Kamis, 09 Februari 2012

[fic] : The Dream Lovers 2 - second chance -chp.15


CHAPTER 15
-The arrival of the little brother-

Sudah nyaris dua jam Ryosuke beserta Mirai, Yuto, Chinen, dan Daiki berada di kediaman Kawashima Miyuki—bibi Umika, tempat Ryutaro tinggal sekarang. Rentetan peristiwa yang terjadi belakangan ini, mulai dari munculnya Yukimura Misaki, rahasia bahwa gadis itu adalah Umika yang terbongkar dan fakta bahwa ia telah melupakan semuanya—bahkan kekasih, sahabat dan adiknya sendiri serta statusnya yang telah berganti menjadi putri tunggal keluarga barunya Yukimura cukup membuat Ryutaro merajam hati. Rasa bahagia ada memang, mengetahui kakak perempuan tercintanya—satu-satunya keluarga intinya yang ia miliki masih hidup dan sehat pula. Namun tak ayal, Rasa sakit juga datang bersamaan membayangkan kakaknya akan menatapnya dengan tatapan orang asing jika mereka bertemu nanti. Selain itu, Ryutaro juga menyadari apa yang dilihatnya ketika menatap kekasih kakaknya itu. Yamada Ryosuke nampak sangat tersiksa ketika bercerita, jelas ia merasakan sakit yang sama, bahkan lebih dari yang pemuda itu alami. Wajar memang, karena Ryutaro mengerti betapa Ryosuke sangat mencintai kakaknya.

Pemuda 17 tahun itu mencoba tersenyum sebisa mungkin.
“Daijoubu. Tahu kakakku masih hidup saja sudah terlalu cukup..” jawabnya lemah. Disampingnya duduk Momoko. Pelupuk mata gadis itu sudah nyaris dipenuhi air mata. Sedetik kemudian, dirangkuhnya tubuh Ryuu dalam pelukannya.

“Gomenasai Ryuu… kami sudah mencoba memberitahunya.. tetapi Umika tetap menyangkal. Dia tidak mau percaya kalau ia adalah Kawashima Umika..”

Ryutaro merasakan dadanya sakit lagi. Namun dengan sisa kekuatan yang ada, pemuda itu mengangguk sambil mengelus punggung sahabat akrab kakaknya itu perlahan.

“Daijoubu Momochan… jika itu yang terbaik untuk Nee-chan, aku tidak apa-apa..” jawabnya masih dengan jawaban yang lemah. Momoko menarik dirinya, hanya untuk berpindah tumpuan tangis dari Ryuu ke kekasihnya sendiri Daiki—yang somehow agak tidak setuju dengan tindakan tiba-tiba gadis itu yang sudah memeluk Ryutaro. Oke, ini memang bukan saat yang tepat untuk cemburu pada pemuda malang itu. Meskipun begitu, kok ya hatinya sedikit sakit? Apakah perasaan seperti ini yang dialami Chinen ketika melihat Suzuka secara tiba-tiba sudah memeluk pria lain, asing pula. Itulah sebabnya Chinen bisa sampai memutuskan gadis itu. Ya, sakit memang. Tapi membayangkan harus putus dengan Momoko hanya karena gadis itu memeluk Ryutaro yang notabene adalah adik kandung sahabat keduanya sendiri adalah tindakan paling bodoh yang bahkan sampai matipun tidak akan Daiki lakukan. Masa bodoh dengan cemburu! Toh, Momoko tidak akan lari darinya ini.

Fokus beralih dari pikiran Daiki ke suasana senyap sekelilingnya yang tiba-tiba saja dipecahkan oleh suara sopran Mirai.

“Tapi kau masih bisa bertemu dengannya Ryuu..” ucapnya lantang. “Kau ingin bertemu kakakmu, iya kan? Melihat bagaimana kondisinya sekarang, apakah dia bertambah tinggi dan manis atau tidak, apakah dia masih secerdas sebelumnya…kau ingin, kan?”

