CHAPTER 19
- The similar dream of goodbye-
Laju mobil sport hitam metalik itu terus berkurang dan bersangsur-angsur terhenti. 2 sosok manusia di dalam masih terdiam, bahkan setelah kendaraan tersebut sudah resmi mengambil posisi beberapa meter dari depan pintu rumah.
Keheningan bertahan beberapa menit sebelum akhirnya Misaki yang duluan berani membuka kedua sisi bibirnya pelan.
“Arigatou…” bisik gadis itu nyaris tak terdengar, namun cukup membuat Ryosuke tersadar dari lamunannya. Pemuda itu tersenyum lembut.
“un. Arigatou mo…”
“Saa, Jaa ne…”
Ryosuke mengangguk. Misaki ikut tersenyum agak ragu sebelum membuka pintu mobil dan bersiap keluar. Namun, belum sempat gadis itu menginjakkan kakinya di tanah, Ryosuke sudah melantunkan lagi 2 kata yang membuatnya seketika menoleh.
“Oyasumi, Misaki…”
Senyum ragu gadis itu sontak berubah, terganti dengan senyum manisnya yang biasa.
“Oyasumi, Ryosuke…”
Pintu mobil ditutup, menjadi akhir petualangan keduanya hari ini. Ryosuke menghidupkan mesin mobil dan setelah membunyikan klakson beberapa kali, pemuda itu lalu berlalu ditelan gelap malam. Kini tinggal Misaki yang berdiri mematung selagi matanya terus mengikuti pergerakan Ryosuke sampai benar-benar hilang dari pandangannya.
Gadis itu tersenyum, setengah bahagia setengah shock mengingat waktu sorenya yang dihabiskan bersama Ryosuke tadi. Apa yang dilakukannya bersama pemuda itu? Bagaimana bisa mereka berciuman dengan sebegitu mudahnya? Padahal mereka bukan apa-apa, bukan pasangan atau apapun sebangsa itu. Dan kenapa pula Misaki tidak asing dengan sentuhan bibir Ryosuke, seolah ia memang pernah merasakan ciuman dari pemuda itu sebelumnya.
Demi Tuhan! Ada apa ini sebenarnya?
Misaki mengacak-acak rambutnya sendiri frustasi karena tak bisa sama sekali menemukan jawaban atas rentetan pertanyaan yang sejak tadi bergema dalam kepalanya. Lelah, semenit kemudian gadis itu baru memasuki rumahnya. Di dalam terdengar agak ribut, mungkin ibunya sedang heboh menonton dorama. Misaki masuk perlahan, tak mau mengganggu konsentrasi Sayu.
“tadaima…” seru gadis itu setelah melepas sandalnya dan meninggalkannya di rak sepatu. Dari dalam terdengar jawaban, namun jelas bukan dari sang ibu.
“Okaeri..”
Misaki tertegun.
“Miki?” bisiknya pada diri sendiri sebelum bergerak masuk mencari sang sumber suara. Tebakkannya benar! Di ruang tengah duduk Kamiki yang sedang asik melirik majalah sport dalam pangkuannya. Sang ibu tak terlihat, mungkin sedang di dapur.
Masih lelah, Misaki ikut menempatkan dirinya di sofa samping Kamiki. Pemuda itu meliriknya sekilas.
“Dari mana saja?” pertanyaannya terdengar dingin. Misaki sontak menoleh ke arah sang penanya sambil memiringkan kepalanya beberapa derajat.
“Eh?”
“aku tanya, kau dari mana saja?” Kamiki mengulangi pertanyaannya tetap dengan nada yang sama. Misaki nampak berpikir sejenak.
“A-ah, itu… tadi aku pergi dengan temanku. Ada tugas dari sensei..” Misaki menjawab ragu. Kamiki mengalihkan perhatiannya dari majalah sport tadi menuju Misaki sambil menatap gadis itu tajam.
“Bersama Yamada Ryosuke?”
Misaki tersigap. Butuh waktu lama baginya hanya untuk memberikan sekali anggukan kepala. Entah kenapa, cara pandang Kamiki padanya kali ini seolah sarat akan pernyataan ‘aku-benci-yamada-tapi-kenapa-kau-pergi-bersamanya’.
