CHAPTER 14
- Pieces of love -
“Yukimura daijoubu?!”Ryosuke bertanya panik melihat Misaki tiba-tiba saja sudah menyentuh pelipis kanannya seperti kesakitan. Sementara gadis itu masih tenggelam dalam bayangan-bayangan kelabu familiar tadi. Beberapa detik cukup sampai membuatnya tersadar. Gadis itu menoleh ke Ryosuke agak kebingungan.
“Nani?”
“Ehh?” Ryosuke mengerutkan kening. “Oh.. itu, kau baik-baik saja? Kulihat tadi kau nampak kesakitan menyentuh pelipismu..”
Misaki menggangkat tangannya, menyentuh pelipis kanannya perlahan, mencoba mengingat rasa sakit yang dialaminya tadi.
“Aah..Ii yo… Daijoubu..” Gadis itu paksa tersenyum. Ryosuke kelihatan makin cemas.
“Hontou? Tapi kau nampak kesakitan sekali ta—“
“Daijoubu.” Misaki memotong cepat. “Lebih dari itu, kenapa kau lama sekali datangnya?! Aku udah nunggu nyaris dua jam tahu! Badanku sudah jadi es semua nih!” lanjutnya dengan omelan super judes, hasil dari tansisi rasa kesalnya yang sedemikian besar terhadap pemuda tampan yang tengah berdiri di depannya kini. Ryosuke berubah ekspresi dari cemas menjadi bingung pangkat sepuluh.
“Heh? Aku kan nggak nyuruh datang 2 jam lebih awal.” Jawab Ryosuke tenang. Misaki mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi.
“HAAH?! Dua jam lebih awal?! Jelas-jelas kau menyuruhku datang jam 3! Ini..” Misaki mengeluarkan keitainya dari dalam tas, mencari mail dari Ryosuke dari inboxnya cepat-cepat lalu menunjukan isi mail tersebut pada sang pengirim dengan mengancungkan keitainya sedekat mungkin ke wajah pemuda itu. Ryosuke sontak membacanya.
“Tuh! Jam 3 kan?!” Misaki ngomel lagi sambil menatap Ryosuke kesal. Pemuda yang ditatap itu mengerutkan kening.
“Ne, Yukimura, coba kau baca baik-baik mailnya…”
“Eh?” Gadis itu kaget, lalu menarik kembali benda flip persegi panjang itu dari depan wajah Ryosuke dan gantian membacanya dengan lantang.
“Yo Yukimura! Yamada desu. Soal penelitian kita, dimulai hari ini saja. Jam 5 kutunggu di—HEEEEH?! Jam lima?!” Pekik gadis itu seketika. Lengkingan suaranya langsung menarik perhatian sekitar sementara Ryosuke yang berdiri didepannya hanya bisa menutup kedua telinganya refleks. Terbawa kebiasaan bersama Umika dulu yang suka berteriak histeris kalau tarkaget. Sekilas, pemuda itu mengukir senyum tipis di bibirnya, menyadari, meskipun tidak mengingat apa-apa lagi, gadis itu masih belum meninggalkan salah satu kebiasaannya ini.
Misaki sendiri hanya mendengus lalu kembali terduduk di bangku taman. “Baka! Tahu begitu aku tidak usah buru-buru. Sampai melupakan sweeterku lagi..” keluhnya. Ryosuke menatapnya agak lama sembari mengingat tampilan gadis itu sebelum tertutup jaketnya. Ya, terusan putih tanpa lengan memang bukan pilihan tepat dalam cuaca berangin macam ini.
“Pakai itu saja..” Ryosuke menunjuk jaket hitam miliknya yang tengah membungkus kedua bahu Misaki dengan dagunya. Misaki menatapnya sekilas dengan tatapan tidak percaya sembari memperhatikan selembar kemeja kotak-kotak hitam-putih yang dikekanakan pemuda itu.
“Tidak apa-apa nih? Kau hanya pakai selembar kemeja tuh. Disini dingin loh..”
Ryosuke tertawa kecil lalu mengangguk. “Daijoubu. Kau lebih membutuhkannya…”
Misaki terkesima sebentar lalu ikut mengangguk sambil tersenyum. Gadis itu langsung lupa kalau tadi ia sedang marah-marah.
“Arigatou~” serunya kegirangan Ryosuke memberi senyuman kecil sebagai balasan.
“Saa, iku yo?” ajaknya untuk memulai kerja mereka sore ini. Misaki mengangguk. Keduanya lalu melangkah sejajar. Sesekali Ryosuke mencuri pandang ke arah gadis itu dan tangannya. Terbersit keinginan dalam dirinya untuk bisa menggenggam tangan mungil itu lagi. Oke, pemuda itu sadar dia memang salah besar karena saat ini gadis itu adalah Misaki bukan Umika dan dia sudah memiliki kekasih. Tapi, apa mau dikata. Karena teriakan hatinya sangat memaksa, pemuda itu akhirnya menurutinya juga. Pelan-pelan, jemari kirinya bergerak untuk menarik tangan Misaki dalam genggamannya.
Misaki tersentak dan sontak menoleh ke arah pemuda itu. Bibirnya siap mencelatkan pertanyaan tetapi terhalang oleh kalimat Ryosuke kemudian.
“Jangan sampai terpisah..”
Gadis itu refleks mengangguk dan mendiamkan saja jemari Ryosuke membungkus jemarinya sendiri. Aneh, genggaman pemuda itu terasa sangat familiar. Dalam kebingungannya pun Misaki bisa merasakan satu rasa rindu sekaligus bahagia yang meluap-luap. Ia tidak tahu kenapa, hanya saja ada sesuatu yang mengganjal di hatinya setiap kali matanya menangkap sosok Ryosuke.
Tanpa mereka sadari, sesorang tengah memperhatikan mereka dengan tatapan tajam.
* * * * * * * *
Gadis itu menunduk sembari memungut sebuah benda berwarna perak yang terlepas dari leher partnernya yang kini tengah sibuk memesan makanan. Diperhatikannya lekat-lekat benda berliontin bintang yang lazimnya disebut kalung tersebut. Sebuah nama terukir indah di depannya.
‘Umika’
Misaki menerawang, mengingat kembali bagaimana ia bisa salah dikenali sebagai gadis dengan nama ini. Tentu saja, Ryosuke memang terlalu mencintainya. Bahkan setelah kepergian gadis itupun, ia tidak juga melepaskan kalung itu.
Matanya dialihkan melirik Ryosuke yang baru saja selesai memilih-milih makanan dalam daftar menu. Misaki sengaja memesan makanan yang serupa dengan pemuda itu karena jujur, ini pertama kalinya ia masuk restoran perancis dan membaca nama makanan dalam menupun ia tidak bisa. Jadi dari pada salah mesan dan bikin malu, lebih baik ia makan makanan yang sejenis dengan Ryosuke kan? Toh pemuda itu tidak makan racun.
Selepas sang pelayan penerima pesanan beranjak, Misaki langsung menyodorkan kalung berliontin bintang yang tanpa sengaja terjatuh tadi pada Ryosuke.
“Ini milikmu. Tadi jatuh..”
Ryosuke menatap kalung itu kaget dan refleks menyentuh lehernya. Tidak ada. Kalungnya memang berada di tangan Misaki. Diambilnya benda itu lalu dikalungkan lagi di lehernya.
“Arigatou..”
“Un!” Misaki tersenyum datar. Sedikit rasa sesak dan penasaran menggelitiknya untuk bertanya soal kalung berliontin itu. “Ne, Yamada-kun… aku tidak sengaja membacanya tadi.., Uhm.. di kalung itu tertulis nama Umika ya?”
