CHAPTER 21
- Second chance -
“Kaa-chan, atashi wa… Umika, deshou?”
Yukimura Sayu membeku ditempatnya berdiri. Jantungnya bekerja sangat cepat. Matanya tak berkedip sama sekali menatap putrinya yang terduduk dilantai dengan wajah penuh tanda tanya. Akhirnya datang juga. Hari yang paling ditakutkan Sayu akhirnnya tiba. Putrinya mengetahui semuanya. Kebohongannya selama ini terbongkar.
Sekali lagi Ia akan kehilangan Misaki.
Suara Sayu terdengar gemetar.“M-Misaki, dengakan Kaa-chan dulu… itu…”
“Selama ini Kaa-chan membohongiku…Selama ini Kaa-chan menjadikan aku Yukimura Misaki …Padahal aku yang sebenarnya adalah Umika, iya kan?!” Misaki menarik kalung tadi bersamanya sembari bangkit berdiri. Sayu hanya menyentuh dada kirinya yang terasa nyaris meledak. Ia takut.
“Kenapa harus membohongiku? Kenapa Kaa-chan?!”seruan Misaki lalu terhenti sejenak. “Bahkan sekarang aku taktahu harus memanggilmu Kaa-chan lagi atau tidak!”
Sayu sontak menarik tangan Misaki. Ia tidak mau tidak dipanggil Kaa-chan. Ia tidak mau putrinya tidak memanggilnya Kaa-chan lagi.
“Misaki, Kaa-chan hanya…”
“Hanase!”Misaki menampik tangan Sayu. “Aku bukan Misaki!” Teriaknya sebelum cepat-cepat berlari keluar. Sayu hendak mengejar, namun baru beberapa langkah, wanita itu sudah terjembab di lantai karena kaki-kakinya lemas. Ia hanya bisa berteriak memanggil.
“Misaki, matte yo! Dengarkan Kaa-chan dulu! Misaki!!”
Misaki tidak mengubris. Gadis itu terus berlari bahkan menjauh dari rumahnya sendiri. Langkahnya tak teratur namun ia terus berusaha membentangkan jarak sejauh mungkin dari sang ibu. Hatinya terlalu sakit dibohongi seperti ini. Dan juga, itu berarti selama ini mereka benar. Mereka yang selama ini mengiranya sebagai Umika.. itu benar. Sekelompok orang itu, gadis yang menamparnya, gadis yang ditemuinya di kamar mandi, dan tentu saja Ryosuke. Dan apa yang telah dilakukannya pada pemuda itu? ia mejauhinya, menuduhnya sembarangan, bahkan nyaris membencinya. Padahal pemuda itu selalu ada untuknya, bahkan setelah ia melupakannya.
Ternyata, selama ini wajar jika ia begitu mudahnya mencintai Ryosuke. Pemuda itu adalah kekasihnya dulu.
Dan Misaki telah merusak semuanya, karena kebodohannya untuk tidak pernah sadar.
‘Tuhan telah memberiku kesempatan kedua untuk hidup. Dan kalau saja aku bisa kembali mengingat Ryosuke dan semua yang pernah kualami, aku rela menukarnnya dengan apapun…’ Ungkapnya dalam hati.
* * * * * * * *
“Ryosuke?” Mirai mengerutkan keningnya sambil menyerukan nama tersebut. Sosok yang dipanggil tadi berbalik. Keringat menetes perlahan dari pelipisnya.
“Mirai-chan…”
“Mau kemana buru-buru? Kamu nggak ikut ke rumah Daichan?” Tanya gadis itu sambil bergerak mendekati Ryosuke. Pemuda itu tersenyum kecil. Ia ingat, hari ini mereka memang ada janji untuk berkumpul di rumah Daiki untuk merayakan ulang tahun ibunda pemuda itu. Hanya saja, acaranya masih beberapa jam lagi. Selama waktu ini, Ryosuke berpikir untuk mendatangi kediaman Misaki sekaligus mencari tahu kisah sebenarnya dibalik kejadian siang tadi. Tentang Kamiki dan semuanya. Ryosuke harus tahu. Pemuda itu terlalu takut jikalau sekali lagi, Umikanya harus diambil darinya.
“Aku ada urusan sebentar…” Ryosuke menggaruk belakang keplanya agak ragu. “Nanti aku bakal datang kok…” Pemuda itu kembali tersenyum. Mirai mengangguk mengerti.
“Soal Misaki ya?” Sambung gadis itu spontan. Gantian Ryosuke yang mengangguk perlahan. “Suzu-chan sudah cerita.., dan kurasa memang benar. Umika harus tahu kebenarannya Ryosuke. Kita tidak bisa menyembunyikan semuanya terus…”
“Wakatta wa…” Ryosuke manggulirkan bola matanya dari kedua iris hitam Mirai. “Suatu saat, pasti. Aku yang akan mengatakan sendiri semuanya kepada Umika…Tapi mungkin belum sekarang…”
Mirai menarik nafas panjang. “Kau bisa terlambat Ryosuke… Umika bisa benar-benar melupakanmu…”
Kedua lensa mata Ryosuke kembali memakukan pandangan kepada Mirai . “Tidak Mirai-chan. Aku tidak akan pernah terlambat.” Pemuda itu tersenyum tipis. “Tuhan sudah memberiku kesempatan kedua untuk bisa tetap mencintainya, dan Aku akan selalu mencintainya, titik. Aku tidak peduli jika Umika tak bisa mengingat siapa aku lagi, karena asalkan dia bahagia, aku puas. Asalkan aku masih bisa melihat senyumannya, itu cukup. Aku rela menukarkan apapun untuk Umika. Apapun!”
Mirai menatap pemuda itu dalam diam. Hatinya tersentuh, dalam. Dan tanpa terasa, air mata sudah memenuhi kedua pelupuknya.
“Kau sangat mencintainya …” bisik gadis itu bersamaan dengan satu tetes air mata yang akhirnya lepas. Ryosuke memperlebar senyumannya lalu memeluk Mirai dan mengusap kepalanya lembut. Gadis inilah yang mengantarkannya pada Umika. Karena pernah mencintai Mirailah, Dia bisa mencintai Umika sampai seperti ini. Ryosuke harus berterima kasih pada Mirai sebab karenanya pula, hingga sekarang Ryosuke masih bisa bertahan menghadapi nasib cintanya yang banyak dilanda cobaan.
“Ganbatte ne…” Mirai sekali lagi berbisik.
“Un… Ganbarimas…” Pemuda itu memejamkan matanya sejenak. “Arigatou ne, Mirai-chan…”
* * * * * * * *
Misaki sudah terlalu lelah berlari. Sangat jauh. Bahkan ia sendiri tak tahu posisinya dimana sekarang. Meskipun begitu, ada sedikit kelegaan karena tak lagi melihat wajah ibunya. Atau kita sebut saja ibu palsunya. Misaki merasa dibohongi, tersakiti lebih jelasnya. Gadis itu hanya tak percaya wanita yang sudah diangapnya sebagai Ibunya sendiri selama nyaris setahun ini ternyata telah membohonginya, memberinya kenangan-kenangan palsu yang tak pernah dialaminya, dan lebih parah memisahkannya dari kehidupannya yang sebenarnya. Memisahkannya dari orang-orang yang mencintai dan dicintainya.
Misaki menyayangi Yukimura Sayu. Terlalu menyayanginya. Meskipun kenyataan mengatakan mereka tak memiliki hubungan darah apapun, Misaki tetap menganggap wanita itu sebagai ibunya sendiri.
Namun kenapa ia berbohong? Kenapa harus menyembunyikan kebenaran atas kehadirannya? Kenapa memisahkannya dari mereka yang mencintainya?
Salahnya memang tak bisa mengingat masa lalunya sendiri. Namun kenapa Sayu juga harus menciptakan kehidupan baru untuknya?
‘Aku hanyalah pengganti’. Itulah satu kalimat yang kemudian tercetak dalam benak gadis itu. Sekali lagi takdir menggariskannya. Ia tetap berstatus pengganti, sama seperti sebelumnya. Jika beberapa saat lalu ia adalah pengganti Umika, kini terbalik. Ia adalah pengganti Yukimura Misaki.
Satu tetesan bening nyaris tertumpah dari pelupuk matanya kalau saja Misaki tak segera menyekanya dengan punggung tangannya. Ia tidak boleh menangis, tidak untuk saat ini. ia hanya perlu mendinginkan kepala, mencari solusi, dan menyelesaikan semuanya. Ia hanya tinggkl memutuskan, kembali pada kehidupannya sebagai Umika atau tetap bersembunyi dalam cangkang nama Yukimura Misaki yang digunakannya selama ini.
Dan disaat itulah matanya menangkap sosok itu. Ryosuke. Nampak gusar melangkah diseberang jalan. Mobilnya terparkir di belakang, entah apa yang membuat pemuda itu tiba-tiba melepaskan kendaraannya tadi dan ganti berjalan kaki. Whatever, Misaki tidak peduli mau naik apa dia. Sekarang yang gadis itu inginkan hanya mendatanginya, menceritakan semunya, serta memnta maaf sebanyak-banyaknya atas kesalahannya selama ini. Karena ia tidak ingat apapun tetantang pemuda itu, karena ia telah mengatainya sembarangan, karena Kamiki, semuanya. Misaki ingin meminta maaf atas setiap kesalahan yang pernah dilakukannya pada pemuda itu. Setiap detailnya!
“Ryosuke!!!” Seru gadis itu lantang. Ryosuke sedikit mendengar namanya dipanggil dan mulai mencari sumber suara, sampai kedua matanya bertemu dengan kedua mata Misaki.
Gadis itu tersenyum meskipun sebelah matanya telah sukses menumpahkan tetes bening air mata. Ryosuke mengubah caranya menatap dari kaget menjadi cemas.
“Misaki?” bisiknya tak percaya. Sumpah, pemuda itu kaget. Kenapa Misaki bisa ada di jalanan begini? Tempat ini kan jauh dari rumahnya?
Misaki tidak sama sekali menghiraukan tatapan tak percaya pemuda di seberang. Senyumnya makin terkembang, mengantar langkahnya untuk bergerak mendekati Ryosuke. Jalanan nampak agak lenggang. Misaki segera mengambil lengkah cepat untuk menyebrang.
Tiba-tiba saja, rasa sakit itu datang dan seketika menyergap. Misaki merasakan kepalanya seolah tertusuk ribuan jarum. Gadis itu menghentikan larinya dan langsung terduduk di aspal. Kedua tangannya meremas kepalanya kuat-kuat.
“Arrrhh!!” Rintihnya menahan perih luar biasa. Saat itu pula terbesit cepat berbagai bayangan dalam benaknya. Seperti menonton film lama yang dipercepat durasinya, saat-saat yang dulu dilihatnya dalam bayang hitam-putih samar kali ini diputar jelas dan nyaris bersamaan.
Nafas Ryosuke tercekat begitu melihat Misaki sudah merintih kesakitan di tengah jalan. Dan bersamaan dengan itu, sebuah mini bus terlihat bergerak dari samping dengan kecepatan tinggi.
“UMIKA!!!!”
Aku telah diberi kesempatan kedua…
Tuhan telah memberiku kesempatan kedua…
…dan aku rela menukarnya dengan apapun.
BRAAAAAAAAAAAK
Bunyi besi yang beradu dengan daging dan tulang seketika terdengar.
*
PRANGG!
Pecahan sebuah gelas kaca sontak berserakan di lantai ruang rapat. Yamada Tsukasa menatap pecahan gelas keca tersebut agak takut. Tangannya gemetar, hatinya tiba-tiba saja terasa ngilu. Tak ayal lagi, pecahan itu memang bekas gelas yang terlepas dari tangannya.
“Yamada-san, Are you okay?” salah seorang rekan bisnisnya dalam ruang rapat menatapnya sedikit cemas melihat wajah konglomerat asal Jepang itu tiba-tiba saja memucat. Tsukasa mencoba tersenyum sebisa mungkin meskipun angin hatinya tengah berdesir hebat.
“It’s okay. I’m fine..” jawabnya pelan.
*
Misaki merasakan tubuhnya perih luar biasa akibat terlempar tiba-tiba dari posisinya semula. Kepala gadis itu masih terasa pening, namun serangan rasa sakit maha dashyat tadi tak lagi dirasakannya. Samar gadis itu membuka mata. Apakah dia sudah di surga? Meskipun tak memperhatikan, ia bisa merasakan ada mobil yang siap menabraknya saat terjembab karena rasa sakit tadi—hingga seseorang memanggilnya dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah terlempar.
Ia masih berada di lokasi yang sama. Bagaimana bisa? Bukankah ia tertabrak tadi? Seharusnya kan—
Tersadar, Misaki cepat-cepat menolah kebelakang.
Dan yang dilihatnya pertama kali adalah genangan merah yang terbentuk oleh tetesan darah yang mengalir dari kepala seorang pemuda. Pemuda yang dikenalinya sebagai Ryosuke Yamada!
“RYOSUKE!!!” Pekiknya seketika sambil berusaha bangkit dan mendekati tubuh pemuda itu yang terbaring ditanah. Bersamaan dengan teriakannya, kerumunan orang mulai ikut mendekati Ryosuke. Beberapa dari mereka ada yang sibuk mengurus sang sopir mini bus tadi agar tidak lari dari tanggung jawabnya telah menabrak seseorang.
“Ryosuke! Ryosuke! Bertahanlah!” Misaki mengangkat leher pemuda itu lalu menempatkan kepalanya hati-hati di pahanya. Tangannya ikut bergerak menutup sebersit luka di kepala Ryosuke yang masih mengucurkan darah. Misaki mulai menangis. “Ryosuke, kumohon sadarlah… Kau harus sadar! Aku sudah ingat semua Ryosuke! Kumohon! Kau juga harus sadar..!” Fokus gadis itu sejenak beralih kepada beberapa orang yang berkerumun menatap keduanya simpati. “Bisakah kalian memanggil ambulans!!! Aku mohon!!!! Cepatlah!!!” Misaki berteriak keras sambil terus menangis. Kerumunan itu lalu menyebar, mulai sibuk menghubungi beberapa rumah sakit.
“U-mika…” Ryosuke membuka matanya perlahan. Tangannya sekuat mungkin dicoba untuk terangkat lalu menghapus bulir air mata gadisnya itu lembut. “Ja-ngan m-me-nangis…” ujarnya lemah, nyaris menyerupai bisikan. Tangan kanan Umika—kita panggil saja begitu karena itu memang nama aslinya—menggenggam tangan pemuda itu kuat.
“Aku tidak akan menangis lagi. Aku berjanji. Karena itu, kau berjuang ya? Ambulans sebentar lagi akan datang dan kita akan segera tiba dirumah sakit. Wakata? Ne, Ryosuke? Kau harus tetap sadar!!” Umika meremas tangan Ryosuke kuat. Ia pernah belajar dari Suzuka, dalam keadaan kritis seperti ini, seorang pasien tidak boleh dibiarkan tertidur atau kehilangan kesadaran karena itu hanya akan memperlemah kondisinya. Karena itu, Ryosuke harus tetap membuka matanya. Ryosuke harus tetap bicara padanya. Ryosuke harus sadar! Ryosuke tidak boleh pergi!
Ryosuke tersenyum, lemah dan lama. Matanya nyaris tertutup namun sorotnya tetap ditujukan pada kedua iris hitam Umika.
“Ai shi-teru…” bisiknya sebelum sorot matanya benar-benar padam. Tangannya kehilangan tumpuan dan tertarik gravitasi lewat tangan Umika. Nyaris menyentuh tanah kalau Umika tak cepat-cepat menangkapnya.
Tubuh Ryosuke kini diam. Tak lagi menunjukan reaksi apapun.
“Ryosuke?” Umika mengguncangkan tangan pemuda itu. Tak ada reaksi. “Ryosuke?” panggilnya sekali lagi. Sama saja, Ryosuke tetap enggan membuka matanya.
“RYOSUKE!!!”
* * * * * * * *
Umika menghela nafasnya panjang sebelum memutar kenop pintu. Air matanya yang tak bisa ditahan menetes bebas tanpa ada yang menghapusnya. Seseorang yang seharunya selalu menghapus tetesan bening yang mengalir itu kini tidak ada.
Dia hanya terbaring disana. Diam. Dengan selang infuse, alat bantu nafas, dan beberapa kabel lain menjalari tubuhnya yang dibalut piama putih keabu-abuan. Bunyi mesin terdengar jelas dalam kesunyian ruangan tersebut. Umika meringis perih. Mesin-mesin itulah yang menyokong hidup Ryosuke setelah kecelakaan 2 minggu lalu nyaris merenggut nyawanya. Ia masih bisa diselamatkan, untunglah. Namun sejak saat itu, Ryosuke tidak pernah membuka matanya. Ia tertidur—koma untuk waktu yang tak bisa diprediksi dokter hingga kapan.
“Umika…” Mirai bersuara pelan ketika dilihatnya Umika muncul dari balik pintu yang terbuka. Yuto yang setengah tertidur di sampingnya langsung sadar sepenuhnya. Gadis yang disebutkan namanya itu hanya tersenyum lemah, lalu ikut mengambil tempat di sisi yang berlawanan dengan tempat duduk Mirai-Yuto tadi.
“bagaimana…?”tanyanya pelan. Hanya satu kata, namun baik Mirai maupun Yuto bisa menangkap maksudnya.
“Masih sama…” jawab Yuto tak kalah singkat. Umika hanya mengangguk. Ia mengerti. Kondisi Ryosuke memang tak pernah menunjukan tanda-tanda akan membaik hingga saat ini. Kedua tangannya menggenggam tangan Ryosuke kuat, berharap pemuda itu bisa merasakan betapa ia mencintai pemuda itu dan betapa ia menyesali tindakannya. Seharusnya ia yang ada seperti ini, bukan Ryosuke. Namun pemuda itu malah memilih menyelamatkan nyawanya.
Mirai dan Yuto menatap Umika iba. Semua nampak sangat tragis. Umika baru saja kembali mengingat Ryosuke namun kini pemuda itu malah terbaring tak berdaya dirumah sakit karena koma. Ia memang terlalu mencintai Umika, karena itu ia sampai merelakan nyawanya agar Umika selamat. Tapi tetap saja, semua terlalu tragis bagi mereka berdua. Seolah, takdir selalu memainkan kartu mati dalam perjalanan cinta mereka.
Keduanya mengalihkan fokus masing-masing dari Umika lalu saling menatap. Mereka yakin, Umika butuh waktu berdua dengan Ryosuke untuk yang kesekian kalinya. Dan mereka memberikannya. Yuto yang duluan bangkit lalu sedikit merenggangkan tubuhnya.
“Kami keluar beli kopi sebentar ya, Umika… Kalau ada sesuatu hubungi aku saja. Atau Tsukasa-oji san. Dia ada di ruangan Inoo sensei…” Mirai menarik tasnya dari meja. Umika kembali tersenyum lalu mengangguk.
Keduanya lalu keluar dari ruangan tersebut, meninggalkan Ryosuke yang terbaring dan Umika yang masih setia menggenggam tangannya.
“Ryosuke…” Umika berbisik di telinga pemuda itu. “Okinasai…”
Statis. Ryosuke masih bertahan dalam tidurnya.
“Aku tidak menangis sekarang, lihat… kita sudah berjanji kan? Jika aku tak menangis, kau akan bangun… karena itu, tepati janjimu… bangunlah…”
Ryosuke tetap tertidur. Umika menggigit bibir, sebisa mungkin menahan perih yang menyayat hatinya.
Gadis itu menatap Ryosuke lama. Nyaris 5 menit hanya mengamati pemuda itu tanpa melakukan apapun. Ia merenung.
Namun itu hanya pengantar. Sedetik berikutnya, tangan kanan gadis itu dilepas, lalu terjulur untuk mengambil sesuatu dari dalam tas. Sebuah cutter.
“Ryosuke…”Umika mengarahkan cutter itu ke pergelangan kirinya. “Kalau kau tetap tak mau bangun..., biarkan aku ikut tertidur bersamamu…” ujarnya lebih seperti bisikan. Ujung cutter nyaris menyentuh garis nadinya.
Sontak, satu gerakan terasa, berasal dari jemari Ryosuke yang masih tergenggam tangan kiri Umika. Gadis itu langsung melepaskan genggamannya.
Jemari Ryosuke kembali bergerak, mengejang lebih tepatnya. Hanya pergerakan kecil, namun cukup membuat tensi hati Umika meningkat. Pikirannya berkecamuk, menghasilkan satu kesimpulan: Ryosuke hanya akan bereaksi jika ia mencelakai dirinya sendiri, begitu kan?
Dan Umika mengulangi tindakannya tadi, hanya saja kali ini lebih ekstrim. Pergelangannya digores. Darah segar menetes perlahan bahkan mengenai tangan Ryosuke. Sakit memang, namun Umika sama sekali tidak peduli. Sekali lagi ia rela jika harus menukarkan apapun. Ia telah nyaris kehilangan Ryosuke hanya agar bisa mendapatkan ingatannya kembali. Dan kali ini, ia sangat bersedia kehilangan nyawaya sendiri asalkan Ryosuke bangun dari tidurnya. Asalkan Ryosuke bisa menjadi sebagaimana Ryosuke yang dikenalnya dulu. Ryosuke yang Egois, cerewet, keras kepala, dan bisa jadi sangat menyebalkan… Umika merindukan itu, terlebih setelah ingatannya telah sempurna kembali.
Dan seperti dugaannya, kali ini Ryosuke memberi reaksi lebih. Gelombang pengukur detak Jantung pemuda itu bergerak naik turun drastic di layar monitor EKG. Tangannya masih berkontraksi.
Umika menangis, dan perlahan mengecup pipi Ryosuke. Mungkin ini memang yang terbaik. Mungkin Ryosuke dan dirinya tak ditakdirkan untuk bersama. Dan dengan satu sayatan terakhir, Umika ingin mengakhiri semua. Pelan-pelan diarahkannnya sisi tajam cutter ke luka goresan tadi.
Ujung cutter kembali nyaris menyentuh tangannya, sedikit lagi…
Namun tiba-tiba saja terhenti oleh cengkraman seseorang. Kedua mata Umika membulat sempurna begitu menyadari tangan yang baru saja mencegahnya membunuh dirinya sendiri itu adalah tangan Ryosuke.
Pemuda itu mulai membuka matanya perlahan, sorotnya ditujukan pada satu-satunya manusia yang bersamanya diruangan itu. Umika mengerjap.
“bodohh..hh..apahh..yang..hhh…kau..hhh..lakukan..hhh…” suara Ryosuke terdengar menyerupai desahan. Alat bantu pernafasan memang sedikit mengganggu kalimatnya yang terlontar dengan volume sangat kecil. Namun tetap, Umika bisa mendengar dengan sangat jelas apa yang pemuda itu katakan. Wajahnya masih menatap tak percaya.
“R-Ryosuke?”
Ryosuke berusaha melepas alat bantu pernafasan dari mulutnya agar bisa bicara lebih jelas. Agak sulit, tetapi akhirnya berhasil setelah Umika membantunya.
“Apa yang kau pikirkan? Kenapa melakukan hal bodoh seperti itu?!” Ryosuke membentak. Meskipun suaranya masih lemah, intonasi yang digunakan pemuda itu cukup tinggi. Matanya menatap Umika tajam, campuran rasa marah, sakit dan takut.
Umika hanya menundukan kepala. Dari matanya kembali menetes bulir-bulir bening air mata.
“Aku takut kau pergi… aku tidak ingin kehilanganmu, Ryosuke…” Umika berbisik, nyaris tak terdengar. Ryosuke menatapnya lama, lalu berusaha bagun dari posisi berbaringnya. Kepalanya terasa pening, mungkin karena telah terbaring selama 2 minggu. Namun tak dihiraukannya rasa itu. Tubuhnya tetap berusaha di bangunkan, dan setelah ia bisa duduk, Pemuda itu lalu menarik Umika kedalam pelukannya.
“Gomenasai…” Ryosuke membiarkan Umika menumpahkan tangisnya di sela bahu dan lehernya. “Maaf sudah membuatmu khawatir…”
Umika hanya bisa menganggukkan kepalanya. Air mata masih terus menetes keluar.
“Selama ini aku mendengarmu, aku bisa mendengar kalian semua menangis. Gomen… Hanya saja, setiap kali aku berusaha bangun, aku tidak bisa. Selalu ada yang menahanku untuk tak membuka mata… sekali lagi maafkan aku… maaf karena aku sudah membuatmu menangis seperti ini. Maaf aku baru bisa terbangun sekarang…”
Umika kembali menggangguk. Ia tidak bisa mengatakan apa-apa. Baik hati maupun Pikirannya sudah dipenuhi berbagai macam hal. Namun lebih dari pada itu rasa lega lah yang mendominasi. Syukurlah, Ryosuke bisa kembali. Syukurlah Ryosuke telah dibangunkan dan kembali padanya.
“Arigatou…” Umika menarik dirinya dari bahu Ryosuke lalu menatapnya lama. Air mata tetap tak berhenti mengalir. “Arigatou…” ucapnya lagi perlahan.
Ryosuke hanya tersenyum. Umika memajukan wajahnya lalu mencium bibir pemuda itu lama. Bibirnya terasa dingin, Namun yang Umika rasakan adalah kehangatan yang seolah merembes keluar dari hatinya.
“Ai shiteru…”
…Mungkin kesempatan kedua tidak mengharuskanku berkorban untukmu… tapi kembali memilikimu seperti kamu yang dulu…
chapter 21 end
----------------------------------------------------------------------------------------
EPILOGUE
The Day we always Dream about
5 years later…
“Sudah siap?” Chinen Suzuka tersenyum lembut. Dibelakangnya, Shida Mirai dan Tsugunaga Momoko ikut melakukan hal yang sama sembari mendekati gadis yang dipanggil tadi.
Gadis itu sendiri mengangguk mantap. Senyuman menisnya terulas, menambah pancaran kecantikan yang terlihat darinya hari ini.
Umika Kawashima mengangkat wajahnya lalu berdiri. Sosoknya yang terbalut gaun putih panjang yang indah nampak sangat menawan. Sangat cantik. Sebuah cadar yang belum menutupi wajahnya terpasang rapi bersama mahkota diatas tatanan rambutnya yang juga tak kalah indah. Maklum, penampilan Umika kali ini adalah hasil kerja keras Mirai, Momoko, dan Suzuka. Mereka bertigalah yang selama ini sibuk mengatur bagaimana Umika harus tampil di hari paling special dalam hidupnya ini.
Tawa Umika nyaris terlepas ketika melihat tiba-tiba saja Mirai dan Momoko sudah mengelap mata masing-masing dengan sapu tangan karena entah kenapa mengeluarkan air mata. “Ne, Mirai-chan, Momo… kenapa kalian menangis?” Tanyanya seolah kaget. Mirai dan Momoko setengah tertawa, setengah kembali memproduksi air mata.
“Aku hanya terlalu bahagia, Umi-chan… akhirnya setelah semua yang terjadi selama ini, kau dan Ryosuke bisa bersama…” Mirai menjawab. Umika tak bisa berkata-kata, hanya tersenyum. Gadis itu bahkan nyaris ikut menangis.
“Aku terharu…” Sambung Momoko. Umika ikut menyunggingkan senyumnya ke arah gadis itu. Sementara Suzuka yang berdiri di sampingnya hanya memainkan alis.
“Bilang saja terharu karena Umi-chan sudah mendahului kalian menikah…” komentarnya asal. Spontan, Mirai dan Momoko mengerucutkan bibir.
“Tau deh yang sudah menikah…” jawab Mirai. Suzuka hanya nyengir menyadari sindiran tadi ditujukan padanya mengingat statusnya kini yang telah beralih menjadi Nyonya Chinen. Umika sendiri tertawa juga akhirnya setelah sebelumnya tertahan.
Tok! Tok!
“Ladies… sudah siap? Upacaranya akan segera dimulai…” Kepala milik Chinen Yuri tiba-tiba saja sudah menyembul dari balik pintu, diikuti kepala milik Ryutaro. Keempat wanita berusia rata-rata 24—kecuali Umika yang baru 23 tahun—dalam ruangan itu sontak saling menggerling. 3 dari mereka duluan keluar, meninggalkan Umika yang masih mengatur nafasnya sejenak.
“Gugup?” Ryutaro tersenyum jahil pada kakak perempuannya yang nampak cantik sekali hari ini. Umika menggeleng, ikut tersenyum.
“Iku yo…”
*
Alunan musik mulai terdengar, memberikan kode nonverbal bagi Ryosuke untuk memutar tubuhnya ke belakang bersamaan dengan dibukanya pintu gereja. Samar, sudut mata pemuda itu bisa melihat Yuto tengah nyengir heboh menatapnya.
Cahaya dari luar sontak menyusup masuk, mengantar kemunculan seorang gadis yang melangkah anggun dengan adik lelakinya berdiri disamping dan merangkulnya. Wajah gadis itu tertutup cadar, namun transparan. Cukup bagi kedua mata Ryosuke untuk bisa melihatnya. Ia cantik. Sangat cantik. Labih cantik dari apapun yang pernah dilihatnya di dunia ini. Pemuda itu tersenyum.
Ryutaro menyelesaikan tugasnya dengan mengantarkan sang kakak tercinta kesamping Ryosuke. Pemuda itu ikut tersenyum lalu mengambil posisi di barisan depan altar, tepat diantara kekasihnya Kanon dan Ibu angkatnya sekarang, Yukimura Sayu. Umika memang telah memaafkan Sayu, dan bersedia dijadikan anak angkat olehnya. Umika mengerti, Sayu kesepian karena tak lagi punya keluarga dekat dan gadis itu seolah mengabulkan permohonan Sayu ketika ia dan Ryuu bersedia dijadikan anaknya. Hanya anak angkat memang, namun Sayu sudah merasa sangat bahagia akan hal itu.
Disamping mereka ada Momoko dan Daiki. Lalu Chinen dan istrinya Suzuka. Diantara mereka berdelapan, Kedua manusia itulah memang yang duluan menikah setahun lalu.
Di bangku seberang, berdiri Yamada Tsukasa bersama sahabat-sahabatnya, orang tua dari Chinen, Yuto, Mirai dan Daiki. Wajah pria itu nampak cerah, jelas sekali kebahagiaan seolah memenuhi seluruh relung hatinya. Tentu saja, hari ini pernikahan putranya satu-satunya.
Kembali kepada Umika dan Ryosuke. Keduanya saling bertatapan sesaat sebelum memfokuskan perhatian mereka pada pastor yang sudah memulai Upacara pernikahan. Keduanya ternsenyum, sama sekali tak merasa gugup.
Hari ini akhirnya tiba, keduanya akhirnya bisa bersama dalam ikatan pernikahan.
Dan tepat setelah kalimat ‘kau boleh mencium pengantinmu…’ terdengar, Ryosuke langsung mengangkat cadar Umika perlahan, lalu menciumnya lembut dan lama…
Selalu ada akhir yang bahagia, bukan?
The Dream Lovers 2
-end-
--------------------------------------------------------------------------------------------
Kyaa!! Akhirnya selesai juga~
Gomen Minaa, endingnya maksa banget.. soalnya aku harus cepetan nyelesain ini karna mingggu depan aku ada ujian dan nggak dibolehin inetan..
ehehehe..
Kritik dan saran ditunggu YO~
Gomen Minaa, endingnya maksa banget.. soalnya aku harus cepetan nyelesain ini karna mingggu depan aku ada ujian dan nggak dibolehin inetan..
ehehehe..
Kritik dan saran ditunggu YO~