“Kau menyukainya?” Kamiki menyambung, to the point. Kali ini bukan lagi tersentak. Misaki bahkan merasa jantungnya hampir meloncat keluar saking kagetnya.
“EH? Apa-apaan pertanyaan itu? ne Miki, kau baik-baik saja kan? Kenapa bertanya seperti itu?” Misaki menjawab kalap dalam bentuk pertanyaan balik. Bukan semata-mata karena pertanyaan yang baru saja terlontar dari Kamiki tadi agak aneh, namun juga karena gadis itu sendiri tidak tahu harus menjawab apa. Apa dia menyukai Ryosuke? Atau tidak? Lalu ciuman sore tadi itu apa?
Kamiki menarik nafasnya agak berat.
“Jawab saja, ia jika kau menyukainya atau tidak jika kau tidak suka. Atau, kau tidak tahu harus menjawab apa? Karena kau dalam masa transisi, sedang berangsur-angsur menyukainya, begitu?” Kamiki seolah bisa membaca pikirannya.
Misaki terdiam. Ia tidak bisa menjawab. Sungguh. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
Kamiki sendiri tengah melirik gadis itu beberapa lama.
“Hahaha! Sudahlah. Aku hanya bercanda ok? Kenapa wajahmu jadi seram gitu?” Pemuda itu mengacak-ngacak puncak kepala Misaki gemas. Misaki sontak bernapas lega setelah sadar kalau kalimat-kalimat pertanyaan mengintimidasi tadi hanya merupakan bualan sang pemuda semata. Gadis itu ikut tertawa.
“Ii… Aku cuma shock saja..”
Kamiki tersenyum tanpa melepaskan pakuan pandangannya dari Misaki. Ada sesuatu di matanya, jelas itu bukan senyuman. Bibir Kamiki boleh saja menyunggingkan lengkungan bulan sabit lebar sebagai ekspresi bahagia, namun matanya tetap sarat akan kelam yang tak bisa diartikan maksudnya. Dan Misaki hanya tidak peka untuk menangkapnya.
* * * * * * * *
2 months later, Yukimura’s residence…
PIIP..PIIP…PIIIP…
Misaki mendengus kesal sembari memasukan beberapa bukunya yang masih berserakan di meja. Persetan dengan bunyi klakson kalap di luar. Siapa suruh manusia itu datang terlalu cepat! Sungutnya. Namun ketika matanya tak sengaja melirik jam dindingnya, gadis itu sontak tersenyum geli. Pukul 8 pagi, ok! Dia yang terlambat.
PIIIP..PIIIP…PIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIP…
“Argh! Sabar sedikit kanapa sih!” Pekikan Misaki bersaing dengan bunyi klakson lanjutan dari luar. Buku terakhir sudah dimasukkannya. Gadis lalu itu berlari keluar kamar menuju ruang tengah dengan tergesa, menyeruput susunya hingga tinggal ¾ gelas dalam sekali teguk dan mencomot sepotong roti tenpa selai di atas meja.
“Telat bangun ya?” Yukimura Sayu keluar dari dapur sambil menenteng semangkuk bubur panas. Wanita itu memang kurang enak badan hari ini. Menanggapi pertanyaan ibunya, Misaki hanya mengangguk cepat. Jelas karena mulutnya penuh terisi roti tentu saja.
“Itekimasu…” Gadis itu mencium pipi ibunya sedetik sebelum berlari keluar dengan tergesa-gesa. Tas punggungnya sudah dikenakan sementara satu tangan gadis itu tetap memegang rotinya sambil sesekali menggigit sepotong.
“Itarashai…” Balas sang ibu dengan senyum.
Misaki masih berlari menuju kendaraan roda empat diluar. Melihat gadis itu tergesa mendektinya, oknum pengemudi mobil hanya tertawa geli. Ide isengnya mucul lagi.
PIIIP..PIIIP…PIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIP…
“AKU SUDAH DATANG NIH! AKU SUDAH DATANG!!!” teriakan Misaki terdengar super kesal. Gadis itu menjepit rotinya di mulut sementara satu tangannya memukul keras pintu mobil. Pemuda dalam mobil tersebut tertawa makin lebar. Tak lama, pintu dibuka dari dalam.
“Lama!” sosok pemuda maha tampan dalam mobil tadi berganti ekspresi. Dengan wajah serius serta tangan disilangkan di dada, di tatapnya Misaki dengan tatapan mengintimidasi. Sayang, indra perasa gadis itu tumpul saat ini. Yang ada, dia malah mau balik marah.
“Kau pikir kenapa aku lama huh?! Aku terlambat bangun heh! Gara-gara siapa hayo aku bengun terlambat?!” balasnya tak kalah mengintimidasi. Tawa pemuda itu nyaris pecah, namun sekuat mungkin ia berusaha untuk menjawab pertanyaan Misaki dengan nada innocent.
“Siapa emang?”
“HAAAH! Apa-apaan nada polos itu?! Kenapa kau selalu membuatku kesal siih? Jelas-jelas kau tahu penyebabnya!” Misaki mengacak-ngacak rambutnya sementara pemuda itu masih menatapnya innocent. Kepalanya dimiringkan sedikit pula, sontak menambah kesan polos yang baru ditampilkannya beberapa detik lalu. Misaki menggigit bibir. Wajah itu memang selalu bisa melumpuhkannya.
“Ck, hentikan wajah anak kecil itu… kau membuatku tak bisa marah.”
Pemuda itu tersenyum manis.
“Kalau begitu kenapa kau telat bangun?”
Misaki mengangkat alisnya sekalian menarik ujung bibir kanannya.
“Heh! Tanyakan pada tuan Yamada Ryosuke yang menelponku semalam dan menunda waktu tidurku sampai pukul 2 pagi hanya karena dia mimpi buruk dan ingin bicara denganku!”
Kali ini pemuda itu tak lagi bisa menahan pergerakan kedua sudut bibirnya. Tawanya pecah seketika.
“Ryosuke sialan!”umpat Misaki melihat Ryosuke—pemuda tadi—nampak begitu menikmati tawanya akibat membuat gadis itu kesal setengah akut. Nyaris 2 menit berlalu sampai pemuda itu akhirnya berhenti dengan kesenangannya tadi.
“Gomen ne… habis lucu saja sih kau bisa terlambat hanya gara-gara itu. Tidur mulai Jam 2 pagi kan tidak kurang-kurang amat. Kalau kau bangun jam 7 pun sudah lumayan cukup kok…”
“Itu kalau aku tidur tepat jam 2. Ini aku baru mulai nutup mata jam setengah 4..”
Ryosuke mengangkat alis. “Eh? Kenapa? Tidak bisa tidur?”
“tidak juga sih…”Misaki menggeleng pelan. “Aku hanya…mengkhawatirkanmu…”intonasinya seketika menurun bersamaan dengan semburat merah yang tiba-tiba muncul di kedua pipinya. “Habis!” nadanya tinggi lagi. ”Kau terdengar takut sekali saat bicara padaku semalam. Aku hanya cemas kau bisa tidur nyenyak atau tidak selanjutnya…” nadanya kembali menurun. Ryosuke hanya terpaku menatap gadis itu sesaat sebelum tersenyum lembut beberapa detik kemudian. Hatinya seolah tersapu hembusan angin hangat yang membawa bahagia. Tangan kanan pemuda itu terangkat mengelus puncak kepala Misaki pelan.
“Daijoubu… setelah bicara denganmu, rasanya sudah lebih baik…”
Misaki tersenyum kecil, namun kembali bertanya.
“Memangnya kau mimpi apa sih sampai bisa setakut itu?”
Pertanyaan Misaki sontak membuat Ryosuke terdiam. Pemuda itu lalu berusaha mengingat kembali mimpinya semalam.
Ia berada dalam satu tempat bernuansa abu-abu. Sekelilingnya kosong, nyaris beberapa detik sebelum seseorang muncul tepat didepannya dan menyentuh wajahnya perlahan. Ryosuke kenal jelas sentuhan itu.
Umika?
Gadis itu hanya tersenyum lembut, kemudian pelan-pelan mencium bibir pemuda itu lama.
Satu kata terlontar selanjutnya, mengiringi sosoknya yang seketika lenyap bersama hembusan angin keras.
“Sayonara, Ryosuke…”
Bagaimana bisa mimpi yang nyaris sama terulang hingga dua kali?
Panik, Ryosuke sontak menelpon Misaki dan setelah mengetahui gadis itu baik-baik saja, tak ada rencana apapun untuk pergi atau apa, dan setelah memastikan pada gadis itu bahwa dia akan menjemputnya besok dan membawanya ke kampus dengan selamat, pemuda itu baru bisa bernapas lega. Paling tidak dalam waktu dekat ini ia hanya harus membuat Misaki aman, dimanapun dia berada. Ia tidak mau kehilangan gadisnya ini untuk yang kedua kali.
“Ryosuke?”
Ryosuke tersadar dari lamunanya, sontak teringat pertanyaan gadis itu.
“Aku… memimpikanmu. Kau meninggalkanku…dan, aku takut. Aku tidak ingin kehilanganmu, Misaki…”
Misaki terpana.
Ryosuke tersenyum lembut sampai matanya tak sengaja menangkap gerakan jarum jam hitam pada jam tangan kuning muda yang melingkari pergelangan kiri Misaki. Kedua bola matanya sontak membulat sempurna.
“Yabai! Sudah jam 8 lewat!”
Misaki ikut melonjak kaget dan cepat-cepat melihat jamnya.
“Kyaa! Kelas Maeda-sensei dimulai pukul 8! Ah, ayo cepat berangkat!!”
Mesin mobil dihidupkan. Misaki meloncat cepat menuju mobil. Dengan sigap, pemuda itu langsung melarikan kenadaraan roda 4 tersebut secepat kilat. Misaki pasrah, sudah tebiasa dengan gaya balapan pemuda yang satu itu.
Meskipun begitu, sejak pergerakan mereka meninggalkan halaman rumahnya, Misaki tak sama sekali melepaskan pandangannya dari sosok Ryosuke yang tengah serius mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi di sampingnya. Terkadang senyuman gelinya terulas ketika memikirkan hubungan mereka.
Hubungan? Rasanya tidak. Meskipun sudah dua bulan lebih keduanya dekat, tidak pernah benar-benar ada pernyataan resmi atas relasi yang terjalin. Meskipun Ryosuke pernah menyatakan perasaannya secara gamblang dan mereka berdua bahkan pernah berciuman sekali, namun hal itu tak semerta-merta mengindikasikan keduanya sebagai pasangan kekasih atau apa. Mereka tetap seperti ini, mereka nyaman dengan relasi ini, dan mungkin akan datang suatu saat yang tepat bagi keduanya untuk menjadikan sesuatu diantara mereka itu sebagai sebuah penyatu, sebab keduanya sendiri tahu, perasaan cinta sudah tumbuh di hati masing-masing dan tinggal menunggu waktu yang tepat untuk membuat semuanya jelas dan nyata.
Misaki tersenyum kecil.
* * * * * * * *
“Akhir-akhir ini kau senang sekali. ada apa?”
Satu pertanyaan tadi spontan mengagetkan Ryosuke dari keseriusannya menatap berbagai foto dalam album pribadinya. Kapalanya ditolehkan ke belakang, hanya untuk mendapati sang ayah tengah berdiri tepat dibelakangnya sambil menenteng setumpuk penuh strawberry dalam mangkuk di tangannya. Ryosuke nyengir, lalu memfungsikan tangan kirinya yang bebas dari lembaran album untuk mencomot satu strawberry dan memasukannya ke dalam mulut.
“Pfetsumni…” Jawabnya dengan mulut sibuk mengunyah strawberry. Otak cerdas Tsukasa sontak mentransisikan seuntai kata tak bermakna yang terlontar dari putranya itu menjadi satu kata yang mengandung arti.
“betsuni? Ne, tapi kenapa tiap hari kau senyam-senyum terus?” Pria 40nan tahun itu ikut mengambil tempat di sebelah Ryosuke. Dan seperti sang anak, Tsukasa ikut memasukan strawberry ke dalam mulut. Hanya saja sekali makan, Tsukasa bisa mencomot 2 buah.
“ii yo… tidak setiap hari. Sekarang aku hanya lihat-lihat foto lamaku dengan Umika. Aku belum punya foto baru dengannya sebagai Misaki soalnya...”
“Misaki…Umika itu? Tou-chan senang kau sudah menemukannya. Tapi kau benar-benar yakin mau terus –terusan membohonginya dan membiarkannya hidup sebagai Yukimura Misaki? Bagaimana jika suatu saat dia ingat? Kita tidak bisa menerka apa yang akan terjadi selanjutnya kan?” Tsukasa membrondong Ryosuke dengan beberapa pertanyaan sekaligus. Pemuda itu menggigit bibir, namun kemudian tersenyum lemah.
“Daijoubu… asalkan Umika bisa terus tersenyum, apa yang akan terjadi nanti tidak menjadi masalah buatku…”
Tsukasa menatap putranya lama, sambil terus memasukan strawberry ke dalam mulut dan baru berhenti setelah 5 buah memenuhi mulutnya.
“Tfersferah...tapfi akhfu sfudha mengfingathkfan…. ” ujarnya masih dengan mulut penuh strawberry. Ryosuke hanya nyengir, namun setelah beberapa detik, pemuda itu menyilangkan tanganya sambil mengusap-ngusap bahunya layaknya orang kedinginan.
“Kok tambah dingin ya?”
* * * * * * * *
Misaki melirik jam tangannya cemas. Waktu sudah menunjukan pukul 08.20 dan Ryosuke sama sekali belum menunjukan batang hidungnya. Khawatir—ditambah dosennya juga belum masuk kelas—Misaki lalu menghubungi pemuda itu. Setelah beberapa detik menunggu diangkat, terdengarlah jawaban dari seberang.
“Moshi-moshi?”
Misaki sedikit terlonjak ketika mendengar suara asing barusan. Jelas itu bukan suara Ryosuke. Lalu, itu suara siapa? Kenapa keitai Ryosuke bisa ada pada orang lain?
“Ah, moshi-moshi… anoo, ini keitai Ryosuke-kun kan? Bisa aku bicara dengannya?”
“Yukimura-san? Hai, ini keitai milik Ryosuke. Aku dokter pribadinya. Inoo-desu. Demo, Gomen ne. Ryosuke-kun sedang demam dan sekarang sedang istirahat jadi tidak bisa menjawab telpon…”
“Eh?! demam?” Misaki sedikit melonjak kaget. “Sou kah? Ah… arigatou kalau begitu..”
“Hai. Douitashimashita…”
Misaki menutup flip keitainya cepat. Bola matanya diarahkan ke depan hanya untuk memastikan kalau dosennya belum juga menampakkan diri. Berpikir agak lama, gadis itu kemudian mengenakan lagi tasnya dan melangkah keluar kelas. Beberapa pasang mata memandangnya kaget plus heran karena gadis yang terkenal paling pintar di jurusan—bahkan seangkatan mereka itu tiba-tiba bolos kuliah. Ada gerangan apa? Apa karena pemuda maha tampan pasangan duduknya yang biasa itu tidak datang?
Sementara Misaki tidak sama sekali ambil pusing dengan ragam tatapan itu. Entah kilat apa yang menyambar pikirannya, gadis itu hanya terkomando untuk keluar dari ruangan tersebut dan pergi kepada seseorang.
Menjenguk Ryosuke-nya tentu saja.
* * * * * * * *
“Nani kore???” Misaki bertanya pada dirinya sendiri dengan nada suara yang terdengar kagum luar biasa sembari tangannya menggenggam sepotong kertas berisi sebuah alamat yang didapatnya dari sekertariat kampus dan matanya memandang sebuah bangunan megah bercat putih murni berpelindung pagar tinggi menjulang didepannya. Sorot kekagumannya seolah tak mau lepas. Sebenarnya jika pemilik rumah bertipe istana itu tak dikenalnya, tentu ia hanya akan sekedar mengagumi. Namun, mengetahui bangunan megah itu adalah salah satu—hanya salah satu! Tebak punya berapa rumah dia?!—dari kediaman seorang Yamada Ryosuke, teman dekatnya selama 2 bulan terakhir itu jelas menambah efek WOW baginya. Jadi begini ternyata kehidupan pewaris tunggal kekayaan Yamada yang fenomenal.
Pelan-pelan gadis itu memencet tombol bel yang terletak disamping kiri pagar.
“ohayou gozaimaz… ada yang bisa kami bantu?” terdengar suara dari sebuah speaker mini diatas bel. Misaki tersentak kaget, namun sebisa mungkin menyembunyikannya. Maaf saja, ia tidak mau terlihat kolot saat ini.
“Anoo, aku ingin menjenguk Yamada Ryosuke-kun. Namaku—“
“AAH! Umika-sama?” gantian suara dari speaker itu yang terdengar kaget. Misaki sontak membantah.
“chigaimasu… Umika janai. Ah, Yukimura-desu. Yukimura Misaki… aku teman Ryosuke di kampus…”
“sou kah? oh, gomenasai nona. Kami pikir…. Ah, ii yo. Silahkan masuk…”
Pagar tinggi menjulang tadi tiba-tiba bergeser ke dua arah dan menyisakan satu ruang kosong lebar bagi Misaki untuk masuk. Tak jauh di depannya, berdiri seorang gadis berseragam maid yang tengah menunggunya.
“Silahkan saya antar kedalam nona…” ujar maid itu lembut. Misaki tersenyum kecil setengah keheranan, namun akhirnya mengikuti. Perjalanan keduanya menuju kamar Ryosuke nyaris menyita waktu 5 menit karena luasnya pekarangan depan serta bangunan rumahnya. Setelah sampai sempurna didepan kamar Ryosuke, maid tersebut langsung membuka pintu kamar. Didalam terlihat Ryosuke yang tengah tertidur pulas di kasurnya.
“Tuan muda sudah sakit sejak semalam dan pagi ini tambah parah. Tapi untunglah Inoo-sensei sudah datang dan memeriksanya. Katanya tuan muda cuma butuh istirahat beberapa hari …”
Misaki hanya terpaku di tempat sambil memandang kedalam.
“Silahkan masuk nona…”
“eh?” gadis itu mengernyit. “tidak apa-apa nih main masuk saja?”
“tidak apa-apa nona. Tuan muda selalu memperbolehkan siapapun temannya untuk masuk ke kamarnya. Apalagi nona datang untuk menjenguk. Tidak apa-apa…” maid itu tersenyum. Misaki menggigit bibir sambil menganggukan kepala.
“kalau begitu saya permisi…” pamit sang maid lalu menutup pintu. Misaki masih mematung beberapa detik sebelum akhirnya bergerak mendekati tempat tidur Ryosuke. Wajah pemuda itu merah dan nampak kepanasan. Misaki bahkan bisa mendengar deru nafasnya yang tak beraturan.
“Kau bisa sakit juga ternyata…” ujar gadis itu lembut. Tangan kanannya terangkat untuk mengusap kepala Ryosuke lembut. Ryosuke mengerang pelan, seolah menikmati sentuhan itu.
Senyum di bibir Misaki terkembang. Matanya yang sejak tadi memperhatikan lekat-lekat wajah Ryosuke kemudian berpindah ke sebuah album merah tua yang tergeletak disamping pemuda itu. Penasaran, misaki lalu membuka lembarannya. Iseng, kira-kira foto apa saja yang tersimpan didalam. Jemari lentiknya bergerak menyingkap lembaran isi album menuju satu lembar yang dibukanya secara acak.
Gadis itu tersentak.
Selembar foto itu memuat sosok Ryosuke yang tengah memeluk mesra seorang gadis. Di belakang mereka, latar suasana pantai berpasir putih dengan bentangan luas laut biru jenih terlihat memukau.
Kedua manik mata Misaki menatap lurus pada satu obyek yang membuatnya tercengang. Gadis itu, gadis dalam pelukan Ryosuke itu…wajah mereka sama! Demi Tuhan! Misaki sendiri bisa mengetahui dengan sekali melihat bahwa gadis itu adalah pantulan dirinya. Mereka benar-benar mirip. Sama persis. Bagaimana bisa? Mungkinkah itu dirinya? Tapi sejak kapan ia pernah berfoto dengan Ryosuke? Atau jangan-jangan….
Itukah Umika?
Jantung Misaki seketika berdetak 10 kali lebih cepat. Tangannya yang gemetar lalu menyingkap lembaran-lemabaran sebelumnya. Sama! Gadis dalam setiap foto masih berwajah sama dengannya.
“Na-Nani…?” bisiknya takut sekaligus sesak. Tubuhnya masih juga gemetar, jantungnya tak lagi berdetak senormalnya, keringatnya mengucur deras. Berkali-kali gadis itu menelan ludah guna menenangkan pikirannya. Namun tetap saja rasa itu masih menyingkapi. Takut dan sesak. Bagaimana mungkin wajah Umika yang telah tiada itu bisa sama persis dengannya?!
Satu gerakan di kasur tiba-tiba memecah konsentrasinya. Ryosuke mengerang kepanasan sambil sedikit membuka matanya. Samar, pemuda itu bisa menagkap seseorang tengah duduk di dekatnya.
“Umika… k-kau datang…” bisik pemuda itu terbata dan refleks memeluk Misaki hingga gadis itu terjatuh di tempat tidur bersamanya. Ryosuke memeluk tubuh Misaki erat, dan tak hanya itu saja. Ia juga langsung mencium bibir gadis itu lembut. Misaki dibuat terperangah oleh tindakan tiba-tiba Ryosuke itu, namun tak ayal, gadis itu juga membalas pelukan serta ciumannya.
“Umika, Ai shiteru …”
Apa dia bilang tadi?
“Jangan tinggalkan aku lagi… aku tidak bisa hidup tanpamu, Umika…”
Umika?
“Umika janai…” Misaki berbisik. Air mata tiba-tiba saja mengaliri pipinya. “Aku bukan Umika!” serunya kemudian melepaskan diri dari pelukan Ryosuke. Pemuda itu terkaget dari orientasinya tadi dan sontak tersadar.
“Umi—“
“AKU BUKAN UMIKA!” teriak Misaki frustrasi. “Aku bukan Umika! berhentilah memanggilku Umika! Aku bukan dia!!”
Ryosuke berusaha bangun dengan susah payah.“Misaki, gomenasai… aku ti—“
“Hentikan Ryosuke! Aku tahu! Selama ini kau tetap berpikir bahwa aku adalah Umika! Kau sendiri yang pernah bilang bahwa sampai kapanpun kau hanya akan mencintai Umika. Kau mendekatiku karena wajah kami sama kan?! Karena kau hanya menganggapku sebagai pengganti Umika, iya kan?!” Misaki menumpahkan semua emosinya. Hatinya akit, sangat sakit. Air matanya tak berhenti mengalir. Ryosuke terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Bagaimana mungkin Misaki dijadikannya sebagai pengganti Umika sementara gadis itu sendiri adalah Umika.
Secepat mungkin Misaki berlari keluar dari kamar Ryosuke. Pemuda itu ikut bangkit dari kasur, hendak mengejar. Namun baru beberapa langkah, ia sudah tersungkur ditanah karena kondisi badannya yang terlalu lemah.
“Misaki, matte!!” susah payah Ryosuke berteriak, namun tak sama sekali digubris Misaki yang sudah hilang dibalik pintu.
“Nee-chan?” satu panggilan familiar terdengar. Misaki menoleh kesamping dan menemukan sesosok pemda yang pernah dilihatnya di kampus dan dalam mimpinya dulu sedang menatapnya khawatir. Hati Misaki kembali terasa perih setelah menyadari panggilan tadi. ‘Nee-chan’. Hah, sudah tentu panggilan itu untuk Umika. Lihat! Bahkan, pemuda yang tak dikenalnya ini pun mengira dirinya adalah Umika.
“Aku bukan Umika…” balasnya tegas sebelum kemudian kembali berlari, melenyapkan dirinya dari kesalahpahaman ini dan pergi dari kehidupan milik seorang Umika.
To Be Continued
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar