinen takut. Ia mempererat pelukannya.
“Ku-kira kau tak a-kan da-tang..” ujar gadis itu lemah dan terbata. Chinen masih tetap memeluknya erat dengan dada terasa sesak luar biasa.
“Dasar bodoh… kenapa menungguku sampai seperti ini? kenapa tidak pulang saja?! Atau cari tempat berteduh.. menungguku sampai selarut ini, seharusnya kau tahu aku tidak akan datang kan?!” Chinen mengomel dengan nada rendah, namun tetap tak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya yang sudah kelewat besar. Suzuka tersenyum lemah.
“Kalau aku pergi atau mencari tempat lain, aku takut Chinen tidak bisa menemukanku..” bisiknya masih sangat lemah. Chinen menatap gadis dalam pelukannya itu nanar lalu kembali memeluknya seerat mungkin, menyerap segala kelelahan gadis itu dalam menghadapinya selama ini. Ia memang terlalu bodoh. Ia terlalu dibutakan rasa cemburu sampai-sampai tidak sadar kalau rasa cinta Suzuka padanya tak kalah besar dibanding rasa cintanya terhadap gadis itu. Suzuka memang benar mencintainya.
“Gomenasai Chii… aku tidak pernah bermaksud menghianatimu..” bisik Suzuka lagi. Chinen menggeleng. Air matanya kembali tumpah bersama butiran-butiran hujan yang membasahi wajahnya.
“Tidak, Suzuka.. aku yang salah. Aku yang harusnya minta maaf…”pemuda itu terisak. “Gomenasai Suzu, maafkan semua kebodohanku selama ini ..”
Suzuka tidak menjawab.
“Gomen…”
Masih tak terjawab. Chinen tahu, rentetan kalimat yang dilontarkannya barusan bukan merupakan kata tanya yang butuh jawaban. Namun, paling tidak Suzuka bisa merespon permintaan maafnya dengan kata ia atau tidak kan?
“Suzu?”
Tidak ada jawaban.Pelan-pelan, Chinen merenggangkan pelukannya demi memandang gadis itu.
“Suzuka!” serunya panik ketika menyadari bahwa gadis itu sudah tak sadarkan diri. Ditepuknya pipi Suzuka pelan.
“Suzuka? Suzuka! Suzuka, bangun Suzuka! Bangun! Buka matamu Suzuka!” ujarnya nyaris berteriak. Namun tetap, gadis dalam peluknya itu masih enggan membuka mata.
“Suzuka!!”
To Be Continued
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
woooowww......lanjutkan cuy....bagus bgt...jadi penasran tentang kisah yama ama misaki (umika)^^
BalasHapusganbatte yow ^^