Ryosuke terdiam, lalu mengangguk. “Un.. aneh ya? Kalau yang tertulis namaku ada padanya..well, bisa dikatakan kami bertukar…”
“Tidak. Tidak aneh kok. Menurutku malah romantis sekali..”
“Kan? Si bodoh itu malah bilang ini aneh..” Pemuda itu sedikit tertawa. “Yah, meskipun dia menerimanya juga sih. Katanya karena kalung ini hanya satu-satunya di dunia, maknanya sangat dalam..”
Misaki sedikit terbelalak. “Satu-satunya di dunia? Sugee! Sekaya apa sih kau sebenarnya?”
Ryosuke lanjut tertawa. “biasa saja kok.. tapi sekedar mengingatkan aku pewaris tunggal konglomerat Yamada Tsukasa..”
Misaki manyun. Menyesal bertanya pada manusia yang super geer itu. Sementara Ryosuke tertawa makin ngakak melihat ekspresi gadis itu akibat keisengannya—atau lebih tepat kejujurannya.
* * * * * * * *
Suzuka nekat. Kali ini ia serius ingin menyelesaikan masalahnya dengan Chinen Yuri. Dan kenekatan inilah yang membawanya ke salah satu tempat yang selalu dikunjungi kekasihnya itu pada hari sabtu. Dojo.
Dari dalam terdengar beberapa kali suara bantingan. Setiap nama akan diserukan jika berhasil mengalahkan lawannnya, dan sejak 10 menit lalu Suzuka berdiri di depan satu pintu yang tertutup, nama yang selalu didengarnya dari dalam adalah ‘Chinen-san’ yang secara tidak langsung menunjukan bahwa oknum pembanting tadi adalah pemuda itu.
Selesai mengumpulkan keberanian ke persen yang ke 90, Suzuka lalu dengan cepat menggeser pintu dorong di depannya sehingga menimbulkan suara bising yang cukup besar. Aktivitas di dalam terhenti, menampilkan jeda yang agak lama karena kemunculan si gadis di pintu. Gerakan Chinen yang tengah bersiap membanting satu lawannya yang maha kurus juga terhenti. Lawannya itu…Yabu-sensei kah? ~bukan. Hanya orang lain yang sama kurusnya. *A/N: ini ungkapan cinta utk ultah Yabu-kun ke 22 loh. Otanjoubi Omedetou Yabumama^^*
“Chii..” Panggilan Suzuka nyaris seperti bisikan, namun jelas tertangkap kedua telinga milik Chinen. Pemuda itu menoleh ke sumber suara, sedikit kaget melihat Suzuka di sana. Wajah gadis itu nampak takut-takut, namun pancaran sedihlah yang kentara jelas dari kedua matanya yang indah.
Ada satu perasaan sesak muncul dalam dadanya. Namun, kembali Chinen memilih mengabaikannya dan melanjutkan acara membanting lawannya tadi. Pria kurus itu kemudian terkapar di lantai tatami tanpa memberi reaksi apapun.
“Berikutnya.” Perintah Chinen. Seorang pemuda lain siap maju namun terhenti oleh satu teriakan berjenis suara sopran yang sebelumnya sempat terdengar.
“KENAPA KAU TIDAK MAU SEKALI SAJA MENDENGARKAN PENJELASANKU?!”
Akibat teriakan tersebut, tatapan seisi ruangan beralih dari Chinen ke Suzuka bergantian. Chinen ikut menatap gadis itu, tajam, msekipun hatinya sendiri seolah tecabik-cabik melihat ekspresi Suzuka saat ini. Gadis itu ingin menangis. Nyaris.
“Katakan.” Responnya dingin tanpa melepaskan tatapannya.
Suzuka menarik nafasnya cepat.“Begini, Chii. Aku berani bersumpah, aku dan Jingi tidak—“
“Aku tidak minta alasan.” Chinen langsung memotong. Nada bicaranya semakin dingin. “Katakan apa maumu dan setelah itu pergilah.”
Suzuka merasakan jantungnya seolah tertancap panah. Bukan panah cinta, namun panah berlumur racun hati yang siap membakarnya. Perlahan, air mata mulai mengaliri pipinya, membentuk sebuah genangan kecil. Ia tidak sanggup lagi, demi Tuhan. Ia tidak mampu lagi menerima perlakuan sesakit ini dari pria yang dicintainya.
Gadis itu mengatur nafasnya baik-baik. Pelan dan lama.
“Besok sore jam 6 kutunggu di tempat kita pertama kali bertemu. Aku sudah tak kuat lagi Chii… Kita selesaikan saja semuanya..” ucapnya perlahan kemudian segera berlari pergi dengan air mata yang masih mengaliri wajahnya. Chinen tersigap. Perasannya tiba-tiba terasa sesak sembari kedua matanya awas mengikuti pergerakan Suzuka yang menjauh. Hatinya kembali dibuat sakit. Ia…takut. Kenapa? Apakah karena Suzuka benar-benar ingin mengakhiri semuanya?
* * * * * * * *
“Disini saja..” Misaki mengomando tepat setelah mobil sedan hitam Ryosuke melewati pekarangan rumahnya. Pemuda itu segera menghentikan mobil mengikuti perintah.
Selanjutnya, Misaki lalu membuka pintu mobil dan keluar. “Arigatou sudah mengantarku..”
Ryosuke tersenyum tipis sambil mengangguk. “Un, Douita… uhm, kalau begitu aku pulang dulu ya.. Jaa ..”
“un! Jaa..”
Ryosuke memacu mobilnya dan perlahan bergerak meninggalkan kediaman Yukimura. Misaki terus memperhatikan pergerakan mobil itu sampai hilang dibalik tikungan jalan. Senyuman tipisnya terulas sembari mengantar langkah-langkahnya memasuki rumah. Pintu masih terkunci, nampaknya sang ibu belum pulang kerja. Setelah membuka jalur masuk tersebut dengan kunci yang diambilnya dari tas, Misaki langsung masuk dan bergerak menuju kamarnya. Tubuhnya dihempaskan ke kasur seketika tiba disana sambil memejamkan mata.
Saat itulah dirasanya ada sesuatu yang mengganjal. Tersadar, Misaki langsung menyentuh satu jenis pakaian pria yang sempat melindunginya dari hawa dingin ammusent park tadi. Yup! Jaket milik seorang Yamada Ryosuke.
“KYA! Jaket Yamada lupa ku kembalikan!” serunya kaget dan langsung mengambil posisi duduk. Kebetulan, posisi tempat tidurnya tepat menghadap cermin sehingga pantulan setengah tubuh bagian atasnya yang tertutup jaket hitam mahal yang bukan miliknya itu terpampang jelas. Misaki agak panic, memang. Namun entah kenapa ada semacam rasa senang dalam dirinya saat menyentuh jaket itu. Rasanya hangat dan nyaman, seolah sang pemilik jaket tengah memeluknya saat ini.
Senyuman Misaki terlepas ketika diingatnya satu peristiwa sore tadi. Bukan sesuatu yang epik memang, tapi mengingat sentuhan jemari Yamada yang tiba-tiba sudah menggenggam tangannya tak urung membuat semburat merah muda pipinya muncul juga. Sensasi bahagia dan nyaman itu selalu ada, entah perlakuan macam apa yang diberikan pemuda itu kepadanya. Yamada terlalu familiar baginya, hatinya jelas mengatakan hal tersebut meskipun bertolak belakang dengan fakta bahwa mereka belum pernah bertemu sebelumnya.
Ting tong!
Nostalgia Misaki terpaksa buyar ketika seseorang membunyikan bel di luar. Dengan gerakan malas-malasan—akibat lelah sehabis mengelilingi berbagai pusat perbelanjaan nyaris 4 jam—gadis itu keluar dari kamarnya berniat menemui oknum pemencet bel tadi. Hanya saja satu hal terlupa. Misaki belum sempat menanggalkan jaket hitam berbahan jeans di tubuhnya itu.
“Yo, Misaki!” Kamiki tersenyum sumringah begitu mengetahui gadis dengan tinggi sedagunya itu yang membukakan pintu. Misaki ikut tersenyum senang. Kangen dengan Miki-nya yang akhir-akhir ini terlalu sibuk dengan kuliahnya sehingga agak jarang menghabiskan waktu bersama gadis itu. Secepat mungkin dipersilahkannya pemuda itu untuk masuk.
“Ayo masuk.. sudah lama kau tidak kesini..” ujarnya. Kamiki mengerutkan kening, lalu terkekeh.
“Bukannya aku baru mampir 2 hari yang lalu ya? Di tengah malam itu? kau lupa?”
Misaki mengingat-ingat. “Iya juga. Tapi itu kan tengah malam! Siapa juga yang sadar kau datang..”omelnya.
“Tapi kau bangun juga kan?” Kamiki melipat tangannya di dada sementara Misaki menggembungkan pipinya.
“Itu kan karena aku mimpi buruk. Kalau nggak, ngapain juga aku bangun tengah malam gitu..” bantahnya sedikit terpengaruh pipinya yang agak memanas. Well, sudah jadi kebiasaan wajahnya akan memerah—entah kenapa—jika berbicara agak lama sedikit saja berdua Kamiki.
Pemuda itu tersenyum lembut. Namun sontak ekspresi wajahnya langsung berubah kaku saat melihat selembar jaket hitam asing membalut tubuh gadis itu. Kamiki tahu betul, Misaki tidak pernah punya jaket seperti ini apalagi modelnya untuk pria. Terdiam agak lama, ia lalu memberikan gadis itu pertanyaan.
“Itu jaket siapa?” to the point. Misaki mengangkat alis kemudian melirik objek yang ditunjuk pemuda itu dengan dagunya.
“Ini? Ohh.. ini punya Yamada-kun. Aku dipinjamkannya tadi karena lupa membawa sweeter..” jawabnya santai. Kamiki yang masih blum puas dengan jawaban gadis itu lanjut bertanya.
“Tadi?”
“Un! Kami diberikan tugas kelompok untuk mendata untung-rugi di pusat perbelanjaan. Karena si bodoh itu membuatku buru-buru datang ke tempat janjian kami, aku sampai lupa membawa sweeterku. Karena itu, sebagai pertanggung jawabannya, dia meminjamkanku jaketnya ini..” jawab Misaki lagi sambil menarik kerah jaket itu dengan tangan kanannya. Senyumannya kembali terulas mengingat kata-katanya tadi. Uhm… mungkin menyangkut penyebab kelalaiannya melupakan sweeter itu sedikit melenceng dari kenyataan—karena Ryosuke memang tak pernah memintanya buru-buru, salahnya sendiri salah membaca mail. Namun jika menceritakan detail kasus tersebut, yang ada Kamiki akan menertawaianya sesemangat mungkin.
Sementara gadis itu tersenyum dan mengingat, tanpa ia sadari Kamiki hanya menatapnya tajam.
“Yamada Ryosuke, huh?” ucapnya nyaris tak bersuara. Pikirannya sedikit berkecamuk dalam menyusun kata-kata baru untuk dilontarkan.
“Berikan padaku..” lanjutnya. Misaki tersentak.
“Hah?”
“Berikan jaketnya padaku..” ujarnya lagi. Gadis itu mengerutkan kening.
“Untuk apa? Mau kau pakai? Haha..” tawa kecilnya terdengar.“Besok mau kukembalikan ini..”
Kamiki menggeleng. “Aku hanya tidak suka melihatmu memakainya..”
“Eeh? Kenapa? Tidak cocok denganku ya?” Misaki nyaris menanggalkan jaket jeans hitam itu kalau saja kata-kata Kamiki berikutnya tidak membekukannya.
“Aku cemburu melihatmu menggunakan jaket milik pria lain..”
Kedua bola mata Misaki membulat sempurna mendengarnya. Satu pertanyaan tak yakin nyaris terluncur dari bibirnya namun terhenti oleh satu sosok eksistensi yang tiba-tiba saja sudah bergabung dengan mereka.
“Loh, ada Miki ternyata…” sapa Yukimura Sayu santai tanpa memperhatikan ekspresi puntrinya yang nampak shock setengah mati menerima kalimat pernyataan Kamiki tadi.
‘Cemburu…berarti karena suka kan?’ ujarnya dalam hati dan di detik itu pula lah pipinya mulai memanas.
“Daisuki dayo..”
Apakah orang yang pernah bilang suka padanya adalah Kamiki?
* * * * * * * *
Ryosuke melangkah ringan selesai memarkir mobilnya di salah satu spot bagasinya. Senyum tipisnya terulas, menyiratkan kebahagiaan yang dirasanya setelah tadi menghabiskan waktu bersama gadis yang dicintainya. Tidak ada hal berharga yang mereka lakukan memang, namun bersama gadis itu saja saat ini membuatnya sudah sangat bersyukur. Paling tidak, Tuhan tidak benar-benar membencinya karena pada akhirnya, Umika kembali dihadirkan kepadanya, meskipun dengan memori kosong yang harus diisi dengan kenangan-kenangan baru tanpanya. Dan yang paling penting, sampai saat ini, Tuhan masih membiarkan Umika tersenyum. Cukup itu saja.
Pemuda itu selesai menarik pegangan pintu dan menyelipkan dirinya kedalam. Langkahnya masih seringan sebelumnya sampai satu pemandangan menghentikan gerakannya segera.
Ryosuke menatap ruang tamunya yang telah terisi oleh 4 eksistensi yang dikenalnya sebagai sahabat-sahabatnya. Wajah mereka serius, dan hal itu jelas menimbulkan tanda tanya besar dalam kepala Ryosuke. Setengah heran setengah ragu, pemuda itu lalu menyapa.
“Minna..” Ujarnya agak tertahan, sedikit tidak enak juga melontarkan lanjutan kata-katanya yang berupa pertanyaan ‘apa yang kalian lakukan disini’. Kok kesannya jahat sekali jika menanyai sahabat sehidup-sematinya seperti itu.
Shida Mirai, salah satu dari keempat eksistensi tersebut yang duluan menjawab. “Aku melihatmu bersama Umika tadi..”
“Eh?” Ryosuke membuka mulutnya sedikit tanda kaget. Mirai bangkit dari posisi duduknya dan perlahan mendekati pemuda itu.
“Aku sudah memutuskan untuk menyetujui tindakan bodohmu membiarkan Umika menjalani hidupnya yang palsu sebagai Yukimura Misaki, demo...” kata-katanya terhenti ketika gadis itu menggulirkan matanya cepat untuk menghujam telak dua bola mata Ryosuke. “Kurasa kita tetap tidak bisa menyembunyikan kebenaran ini dari seseorang..”
Ryosuke terdiam sembari menahan nafasnya sejenak demi mendengar lanjutan kata-kata Mirai. Tatapan tajam gadis itu tak sama sekali berubah haluan dari bola mata coklat bening kembar milik Ryosuke.
“Ryutaro harus tahu kakaknya masih hidup..”
* * * * * * * *
Pemuda 17 tahun itu terbatuk agak lama. Selembar kertas berisi rentetan rumus matematika yang sedari tadi dipegangnya untuk dihafal nyaris terlepas karena guncangan tubuhnya yang kuat dan berkali-kali pula. Segelas air dingin yang diambilnya 5 menit lalu dari kulkas langsung habis dalam beberapa kali tegukan demi menetralisir tenggorokannya dari batuk sial beruntun tadi.
Gelas kosong bekas minum tersebut diletakannya kembali di meja belajar. Sepintas, matanya menagkap sebuah pigura coklat tua kecil yang bertengger di samping gelas. Rasa rindu menggerogotinya seketika, memerintahkan salah satu organ gerak atasnya untuk mengambil benda persegi empat tersebut. 4 wajah dengan senyum terpahat di bibir masing-masing terpampang di dalam. Pemuda itu ikut tersenyum sembari memainkan pikirannya untuk memutar kembali memori-memori indah sosok-sosok dalam foto itu. Mereka yang di sebutnya Tou-chan, Kaa-chan dan Nee-chan serta dirinya sendiri.
“Pasti kalian yang membicarakanku, makanya aku sampai batuk-batuk begini. Kenapa? Heran ya aku bisa menghafal rumus sebanyak ini?” tawa mentahnya terlontar. Rasa rindu itu semakin meremas hatinya. Tanpa sadar setetes air mata jatuh. Lagi.
“Aku merindukan kalian..” bisiknya lirih. “Apa kalian bahagia disana?”ungkapnya lagi masih dengan nada yang sama. Tangan kirinya terangkat, mengusap setetes bening hangat yang baru keluar tadi. “Gomen ne, aku menangis lagi. Padahal aku sudah berjanji untuk menghadapinya dengan kuat..”
Selembar foto dalam pingura itu diam. Sang pemuda tersenyum miris, merasa bodoh telah bertanya pada sesuatu yang bahkan mendengarnya pun tidak. Tapi ada keyakinan, jeritan kerinduan hatinya pasti juga dirasakan oleh mereka ‘disana’. Meski hanya lewat doa dan harap, ia selalu percaya, sosok Tou-chan, Kaa-chan, dan Nee-channya selalu ada bersamanya.
Dari luar terdengar derap langkah pelan. Pemuda itu memperbaiki wajahnya secepat mungkin agar tak ketahuan sempat menangis sebelum bunyi ketukan pintu terdengar.
“Ryuu… bisa keluar sebentar? Ada yang mencarimu..” sebauah suara lembut terdengar berikutnya. Ryutaro—pemuda yang dipanggil Ryuu itu meninggalkan pingura terlatak serapi mungkin di meja sebelum membuka pintu kamarnya.
“Dare, Miyuki ba-chan..” Tanyanya sambil bergerak keluar dan menutup pintu. Wanita 28 tahun itu mengigit bibirnya.
“Kau lihat sendiri deh..” jawabnya. Ryutaro hanya mengerutkan kening sebelum akhirnya berjalan menuju ruang tamu.
“Ryuu..” Kemunculannya disambut sapaan hangat seseorang yang sangat dikenalnya. Pemuda itu tersentak menemukan mantan kekasih kakaknya bersama sahabat-sahabat kakaknya yang lain—minus Chinen dan Suzuka yang masih bermasalah—tengah menantinya dengan ekspresi yang tak bisa diartikan secara verbal.
“Ryosuke-nii?” Ryuu hanya bisa menyebutkan nama pemuda yang menyapanya tadi sebagai reaksi atas kekagetannya. Ryosuke hanya tersenyum lemah.
“Ada apa?” lanjutnya.
“Ada yang ingin kusampaikan..”jawab Ryosuke masih dengan senyum yang sama. Ryutaro agak mengerutkan keningnya sedikit.
“Ya?”
Butuh waktu nyaris 2 detik bagi Ryosuke untuk menarik nafas panjang sebelum menjawab. Sekalian memberikan Ryutaro waktu untuk bersiap-siap mendengarkan satu berita yang pasti akan sangat mengguncangnya.
Ryutaro ikut menarik nafas agak panjang, penasaran sekaligus gugup menunggu kata-kata Ryosuke berikutnya.
“Umika…” Nafas Ryosuke sedikit tercekat. “Kakakmu, masih hidup..”
To Be Continued
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar