Sabtu, 31 Maret 2012

[fic] : The Dream Lovers 2 - second chance - Last Chapter + Epilog



CHAPTER 21
- Second chance -

“Kaa-chan, atashi wa… Umika, deshou?”

Yukimura Sayu membeku ditempatnya berdiri. Jantungnya bekerja sangat cepat. Matanya tak berkedip sama sekali menatap putrinya yang terduduk dilantai dengan wajah penuh tanda tanya. Akhirnya datang juga. Hari yang paling ditakutkan Sayu akhirnnya tiba. Putrinya mengetahui semuanya. Kebohongannya selama ini terbongkar.

Sekali lagi Ia akan kehilangan Misaki.

Suara Sayu terdengar gemetar.“M-Misaki, dengakan Kaa-chan dulu… itu…”

“Selama ini Kaa-chan membohongiku…Selama ini Kaa-chan menjadikan aku Yukimura Misaki …Padahal aku yang sebenarnya adalah Umika, iya kan?!” Misaki menarik kalung tadi bersamanya sembari bangkit berdiri. Sayu hanya menyentuh dada kirinya yang terasa nyaris meledak. Ia takut.

“Kenapa harus membohongiku? Kenapa Kaa-chan?!”seruan Misaki lalu terhenti sejenak. “Bahkan sekarang aku taktahu harus memanggilmu Kaa-chan lagi atau tidak!”

Sayu sontak menarik tangan Misaki. Ia tidak mau tidak dipanggil Kaa-chan. Ia tidak mau putrinya tidak memanggilnya Kaa-chan lagi.

“Misaki, Kaa-chan hanya…”

“Hanase!”Misaki menampik tangan Sayu. “Aku bukan Misaki!” Teriaknya sebelum cepat-cepat berlari keluar. Sayu hendak mengejar, namun baru beberapa langkah, wanita itu sudah terjembab di lantai karena kaki-kakinya lemas. Ia hanya bisa berteriak memanggil.

“Misaki, matte yo! Dengarkan Kaa-chan dulu! Misaki!!”

Misaki tidak mengubris. Gadis itu terus berlari bahkan menjauh dari rumahnya sendiri. Langkahnya tak teratur namun ia terus berusaha membentangkan jarak sejauh mungkin dari sang ibu. Hatinya terlalu sakit dibohongi seperti ini. Dan juga, itu berarti selama ini mereka benar. Mereka yang selama ini mengiranya sebagai Umika.. itu benar. Sekelompok orang itu, gadis yang menamparnya, gadis yang ditemuinya di kamar mandi, dan tentu saja Ryosuke. Dan apa yang telah dilakukannya pada pemuda itu? ia mejauhinya, menuduhnya sembarangan, bahkan nyaris membencinya. Padahal pemuda itu selalu ada untuknya, bahkan setelah ia melupakannya.
Ternyata, selama ini wajar jika ia begitu mudahnya mencintai Ryosuke. Pemuda itu adalah kekasihnya dulu.

Dan Misaki telah merusak semuanya, karena kebodohannya untuk tidak pernah sadar.

‘Tuhan telah memberiku kesempatan kedua untuk hidup. Dan kalau saja aku bisa kembali mengingat Ryosuke dan semua yang pernah kualami, aku rela menukarnnya dengan apapun…’  Ungkapnya dalam hati.

* * * * * * * *

“Ryosuke?” Mirai mengerutkan keningnya sambil menyerukan nama tersebut. Sosok yang dipanggil tadi berbalik. Keringat menetes perlahan dari pelipisnya.

“Mirai-chan…”

“Mau kemana buru-buru? Kamu nggak ikut ke rumah Daichan?” Tanya gadis itu sambil bergerak mendekati Ryosuke. Pemuda itu tersenyum kecil. Ia ingat, hari ini mereka memang ada janji untuk berkumpul di rumah Daiki untuk merayakan ulang tahun ibunda pemuda itu. Hanya saja, acaranya masih beberapa jam lagi. Selama waktu ini, Ryosuke berpikir untuk mendatangi kediaman Misaki sekaligus mencari tahu kisah sebenarnya dibalik kejadian siang tadi. Tentang Kamiki dan semuanya. Ryosuke harus tahu. Pemuda itu terlalu takut jikalau sekali lagi, Umikanya harus diambil darinya.

“Aku ada urusan sebentar…” Ryosuke menggaruk belakang keplanya agak ragu. “Nanti aku bakal datang kok…” Pemuda itu kembali tersenyum. Mirai mengangguk mengerti.

“Soal Misaki ya?” Sambung gadis itu spontan. Gantian Ryosuke yang mengangguk perlahan. “Suzu-chan sudah cerita.., dan kurasa memang benar. Umika harus tahu kebenarannya Ryosuke. Kita tidak bisa menyembunyikan semuanya terus…”

“Wakatta wa…” Ryosuke manggulirkan bola matanya dari kedua iris hitam Mirai. “Suatu saat, pasti. Aku yang akan mengatakan sendiri semuanya kepada Umika…Tapi mungkin belum sekarang…”

Mirai menarik nafas panjang. “Kau bisa terlambat Ryosuke… Umika bisa benar-benar melupakanmu…”

Kedua lensa mata Ryosuke kembali memakukan pandangan kepada Mirai . “Tidak Mirai-chan. Aku tidak akan pernah terlambat.” Pemuda itu tersenyum tipis. “Tuhan sudah memberiku kesempatan kedua untuk bisa tetap mencintainya, dan Aku akan selalu mencintainya, titik. Aku tidak peduli jika Umika tak bisa mengingat siapa aku lagi, karena asalkan dia bahagia, aku puas. Asalkan aku masih bisa melihat senyumannya, itu cukup. Aku rela menukarkan apapun untuk Umika. Apapun!”

Mirai menatap pemuda itu dalam diam. Hatinya tersentuh, dalam. Dan tanpa terasa, air mata sudah memenuhi kedua pelupuknya.

“Kau sangat mencintainya …” bisik gadis itu bersamaan dengan satu tetes air mata yang akhirnya lepas. Ryosuke memperlebar senyumannya lalu memeluk Mirai dan mengusap kepalanya lembut. Gadis inilah yang mengantarkannya pada Umika. Karena pernah mencintai Mirailah, Dia bisa mencintai Umika sampai seperti ini. Ryosuke harus berterima kasih pada Mirai sebab karenanya pula, hingga sekarang Ryosuke masih bisa bertahan menghadapi nasib cintanya yang banyak dilanda cobaan.

“Ganbatte ne…” Mirai sekali lagi berbisik.

“Un… Ganbarimas…” Pemuda itu memejamkan matanya sejenak. “Arigatou ne, Mirai-chan…”


* * * * * * * *

Misaki sudah terlalu lelah berlari. Sangat jauh. Bahkan ia sendiri tak tahu posisinya dimana sekarang. Meskipun begitu, ada sedikit kelegaan karena tak lagi melihat wajah ibunya. Atau kita sebut saja ibu palsunya. Misaki merasa dibohongi, tersakiti lebih jelasnya. Gadis itu hanya tak percaya wanita yang sudah diangapnya sebagai Ibunya sendiri selama nyaris setahun ini ternyata telah membohonginya, memberinya kenangan-kenangan palsu yang tak pernah dialaminya, dan lebih parah memisahkannya dari kehidupannya yang sebenarnya. Memisahkannya dari orang-orang yang mencintai dan dicintainya.
Misaki menyayangi Yukimura Sayu. Terlalu menyayanginya. Meskipun kenyataan mengatakan mereka tak memiliki hubungan darah apapun, Misaki tetap menganggap wanita itu sebagai ibunya sendiri.
Namun kenapa ia berbohong? Kenapa harus menyembunyikan kebenaran atas kehadirannya? Kenapa memisahkannya dari mereka yang mencintainya?
Salahnya memang tak bisa mengingat masa lalunya sendiri. Namun kenapa Sayu juga harus menciptakan kehidupan baru untuknya?

‘Aku hanyalah pengganti’. Itulah satu kalimat yang kemudian tercetak dalam benak gadis itu. Sekali lagi takdir menggariskannya. Ia tetap berstatus pengganti, sama seperti sebelumnya. Jika beberapa saat lalu ia adalah pengganti Umika, kini terbalik. Ia adalah pengganti Yukimura Misaki.

Satu tetesan bening nyaris tertumpah dari pelupuk matanya kalau saja Misaki tak segera menyekanya dengan punggung tangannya. Ia tidak boleh menangis, tidak untuk saat ini. ia hanya perlu mendinginkan kepala, mencari solusi, dan menyelesaikan semuanya. Ia hanya tinggkl memutuskan, kembali pada kehidupannya sebagai Umika atau tetap bersembunyi dalam cangkang nama Yukimura Misaki yang digunakannya selama ini.

Dan disaat itulah matanya menangkap sosok itu. Ryosuke. Nampak gusar melangkah diseberang jalan. Mobilnya terparkir di belakang, entah apa yang membuat pemuda itu tiba-tiba melepaskan kendaraannya tadi dan ganti berjalan kaki. Whatever, Misaki tidak peduli mau naik apa dia. Sekarang yang gadis itu inginkan hanya mendatanginya, menceritakan semunya, serta memnta maaf sebanyak-banyaknya atas kesalahannya selama ini. Karena ia tidak ingat apapun tetantang pemuda itu, karena ia telah mengatainya sembarangan, karena Kamiki, semuanya. Misaki ingin meminta maaf atas setiap kesalahan yang pernah dilakukannya pada pemuda itu. Setiap detailnya!

“Ryosuke!!!” Seru gadis itu lantang. Ryosuke sedikit mendengar namanya dipanggil dan mulai mencari sumber suara, sampai kedua matanya bertemu dengan kedua mata Misaki.
Gadis itu tersenyum meskipun sebelah matanya telah sukses menumpahkan tetes bening air mata. Ryosuke mengubah caranya menatap dari kaget menjadi cemas.

“Misaki?” bisiknya tak percaya. Sumpah, pemuda itu kaget. Kenapa Misaki bisa ada di jalanan begini? Tempat ini kan jauh dari rumahnya?

Misaki tidak sama sekali menghiraukan tatapan tak percaya pemuda di seberang. Senyumnya makin terkembang, mengantar langkahnya untuk bergerak mendekati Ryosuke. Jalanan nampak agak lenggang. Misaki segera mengambil lengkah cepat untuk menyebrang.

Tiba-tiba saja, rasa sakit itu datang dan seketika menyergap. Misaki merasakan kepalanya seolah tertusuk ribuan jarum. Gadis itu menghentikan larinya dan langsung terduduk di aspal. Kedua tangannya meremas kepalanya kuat-kuat.

“Arrrhh!!” Rintihnya menahan perih luar biasa. Saat itu pula terbesit cepat berbagai bayangan dalam benaknya. Seperti menonton film lama yang dipercepat durasinya, saat-saat yang dulu dilihatnya dalam bayang hitam-putih samar kali ini diputar jelas dan nyaris bersamaan.

Nafas Ryosuke tercekat begitu melihat Misaki sudah merintih kesakitan di tengah jalan. Dan bersamaan dengan itu, sebuah mini bus terlihat bergerak dari samping dengan kecepatan tinggi.

“UMIKA!!!!”

Aku telah diberi kesempatan kedua…

Tuhan telah memberiku kesempatan kedua…

…dan aku rela menukarnya dengan apapun.

BRAAAAAAAAAAAK
Bunyi besi yang beradu dengan daging dan tulang seketika terdengar.

*

PRANGG!

Pecahan sebuah gelas kaca sontak berserakan di lantai ruang rapat. Yamada Tsukasa menatap pecahan gelas keca tersebut agak takut. Tangannya gemetar, hatinya tiba-tiba saja terasa ngilu. Tak ayal lagi, pecahan itu memang bekas gelas yang terlepas dari tangannya.

“Yamada-san, Are you okay?” salah seorang rekan bisnisnya dalam ruang rapat menatapnya sedikit cemas melihat wajah konglomerat asal Jepang itu tiba-tiba saja memucat. Tsukasa mencoba tersenyum sebisa mungkin meskipun angin hatinya tengah berdesir hebat.

“It’s okay. I’m fine..” jawabnya pelan.

*

Misaki merasakan tubuhnya perih luar biasa akibat terlempar tiba-tiba dari posisinya semula. Kepala gadis itu masih terasa pening, namun serangan rasa sakit maha dashyat tadi tak lagi dirasakannya. Samar gadis itu membuka mata. Apakah dia sudah di surga? Meskipun tak memperhatikan, ia bisa merasakan ada mobil yang siap menabraknya saat terjembab karena rasa sakit tadi—hingga seseorang memanggilnya dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah terlempar.

Ia masih berada di lokasi yang sama. Bagaimana bisa? Bukankah ia tertabrak tadi? Seharusnya kan—

Tersadar, Misaki cepat-cepat menolah kebelakang.

Dan yang dilihatnya pertama kali adalah genangan merah yang terbentuk oleh tetesan darah yang mengalir dari kepala seorang pemuda. Pemuda yang dikenalinya sebagai Ryosuke Yamada!

“RYOSUKE!!!” Pekiknya seketika sambil berusaha bangkit dan mendekati tubuh pemuda itu yang terbaring ditanah. Bersamaan dengan teriakannya, kerumunan orang mulai ikut mendekati Ryosuke. Beberapa dari mereka ada yang sibuk mengurus sang sopir mini bus tadi agar tidak lari dari tanggung jawabnya telah menabrak seseorang.
“Ryosuke! Ryosuke! Bertahanlah!” Misaki mengangkat leher pemuda itu lalu menempatkan kepalanya hati-hati di pahanya. Tangannya ikut bergerak menutup sebersit luka di kepala Ryosuke yang masih mengucurkan darah. Misaki mulai menangis. “Ryosuke, kumohon sadarlah… Kau harus sadar! Aku sudah ingat semua Ryosuke! Kumohon! Kau juga harus sadar..!” Fokus gadis itu sejenak beralih kepada beberapa orang yang berkerumun menatap keduanya simpati. “Bisakah kalian memanggil ambulans!!! Aku mohon!!!! Cepatlah!!!” Misaki berteriak keras sambil terus menangis. Kerumunan itu lalu menyebar, mulai sibuk menghubungi beberapa rumah sakit.

“U-mika…” Ryosuke membuka matanya perlahan. Tangannya sekuat mungkin dicoba untuk terangkat lalu menghapus bulir air mata gadisnya itu lembut. “Ja-ngan m-me-nangis…” ujarnya lemah, nyaris menyerupai bisikan. Tangan kanan Umika—kita panggil saja begitu karena itu memang nama aslinya—menggenggam tangan pemuda itu kuat.

“Aku tidak akan menangis lagi. Aku berjanji. Karena itu, kau berjuang ya? Ambulans sebentar lagi akan datang dan kita akan segera tiba dirumah sakit. Wakata? Ne, Ryosuke? Kau harus tetap sadar!!” Umika meremas tangan Ryosuke kuat. Ia pernah belajar dari Suzuka, dalam keadaan kritis seperti ini, seorang pasien tidak boleh dibiarkan tertidur atau kehilangan kesadaran karena itu hanya akan memperlemah kondisinya. Karena itu, Ryosuke harus tetap membuka matanya. Ryosuke harus tetap bicara padanya. Ryosuke harus sadar! Ryosuke tidak boleh pergi!

Ryosuke tersenyum, lemah dan lama. Matanya nyaris tertutup namun sorotnya tetap ditujukan pada kedua iris hitam Umika.

“Ai shi-teru…” bisiknya sebelum sorot matanya benar-benar padam. Tangannya kehilangan tumpuan dan tertarik gravitasi lewat tangan Umika. Nyaris menyentuh tanah kalau Umika tak cepat-cepat menangkapnya.

Tubuh Ryosuke kini diam. Tak lagi menunjukan reaksi apapun.

“Ryosuke?” Umika mengguncangkan tangan pemuda itu. Tak ada reaksi. “Ryosuke?” panggilnya sekali lagi. Sama saja, Ryosuke tetap enggan membuka matanya.

“RYOSUKE!!!”

* * * * * * * *

Umika menghela nafasnya panjang sebelum memutar kenop pintu. Air matanya yang tak bisa ditahan menetes bebas tanpa ada yang menghapusnya. Seseorang yang seharunya selalu menghapus tetesan bening yang mengalir itu kini tidak ada.

Dia hanya terbaring disana. Diam. Dengan selang infuse, alat bantu nafas, dan beberapa kabel lain menjalari tubuhnya yang dibalut piama putih keabu-abuan. Bunyi mesin terdengar jelas dalam kesunyian ruangan tersebut. Umika meringis perih. Mesin-mesin itulah yang menyokong hidup Ryosuke setelah kecelakaan 2 minggu lalu nyaris merenggut nyawanya. Ia masih bisa diselamatkan, untunglah. Namun sejak saat itu, Ryosuke tidak pernah membuka matanya. Ia tertidur—koma untuk waktu yang tak bisa diprediksi dokter hingga kapan.

“Umika…” Mirai bersuara pelan ketika dilihatnya Umika muncul dari balik pintu yang terbuka. Yuto yang setengah tertidur di sampingnya langsung sadar sepenuhnya. Gadis yang disebutkan namanya itu hanya tersenyum lemah, lalu ikut mengambil tempat di sisi yang berlawanan dengan tempat duduk Mirai-Yuto tadi.

“bagaimana…?”tanyanya pelan. Hanya satu kata, namun baik Mirai maupun Yuto bisa menangkap maksudnya.

“Masih sama…” jawab Yuto tak kalah singkat. Umika hanya mengangguk. Ia mengerti. Kondisi Ryosuke memang tak pernah menunjukan tanda-tanda akan membaik hingga saat ini. Kedua tangannya menggenggam tangan Ryosuke kuat, berharap pemuda itu bisa merasakan betapa ia mencintai pemuda itu dan betapa ia menyesali tindakannya. Seharusnya ia yang ada seperti ini, bukan Ryosuke. Namun pemuda itu malah memilih menyelamatkan nyawanya.

Mirai dan Yuto menatap Umika iba. Semua nampak sangat tragis. Umika baru saja kembali mengingat Ryosuke namun kini pemuda itu malah terbaring tak berdaya dirumah sakit karena koma. Ia memang terlalu mencintai Umika, karena itu ia sampai merelakan nyawanya agar Umika selamat. Tapi tetap saja, semua terlalu tragis bagi mereka berdua. Seolah, takdir selalu memainkan kartu mati dalam perjalanan cinta mereka.
Keduanya mengalihkan fokus masing-masing dari Umika lalu saling menatap. Mereka yakin, Umika butuh waktu berdua dengan Ryosuke untuk yang kesekian kalinya. Dan mereka memberikannya. Yuto yang duluan bangkit lalu sedikit merenggangkan tubuhnya.

“Kami keluar beli kopi sebentar ya, Umika… Kalau ada sesuatu hubungi aku saja. Atau Tsukasa-oji san. Dia ada di ruangan Inoo sensei…” Mirai menarik tasnya dari meja. Umika kembali tersenyum lalu mengangguk.
Keduanya lalu keluar dari ruangan tersebut, meninggalkan Ryosuke yang terbaring dan Umika yang masih setia menggenggam tangannya.

“Ryosuke…” Umika berbisik di telinga pemuda itu. “Okinasai…”

Statis. Ryosuke masih bertahan dalam tidurnya.

“Aku tidak menangis sekarang, lihat… kita sudah berjanji kan? Jika aku tak menangis, kau akan bangun… karena itu, tepati janjimu… bangunlah…”

Ryosuke tetap tertidur. Umika menggigit bibir, sebisa mungkin menahan perih yang menyayat hatinya.

Gadis itu menatap Ryosuke lama. Nyaris 5 menit hanya mengamati pemuda itu tanpa melakukan apapun. Ia merenung.

Namun itu hanya pengantar. Sedetik berikutnya, tangan kanan gadis itu dilepas, lalu terjulur untuk mengambil sesuatu dari dalam tas. Sebuah cutter.

“Ryosuke…”Umika mengarahkan cutter itu ke pergelangan kirinya. “Kalau kau tetap tak mau bangun..., biarkan aku ikut tertidur bersamamu…” ujarnya lebih seperti bisikan. Ujung cutter nyaris menyentuh garis nadinya.

Sontak, satu gerakan terasa, berasal dari jemari Ryosuke yang masih tergenggam tangan kiri Umika. Gadis itu langsung melepaskan genggamannya.

Jemari Ryosuke kembali bergerak, mengejang lebih tepatnya. Hanya pergerakan kecil, namun cukup membuat tensi hati Umika meningkat. Pikirannya berkecamuk, menghasilkan satu kesimpulan: Ryosuke hanya akan bereaksi jika ia mencelakai dirinya sendiri, begitu kan?

Dan Umika mengulangi tindakannya tadi, hanya saja kali ini lebih ekstrim. Pergelangannya digores. Darah segar menetes perlahan bahkan mengenai tangan Ryosuke. Sakit memang, namun Umika sama sekali tidak peduli. Sekali lagi ia rela jika harus menukarkan apapun. Ia telah nyaris kehilangan Ryosuke hanya agar bisa mendapatkan ingatannya kembali. Dan kali ini, ia sangat bersedia kehilangan nyawaya sendiri asalkan Ryosuke bangun dari tidurnya. Asalkan Ryosuke bisa menjadi sebagaimana Ryosuke yang dikenalnya dulu. Ryosuke yang Egois, cerewet, keras kepala, dan bisa jadi sangat menyebalkan… Umika merindukan itu, terlebih setelah ingatannya telah sempurna kembali.

Dan seperti dugaannya, kali ini Ryosuke memberi reaksi lebih. Gelombang pengukur detak Jantung pemuda itu bergerak naik turun drastic di layar monitor EKG. Tangannya masih berkontraksi.

Umika menangis, dan perlahan mengecup pipi Ryosuke. Mungkin ini memang yang terbaik. Mungkin Ryosuke dan dirinya tak ditakdirkan untuk bersama. Dan dengan satu sayatan terakhir, Umika ingin mengakhiri semua. Pelan-pelan diarahkannnya sisi tajam cutter ke luka goresan tadi.

Ujung cutter kembali nyaris menyentuh tangannya, sedikit lagi…

Namun tiba-tiba saja terhenti oleh cengkraman seseorang. Kedua mata Umika membulat sempurna begitu menyadari tangan yang baru saja mencegahnya membunuh dirinya sendiri itu adalah tangan Ryosuke.

Pemuda itu mulai membuka matanya perlahan, sorotnya ditujukan pada satu-satunya manusia yang bersamanya diruangan itu. Umika mengerjap.

“bodohh..hh..apahh..yang..hhh…kau..hhh..lakukan..hhh…” suara Ryosuke terdengar menyerupai desahan. Alat bantu pernafasan memang sedikit mengganggu kalimatnya yang terlontar dengan volume sangat kecil. Namun tetap, Umika bisa mendengar dengan sangat jelas apa yang pemuda itu katakan. Wajahnya masih menatap tak percaya.

“R-Ryosuke?”

Ryosuke berusaha melepas alat bantu pernafasan dari mulutnya agar bisa bicara lebih jelas. Agak sulit, tetapi akhirnya berhasil setelah Umika membantunya.

“Apa yang kau pikirkan? Kenapa melakukan hal bodoh seperti itu?!” Ryosuke membentak. Meskipun suaranya masih lemah, intonasi yang digunakan pemuda itu cukup tinggi. Matanya menatap Umika tajam, campuran rasa marah, sakit dan takut.
Umika hanya menundukan kepala. Dari matanya kembali menetes bulir-bulir bening air mata.

“Aku takut kau pergi… aku tidak ingin kehilanganmu, Ryosuke…” Umika berbisik, nyaris tak terdengar. Ryosuke menatapnya lama, lalu berusaha bagun dari posisi berbaringnya. Kepalanya terasa pening, mungkin karena telah terbaring selama 2 minggu. Namun tak dihiraukannya rasa itu. Tubuhnya tetap berusaha di bangunkan, dan setelah ia bisa duduk, Pemuda itu lalu menarik Umika kedalam pelukannya.

“Gomenasai…” Ryosuke membiarkan Umika menumpahkan tangisnya di sela bahu dan lehernya. “Maaf sudah membuatmu khawatir…”

Umika hanya bisa menganggukkan kepalanya. Air mata masih terus menetes keluar.

“Selama ini aku mendengarmu, aku bisa mendengar kalian semua menangis. Gomen… Hanya saja, setiap kali aku berusaha bangun, aku tidak bisa. Selalu ada yang menahanku untuk tak membuka mata… sekali lagi maafkan aku… maaf karena aku sudah membuatmu menangis seperti ini. Maaf aku baru bisa terbangun sekarang…”

Umika kembali menggangguk. Ia tidak bisa mengatakan apa-apa. Baik hati maupun Pikirannya sudah dipenuhi berbagai macam hal. Namun lebih dari pada itu rasa lega lah yang mendominasi. Syukurlah, Ryosuke bisa kembali. Syukurlah Ryosuke telah dibangunkan dan kembali padanya.

“Arigatou…” Umika menarik dirinya dari bahu Ryosuke lalu menatapnya lama. Air mata tetap tak berhenti mengalir. “Arigatou…” ucapnya lagi perlahan.

Ryosuke hanya tersenyum. Umika memajukan wajahnya lalu mencium bibir pemuda itu lama. Bibirnya terasa dingin, Namun yang Umika rasakan adalah kehangatan yang seolah merembes keluar dari hatinya.

“Ai shiteru…”

…Mungkin kesempatan kedua tidak mengharuskanku berkorban untukmu… tapi kembali memilikimu seperti kamu yang dulu…


chapter 21 end

----------------------------------------------------------------------------------------

EPILOGUE
The Day we always Dream about

5 years later…

“Sudah siap?” Chinen Suzuka tersenyum lembut. Dibelakangnya, Shida Mirai dan Tsugunaga Momoko ikut melakukan hal yang sama sembari mendekati gadis yang dipanggil tadi.
Gadis itu sendiri mengangguk mantap. Senyuman menisnya terulas, menambah pancaran kecantikan yang terlihat darinya hari ini.

Umika Kawashima mengangkat wajahnya lalu berdiri. Sosoknya yang terbalut gaun putih panjang yang indah nampak sangat menawan. Sangat cantik. Sebuah cadar yang belum menutupi wajahnya terpasang rapi bersama mahkota diatas tatanan rambutnya yang juga tak kalah indah. Maklum, penampilan Umika kali ini adalah hasil kerja keras Mirai, Momoko, dan Suzuka. Mereka bertigalah yang selama ini sibuk mengatur bagaimana Umika harus tampil di hari paling special dalam hidupnya ini.

Tawa Umika nyaris terlepas ketika melihat tiba-tiba saja Mirai dan Momoko sudah mengelap mata masing-masing dengan sapu tangan karena entah kenapa mengeluarkan air mata. “Ne, Mirai-chan, Momo… kenapa kalian menangis?” Tanyanya seolah kaget. Mirai dan Momoko setengah tertawa, setengah kembali memproduksi air mata.

“Aku hanya terlalu bahagia, Umi-chan… akhirnya setelah semua yang terjadi selama ini, kau dan Ryosuke bisa bersama…” Mirai menjawab. Umika tak bisa berkata-kata, hanya tersenyum. Gadis itu bahkan nyaris ikut menangis.

“Aku terharu…” Sambung Momoko. Umika ikut menyunggingkan senyumnya ke arah gadis itu. Sementara Suzuka yang berdiri di sampingnya hanya memainkan alis.

“Bilang saja terharu karena Umi-chan sudah mendahului kalian menikah…” komentarnya asal. Spontan, Mirai dan Momoko mengerucutkan bibir.

“Tau deh yang sudah menikah…” jawab Mirai. Suzuka hanya nyengir menyadari sindiran tadi ditujukan padanya mengingat statusnya kini yang telah beralih menjadi Nyonya Chinen. Umika sendiri tertawa juga akhirnya setelah sebelumnya tertahan.

Tok! Tok!

 “Ladies… sudah siap? Upacaranya akan segera dimulai…” Kepala milik Chinen Yuri tiba-tiba saja sudah menyembul dari balik pintu, diikuti kepala milik Ryutaro. Keempat wanita berusia rata-rata 24—kecuali Umika yang baru 23 tahun—dalam ruangan itu sontak saling menggerling. 3 dari mereka duluan keluar, meninggalkan Umika yang masih mengatur nafasnya sejenak.

“Gugup?” Ryutaro tersenyum jahil pada kakak perempuannya yang nampak cantik sekali hari ini. Umika menggeleng, ikut tersenyum.

“Iku yo…”

*

Alunan musik mulai terdengar, memberikan kode nonverbal bagi Ryosuke untuk memutar tubuhnya ke belakang bersamaan dengan dibukanya pintu gereja. Samar, sudut mata pemuda itu bisa melihat Yuto tengah nyengir heboh menatapnya.

Cahaya dari luar sontak menyusup masuk, mengantar kemunculan seorang gadis yang melangkah anggun dengan adik lelakinya berdiri disamping dan merangkulnya. Wajah gadis itu tertutup cadar, namun transparan. Cukup bagi kedua mata Ryosuke untuk bisa melihatnya. Ia cantik. Sangat cantik. Labih cantik dari apapun yang pernah dilihatnya di dunia ini. Pemuda itu tersenyum.

Ryutaro menyelesaikan tugasnya dengan mengantarkan sang kakak tercinta kesamping Ryosuke. Pemuda itu ikut tersenyum lalu mengambil posisi di barisan depan altar, tepat diantara kekasihnya Kanon dan Ibu angkatnya sekarang, Yukimura Sayu. Umika memang telah memaafkan Sayu, dan bersedia dijadikan anak angkat olehnya. Umika mengerti, Sayu kesepian karena tak lagi punya keluarga dekat dan gadis itu seolah mengabulkan permohonan Sayu ketika ia dan Ryuu bersedia dijadikan anaknya. Hanya anak angkat memang, namun Sayu sudah merasa sangat bahagia akan hal itu.

Disamping mereka ada Momoko dan Daiki. Lalu Chinen dan istrinya Suzuka. Diantara mereka berdelapan, Kedua manusia itulah memang yang duluan menikah setahun lalu.

Di bangku seberang, berdiri Yamada Tsukasa bersama sahabat-sahabatnya, orang tua dari Chinen, Yuto, Mirai dan Daiki. Wajah pria itu nampak cerah, jelas sekali kebahagiaan seolah memenuhi seluruh relung hatinya. Tentu saja, hari ini pernikahan putranya satu-satunya.

Kembali kepada Umika dan Ryosuke. Keduanya saling bertatapan sesaat sebelum memfokuskan perhatian mereka pada pastor yang sudah memulai Upacara pernikahan. Keduanya ternsenyum, sama sekali tak merasa gugup.

Hari ini akhirnya tiba, keduanya akhirnya bisa bersama dalam ikatan pernikahan.

Dan tepat setelah kalimat ‘kau boleh mencium pengantinmu…’ terdengar, Ryosuke langsung mengangkat cadar Umika perlahan, lalu menciumnya lembut dan lama…

Selalu ada akhir yang bahagia, bukan?

The Dream Lovers 2
-end-

--------------------------------------------------------------------------------------------

Kyaa!! Akhirnya selesai juga~
Gomen Minaa, endingnya maksa banget.. soalnya aku harus cepetan nyelesain ini karna mingggu depan aku ada ujian dan nggak dibolehin inetan..
ehehehe..
Kritik dan saran ditunggu YO~

Sabtu, 17 Maret 2012

THE SUDDENLY APPEARANCE OF ‘LONG-TIME-NO-SEE’ BEST FRIEND

She back. With her casual tone of voice, her big laugh, her humorous, side, … it’s still her, even after 2 years passed.

It’s still Nii-chan. My beloved Best Friend Takaki Nii-chan…

And she came back to us. She came back to me and A-chan who never imagine that she will call us after 2 years missing.

I miss her, A-chan miss her. We miss her so badly. We were so glad when we find out thet she was fine for those long time.

She called us for a help. Quite a big help I thought, but it’s fine for me and A-chan because she is the one who asked.

She is our best friend after all.

Fisrt, she just asked for my help. But, because she knows that I can’t do it my self, she then let me ask A-chan for more help too. There were me ang Achan who was helped her. She asked both of us to come to our junior high school for got her SKHU (a letter there are show your score in Junior high’s national exam).  
And there we were. We went there, get the SKHU letter and sent it to her in here place right now. It’s not a simple job, really. We have to went around a place for loking for the office wich can help us sent that to her. We also use our own money, but there’s not really bother me.

And it was sent, finally.

Niichan was thanked us. We talk by phone almost an hour in Achan’s house. I just felt so happy at that time.

And we hope that the times of our togetherness will last forever.

Niichan, mou… don’t disappear again ne?

[fic] : The Dream Lovers 2 - second chance -chp.20

CHAPTER 20
- Uncover the truth -

“BRAAAAAKKK!!”
Bantingan keras pintu depan kediaman Yukimura menjadi pengantar munculnya sesosok gadis yang berlinang air mata ke dalam rumah tersebut. Mendengar bunyi yang luar biasa keras tadi, Yukimura Sayu yang nyaris berangkat ke kantor seketika meletakan tasnya hati-hati di meja dan buru-buru mengecek, siapa yang sudah membuat keributan di rumahnya barusan. Namun, langkahnya terhenti begitu saja saat tiba di ruang depan.

“Misaki…” Serunya kaget melihat putrinya dalam keadaan sangat kacau. Misaki melirik sepintas kearah sang ibu kmudian buru-buru berlari ke kamarnya dan sekali lagi membanting pintu dengan keras. Sayu mengikutinya.
“Misaki…daijoubu? Ne, ada apa? Ceritakan pada kaa-chan…” pintu kamar Misaki diketok berkali-kali. Namun yang terdengar dari dalam hanya tangisan si gadis. Sayu makin cemas.
“Ne, Misa—“

“Daijoubu...” akhirnya terdengar suara dari dalam. Susah payah, Misaki menahan tangisnya sebentar. “Daijoubu, Kaa-chan…Aku hanya ingin menangis sekarang… biarkan saja aku…”

“Demo..,”

“Daijoubu…”Misaki kembali meyakinkan. Nada bicara gadis itu tegas, meskipun sampai saat ini ia belum juga bisa menghentikan produksi air matanya. Sayu terdiam sejenak.

“Kalau begitu menangislah…. Biarkan sakitmu reda. Kalau sudah bisa cerita, hubungi Kaa-chan. Kaa-chan tidak bakal lama di kantor, ne?” ujarnya lembut. Misaki hanya berdeham, namun cukup untuk membuat sang ibu tahu kalau ia setuju dengan ucapannya barusan.
“Itekimas…”

Misaki sekali lagi tak menjawab. Sayu hanya menrik nafas dalam sebelum mengenakan tasnya lagi dan siap berangkat. Namun, sebelum benar-benar resmi meninggalkan rumah, wanita itu mengeluarkan keitainya dari tas dan menghubungi seseorang.

“Moshi-moshi… ah, Miki… Baa-chan bisa minta tolong?”

* * * * * * * *

“Oi, Ryosuke! Daijoubu?” Chinen Yuri yang baru sepersekian detik lalu memunculkan wujudnya pada salah satu kamar VIP rumah sakit langsung berlari menerjang temannya ketika sosok yang baru disebutkan tadi sedikit bergerak dari posisi berbaringnya hendak bangun. Ryosuke agak kesulitan membangkitkan tubuhnya dan dengan bantuan Chinen, pemuda itu akhirnya bisa mengambil posisi duduk.

“M-Misaki mana?” tanyanya agak kesulitan bicara. Chinen memiringkan kepalanya sejenak lalu mendelik pada Suzuka yang juga baru saja memasuki ruang tersebut dan kebetulan mendengar apa yang baru saja Ryosuke tanyakan.

“Misaki…Yukimura? maksudmu Umika?” tanya Chinen mengulang. Pemuda itu memang tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya. Ia hanya menerima telepon singkat dari Fuma-san yang mengatakan bahwa sahabatnya itu tiba-tiba pingsan dan masuk rumah sakit karena demam parah. Sudah begitu, pada saat yang bersamaan, cuma dirinya dan Suzuka yang punya jam kosong. Mirai dan Yuto ada kuliah, begitu pula pasangan Momo-Dai. Jadi, hanya keduanya yang punya kesempatan untuk menjenguk Ryosuke pagi ini.

Beralih dari hal tadi, pertanyaan Ryosuke barusan cukup membuat Chinen heran. Apa maksud pemuda itu dengan ’Misaki dimana?’. Bukannya sejak tadi yang menungguinya di rumah sakit adalah Ryuu dan Fuma-san. Dan setelah mereka datangpun, hanya dua orang itu yang keluar sebentar untuk mengurus beberapa hal bersama Inoo-sensei—mengingat sekali lagi Yamada Tsukasa punya urusan bisnis di negeri entah berantah—. Nah lalu, kapan Misaki pergi? Memangnya dia pernah datang?

Ryosuke menghela nafasnya agak lama sebelum menjawab pertanyaan balik Chinen.
“Misaki marah… Dia mengira aku hanya menjadikannya sebagai pengganti Umika.. Aku—“

“Tunggu! Tunggu!” Chinen cepat-cepat menyela. “Pengganti Umika apanya? Dia sendiri kan Umika!” Pemuda itu makin bingung, kentara jelas dari wajahnya yang menampakan beberapa jenis ekspresi sekaligus. Kaget, aneh, heran, plus tidak percaya. Suzuka yang berdiri tegak disampingnya hanya memasang pose berpikir dengan kepalan tangan menyangga dagu.

“Dakara… aku tidak sengaja memanggilnya Umika. Aku tidak sadar, dan memeluknya begitu saja sambil menyebut nama Umika… dia tiba-tiba marah, dan mengira selama ini aku hanya mempermainkannya..”

“Ehh? Sou kah? Ck… masalahnya jadi makin rumit sekarang…” Chinen menyambung, ikut mengambil pose berpikir layaknya Suzuka. Ryosuke hanya menatap pasangan kompak itu hopeless. Dia tahu, keduanya tengah berpikir untuk membantunya kali ini, sama seperti dirinya sendiri. Namun nampaknya sulit, bahkan untuk otak jenius ketiganya.

“Itu karena sejak awal tindakan kita sudah salah ….” Suzuka tiba-tiba berucap pelan, namun cukup untuk membuat Ryosuke menancapkan tatapan kaget padanya. Jantung pemuda itu sontak berdetak cepat.

“Eh, apanya yang salah Suzuchan? Aku tidak mengerti...” Chinen mengungkapkan kebingungannya atas pernyataan Suzuka barusan. Suzuka tidak balik menatap kekasihnya yang bertanya tersebut, melainkan pemuda sakit didepannya.

“Jika sejak awal kita tidak membohongi Umika, dia tidak akan lari seperti ini…”

“demo, Suzu-“

“Akuilah Ryosuke, kita memang salah. Dan sekarang tidak ada yang bisa kita lakukan selain menunggu amarah Umika reda lalu menjelaskan semuanya serta berbagai bukti yang ada. Mau tidak mau Umika harus tahu yang sebenarnya. Kita tidak bisa terus-terusan melindunginya… sudah 8 bulan lebih sejak orang tuanya meninggal. Masih ada Ryuu adiknya, masih ada kau, Ryosuke…orang yang dicintainya. Umika harus tahu itu…” jelas Suzuka tanpa melepaskan iris hitam cemerlangnya dari iris coklat bening kembar milik Ryosuke.
“Misaki adalah Umika, Ryosuke… itu faktanya…”

* * * * * * * *

Gadis berambut lurus sebahu itu melepas ikatan rambutnya perlahan lalu dengan tenang membasuh wajahnya yang penuh berkas air mata. Setelah beberapa kali basuhan ringan, wajahnya diangkat demi menatap lurus pantulan dirinya pada kaca berukuran 1 x 2 meter didepannya.
Wajah itu masih nampak kacau, meski terlihat lebih fresh dibanding sebelumnya. Jemari sang gadis bergerak pelan merayapi pelipisnya lalu turun ke pipi lalu hidungnya dan kemudian berakhir di bibir.
Sentuhan hangat bibir pemuda itu masih terasa. Manis, namun sekaligus menyakitkan. Karena, seindah apapun ciuman yang pemuda itu berikan, sentuhan bibir itu tak pernah ditujukan untuknya.
Ciuman itu hanya untuk Umika, gadis yang berwajah sama dengannya.

Tanpa sadar, setetes air mata kembali mengaliri sebelah pipi Misaki. Gadis itu menyekanya cepat dengan jemarinya yang sebelumnya bertumpu pada bibir, kemudian menyeka keseluruhan wajahnya dengan handuk tipis disampingnya. Misaki mengerti, ia tidak bisa lari dari kenyataan ini, sesakit apapun hatinya. Ia mencintai Ryosuke, ia tahu, namun ia juga tahu kalau tidak akan pernah ada gadis yang bisa menyaingi kehadiran seorang Umika dalam hati Ryosuke, meskipun gadis itu sedniri adalah dia yang berwajah sama. Karena bagi Ryosuke, tidak ada yang lebih berarti, selain Umika-nya.

Misaki mengangkat kepalanya kemudian sekali lagi menatap pantulan wajahnya dalam cermin. Pikirannya berkecamuk, cukup lama sampai akhirnya matanya dipejam, mengiringi gerakannya memutar tubuhnya dan bergerak menjauh dari cermin tadi. Gadis itu tak lagi membutuhkan suasana senyap kamarnya, dan kali ini lebih memilih menghabiskan waktu diluar. Toh, rumahnya kini kosong. Diamanapun ia berada, ia tetap akan merasakan ketenangan yang sama. Tak ada pertanyaan, tak ada saran, hanya waktu yang dipersembahkan baginya untuk merenung. Hanya kebisuan yang menjernihkan otaknya dan membantunya melupakan setiap bekas sakit yang ditorehkan padanya hari ini.

Pintu kamar bernuansa coklat itu terbuka, bersamaan dengan munculnya sosok Misaki dari dalam. Langkahnya pelan dan teratur, hendak menuju ruang tengah dan berniat menjadikan sofa hijau muda ruangan itu sebagai tempat bertapanya berikut. Namun, gerakannya seketika terhenti ketika melihat siluet seorang pemuda sudah lebih dulu duduk disana sambil memangku sebuah buku tebal. Merasakan kehadiran Misaki, pemuda itu lalu mendongak dan tersenyum.

“yo, Misaki… sudah baikan?” ujarnya pelan. Misaki menatapnya agak kaget.

“Miki…” gadis itu berbisik. Kamiki terus mempertahankan rupa senyumnya lalu sedikit bergeser dari tempat duduknya di sofa.

“Duduk sini…” ajaknya sambil menepuk-nepuk bagian sofa yang kosong. Misaki mengikuti ajakan pemuda itu dalam diam. “Daijoubu?” tanyanya lagi.

“Daijoubu desu…” bisik Misaki perlahan. Kamiki mengusap puncak kepala gadis itu pelan. “Seharusnya aku tahu kalau yang dilihat Ryosuke selama ini bukan aku, tapi Umika… aku bodoh sudah menyukainya Miki…”Misaki kembali memproduksi tetesan bening air mata seiring mulutnya turut melontakan kata. Kamiki sontak mengerti apa yang terjadi. Lengannya cepat-cepat terangkat dan melingkari bahu kecil Misaki yang bergetar. Samar, senyum tipisnya terulas.

“Wakatta… itu bukan salahmu. Tidak ada yang bisa disalahkan jika kita menyukai seseorang… hanya saja, kita harus mengerti perasaan orang yang kita sukai itu juga. Apakah orang itu juga memiliki perasaan yang sama atau tidak… bukan salahmu jika Yamada masih mencintai kekasihnya. Kau hanya korban keegoisannya sendiri…”jelas Kamiki pelan sambil terus memeluk Misaki. Misaki hanya sesegukan, namun dalam hati ia membenarkan perkataan pemda itu. Ia memang harus mengerti, kalau bagi Ryosuke tidak ada gadis lain selain Umika yang bisa memiliki hatinya.

“Aku bodoh Miki… Aku terlalu bodoh …” Misaki balas memeluk Kamiki. Pemuda itu menarik nafas panjang.

“Aku paling benci kalau harus melihatmu menangis seperti ini. Sudahlah Misaki…, Kau bisa mendapatkan pria yang lebih baik dari Yamada…” Kamiki mengangkat pelan dagu Misaki sehingga wajah gadis itu kini tegak lurus menatapnya. Satu tangannya yang lain lalu menghapus bulir air mata yang bergerak perlahan mengaliri pipi Misaki. “Lupakan Yamada… dia tidak pantas untukmu…”

Misaki menggigit bibirnya menahan perih ketika merasakan sakit hatinya semakin menjadi saat kalimat tadi terlontar. Namun tak ayal, gadis itu hanya bisa mengangguk pasrah. Sekali lagi Kamiki membuatnya sadar kalau Yamada tidak ditakdirkan untuknya.

“Miki arigatou..” Misaki berbisik sangat pelan. Kamiki tak lagi tersenyum, tangannya yang tadi digunakan untuk menghapus air mata Misaki terlepas ka bawah. Wajahnya serius dengan sorot mata tajam yang terpancar jelas dari bola mata hitam lekatnya. Melihatnya, Misaki sedikit tersentak.

“Mi-Miki…?”

Kamiki tak sama sekali menghiraukan panggilan gadis itu. Wajahnya spontan bergerak maju, dan dengan sekali hentakan, pemuda itu sudah mendaratkan bibirnya pada bibir Misaki dan menciumnya lembut.

“Daisuki dayo, Misaki…” Bisiknya sebelum memperdalam ciumannya.

* * * * * * * *

Misaki seontak menghentikan langkahnya ketika pandangannya tak sengaja bertemu dengan tatapan seorang pemuda tak jauh di depannya. Sinar mata coklat kembar bening itu sangat dikenalinya. Segera, Misaki memutar balikan arah gerakanya menuju arah yang berlawanan. Demi apapun, bertemu dengan pemuda ini setelah kejadian 2 hari yang lalu sama sekali tak diharapkannya.

“Misaki, matte!” teriakan panggilan kemudian terdengar. Untuk hal ini, Misaki sudah bisa memprediksi. Ryosuke pasti akan datang padanya, memintanya untuk mendengarkan sementara ia mulai menjelaskan bla bla bla tentang ini itu, tentang ia tidak dijadikan pengganti Umika atau apa. Ia yakin. Namun sayang, Misaki sudah terlanjur menanamkan prinsip ‘Ryosuke adalah milik Umika’ dalam hatinya sehingga kalimat penjelasan atau kata-kata manis apapun yang kelak diberikan pemuda itu tidak termakan olehnya.

“Matte yo!” teriakan bersuara sama kembali mendengar. Misaki tetap enggan berhenti melangkah melainkan meningkatkan kecepatannya bergerak. Gadis itu bahkan nyaris berlari. Tidak dipedulikannya tatapan mahasiswa lain yang nampak asyik menyaksikan adegan kejar-kejaran mereka berdua layaknya perilaku mereka kali ini adalah salah satu adegan seru dalam sebuah dorama.

“Matte!”satu cengkraman agak keras ditangan kirinya serta seruan yang sama cukup untuk membuat Misaki menghentikan langkahnya. Well, gadis itu masih ingin menghindar, namun cengkraman Ryosuke terlalu kuat dan tidak memungkinkannya untuk lepas. Perlahan, gadis itu menoleh kebelakang hanya untuk menatap marah pemuda itu.

Tidak bisa.

Ia tidak bisa menumpahkan kemarahannya, apalagi setelah melihat wajah Ryosuke sekarang. Pemuda itu tampak kacau, sekacau dirinya 2 hari yang lalu. Wajahnya juga tak kalah menderita. Amarah Misaki sontak melebur, terganti dengan rasa perih luar biasa. Ada sesuatu dalam sorot mata Ryosuke yang membuatnya lemah, ada semacam magnet disana yang menarik perasaannya untuk tercurah pada pemuda itu. Misaki sadar, inilah konsekuensi dari mencintai seseorang. Namun ia tetap tidak bisa menerima peran pengganti yang diberikan padanya. Ia tidak mau menjadi Umika. 

“Misaki, gomenasai…” Ryosuke berbicara pelan. Misaki memalingkan wajahnya, tidak sanggup menatap 2 manik coklat kembar Ryosuke. Ia takut tertarik ke dalam. Ia takut melupakan akal sehatnya hanya karena pheromone pemuda itu bekerja terlalu besar kali ini.

“Lepaskan aku…” balas Misaki sama pelannya. Ryosuke tersentak, makin memperkuat cengkramannya. Pemuda itu takut Misaki pergi. Tentu saja, ia sudah pernah kehilangan gadis itu sekali, dan ia tidak mau kehilangan yang sama terjadi untuk yang kedua kalinya.

“Misaki, dengarkan aku dulu—“

“LEPASKAN! JANGAN GANGGU AKU!” Misaki berteriak. Tatapan puluhan mata yang sejak tadi menyaksikan keduanya sontak menajam. Mereka jadi semakin tertarik dengan kisah 2 orang terkenal di kampus tersebut. Ya, Yamada Ryosuke dengan kekayaannya yang luar biasa serta Yukimura Misaki dengan kecerdasannya yang juga luar biasa.
Misaki tertegun, tepat setelah teriakan tadi terlontar dari bibirnya. Kepalanya tiba-tiba diserang rasa sakit hebat yang kemudian menghadirkan bayangan kelabu samar. Seperti dulu, namun bayangan kali ini lebih jelas dari biasanya.

“Pergilah. Jangan ganggu aku.”

“Tapi Umi—“

“KUBILANG JANGAN GANGGU AKU!”

Dan yang terlihat disana adalah Ryosuke dengan wajah sangat bersalah. Ia yakin, ia baru saja memarahi pemuda itu dan memintanya untuk tidak mendekatinya lagi. Tapi, kapan ia pernah mengatakan hal seperti itu sebelumnya? Kenapa ia mulai merasa telah melupakan sesuatu yang amat penting?!

“Misaki?! Daijou—“

“Misaki wa Daijoubu desu…” satu suara lain ikut ambil bagian dalam percakapan Ryosuke-Misaki dan sontak menghentikan gerakan Ryosuke menyentuh bahu gadis itu. Kamiki ada disana, tiba-tiba saja, membentangkan jarak yang jelas antara Ryosuke dan Misaki dengan tubuhnya. Sontak, Ryosuke mundur beberapa langkah.

“Kamiki…”

Pemuda yang disebutkan namanya hanya tersenyum dan langsung merangkul Misaki dalam pelukannya.
“Maafkan aku kalau bicara terlalu gamblang. Tapi tolong tinggalkan pacarku karena keberadaanmu sangat menggangunya…”Ujarnya mantap. Ryosuke seketika mengerutkan kening.

“Eh?”

“Misaki adalah kekasihku sekarang. Jadi kumohon jangan ganggu dia lagi…”

Tatapan shock Ryosuke sontak mengarah pada Misaki. Gadis itu terhenyak dan langsung memalingkan wajahnya. Ia tidak bisa menahan tekanan yang diberikan pancaran mata Ryosuke. Ia takut hatinya semakin teriris.

“Kami permisi Yamada-kun…” Sebagai penutup, Kamiki memberikan pamitan hormat pada pemuda didepannya lalu bergerak melewati pemuda itu dengan tangan Misaki berada dalam genggamannya. Senyum tipisnya terulas, seolah memperjelas kemenangannya atas Ryosuke kali ini.
Misaki hanya diam, mengikuti pergerakan Kamiki melewati Ryosuke meskipun nuraninya berteriak keras untuk tidak melakukannya. Ia terlanjur sakit. Ia terlalu takut menghadapi Ryosuke, takut akan kalah di depan Umika.
Mata mereka bertemu. Ryosuke dan Misaki. Samar, namun terasa, satu getaran seketika menyambar hati masing-masing sebelum menghilang bersamaan dengan jarak keduanya yang terbentang jauh. Dan masih samar pula, Misaki seolah melihat Ryosuke menggumamkan sesuatu.

“U-uso…”

* * * * * * * *

Bayangan itu kembali hadir, masih membekas jelas dalam benak Misaki. Jutaan kata tanya ‘kenapa’ ikut tercetak tebal bersamaan dengan kilasan-kilasan yang terputar.

Kenapa Ryosuke yang muncul dalam bayangannya? Kenapa wajahnya sedih? Kenapa ia memarahinya? Kenapa ia merasa sedih dan sakit sekaligus?

“Pergilah. Jangan ganggu aku.”

“Tapi Umi—“

“KUBILANG JANGAN GANGGU AKU!”

Sekali lagi pikirannya berkecamuk. Bayangan wajah sedih Ryosuke itu terus membekas, sama seperti yang dilihatnya secara realita pagi ini. Harus Misaki akui bahwa meninggalkan pemuda itu dan menerima Kamiki sebagai kekasihnya adalah memang jalan terbaik baginya. Namun, hatinya sama sekali tak setuju. Ia tidak bisa melepaskan Ryosuke, meskipun sadar bahwa yang dilihat pemuda itu bukanlah dirinya yang sebenarnya. Dan ia juga tidak bisa benar-benar mencintai Kamiki karena hatinya tak lagi punya cukup tempat bagi pemuda itu. Hatinya sudah penuh dan hanya terisi oleh seorang Ryosuke.

Gadis itu meneggelamkan wajahnya dalam kedua tangannya yang terlipat rapi diatas lutut. Ia tidak bisa lagi berpikir. Terlalu membingungkan, aneh bahkan. Misteri cinta, siapa yang tahu? Bahkan dengan otak jeniusnya pun, Misaki hanya bisa mendapatkan jawaban nol atas setiap tanya yang berkecamuk dalam hatinya.

“Misaki, Kaa-chan bisa minta tolong tidak?” Satu suara dari luar sontak membuyarkan konsentrasi gadis itu. Misaki mengangkat kepalanya malas-malasan sebelum menjawab panggilan tadi.

“Hai??”

“Bisa ambilkan surat nikah Kaa-chan di dalam lemari? Kaa-chan lagi mau ngisi biodata buat kartu pegawai baru nih…” Yukimura Sayu bicara tanpa meninggalkan posisi duduknya di ruang tengah. Wanita paruh baya itu memang sedikit pusing mengurus masalah ini itu pembuatan kartu pegawai baru sesuai perintah bosnya. Mendengar titah sang Ibu, Misaki kemudian bangkit, keluar dari kamarnya dan bergerak menuju kamar sang Ibu untuk mengambil berkas yang dimaksud.
Kedua tangan gadis 18 tahun itu bergerak cepat membuka lemari kayu coklat tua milik ibunya kemudian mulai mencari, dimana gerangan surat pernikahan tersebut berada. Tidak butuh waktu lama. 10 detik kemudian, Misaki sudah menemukan selembar kertas berukiran pinggir rumit yang dilaminating bertuliskan surat keterangan menikah berserta nama ibunya dan almarhum ayahnya tertera disana. Gadis itu secepat kilat menarik keluar benda tersebut dari tumpukannya.
Namun karena terlalu keras menarik, tanpa sengaja Misaki ikut menumpahkan beberapa map berisi dokumen-dokuman lain. Tak lupa, satu kotak misterius berwarna emas ikut meluncur keluar dari tempatnya yang tersembunyi sebelumnya.

“Yabaii!!!” Pekik gadis itu dengan suara super minim, takut kedengaran ibunya diluar. Buru-buru dibereskannya setiap lembar kertas penting yang berjatuhan, merapikannya baik-baik kedalam map dan menaruhnya kembali ke tempatnya semula.
Namun ada satu yang tertinggal. Kotak berwarna keemasan itu. Misaki penasaran, hanya dengan melihat bentuknya saja. Rasa-rasanya ada sesuatu di dalam yang sengaja disembunyikan, dilihat dari cara sang ibu menempatkannya serapi dan setersembunyi mungkin didalam lemari. Misaki memang menghormati ibunya, namun kotak tersebut terlalu menggoda untuk dibuka. Ditambah hatinya yang sudah cukup menyimpan tanya saat ini seolah tak mau menerima satu lagi pertanyaan penasaran atas isi kotak tersebut. Toh, hanya sekedar melihat, tidak akan lama bukan? Dan lagi setelah isinya diketahui pasti, ia akan mengembalikan benda itu ke tempat semula dan berlagak seolah ia tidak tah apa-apa tentang benda misterius itu. Ibunya pun pasti takkan marah.

Dengan gerakan cepat namun hati-hati, Misaki mulai membuka kotak keemasan pemancing rasa penasarannya tersebut. Cukup sekali tarikan hingga tutup kotak terlepas. Gadis itu mengeryit saat menemukan benda-benda apa saja yang ada didalam. Bukan sesuatu yang penting. Hanya dompet dan beberapa lembar kertas yang nyaris hancur.
Misaki mengangkat dompet berwarna putih-pink itu dan membuka isinya. Ada beberapa lembar ribuan yen, beberapa kartu dan…

Foto.

Misaki sontak memincingkan matanya menatap selembar foto yang terpajang rapi dalam salah satu sisi dompet tersebut. Foto bermuatkan 2 remaja belasan tahun yang berpelukan mesra dengan latar suasana pantai berpasir putih dengan bentangan luas laut biru jenih yang terlihat memukau. Dan anehnya, itu hanya versi mini foto yang sama yang dilihatnya dalam album merah di kamar Ryosuke 2 hari yang lalu. Objeknya masih sama, Ryosuke dan gadis yang berwajah sama dengannya.

“Eh?”

Jantung gadis itu berdegup cepat. Tangannya kembali menyibak sisi dompat yang lain dan menemukan selembar foto lagi. Masih objek yang sama, hanya kali ini lebih diramaikan dengan tambahan 3 orang. Dan salah satu dari tambahan orang itu, Misaki berani bersumpah pernah melihatnya sebelumnya. Oh, tentu saja! Pemuda yang pernah menangis didepannya serta yang juga memanggilnya nee-chan 2 hari yang lalu itu kan?

Gadis itu makin gusar. Tangannya bergerak cepat mengeluarkan beberapa kartu yang juga terdapat di dalam sampai tanpa sengaja gadis itu menjatuhkan sesuatu yang tadi sempat tersangkut pada salah satu sisi dompet.

Sebuah kalung berwarna keperakan berlionting bintang 5 sisi meluncur turun dengan cepat. Misaki mengangkatnya lagi dan memperhatikannya lekat-lekat. Ia kenal kalung ini. Seseorang tak pernah melepaskan benda ini dari leher putihnya. Kalungnya sama persis dengan milik orang itu, hanya berbeda ukiran didepannya. Bayangan akan sosok Ryosuke dan kalung ini pun kembali terlintas.  

“…karena kalung ini hanya satu-satunya di dunia, maknanya sangat dalam..”

Misaki membaca ukiran nama disana. Ryosuke

“…Kalau yang tertulis namaku ada padanya…”

Bagaimana mungkin ibunya memiliki kalung yang seharusnya adalah milik Umika?

Jiwa Misaki terguncang hebat. Tubuh gadis itu sontak melorot ketanah bersama kalung yang terlepas dari genggamannya. Tanpa sengaja liontin kalung itu terbuka, menampakan 2 ekspresi bahagia disana. Ryosuke dengan tawanya yang lepas merangkul Umika. Atau sebut saja Umika yang berwajah sama dengannya.
Misaki kembali gusar. Kenapa barang-barang ini bisa ada pada ibunya? Punya hubungan apa ibunya dengan Umika yang sudah tiada itu? Umika yang katanya hilang—

Hilang

Umika hilang, bukan meninggal. Ada kemungkinan bahwa ia masih hidup di suatu tempat, terjebak dalam sebuah kehidupan palsu sebagai orang lain.

Misaki menyadarinya, akhirnya. Setiap kejanggalan yang menyimpan tanya baginya setelah terbangun lebih dari setahun lalu dengan tak mengingat apapun, dengan seorang wanita yang mengaku adalah ibunya serta kehidupan sebagai seorang gadis bernama Yukimura Misaki.
Ia baru menyadari jawaban atas pertanyaan bagaimana bisa Ryosuke terlihat sangat familiar baginya di pertemuan pertama mereka, juga beberapa gadis yang memaksanya untuk mengingat, bahkan menamparnya agar sadar. Misaki baru menyadarinya sekarang.

Dan bayangan-bayangan kelabu itu, dengan berbagai suasana déjà vu yang terus-terusn menghantuinya dan menghadirkan rasa yang sama. Misaki menyadari semuanya, akhirnya.

Gadis itu menghela nafas.

“Misaki, Kok lama sekali?” Pintu kamar dibuka untuk yang kedua kalinya, namun oleh oknum berbeda. Yukimura sayu yang sebelumnya menampilkan raut lelahnya seketika membeku menemukan putrinya terjembab dilantai dengan kotak rahasia yang hanya diketahuinya dan Kamiki terbuka beserta seuntai kalung juga tergeletak di lantai.
Wanita itu nyaris tak berkedip.

Misaki yang menyadari kehadiran sang ibu sontak mengulirkan bola matanya ke arah Sayu dan menatapnya dalam.

“Kaa-chan, atashi wa… Umika, deshou?”

To Be Continued

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Minggu, 11 Maret 2012

[fic] : The Dream Lovers 2 - second chance -chp.19


CHAPTER 19
- The similar dream of goodbye-

Laju mobil sport hitam metalik itu terus berkurang dan bersangsur-angsur terhenti. 2 sosok manusia di dalam masih terdiam, bahkan setelah kendaraan tersebut sudah resmi mengambil posisi beberapa meter dari depan pintu rumah.
Keheningan bertahan beberapa menit sebelum akhirnya Misaki yang duluan berani membuka kedua sisi bibirnya pelan.

“Arigatou…” bisik gadis itu nyaris tak terdengar, namun cukup membuat Ryosuke tersadar dari lamunannya. Pemuda itu tersenyum lembut.

“un. Arigatou mo…”

“Saa, Jaa ne…”

Ryosuke mengangguk. Misaki ikut tersenyum agak ragu sebelum membuka pintu mobil dan bersiap keluar. Namun, belum sempat gadis itu menginjakkan kakinya di tanah, Ryosuke sudah melantunkan lagi 2 kata yang membuatnya seketika menoleh.

“Oyasumi, Misaki…”

Senyum ragu gadis itu sontak berubah, terganti dengan senyum manisnya yang biasa.

“Oyasumi, Ryosuke…”
Pintu mobil ditutup, menjadi akhir petualangan keduanya hari ini. Ryosuke menghidupkan mesin mobil dan setelah membunyikan klakson beberapa kali, pemuda itu lalu berlalu ditelan gelap malam. Kini tinggal Misaki yang berdiri mematung selagi matanya terus mengikuti pergerakan Ryosuke sampai benar-benar hilang dari pandangannya.

Gadis itu tersenyum, setengah bahagia setengah shock mengingat waktu sorenya yang dihabiskan bersama Ryosuke tadi. Apa yang dilakukannya bersama pemuda itu? Bagaimana bisa mereka berciuman dengan sebegitu mudahnya? Padahal mereka bukan apa-apa, bukan pasangan atau apapun sebangsa itu. Dan kenapa pula Misaki tidak asing dengan sentuhan bibir Ryosuke, seolah ia memang pernah merasakan ciuman dari pemuda itu sebelumnya.

Demi Tuhan! Ada apa ini sebenarnya?

Misaki mengacak-acak rambutnya sendiri frustasi karena tak bisa sama sekali menemukan jawaban atas rentetan pertanyaan yang sejak tadi bergema dalam kepalanya. Lelah, semenit kemudian gadis itu baru memasuki rumahnya. Di dalam terdengar agak ribut, mungkin ibunya sedang heboh menonton dorama. Misaki masuk perlahan, tak mau mengganggu konsentrasi Sayu.

“tadaima…” seru gadis itu setelah melepas sandalnya dan meninggalkannya di rak sepatu. Dari dalam terdengar jawaban, namun jelas bukan dari sang ibu.

“Okaeri..”

Misaki tertegun.

“Miki?” bisiknya pada diri sendiri sebelum bergerak masuk mencari sang sumber suara. Tebakkannya benar! Di ruang tengah duduk Kamiki yang sedang asik melirik majalah sport dalam pangkuannya. Sang ibu tak terlihat, mungkin sedang di dapur.
Masih lelah, Misaki ikut menempatkan dirinya di sofa samping Kamiki. Pemuda itu meliriknya sekilas.

“Dari mana saja?” pertanyaannya terdengar dingin. Misaki sontak menoleh ke arah sang penanya sambil memiringkan kepalanya beberapa derajat.

“Eh?”

“aku tanya, kau dari mana saja?” Kamiki mengulangi pertanyaannya tetap dengan nada yang sama. Misaki nampak berpikir sejenak.

“A-ah, itu… tadi aku pergi dengan temanku. Ada tugas dari sensei..” Misaki menjawab ragu. Kamiki mengalihkan perhatiannya dari majalah sport tadi menuju Misaki sambil menatap gadis itu tajam.

“Bersama Yamada Ryosuke?”

Misaki tersigap. Butuh waktu lama baginya hanya untuk memberikan sekali anggukan kepala. Entah kenapa, cara pandang Kamiki padanya kali ini seolah sarat akan pernyataan ‘aku-benci-yamada-tapi-kenapa-kau-pergi-bersamanya’.

“Kau menyukainya?” Kamiki menyambung, to the point. Kali ini bukan lagi tersentak. Misaki bahkan merasa jantungnya hampir meloncat keluar saking kagetnya.

“EH? Apa-apaan pertanyaan itu? ne Miki, kau baik-baik saja kan? Kenapa bertanya seperti itu?” Misaki menjawab kalap dalam bentuk pertanyaan balik. Bukan semata-mata karena pertanyaan yang baru saja terlontar dari Kamiki tadi agak aneh, namun juga karena gadis itu sendiri tidak tahu harus menjawab apa. Apa dia menyukai Ryosuke? Atau tidak? Lalu ciuman sore tadi itu apa?

Kamiki menarik nafasnya agak berat.

“Jawab saja, ia jika kau menyukainya atau tidak jika kau tidak suka. Atau, kau tidak tahu harus menjawab apa? Karena kau dalam masa transisi, sedang berangsur-angsur menyukainya, begitu?” Kamiki seolah bisa membaca pikirannya.

Misaki terdiam. Ia tidak bisa menjawab. Sungguh. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
Kamiki sendiri tengah melirik gadis itu beberapa lama.

“Hahaha! Sudahlah. Aku hanya bercanda ok? Kenapa wajahmu jadi seram gitu?” Pemuda itu mengacak-ngacak puncak kepala Misaki gemas. Misaki sontak bernapas lega setelah sadar kalau kalimat-kalimat pertanyaan mengintimidasi tadi hanya merupakan bualan sang pemuda semata. Gadis itu ikut tertawa.

“Ii… Aku cuma shock saja..”

Kamiki tersenyum tanpa melepaskan pakuan pandangannya dari Misaki. Ada sesuatu di matanya, jelas itu bukan senyuman. Bibir Kamiki boleh saja menyunggingkan lengkungan bulan sabit lebar sebagai ekspresi bahagia, namun matanya tetap sarat akan kelam yang tak bisa diartikan maksudnya. Dan  Misaki hanya tidak peka untuk menangkapnya.

* * * * * * * *

2 months later, Yukimura’s residence…

PIIP..PIIP…PIIIP…

Misaki mendengus kesal sembari memasukan beberapa bukunya yang masih berserakan di meja. Persetan dengan bunyi klakson kalap di luar. Siapa suruh manusia itu datang terlalu cepat! Sungutnya. Namun ketika matanya tak sengaja melirik jam dindingnya, gadis itu sontak tersenyum geli. Pukul 8 pagi, ok! Dia yang terlambat.

PIIIP..PIIIP…PIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIP…

“Argh! Sabar sedikit kanapa sih!” Pekikan Misaki bersaing dengan bunyi klakson lanjutan dari luar. Buku terakhir sudah dimasukkannya. Gadis lalu itu berlari keluar kamar menuju ruang tengah dengan tergesa, menyeruput susunya hingga tinggal ¾ gelas dalam sekali teguk dan mencomot sepotong roti tenpa selai di atas meja.

“Telat bangun ya?” Yukimura Sayu keluar dari dapur sambil menenteng semangkuk bubur panas. Wanita itu memang kurang enak badan hari ini. Menanggapi pertanyaan ibunya, Misaki hanya mengangguk cepat. Jelas karena mulutnya penuh terisi roti tentu saja.

“Itekimasu…” Gadis itu mencium pipi ibunya sedetik sebelum berlari keluar dengan tergesa-gesa. Tas punggungnya sudah dikenakan sementara satu tangan gadis itu tetap memegang rotinya sambil sesekali menggigit sepotong.

“Itarashai…” Balas sang ibu dengan senyum.

Misaki masih berlari menuju kendaraan roda empat diluar. Melihat gadis itu tergesa mendektinya, oknum pengemudi mobil hanya tertawa geli. Ide isengnya mucul lagi.

PIIIP..PIIIP…PIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIP…

“AKU SUDAH DATANG NIH! AKU SUDAH DATANG!!!” teriakan Misaki terdengar super kesal. Gadis itu menjepit rotinya di mulut sementara satu tangannya memukul keras pintu mobil. Pemuda dalam mobil tersebut tertawa makin lebar. Tak lama, pintu dibuka dari dalam.

“Lama!” sosok pemuda maha tampan dalam mobil tadi berganti ekspresi. Dengan wajah serius serta tangan disilangkan di dada, di tatapnya Misaki dengan tatapan mengintimidasi. Sayang, indra perasa gadis itu tumpul saat ini. Yang ada, dia malah mau balik marah.

“Kau pikir kenapa aku lama huh?! Aku terlambat bangun heh! Gara-gara siapa hayo aku bengun terlambat?!” balasnya tak kalah mengintimidasi. Tawa pemuda itu nyaris pecah, namun sekuat mungkin ia berusaha untuk menjawab pertanyaan Misaki dengan nada innocent.

“Siapa emang?”

“HAAAH! Apa-apaan nada polos itu?! Kenapa kau selalu membuatku kesal siih? Jelas-jelas kau tahu penyebabnya!” Misaki mengacak-ngacak rambutnya sementara pemuda itu masih menatapnya innocent. Kepalanya dimiringkan sedikit pula, sontak menambah kesan polos yang baru ditampilkannya beberapa detik lalu. Misaki menggigit bibir. Wajah itu memang selalu bisa melumpuhkannya.
“Ck, hentikan wajah anak kecil itu… kau membuatku tak bisa marah.”

Pemuda itu tersenyum manis.

“Kalau begitu kenapa kau telat bangun?”

Misaki mengangkat alisnya sekalian menarik ujung bibir kanannya.

“Heh! Tanyakan pada tuan Yamada Ryosuke yang menelponku semalam dan menunda waktu tidurku sampai pukul 2 pagi hanya karena dia mimpi buruk dan ingin bicara denganku!”

Kali ini pemuda itu tak lagi bisa menahan pergerakan kedua sudut bibirnya. Tawanya pecah seketika.

“Ryosuke sialan!”umpat Misaki melihat Ryosuke—pemuda tadi—nampak begitu menikmati tawanya akibat membuat gadis itu kesal setengah akut. Nyaris 2 menit berlalu sampai pemuda itu akhirnya berhenti dengan kesenangannya tadi.

“Gomen ne… habis lucu saja sih kau bisa terlambat hanya gara-gara itu. Tidur mulai Jam 2 pagi kan tidak kurang-kurang amat. Kalau kau bangun jam 7 pun sudah lumayan cukup kok…”

“Itu kalau aku tidur tepat jam 2. Ini aku baru mulai nutup mata jam setengah 4..”

Ryosuke mengangkat alis. “Eh? Kenapa? Tidak bisa tidur?”

 “tidak juga sih…”Misaki menggeleng pelan. “Aku hanya…mengkhawatirkanmu…”intonasinya seketika menurun bersamaan dengan semburat merah yang tiba-tiba muncul di kedua pipinya. “Habis!” nadanya tinggi lagi. ”Kau terdengar takut sekali saat bicara padaku semalam. Aku hanya cemas kau bisa tidur nyenyak atau tidak selanjutnya…” nadanya kembali menurun. Ryosuke hanya terpaku menatap gadis itu sesaat sebelum tersenyum lembut beberapa detik kemudian. Hatinya seolah tersapu hembusan angin hangat yang membawa bahagia. Tangan kanan pemuda itu terangkat mengelus puncak kepala Misaki pelan.

“Daijoubu… setelah bicara denganmu, rasanya sudah lebih baik…”

Misaki tersenyum kecil, namun kembali bertanya.

“Memangnya kau mimpi apa sih sampai bisa setakut itu?”

Pertanyaan Misaki sontak membuat Ryosuke terdiam. Pemuda itu lalu berusaha mengingat kembali mimpinya semalam.

Ia berada dalam satu tempat bernuansa abu-abu. Sekelilingnya kosong, nyaris beberapa detik sebelum seseorang muncul tepat didepannya dan menyentuh wajahnya perlahan. Ryosuke kenal jelas sentuhan itu.

Umika?

Gadis itu hanya tersenyum lembut, kemudian pelan-pelan mencium bibir pemuda itu lama.

Satu kata terlontar selanjutnya, mengiringi sosoknya yang seketika lenyap bersama hembusan angin keras.

“Sayonara, Ryosuke…”

Bagaimana bisa mimpi yang nyaris sama terulang hingga dua kali?

Panik, Ryosuke sontak menelpon Misaki dan setelah mengetahui gadis itu baik-baik saja, tak ada rencana apapun untuk pergi atau apa, dan setelah memastikan pada gadis itu bahwa dia akan menjemputnya besok dan membawanya ke kampus dengan selamat, pemuda itu baru bisa bernapas lega. Paling tidak dalam waktu dekat ini ia hanya harus membuat Misaki aman, dimanapun dia berada. Ia tidak mau kehilangan gadisnya ini untuk yang kedua kali.

“Ryosuke?”

Ryosuke tersadar dari lamunanya, sontak teringat pertanyaan gadis itu.

“Aku… memimpikanmu. Kau meninggalkanku…dan, aku takut. Aku tidak ingin kehilanganmu, Misaki…”

Misaki terpana.

Ryosuke tersenyum lembut sampai matanya tak sengaja menangkap gerakan jarum jam hitam pada jam tangan kuning muda yang melingkari pergelangan kiri Misaki. Kedua bola matanya sontak membulat sempurna.

“Yabai! Sudah jam 8 lewat!”

Misaki ikut melonjak kaget dan cepat-cepat melihat jamnya.

“Kyaa! Kelas Maeda-sensei dimulai pukul 8! Ah, ayo cepat berangkat!!”

Mesin mobil dihidupkan. Misaki meloncat cepat menuju mobil. Dengan sigap, pemuda itu langsung melarikan kenadaraan roda 4 tersebut secepat kilat. Misaki pasrah, sudah tebiasa dengan gaya balapan pemuda yang satu itu.

Meskipun begitu, sejak pergerakan mereka meninggalkan halaman rumahnya, Misaki tak sama sekali melepaskan pandangannya dari sosok Ryosuke yang tengah serius mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi di sampingnya. Terkadang senyuman gelinya terulas ketika memikirkan hubungan mereka.

Hubungan? Rasanya tidak. Meskipun sudah dua bulan lebih keduanya dekat, tidak pernah benar-benar ada pernyataan resmi atas relasi yang terjalin. Meskipun Ryosuke pernah menyatakan perasaannya secara gamblang dan mereka berdua bahkan pernah berciuman sekali, namun hal itu tak semerta-merta mengindikasikan keduanya sebagai pasangan kekasih atau apa. Mereka tetap seperti ini, mereka nyaman dengan relasi ini, dan mungkin akan datang suatu saat yang tepat bagi keduanya untuk menjadikan sesuatu diantara mereka itu sebagai sebuah penyatu, sebab keduanya sendiri tahu, perasaan cinta sudah tumbuh di hati masing-masing dan tinggal menunggu waktu yang tepat untuk membuat semuanya jelas dan nyata.

Misaki tersenyum kecil.

* * * * * * * *

“Akhir-akhir ini kau senang sekali. ada apa?”

Satu pertanyaan tadi spontan mengagetkan Ryosuke dari keseriusannya menatap berbagai foto dalam album pribadinya. Kapalanya ditolehkan ke belakang, hanya untuk mendapati sang ayah tengah berdiri tepat dibelakangnya sambil menenteng setumpuk penuh strawberry dalam mangkuk di tangannya. Ryosuke nyengir, lalu memfungsikan tangan kirinya yang bebas dari lembaran album untuk mencomot satu strawberry dan memasukannya ke dalam mulut.

“Pfetsumni…” Jawabnya dengan mulut sibuk mengunyah strawberry. Otak cerdas Tsukasa sontak mentransisikan seuntai kata tak bermakna yang terlontar dari putranya itu menjadi satu kata yang mengandung arti.

“betsuni? Ne, tapi kenapa tiap hari kau senyam-senyum terus?” Pria 40nan tahun itu ikut mengambil tempat di sebelah Ryosuke. Dan seperti sang anak, Tsukasa ikut memasukan strawberry ke dalam mulut. Hanya saja sekali makan, Tsukasa bisa mencomot 2 buah.

“ii yo… tidak setiap hari. Sekarang aku hanya lihat-lihat foto lamaku dengan Umika. Aku belum punya foto baru dengannya sebagai Misaki soalnya...”

“Misaki…Umika itu? Tou-chan senang kau sudah menemukannya. Tapi kau benar-benar yakin mau terus –terusan membohonginya dan membiarkannya hidup sebagai Yukimura Misaki? Bagaimana jika suatu saat dia ingat? Kita tidak bisa menerka apa yang akan terjadi selanjutnya kan?” Tsukasa membrondong Ryosuke dengan beberapa pertanyaan sekaligus. Pemuda itu menggigit bibir, namun kemudian tersenyum lemah.

“Daijoubu… asalkan Umika bisa terus tersenyum, apa yang akan terjadi nanti tidak menjadi masalah buatku…”

Tsukasa menatap putranya lama, sambil terus memasukan strawberry ke dalam mulut dan baru berhenti setelah 5 buah memenuhi mulutnya.

“Tfersferah...tapfi akhfu sfudha mengfingathkfan…. ” ujarnya masih dengan mulut penuh strawberry. Ryosuke hanya nyengir, namun setelah beberapa detik, pemuda itu menyilangkan tanganya sambil mengusap-ngusap bahunya layaknya orang kedinginan.

“Kok tambah dingin ya?”

* * * * * * * *

Misaki melirik jam tangannya cemas. Waktu sudah menunjukan pukul 08.20 dan Ryosuke sama sekali belum menunjukan batang hidungnya. Khawatir—ditambah dosennya juga belum masuk kelas—Misaki lalu menghubungi pemuda itu. Setelah beberapa detik menunggu diangkat, terdengarlah jawaban dari seberang.

“Moshi-moshi?”

Misaki sedikit terlonjak ketika mendengar suara asing barusan. Jelas itu bukan suara Ryosuke. Lalu, itu suara siapa? Kenapa keitai Ryosuke bisa ada pada orang lain?

“Ah, moshi-moshi… anoo, ini keitai Ryosuke-kun kan? Bisa aku bicara dengannya?”

“Yukimura-san? Hai, ini keitai milik Ryosuke. Aku dokter pribadinya. Inoo-desu. Demo, Gomen ne. Ryosuke-kun sedang demam dan sekarang sedang istirahat jadi tidak bisa menjawab telpon…”

“Eh?! demam?” Misaki sedikit melonjak kaget. “Sou kah? Ah… arigatou kalau begitu..”

“Hai. Douitashimashita…”

Misaki menutup flip keitainya cepat. Bola matanya diarahkan ke depan hanya untuk memastikan kalau dosennya belum juga menampakkan diri. Berpikir agak lama, gadis itu kemudian mengenakan lagi tasnya dan melangkah keluar kelas. Beberapa pasang mata memandangnya kaget plus heran karena gadis yang terkenal paling pintar di jurusan—bahkan seangkatan mereka itu tiba-tiba bolos kuliah. Ada gerangan apa? Apa karena pemuda maha tampan pasangan duduknya yang biasa itu tidak datang?

Sementara Misaki tidak sama sekali ambil pusing dengan ragam tatapan itu. Entah kilat apa yang menyambar pikirannya, gadis itu hanya terkomando untuk keluar dari ruangan tersebut dan pergi kepada seseorang.

Menjenguk Ryosuke-nya tentu saja.

* * * * * * * *

“Nani kore???” Misaki bertanya pada dirinya sendiri dengan nada suara yang terdengar kagum luar biasa sembari tangannya menggenggam sepotong kertas berisi sebuah alamat yang didapatnya dari sekertariat kampus dan matanya memandang sebuah bangunan megah bercat putih murni berpelindung pagar tinggi menjulang didepannya. Sorot kekagumannya seolah tak mau lepas. Sebenarnya jika pemilik rumah bertipe istana itu tak dikenalnya, tentu ia hanya akan sekedar mengagumi. Namun, mengetahui bangunan megah itu adalah salah satu—hanya salah satu! Tebak punya berapa rumah dia?!—dari kediaman seorang Yamada Ryosuke, teman dekatnya selama 2 bulan terakhir itu jelas menambah efek WOW baginya. Jadi begini ternyata kehidupan pewaris tunggal kekayaan Yamada yang fenomenal.

Pelan-pelan gadis itu memencet tombol bel yang terletak disamping kiri pagar.

“ohayou gozaimaz… ada yang bisa kami bantu?” terdengar suara dari sebuah speaker mini diatas bel. Misaki tersentak kaget, namun sebisa mungkin menyembunyikannya. Maaf saja, ia tidak mau terlihat kolot saat ini.

“Anoo, aku ingin menjenguk Yamada Ryosuke-kun. Namaku—“

“AAH! Umika-sama?” gantian suara dari speaker itu yang terdengar kaget. Misaki sontak membantah.

“chigaimasu… Umika janai. Ah, Yukimura-desu. Yukimura Misaki… aku teman Ryosuke di kampus…”

“sou kah? oh, gomenasai nona. Kami pikir…. Ah, ii yo. Silahkan masuk…”
Pagar tinggi menjulang tadi tiba-tiba bergeser ke dua arah dan menyisakan satu ruang kosong lebar bagi Misaki untuk masuk. Tak jauh di depannya, berdiri seorang gadis berseragam maid yang tengah menunggunya.

“Silahkan saya antar kedalam nona…” ujar maid itu lembut. Misaki tersenyum kecil setengah keheranan, namun akhirnya mengikuti. Perjalanan keduanya menuju kamar Ryosuke nyaris menyita waktu 5 menit karena luasnya pekarangan depan serta bangunan rumahnya. Setelah sampai sempurna didepan kamar Ryosuke, maid tersebut langsung membuka pintu kamar. Didalam terlihat Ryosuke yang tengah tertidur pulas di kasurnya.

“Tuan muda sudah sakit sejak semalam dan pagi ini tambah parah. Tapi untunglah Inoo-sensei sudah datang dan memeriksanya. Katanya tuan muda cuma butuh istirahat beberapa hari …”

Misaki hanya terpaku di tempat sambil memandang kedalam.

“Silahkan masuk nona…”

“eh?” gadis itu mengernyit. “tidak apa-apa nih main masuk saja?”

“tidak apa-apa nona. Tuan muda selalu memperbolehkan siapapun temannya untuk masuk ke kamarnya. Apalagi nona datang untuk menjenguk. Tidak apa-apa…” maid itu tersenyum. Misaki menggigit bibir sambil menganggukan kepala.

“kalau begitu saya permisi…” pamit sang maid lalu menutup pintu. Misaki masih mematung beberapa detik sebelum akhirnya bergerak mendekati tempat tidur Ryosuke. Wajah pemuda itu merah dan nampak kepanasan. Misaki bahkan bisa mendengar deru nafasnya yang tak beraturan.

“Kau bisa sakit juga ternyata…” ujar gadis itu lembut. Tangan kanannya terangkat untuk mengusap kepala Ryosuke lembut. Ryosuke mengerang pelan, seolah menikmati sentuhan itu. 
Senyum di bibir Misaki terkembang. Matanya yang sejak tadi memperhatikan lekat-lekat wajah Ryosuke kemudian berpindah ke sebuah album merah tua yang tergeletak disamping pemuda itu. Penasaran, misaki lalu membuka lembarannya. Iseng, kira-kira foto apa saja yang tersimpan didalam. Jemari lentiknya bergerak menyingkap lembaran isi album menuju satu lembar yang dibukanya secara acak.

Gadis itu tersentak.

Selembar foto itu memuat sosok Ryosuke yang tengah memeluk mesra seorang gadis. Di belakang mereka, latar suasana pantai berpasir putih dengan bentangan luas laut biru jenih terlihat memukau.

Kedua manik mata Misaki menatap lurus pada satu obyek yang membuatnya tercengang. Gadis itu, gadis dalam pelukan Ryosuke itu…wajah mereka sama! Demi Tuhan! Misaki sendiri bisa mengetahui dengan sekali melihat bahwa gadis itu adalah pantulan dirinya. Mereka benar-benar mirip. Sama persis. Bagaimana bisa? Mungkinkah itu dirinya? Tapi sejak kapan ia pernah berfoto dengan Ryosuke? Atau jangan-jangan….

Itukah Umika?

Jantung Misaki seketika berdetak 10 kali lebih cepat. Tangannya yang gemetar lalu menyingkap lembaran-lemabaran sebelumnya. Sama! Gadis dalam setiap foto masih berwajah sama dengannya.

“Na-Nani…?” bisiknya takut sekaligus sesak. Tubuhnya masih juga gemetar, jantungnya tak lagi berdetak senormalnya, keringatnya mengucur deras. Berkali-kali gadis itu menelan ludah guna menenangkan pikirannya. Namun tetap saja rasa itu masih menyingkapi. Takut dan sesak. Bagaimana mungkin wajah Umika yang telah tiada itu bisa sama persis dengannya?!

Satu gerakan di kasur tiba-tiba memecah konsentrasinya. Ryosuke mengerang kepanasan sambil sedikit membuka matanya. Samar, pemuda itu bisa menagkap seseorang tengah duduk di dekatnya.

“Umika… k-kau datang…” bisik pemuda itu terbata dan refleks memeluk Misaki hingga gadis itu terjatuh di tempat tidur bersamanya. Ryosuke memeluk tubuh Misaki erat, dan tak hanya itu saja. Ia juga langsung mencium bibir gadis itu lembut. Misaki dibuat terperangah oleh tindakan tiba-tiba Ryosuke itu, namun tak ayal, gadis itu juga membalas pelukan serta ciumannya.

“Umika, Ai shiteru …”

Apa dia bilang tadi?

“Jangan tinggalkan aku lagi… aku tidak bisa hidup tanpamu, Umika…”

Umika?

“Umika janai…” Misaki berbisik. Air mata tiba-tiba saja mengaliri pipinya. “Aku bukan Umika!” serunya kemudian melepaskan diri dari pelukan Ryosuke. Pemuda itu terkaget dari orientasinya tadi dan sontak tersadar.

“Umi—“

“AKU BUKAN UMIKA!” teriak Misaki frustrasi. “Aku bukan Umika! berhentilah memanggilku Umika! Aku bukan dia!!”

Ryosuke berusaha bangun dengan susah payah.“Misaki, gomenasai… aku ti—“

“Hentikan Ryosuke! Aku tahu! Selama ini kau tetap berpikir bahwa aku adalah Umika! Kau sendiri yang pernah bilang bahwa sampai kapanpun kau hanya akan mencintai Umika. Kau mendekatiku karena wajah kami sama kan?! Karena kau hanya menganggapku sebagai pengganti Umika, iya kan?!” Misaki menumpahkan semua emosinya. Hatinya akit, sangat sakit. Air matanya tak berhenti mengalir. Ryosuke terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Bagaimana mungkin Misaki dijadikannya sebagai pengganti Umika sementara gadis itu sendiri adalah Umika.

Secepat mungkin Misaki berlari keluar dari kamar Ryosuke. Pemuda itu ikut bangkit dari kasur, hendak mengejar. Namun baru beberapa langkah, ia sudah tersungkur ditanah karena kondisi badannya yang terlalu lemah.

“Misaki, matte!!” susah payah Ryosuke berteriak, namun tak sama sekali digubris Misaki yang sudah hilang dibalik pintu.

“Nee-chan?” satu panggilan familiar terdengar. Misaki menoleh kesamping dan menemukan sesosok pemda yang pernah dilihatnya di kampus dan dalam mimpinya dulu sedang menatapnya khawatir. Hati Misaki kembali terasa perih setelah menyadari panggilan tadi. ‘Nee-chan’. Hah, sudah tentu panggilan itu untuk Umika. Lihat! Bahkan, pemuda yang tak dikenalnya ini pun mengira dirinya adalah Umika.

“Aku bukan Umika…” balasnya tegas sebelum kemudian kembali berlari, melenyapkan dirinya dari kesalahpahaman ini dan pergi dari kehidupan milik seorang Umika.

To Be Continued

------------------------------------------------------------------------------------------------------------