Kata-kata gadis itu sontak menarik perhatian seluruh mata padanya. Terlebih Ryosuke. Pemuda itu menatap Mirai kaget sekaligus tidak setuju. Bukankah Mirai sudah menyetujui rencananya untuk membiarkan Umika tenang dalam kehidupan barunya? Lalu dengan mempertemukan gadis itu dengan adiknya bukannya malah akan membangkitkan memori lamanya? Atau jangan-jangan setelah Ryutaro bertemu kakaknya, ia akan menolak semua rencana Ryosuke dan memaksa kakaknya untuk kembali mengingat meskipun Umika sendiri tidak ingin, dan…membuat gadis itu kembali menangis setelah mengetahui semuanya.
Mirai membalas tatapan Ryosuke tajam dengan kedua bola mata hitamnya yang cemerlang. Jujur, meskipun telah mengaku setuju dengan keputusan Ryosuke untuk menjadi yang dilupakan, gadis itu tetap tidak bisa menerima jika Ryutaro—adik kandung Umika sendiri harus ikut melupakan kakaknya juga seperti Umika melupakannya. Ryosuke memang bodoh, biarkan saja. Tapi Ryuu berhak untuk memiliki kembali kakak perempuan sekaligus satu-satunya saudara yang ia punya.

Ryutaro sendiri hanya diam. Sungguh, tawaran Mirai itu sangat sangat sangat menggiurkan. Ia merindukan kakaknya lebih dari apapun. Namun jika bertemu dengan Umika nanti, pemuda takut ia malah hanya akan membuat gadis itu kebingungan dengan kemunculannya yang tiba-tiba. Dia belum siap menerima kalimat penolakan dari kakaknya sendiri.

“Aku..” Ryuu memenggal kalimatnya sendiri dalam kebimbangan. Sumpah! Pemuda itu tidak bisa memilih apakah harus menuruti keinginan terbesarnya sendiri atau menjaga kelangsungan hidup palsu kakaknya yang kini telah bahagia.

“Kau harus menemui Umika, Ryuu. Tidak peduli dia mengingatmu atau tidak. Kau punya hak untuk melihatnya dengan kedua mata kepalamu sendiri. Kau adiknya..” Mirai memberikan pernyataan final, sontak membuat kedua kedua pupil Ryosuke yang sejak tadi menatapnya tidak setuju makin membulat besar.
Apa-apaan Mirai ini?! memutuskan seenaknya tanpa sama sekali memperhitungkan alih-alih minta pendapat pada yang lainnya. Oke, meskipun tanpa bertanya pada koloninya sudah bisa dipastikan kalau gadis itu akan mendapat jawaban setuju dari mereka semua—minus Ryosuke, namun tidakkah ia memperhitungkan keputusan mereka bersama untuk menjadi yang terlupakan? Bukankah Mirai sudah setuju?
Samar-samar, Ryosuke menoleh ke arah Ryuu, mendapati ekspresi sesak pemuda itu sekaligus betapa wajahnya seolah berteriak agar di pertemukan dengan kakaknya. Wajah itu, Ryosuke mengenalinya sebagai pantulan ekspresi dirinya sendiri di kaca ketika mengetahui Umika telah kembali namun tanpa mengenalinya sama sekali. Ryosuke mengerti rasa sakit yang Ryuu rasakan. Hanya saja, tentang Umika… ia tidak bisa apa-apa. Ia hanya ingin gadis itu bahagia meskipun dalam kehdupan yang palsu. Salahkah?

Keheningan terus menyeruap. Yuto dengan langkah panjangnya bergerak mendekati Ryosuke lalu menepuk pelan pundak pemuda itu sembari berbisik panjang. Volume suaranya sangat kecil dan hanya bisa didengarkan oleh Ryosuke saja.

“Jangan egois Ryosuke. Kau tidak bisa memutuskan sebuah hubungan darah sesuci apapun niatmu. Kita boleh saja membiarkan Umika tertipu dan terus menetap dalam dunia barunya, tapi Ryuu… anak itu punya hak untuk menemui kakaknya, atau paling tidak melihatnya saja. Dia yang lebih memiliki hak atas Umika dibandingkan dirimu. Dia adik kandungnya. Kau bisa mengorbankan dirimu demi Umika, namun kau tidak punya hak untuk ikut mengorbankan Ryuu. Biarkan dia melihat kakaknya, itu saja..”

Alis Ryosuke bertaut ketika pemuda itu melayangkan pandangannya ke arah Yuto. Terkejut tentu saja. Ia sama sekali tidak menyangka kata-kata segambalang itu akan keluar dari bibir Yuto. Pemuda yang ditatap tetap berwajah tenang.
Ryosuke merasakan dadanya sesak. Pandangannya ikut bergerak menyapu sekeliling ruangan dimana teman-temannya tengah menatapnya. Seolah memikirkan hal yang sama, pemuda itu bisa membaca bahwa mereka menyetujui sekali kata-kata Yuto. Sakit makin menghujamnya seiring pandangannya yang kemudian ikut beralih kepada Ryuu. Ryosuke kembali menemukan pantulannya sendiri. Wajah tersakiti itu seketika menghancurkan pertahanan batinnya. Yuto benar. Dia tidak bisa memaksakan egonya pada Ryutaro. Pemuda itu memang harus melihat kakaknya. Dan Ryosuke tak punya hak untuk melarangnya sama sekali, sebaik dan sesuci apapun niatnya.

“Baiklah..” Ryosuke berujar, nyaris tak terdengar. Tatapan sekeliling langsung berubah kaget. Ryosuke mengangguk seiring kekuatannya mencoba membantu menyunggingkan senyum tipis. “Kau harus menemui kakakmu, Ryuu..”

Ryuu mencelos, nyaris menitikkan air mata. Dengan anggukan pasti dan wajah terlalu bahagia pemuda itu, Ryosuke seketika merasakan secercah rasa lega menyusup ke sela-sela hatinya. Ya, paling tidak melihat senyuman kakaknya mungkin bisa membawa angin segar baru bagi Ryuu sendiri setelah 6 bulan ini.

Perlahan tapi pasti, baik Mirai maupun Yuto ikut menyunggingkan senyumnya.

* * * * * * * *
Chinen meninggalkan pintu di belakangnya terbanting keras ketika langkah panjangnya bergerak memasuki kamar. Tidak dipedulikan tatapan ayah-ibunya yang nampak khawatir di luar. Pemuda itu frustrasi, stress, atau apapun kata yang tepat yang bisa menggambarkan kekacauan hati dan pikirannya saat ini. Masih terbayang olehnya kejadian tadi. Ketika gadis itu datang dengan wajah sendunya dan memberikan tawaran kesempatan terakhir bagi keduanya demi menyelesaikan permasalahan hati mereka. Suzuka sudah lelah, Chinen bisa merasakan. Gadis itu mungkin tak mampu lagi memendam kepedihan hatinya oleh perlakukan Chinen yang sudah kelewat batas. Oke, pemuda itu memang sadar, tindakannya terlalu menyakitkan, apalagi jika ditujukan pada Suzuka, gadis yang selalu dicintainya sejak 7 tahun yang lalu.

Jika kau bertanya apakah Chinen masih mencintai gadis itu, maka jawabannya adalah YA. YA yang ditulis dengan 2 alfabet kapital, yang tentu saja menyiratkan makna dalam betapa besar rasa cinta pemuda itu pada gadis yang dimaksud. Namun, jika kau juga bertanya apakah Suzuka telah membuat hatinya sakit? Jawabnya juga YA. YA yang sama, yang tertulis oleh 2 alfabet kapital juga. Simple memang, cemburu. Namun betapa Chinen merasakan hatinya tercabik-cabik sekaligus terbakar ketika melihat Suzuka bersama Jingi—entah kenapa. Chinen memang tidak mempermasalahkan Suzuka-nya dekat dengan laki-laki lain, selama itu masih bisa diterimanya. Namun kali ini, jika menyangkut that damn Irie Jingi, entah kenapa Chinen jadi terkuras emosinya. Ia hanya takut Suzuka dibawa pergi darinya, apalagi setelah tahu kedua manusia itu satu jurusan plus memiliki hobi yang sama. Bodoh. Tapi tetap, hal itulah yang paling menyakitinya. Chinen yang dikenal sebagai pemuda berkepercayaan diri 1000% itupun seolah minder oleh Irie Jingi dan kedekatannya dengan Suzuka. Butuh waktu 5 setengah tahun baginya, bayangkan, hanya untuk membuat Suzuka dengan kesadaran sendiri mengecup pipinya mesra. Namun Irie Jingi itu, hanya dalam waktu sehari pertemuan mereka, ia sudah bisa memperoleh pelukan hangat dan nyaman gadisnya. Tidak adil dan menyakitkan, bukan?

Pemuda itu merebahkan dirinya di kasur sembari menutup pelan kedua matanya. Pikirannya melayang, membayangkan hari esok, hari dimana baik dirinya maupun Suzuka akan menentukan keputusan final mereka atas semua yang terjadi selama ini. Hubungan mereka yang sempat diakhiri sepihak oleh Chinen ini mungkin saja akan benar-benar berakhir oleh keputusan Suzuka juga. Setelah 5 tahun penantian dan setelah nyaris setahun lebih keduanya menjalin ikatan sebagai sepasang kekasih, benarkah semuanya telah berakhir seperti ini?

Chinen menarik nafasnya dalam.

* * * * * * * *

Ryutaro merasakan adrenalinnya agak memacu ketika berdiri di pojokan itu. Ia menunggu, tak sendirian memang. Namun perasaan gugup itu tetap ada seiring benaknya terus memproduksi pertanyaan. Bagaimana keadaan kakaknya kini? Penampilannya? Gaya bicaranya? Sikapnya? Apakah ia akan langsung dikenali atau diserang tatapan asing? Semuanya terus berputar di kepalanya, membuatnya jadi sedikit penat, takut, sekaligus penasaran tentu saja. Pemuda itu mengalihkan matanya sedikit demi menatap Mirai disampingnya.

“Perutku mual..” Ucapnya jujur. Pengaruh gugup sepertinya. Tawa Mirai nyaris pecah namun keburu ditahannya dengan mengelus-elus punggung pemuda itu.

“Daijoubu. Kau hanya gugup..” Ucapanya menenangkan. Ryuu hanya manatapnya setengah bertampang ‘peruku-sedang-mual’ setengah percaya.

“sou kah..” pemuda itu tersenyum pasrah. Mirai mengepalkan tangannya sambil bersorak ganbatte dalam bisik pelan. Yang disoraki mengangguk. Matanya kembali ke objek sebelumnya.

Dan gadis itu datang, akhirnya. Ryutaro merasakan jantungnya jumpalitan menatap sosok gadis manis yang tengah bergerak mendekat itu. Wajahnya masih sama meskipun terlihat lebih dewasa dan cantik dari sebelumnya. Gerak-geriknya nampak lincah dan terkontrol, tidak begitu sama dengan tingkah kakak perempuannya dulu yang semberono. Namun, setelah satu sunggingan senyum kecil tercetak di bibir eksistensi itu, Ryuu langsung yakin 100% kalau gadis itu adalah Kawashima Umika, kakaknya satu-satunya. Seberubah apapun Umika, senyuman gadis itu memang tetap sama. Senyuman Ryuu ikut terulas seiring matanya yang mulai perih entah karena apa.

“Pergilah!” Mirai mendorong Ryuu sampai terhunyung ke depan beberapa langkah, tepat ketika Yukimura Misaki nyaris melewatinya. Merasa langkahnya terhalangi, gadis itu berhenti dan langsung memandang pelaku pemberhenti jalannya tersebut.
Satu perasaan familiar yang luar biasa besar seketika menyusupi hatinya saat matanya menatap pemuda tak dikenal yang berdiri di depannya kini. Entah kenapa, demi Tuhan! Perasaannya pada pemuda itu kuat sekali dan seolah memaksanya untuk memeluk orang asing itu. Ada rasa rindu…dan entahlah. Satu perasaan yang tak pernah dirasakannnya sebelumnya. Perasaan hangat sekaligus nyaman luar biasa.
Sementara Ryutaro hanya terpaku ketika matanya balik menatap 2 lensa mata milik kakaknya. Rasa rindu itu hadir lagi, kembali mengganjal, menggrogotinya, minta penawar tepat untuk meredakan rasa rindu yang teramat sangat ini. Dan tanpa sadar, setetes air matanya meleleh begitu saja mengaliri sebelah pipinya.

“EEH, daijoubu?” pekik Misaki panik melihat pemuda berparas tampan yang baru ditemuinya pertama kali ini tiba-tiba saja menitikkan air mata. Samar, terlintas dalam benaknya kondisi ini sama dengan waktu pertama kali ia bertemu dengan Yamada Ryosuke. Pemuda itu juga meneteskan air mata—meskipun ditambah dengan sebuah pelukan hangat. Nah, lalu? Apakah pemuda asing ini juga akan memeluknya seperti Yamada? Atau…mungkinkah ia juga salah mengenalinya sebagai Umika?

“Aa-gomen…” Ryuu menetralkan debaran jantungnya sembari menghapus tetes air mata yang mengalir. “Mataku kemasukan debu..”senyuman lemahnya terulas. Misaki balas memberi senyum—agak ragu.

“Ii yo… demo, anata wa dare?”

Muncul juga. Satu pertanyaan yang selama nyaris 2 hari ini menjuluri benaknya dan selalu meninggalkan sakit tiap kali diimajikannya akhirnya menyadi nyata juga. Kakaknya tetap tak mengenalinya, Ryosuke benar. Rasa sakit itu menghujam terlalu dalam, ditambah sesak dan rindu yang tak terhingga pula. Ryutaro nyaris meneteskan air mata lagi, bahkan terisak, namun terhenti oleh tatapan polos penuh belas kasih sekaligus penasaran sang kakak. Wajah itu, siapa yang akan tega membuatnya menangis? Meskipun dulu, kakaknya adalah orang nomor satu yang selalu membuatnya kesal tak ketulungan di rumah, namun tetap, rasa cinta itu terlalu besar. Ia mencintai kakaknya, begitu pula sebaliknya. Ia tahu. Dan seperti kata Ryosuke, melihat sekali lagi air mata mengaliri pipi Umika akan meninggalkan rasa perih luar biasa yang selamanya akan membekas. Terlalu sakit.

Ryutaro memberikan senyum terbaiknya sebelum menjawab, tidak mau Misaki curiga.
“Bukan siapa-siapa… aku hanya kebetulan lewat..”

Misaki termangu. Satu rasa sesak kembali menggerogoti hatinya. Namun sepreti yang sudah-sudah, ia tetap memilih menguburnya dalam-dalam, tidak ingin menimbulkan pertanyaan besar dalam dirinya yang tak terjawab.

Gadis itu ikut menyunggingkan senyum. 

Beberapa meter di depan mereka, tepatnya di balik dinding putih yang sejak tadi menyembunyikan sosoknya, Shida Mirai hanya menggigit bibir bawahnya sedih.

* * * * * * * *

“Yamada Ryosuke!”

Satu seruan bermuatan nama lengkapnya cukup untuk membuat Ryosuke menghentikan pergerakan kaki-kakinya melangkah. Suara itu dikenalnya. Sontak ia berbalik, mendapati pemuda seumurannya tengah berlari mendekat. Satu tangannya memegang sebuah benda berbahan jeans berwarna hitam yang dikenalnya sebagai jaketnya. Maklum, jaket tersebut dibuat khusus oleh disainer, makanya jumlahnya cuma 1 di seluruh Jepang. Ryosuke mengernyit. Bagaimana jaketnya bisa berada di tangan Kamiki, padahal terakhir kali jaket itu diberikannya pada Umika—Oh, tentu saja. Sebagai kekasihnya, mana mau Kamiki melihat gadisnya mengenakan pakaian pria lain. Dan kemunculan pemuda itu pasti untuk mengembalikan jaket tersebut beserta rentetan kalimat peringatan dan apapun semacamnya. Ryosuke mengerti. Umika bukan lagi Umika sekarang. Dia tidak punya hak untuk merasa cemburu padanya.

“Aku tahu ini milikmu..”ucap Kamiki langsung sembari melayangkan jaket hitam dalam genggamannya tadi saat jaraknya dengan Ryosuke hanya terpaut beberapa puluh senti saja. Ryosuke hanya tersenyum, hendak mengucapkan terima kasih atas perbuatan pemuda itu.

“Arigat—“

“Tolong jangan dekati Misaki lagi..”

Kalimat Kamiki berikut sontak membekukan gerakan Ryosuke yang tengah mengatur letak jaket tadi dalam genggamannya. Sontak, benda berbahan kain jeans itu tertarik gravitasi dan jatuh ke tanah.

“Eh?”

Kamiki mengambil jeda sejenak sebelum bicara. “Bukankah kau yang telah berjanji untuk menjauhi Misaki? Kau ingin dia hidup bahagia kan? Tapi lihat caramu! Kau terus-terusan mendekatinya dan bahkan membawa adik lelakinya kemari supaya bisa membantu ingatannya pulih. Kau sudah melanggar janjimu sendiri Yamada! Berhentilah mendekati Misaki!”kalimatnya terdengar penuh murka. Dari caranya menatap saja, Ryosuke sudah bisa membaca rasa marah dan kebencian besar pemuda itu.
Kamiki memang mengetahui kehadiran Ryutaro yang tiba-tiba sekali pagi ini di kampusnya. Pemuda itu jelas mengenalnya sebagai adik lelaki satu-satunya Kawashima Umika sebab ia pernah menemukan potret sosok itu dalam satu foto keluarga yang terpajang rapi dalam dompet pink Umika di hari dimana gadis itu ditemukannya.

“Gomen..” permintaan maaflah yang terlontar kemudian. Ryosuke balas menatap kedua mata berimaji api milik Kamiki dengan satu pandangan memaku. “Tapi aku hanya berjanji untuk tidak menceritakan kebenaran padanya. Tidak dengan menjuhinya. Sampai mati pun, Aku tidak akan berhenti mencintai Umika..” Kata-kata Ryosuke final, menjadi akhir pertemuannya dengan Kamiki pagi ini. Pemuda itu berlalu, tidak sama sekali berniat mendengar rentetan kalimat balasan Kamiki berikutnya. Persetan dengan Kamiki dan ambisi bodohnya untuk memisahkan pemuda itu dengan Umika. Karena seperti kata-katanya sebelumnya; sampai matipun ia tidak akan pernah berhenti mencintai gadis itu.

* * * * * * * *

“Ohayo!” Misaki memberi senyum-salam-sapanya yang terbaik pada seseorang yang baru saja memasuki kelas. Eksistensi yang baru saja disapa itu tersenyum lembut.

“Ohayou Yukimura..” jawabnya agak lemah. Misaki mengerutkan kening. Tidak biasanya pemuda yang selalu duduk di sampingnya dalam setiap mata kuliah itu nampak tidak bersemangat seperti hari ini. Penasaran, Misaki kembali bertanya.

“Daijoubu? Sepertinya kau kurang sehat..” tanyanya khawatir sembari meletakan punggung tangannya di kening pemuda itu. Seketika sekelebat bayangan kelabu menghinggapi benaknya disertai rasa sakit yang sama persis seperti yang dialaminya kemarin. Umika kembali merasakan sensasi familiar itu ketika tangannya menyentuh kening seseorang yang tidak bisa dikenalinya sama sekali sebagai siapa.

“…..Kau kenapa? Wajahmu merah sekali!”

“39˚C.. pantas saja..”

“Eh?” Umika sedikit terlonjak begitu terlepas dari orientasi hitam-putihnya tadi. Keningnya berkerut, mencoba mengenali pada siapa kata-kata tadi dilontarkannya. Ryosuke yang menyadari perubahan ekspresi gadis itu langsung balik menatapnya khawatir.

“Misaki, doushita?”

“Hah?” Misaki kembali tersentak. Ryosuke lalu mengulang pertanyaan singkatnya tadi yang kali ini diperpanjang.

“Doushita? Ekspresimu berubah..”

“Ii… Daijoubu..” jawab gadis itu kalem lalu memutar bola matanya dan seketika menjadikan sebuah benda yang dalam rangkulan Ryosuke sebagai objek pandangannya.

“Jaket itu…gomen ne, kemarin lupa ku kembalikan..” ucapnya sembari menunjuk benda yang dimaksud. Ryosuke mengikuti gerakan dagu gadis itu lalu tersenyum lembut.

“Daijoubu. Kamiki yang mengembaikannya tadi..” Ryosuke sedikit mempersiapkan hatinya untuk memproduksi lanjutan kalimat bagi Misaki. “Ah, gomen ne…aku sudah membuat kareshimu marah..”

Misaki mengangkat alisnya. “Eh? Kareshi? Miki maksudmu?”

Ryosuke dengan polos mengangguk. Misaki hanya tertawa kecil sebelum akhirnya menjawab.

“Chigau yo.. Miki bukan pacarku. Kami hanya teman..”

Ryosuke sontak terperangah.

“Eh?! Demo, Kamiki…”

To Be Continued

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar