Selasa, 30 Agustus 2011

[fic/On Writting] : The Dream Lovers-chapter 13

CHAPTER 13

“Disini saja…” Umika berujar pelan, ketika mobil mewah Yuto melewati halaman rumahnya. Yuto langsung menghentikan laju mobilnya.

“Arigatou na…” Umika pamit lalu bersiap membuka pintu mobil. Namun sepersekian detik kemudian, Yuto menahan tangannya. Wajah pemuda itu serius.

“Kawashima, tolong… jika ada sesuatu, katakanlah padaku…”Yuto kembali memohon. Mungkin ini yang terakhir kalinya—tidak! Ini bukan yang terakhir kalinya. Jika harus, Yuto akan terus memohon pada gadis itu agar membuatnya tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan kekasih dan sahabatnya.

Dan seperti yang terjadi sebelumnya, Umika tetap enggan berkata.

“Aku tidak tahu apa-apa Yuto…”

Yuto terdiam lagi, sembari melepaskan rangkulannya dari tangan Umika, membiarkan gadis itu keluar dan meninggalkannya di dalam.

“Arigatou…”

“un! Aku berangkat ya…”

Suara deru mesin mobil Yuto kembali menggema, menjadi salam perpisahan terakhir sebelum sosok itu melaju pergi. Umika menghela nafas agak lama sebelum menundukan kepalanya frustrasi.

“Hufft—“

“Nee-chan selingkuh ya?” sebuah suara tiba-tiba mengagetkan Umika. saking kagetnya, gadis 17 tahun itu bahkan nyaris melorotkan bahunya ke tanah. Ia seketika menoleh ke sumber suara.

“Ryuu?! Ck! Apaan sih?”

Penyebab kekagetan Umika tadi—yang ternyata adalah adiknya sendiri itu menatap kakaknya kesal lalu melangkah maju beberapa langkah mendekati objek tatapannya tersebut.

“Nee-chan jahat banget sih! Padahal Yamada-sama sudah terlalu baik. Sudah untung dia mau sama nee-chan!” Ryuu memarahi kakaknya. Umika mengangkat alisnya sebelah, tidak mengerti.

“HA?!”

“Nee-chan selingkuh kan sama Nakajima Yuto?” bukannya menjawab pertanyaan kakaknya, Ryuu malah balik bertanya. Tampangnya siap menginterogasi gadis itu. Umika terdiam beberapa sekon sebelum menjawab tuduhan adik semata wayangnya tersebut.

“Gila! Tidak mungkinlah aku dan Nakajima—“

“lalu kenapa Nee-chan pulang sekolah diantar Nakajima-kun? Padahal tadi pagi kulihat yang jemput Yamada-sama!” belum selesai Umika berbicara, Ryuu sudah menimpali dengan tuduhan berikut. Umika menggaruk kepalanya agak kesal dengan perasangka Ryuu. Terpaksa dia harus mengarang scenario cerita baru sebagai dalih. Kan bahaya kalau Ryuu tahu dia bolos dan sampai main ke rumah Yamada.

“tadi Ryosuke sakit, terus pulang duluan. Jadinya aku diantar Nakajima-kun…”

“terus bungkusan lucu itu apa?” Ryuu menunjuk bungkusan plastic putih di tangan Umika. umika mengikuti arah mata adiknya itu dan menemukan bungkusan yang dimaksud.

‘gawaat!’ batin gadis itu melihat Ryuu menatap intens bungkusan berisi baju yang tadi  dibelikan Ryosuke untuknya. Bisa ketahuan dong belangnya. Apalagi kalau sampai bocah itu membongkar-bangkir bawaannya, kecurigaannya tentang Ryosuke adalah kekasih kakaknya bisa semakin meluber alias makin besar.

“ini…isinya tugas, iya! Aku diuruh bikin rajutan gitu..jadi kubawa bahan-bahannya…” Umika mengelak. Ryuu masih menampakan wajah tidak percayanya.

“masa sih?”

“Iya..! sudah ah, aku mau masuk dulu..!” Umika buru-buru berlari memasuki rumah, meninggalkan adiknya yang masih menatap berjuta pertanyaan. Namun malang memang tak dapat di duga. Tinggal semeter lagi dari pintu putih berlabel ‘KAWASHIMA’ di depannya, Umika tiba-tiba saja terjatuh dengan sangat tidak elitnya. Usut punya usut, ternyata gadis itu tersandung skateboard milik Ryuu yang terparkir indah di depan rumah. Niatnya sih mau mengerjai sang Ayah gara-gara pagi tadi sudah seenak jidat memakan sepotong chocolate cake buatan kanon untuknya. Ngabisin lagi! Padahal Ryuu sudah berpuasa semalaman untuk dapat menikmati kue panuh cinta itu di pagi hari dengan hati berbunga-bunga. Namun memang dasar setan, sang Ayah malah melahap potongan kue tersebut tanpa meninggalkan sisa. Bekas krimpun tak ada! Setelah mewek hampir 2 jam dan nyaris bolos sekolah, Ryuu lalu memutuskan untuk membalaskan dendamnya terhadap sang ayah. Tapi bukannya sukses, proyek pembalasan dendam itu malah menimpa kakaknya. Ooh, nasib..!

Efek dari terjatuhnya Umika kemudian terlihat jelas. Bungkusan plasik putih yang dilindunginya dari insting tajam Ryuu sejak tadi seketika melayang beberapa meter ke udara, lalu ikut terjatuh seperti pemiliknya. Hasilnya? Bertebaranlah 3 gaun mewah yang sejak tadi nyungsep di dalam.

Pupil mata Ryuu membesar melihat isi plastic milik kakaknya itu. kaki-kakinya melangkah maju mendekati sang kakak. Tapi bukannya menolong, pemuda itu malah memungut gaun-gaun yang berserakan di depan Umika dan menelitinya baik-baik.

“Gaun mahal. Dapat dari mana?”Ryuu gantian menatap kakanya curiga. Umika mendongak sebentar, lalu menghela nafas panjang.

Siasatnya kali ini gagal!

~ 0 ~ 0 ~ 0 ~

“DAICHAAAAN BURUAAAN!!!” Momoko menarik-narik lengan pacarnya agar bergerak lebih cepat. Daiki mengimbangi langkah-langkah pendek namun bersemangat Momoko dengan susah payah karena dari cara Momoko mencengkram lengannya bisa terasa kalau pemuda itu tidak akan pernah lepas begitu saja.

Setelah beberapa menit melangkah, keduanya sampai di bengunan putih megah bertitle ‘F4 boutique’. Langsung saja kedua insan yang dimabuk asmara itu(?)melangkah pasti ke dalam, dan disambut sapaan ramah sang penjaga.

“irashaimase…aah, Arioka-sama, Tsugunaga-sama…” Akihiko menyapa kedua manusia yang baru datang itu. Akihiko memang sudah mengenal Momoko karena selama ini Daiki sering membawa gadis itu ke tempat ini. Keduanya balas tersenyum.

“Akihiko-san, hisasiburi ne…” Ujar Momoko sedikit kangen melihat wanita 30 tahunan itu.

“hai, Tsugunaga-san… hisashiburi.. mau nyari baju untuk pesta ulang tahun Nakajima-sama kan?” jawab Akihiko sambil mengajak Momoko dan Daiki ke lantai atas.

“Kok tau?”Tanya Momoko. (A/N: bayangin ‘kok tau?’nya Momoko ini adalah ‘kok tau’nya cewek2 yang digodain di OVJ..wkwkwk*author kangen sule—dilempar upil Yama XD*)

Akihiko tersenyum lembut. “tadi pagi Yamada-sama juga kemari bersma seorang gadis. Aku baru melihatnya, sepertinya kekasih baru Yamada-sama, meskipun Yamada-sama tetap bersikeras kalau gadis itu temannya…” jelasnya kemudian sambil sesekali cekikikan mengingat sepasang manusia yang tadi pagi mengunjunginya. Telinga Momoko langsung terangsang mendengar kata ‘gadis’ dalam kalimat teakhir Akihiko barusan.

“Gadis? Akihiko-san tahu siapa namanya?” Momoko bertanya lagi. Akihiko berhenti melangkah sejenak, hendak mengingat-ngingat.

“Kalau tidak salah Yamada-sama memanggilnya Umi… Umika! iya! Yamada-sama memanggilnya Umika.”

Momoko langsung tersenyum lebar sambil melipat tangannya.

“Jadi tadi Umika bolos untuk belanja bareng Yamada ya…? Sudah kuduga ada sesuatu diantara mereka…Hahaha, aku tahu sekarang!” Gadis itu menggumam, namun sesekali tertawa puas. Daiki memandanginya agak ngeri sekaligus takjub.

“Ne, Momochan…daijoubu?” Daiki mencoba menegur gadisnya tersebut. Antisipasi, kalau-kalau gadisnya itu kesurupan, dia kan bisa langsung menelpon paranormal.

“Ha? Aa..Hai! Hai! Daijoubu desu!” Jawab Momoko cepat melihat wajah ngeri Daiki. Pacarnya yang manis bak penguin itu langsung tersenyum lembut. Momoko balas tersenyum manis, namun dalam hati gadis itu tengah tertawa puas layaknya tokoh-tokoh antagonis dalam cerita-cerita Princess Disney. Senang, dia akhirnya punya bukti yang menyiratkan ada sesuatu antara Umika dan Ryosuke.

“ne, Daichan.. pulang nanti aku dianterin ke rumahnya Umika aja ya?” Momoko berbisik. Daiki memiringkan kepalanya 30 derajat, heran.

“Doushita?” tanyanya kemudian.

“ada yang mau ketanyakan padanya. Bisa kan?” Momoko kembali membujuk pacarnya itu. alhasil, Daiki pun mengangguk.

~ 0 ~ 0 ~ 0 ~

“jadi, bagaimana Nee-chan bisa menjelaskan ini?” Ryuu melempar 3 potong gaun yang sedari tadi ditelitinya di meja kayu putih didepan Kakaknya, siap mengintrogasi. Umika menatap pemuda 16 tahun itu hopeless. Sumpah, dia benar-benar kehabisan akal sekarang.

“itu…aku…”

“Jangan bilang Nee-chan nyolong di Mall karena aku tidak bakal percaya!”Ryuu memotong tiba-tiba. Umika menatap adik lelakinya itu kesal.

“aku kan belum ngomong apa-apa!” Protes gadis itu.

“kalo gitu ayo ceritakan kronologisnya, bagaimana sampai gaun mewah nan mahal macam begini bisa ada di tangan Nee-chan..! biar kutebak, Nee-chan mendapatkannya dari Nakajima-kun kan? Jadi benar dugaanku! Nee-chan selingkuh!”Ryuu kembali menuduh kakaknya. Umika seketika berdiri.

“Chigau yo! Itu dibelikan Ryosuke tadi!” Gadis itu refleks membantah.

“Hee?”

“itu dibelikan Ryosuke. Tadi aku bolos sekolah berdua Ryosuke, dan dia mengajakku ke butik untuk membeli gaun-gaun ini. Persiapan, Ultah Nakajima minggu depan…” Umika akhirnya jujur di depan sang adik. Ryuu ternganga sebentar mendengar cerita kakaknya namun beberapa detik kemudian senyum kemenangan merekah dari kedua sudut bibirnya.

“Sudah Kuduga! Nee-chan memang detto sama Yamada-sama.” Gemas, Ryuu menepuk-nepuk pundak kakaknya berkali-kali, sampai gadis itu mengerang kesakitan karena punggung mininya mendapat geplakan selamat bertubi-tubi dari sang adik. Mendengar erangan sang kakak, Ryuu akhirnya berhenti mengekspresikan bahagianya dengan kekerasan macam tadi, berganti dengan menatap Nee-channya intens penuh kekaguman.

“Ne, aku dan Ryosuke tidak detto…hontou ni!” entah untuk yang kesekian kalinya Umika mengelak. Namun Ryuu masih saja membanjirinya tatapan bahagia tadi.

“Nee-chan tidak usah malu… aku mengerti kok…” Pemuda itu sumringah. Umika hanya bisa menarik nafasnya panjang-panjang sebelum menyabet 3 potong gaun yang terkulai di meja dan berjalan menuju kamarnya.

“Aku mau tidur. Jangan ganggu aku ya…” gumamnya sesaat sebelum kenop pintunya diputar. Namun, belum juga Ryuu mengiyakan permintaannya, seseorang sudah nyelonong masuk dengan teriakan khasnya yang bak toa dari ruang depan.

“UMIKAAA~” sosok itu memanggil dengan gaya khas anak-anak SD mengajak temannya main layangan di sawah. Umika batal memasuki kamarnya dan terpaksa kembali ke lantai bawah. Dia kenal betul, suara milik siapa itu.

“Momo~ doushita?” Umika bertanya malas setelah memastikan eksistensi yang meneriakan namanya dengan suara super dasyat tadi adalah sahabatnya, Tsugunaga Momoko. Momoko cekikikan melihat tampang kusut gadis itu.

“Umichan, kau kenapa? Kusut amat wajahmu?” tanyannya asal.

“Aku habis diinterogasi Ryuu soal Ryosuke…”jawab Umika masih saja malas-malasn. “Kau datang sendiri?”lanjutnya. momoko menggeleng.

“aku datang bareng Daichan. NE DAICHAAAN!! MASUK YUUK!!” Momoko kembali berteriak, memanggil pangeran penguinnya yang sedang menunggu di luar. Pemuda itu lalu masuk perlahan.

“konichiwa…” sapanya sangan sopan. Umika tersenyum kaku.

“H-hai..konichiwa.” ekspesinya agak kaget. Tidak menyangka seorang Daiki arioka bisa bertandang kerumahnya yang sederhana ini. Berarti, diantara ke 4 member The Dream Lovers, tinggal Chinen yang belum.

“Ne, Daichan pulang saja… aku kayaknya bakal lama disini...” setelah Daiki selesai ber-konichiwa ria dengan Umika, kekasihnya tiba-tiba saja mengusirnya pulang. Pemuda itu sedikit tersinggung, baru datang kok sudah diusir. Apalagi yang mengusir bukan si pemilik rumah, tapi pacarnya sendiri. Namun karena terlalu cinta dan ingin memanjakan sang pacar, terpaksa Daiki menuruti dan kembali ke habitatnya.

Setelah daiki menghilang, Momoko kembali konsentrasi dengan tujuannya mendatangi Umika. Ada suatu informasi yang harus diketahuinya.

Kedua menusia itu melangkah perlahan ke kamar Umika. Lalu ketika keduanya sempurna berada di dalam, Momoko langsung to the point dengan tujuan kedatangannya.

“Tadi kau ke butik F4 dengan Yamada-kun kan?”

Umika hanya bisa berhe-eh sesaat sebelum menceritakan kembali semuanya.

Chapter 13 end ~ continue to chapter 14

[fic/On Writting] : The Dream Lovers-chapter 12


CHAPTER 12

“Suzu-chaaan….” Chinen Yuri dengan wajah sumringah full melangkah ringan, menyongsong sosok seorang gadis manis berambut hitam sebahu yang nampaknya sedikit mengernyit ngeri melihat kedatangannya. Chinen mencueki berbagai macam pandangan yang menghujaninya sepanjang perjalanan menjangkau sang pujaan hati. Siapa peduli, yang penting suzuka tersayang ada di depan mata.

2 menit kemudian Chinen sampai sempurna di samping gadisnya itu. Tak tanggung-tanggung, diberikannya kecupan singkat di pipi kanan Suzuka. Gadis itu bukannya membalas perlakuan manis Chinen tadi, malah menarik si womanizer sejauh mungkin dari pandangan mata teman-teman sesekolah mereka. Suzuka baru berhenti setelah menemukan pojok yang cukup tersembunyi.

“Suzuchan, dari tadi kemana saja sih. Aku cariin juga..”tanya pemuda itu manja, diikuti gerakan kedua tangannya yang sudah menggenggam jemari-jemari mungil gadis itu. Suzuka tidak menjawab, malah balik bertanya.

“sebenarnya ada apa ini?”

Chinen tidak bergeming. Wajahnya tetap menyunggingkan senyum ramah yang biasa.

“betsuni~” jawab pemuda itu santai, membuat suzuka sedikit naik darah.

“Aku sama sekali tidak mengerti kau, Chinen Yuri. Sekarang lepaskan aku..”

“tidak mau. Nanti suzuchan melarikan diri dariku..”

Suzuka menghela nafas berat. “kalau begitu katakan, ada apa ini sebenranya? Kau sendiri tahu kan, aku belum sekalipun merespon pernyataanmu tempo hari. Dan sekarang, kau sudah bertingkah seolah-olah kita ini sudah pacaran ah, tidak. Bahakan seolah kita sudah menikah. Pernahkah kau pikirkan perasaanku? Kau bahkan tidak tahu aku menyukaimu atau tidak!” nadanya sedikit membentak. Namun chinen bukannya melepaskan genggamannya, malah mempererat genggaman itu, lalu menarik tangan suzuka agar lebih dekat dengannya.

“Karena aku tahu, Suzuchan juga menyukaiku. Deshou?”

“Jangan sembarangan mengambil kesimpulan! Aku tidak pernah bilang menyukaimu. Kita baru saling mengenal seminggu lalu, dan kau bisa bilang kau menyukaiku. Itu tidak mungkin Chinen. Tidak ada cinta yang tiba-tiba seperti itu. Dan lagi kau tahu, betapa hari-hariku yang tenang seketika hancur karenamu. Kau bahkan memanggil orang tuaku dengan panggilan Otou-chan, Okaa-sa. Ini gila!” suzuka kembali membentak, frustrasi mengingat segala tingkah ajaib Chinen belakangan ini. Entah kenapa dunianya yang selalu tenang tiba-tiba jadi kacau ketika pemuda itu dengan kecepatan tinggi memasukinya.  

Chinen terdiam. Lalu entah makhluk apa yang merasukinya, pemuda itu melepaskan genggamannya pelan-pelan. Suzuka sedikit shock melihat pemuda itu akhirnya bisa juga membebaskan ke10 jarinya. Chinen terdiam cukup lama, wajahnya serius. Pertahanan Suzuka jadi kendur.

“Chinen..” tegurnya pelan dengan nada memohon maaf. Chinen tetap diam.

“bukan ma—“

“suzuchan adalah cinta pertama dan satu-satunya cinta sejatiku…” seru Chinen tiba-tiba. Suzuka mengeryit heran mendengar peryataan pemuda di depannya tersebut.

“heh?”

Chinen tersenyum simpul. “Suzuchan tahu Love at the first sight?. Aku pertama kali merasakannya ketika kelas 1 SMP seorang gadis memberiku plester luka bergambar miliknya saat melihatku jatuh dan terluka karena berlari. Dia tidak mengenalku, wajahnya dingin. Semula kukira dia akan meninggalkanku begitu saja meringgis kesakitan di tengah jalan. Tapi dugaanku salah. Dia dengan lembut membantuku bangun, membersihkan lukaku dan mengenakan sepotong plester bergambar beruang miliknya. Dan lagi, yang membuatku lebih terkejut adalah setelah mengenakanku plester tersebut, dia tersenyum. Senyuman itu tulus, dan itu merupakan senyuman terindah yang pernah kulihat. Bahkan sampai saat ini, ketika kami dipertemukan kembali.”

Suzuka kaget mendengar cerita Chinen barusan. Pikirannya kembali melayang, teringat suatu hari dimana dia menolong seorang anak laki-laki berseragam karate yang jatuh karena terlalu semberono berlari. Juga plester beruang itu, dia ingat betul. Plester itu dibelikan ibunya ketika kelas 1 smp, saat kakinya tergores ranting cemara mini milik ayahnya, dan dia sempat memberikan selembar pada orang asing yang ditemuinya di jalan. Suzuka ingat itu.

“Jadi ka—“ kata-kata suzuka kembali terhenti karena Chinen sudah melanjutkan ceritanya.

“setelah saat itu, aku tahu kalau gadis itu selalu melewati jalan tempatku jatuh untuk menuju halte bus di depan. Dan sejak saat itu juga, aku selalu menemukannya di halte, menunggu bus pagi lewat. Aku selalu memandangnya setiap pagi, sejak saat itu, sampai sekarang, sudah 5 tahun lebih. Dan kali ini, Kami-sama membawanya kepadaku. Aku yakin kami memang ditakdirkan untuk bersama…” chinen mengakhiri ceritanya, dibarengi wajah tak percaya Suzuka.

“jadi anak laki-laki itu…kau?”

Chinen menagguk. “jangan bilang kita baru bertemu karena aku sudah mengenal suzuchan selama 5 tahun lebih. Aku tahu kebiasaanmu terlambat setiap hari jumad karena kamis malamnya kau akan begadang untuk meneliti kelelawar milik pamanmu. Atau kebiasaanmu membawa kotak bekal berbeda warna setiap 2 hari sekali untuk disesuaikan dengan menunya. Aku juga tahu—“

“tunggu! Tunggu dulu!” kali ini gantian suzuka yang memotong perkataan Chinen. “dari mana kau tahu semua itu…”

Chinen tersenyum makin lebar.

“pokoknya aku tahu~”

Suzuka menggembungkan pipinya kesal. Susah memang berbicara dengan spesies manusia macam Chinen ini. Jawabannya selalu tidak menjawab.

Pemuda itu kembali melanjtkan kata-katanya, “Dakara, Suzuchan sekarang jangan bertanya lagi kenapa aku menyatakan perasaanku, karena aku sudah menyukaimu selama 5 tahun lebih…”ujarnya sambil melangkah maju, lalu mendekatkan wajahnya ke wajah suzuka sehingga nafas keduanya bertemu. Jantung suzuka berdetak cepat. Super cepat. 

“Sekarang… bagaimana dengan jawabanmu?” tanyanya lagi, sebelum bibirnya mengecup lembut bibir suzuka sepersekian detik kemudian.

~0~0~0~

“Mirai, hey.. mirai! Mau kemana?” Yuto menarik tangan Mirai pelan, menghentikan langkah gadis itu kemudian. Mirai berbalik, menatap pemuda itu sambil tersenyum.

“mau pulang lah, sudah jam segini…” jawabnya. Yuto ikut tersenyum lembut.

“mau ikut denganku?” tawarnya. Mirai mengernyit.

“Kemana?”

“rumahnya Ryosuke. Aku hanya mau memastikan, anak itu beneran bolos atau tidak. Jangan-jangan dia sakit…”

Mirai seketika terdiam. Tawaran yang menarik memang, secara sepanjang hari ini gadis itu terus bertanya-tanya dimana gerangan Ryosuke. Tapi bagaimana kalau Ryosuke beneran bolos dan parahnya lagi berdua Umika. Mirai takut tidak bisa menahan dirinya untuk menjambak rambut Umika dan mencakar-cakar wajah gadis itu kalau saja ia menemukannya dalam keadaan super mesra bersama Ryosuke di rumah pemuda itu. Namun buru-buru Mirai menepis fantasi liarnya tersebut, mengingat Umika adalah temannya sekarang. Orang yang wajib dijadikannya teman untuk bisa mengetahui ada apa antara gadis itu dengan Ryosuke.

Yuto bisa membaca ekspresi tidak enak Mirai. Namun pemuda itu diam saja, masih bertahan dengan keyakinan bahwa semua akan jelas baginya suatu saat nanti.

“Ne, Mirai-chan? Mau tidak?” Yuto mengulangi tawarannya. Kaget dengan teguran pemuda itu, Mirai refleks menjawab ya. Alhasil keduanyapun melangkah menuju mobil mewah Yuto yang terparkir beberapa meter di depan mereka. Namun sebelum melaju pergi, Mirai sempat menghubungi supirnya agar tidak perlu menjemput.

Perjalanan ke kediaman utama keluarga Yamada—disebut utama karena rumah mlik keluarga Yamada tidak hanya ada satu di Tokyo—memakan waktu sekitar 15 menit. Selama perjalanan itu pula, kedua eksistensi yang berstatus sebagai sepasang kekasih tadi enggan mengeluarkan sepatah katapun, tidak seperti saat-saat mereka berduaan dulu. Pasti selalu saja ada topik menarik yang bisa mereka perbincangan. Sekarang ini keduanya malah memilih tenggelam dalam pikiran masing-masing. Bahkan sampai keduanya telah memasuki bangunan megah bertitle rumah sahabat mereka yang dituju.

“Maaf Nakajima-sama, Shida-sama,… Tuan muda belum pulang…” jawab Fuma-san, kepala pelayan keluarga Yamada. Yuto sedikit keheranan mendengar jawaban Pria 50 tahunan itu.

“Eh? Jadi dia tidak sakit? Ck! Anak itu, bolos kemana dia?”

“Memangnya tuan muda tadi tidak ke sekolah?” Fuma balik bertanya. Yuto mengangguk.

“Demo Fuma-san, jangan beritahukan hal ini pada ayahnya ne? kau tahu kan, hubungan mereka itu…” Yuto memiringkan kepalanya 30 derajat, mengisyaratkan sesuatu. Fuma-san tersenyum dan mengangguk.

“tidak akan kulaporkan pada Tuan besar. Lagipula, Tuan besar dan Tuan muda sudah terlalu sering bertengkar. Kami juga tidak begitu suka melihat ayah dan anak bertengkar terus seperti itu…”

“sou desu~ arigatou na!” Yuto ikut tersenyum, begitu pula Mirai.

“Sudah masuk saja! Di dalam hanya ada beberapa pelayan! Kau takut sama rumah mewah memangnya?”

“Demo, Ryosuke! Kalau ayahmu tahu aku bolos dan main kemari, pasti beasiswaku akan dicabut!”

Sepasang suara terdengar diikuti gerakan seorang pemuda yang membuka pintu sambil menarik agak paksa seorang gadis dalam genggamannya untuk masuk. Bisa ditebak kan siapa?

Gerakan pemuda itu lalu terhenti ketika menangkap sesosok wajah yang sangat familiar baginya. Wajah yang hampir setiap hari menghiasi fantasi dan mimpi-mimpinya. Wajah satu-satunya gadis—yang saat ini sangat dicintainya.

“Mirai…” satu kata itu terucap pelan, mewakili kekagetannya menemukan gadis itu dalam lingkup pandangannya. Namun sorot matanya kemudian meredup ketika mengetahui gadis itu tidak sendiri. Ada Yuto di sampingnya. Refleks, tangan Umika yang sedari tadi ada dalam genggamannya terlepas. Umika mendongak heran, kaget tangannya tiba-tiba dibebaskan cengkraman pemuda itu. Namun sedetik kemudian gadis itu bisa mengerti kenapa Ryosuke sampai melemah. Ada Mirai dan Yuto di sana.

“Oi, Ryosuke! Kau kemana saja?” Yuto menghentikan kata-katanya sejenak ketika menangkap sosok munggil Umika yang tersembunyi tubuh sixpack Ryosuke. Pemuda itu langsung tersenyum nakal. “Kau bolos untuk detto berdua Kawashima kan?”

“AAh, chigau! Chigau!” belum sempat Ryosuke memikirkan jawaban apa yang harus diberikannya pada sahabatnya itu, Umika sudah mendahuluinya dengan jawaban klasik yang selalu dilontarkannya ketika ada pertanyaan apa dia detto, atau pacaran, atau apapun itu dengan Ryosuke: Chigau!

“Mencurigakan~” Yuto masih saja tersenyum nakal, namun kali ini sambil melipat kedua tangannya di dada. Sepersekian detik, matanya melirik ke arah Mirai, melihat bagaimana ekspresi gadis itu sekarang. Dugaanya tepat, Mirai nampak tidak suka melihat kedatangan Ryosuke yang menggandeng Umika bersamanya. Wajahnya tetap datar, namun Yuto bisa melihat jelas api cemburu di mata gadis itu. Hal ini membuat hatinya kembali sakit, membuatnya kembali ingin melontarkan pertanyaan apa yang sedang terjadi antara pacarnya itu dengan sahabat terdekatnya.

“ii yo… aku dan Ryosuke itu kebetulan terlambat tadi, iya! Makanya kami tidak jadi masuk sekolah dan ke-.. eeh.. ke..”Umika menatap Ryosuke intens, meminta pemuda itu berimprovisasi dengan jawabannya. Ryosuke menangkap maksud Umika dan mengangguk pelan.

“kebun binatang.”

“ya! Kebun binatang—heeh?” Umika kempali melayangkan pandangannya menuju pemuda itu, memberikan tatapan: kebun-binatang-?-jawaban-apa-itu-buruk-sekali pada pemuda di depannya. Ryosuke hanya berwajah pasrah, tidak tahu mau menjawab apa soalnya. Dia kan tidak pandai bohong.

Sementara di seberang, bahu Yuto sudah bergetar hebat menahan tawa. Namun ternyata pemuda itu tidak cukup kuat, sehingga meledaklah tawanya beberapa saat kemudian.

“WAHAHAHAHA….! Kalian ngapain di kebun binatang? Ngasih makan panda? Ne Kawashima, kalian berdua bohong kan? Aku tahu, Ryosuke paling sulit membohongi orang. Jadi, kusarankan untuk kedepan-depannya, jangan libatkan anak itu kalau ingin mengelabui orang. Bisa ketahuan…” Yuto berhenti sejenak, menarik nafas agak panjang sebelum meneruskan pembicaraannya. “Jadi, pergi detto kemana kalian?”

Ryosuke dan Umika saling menatap penuh arti. Otak mereka memikirkan hal yang sama: Yuto memang susah dikelabui. Terpaksa Ryosuke yang maju untuk mengatakan yang sebenarnya—selain pemuda itu adalah sumber ide bolos mereka tadi, dia jugalah yang menggagalkan skenario berbohong Umika yang kacau karena kata kebun binatang itu. Yuto benar, mau ngapain di kebun binatang? Ngasih makan panda? Kenapa nggak gorilla saja sekalian?

“kami ke F 4…” jawab Ryosuke kalem. Yuto mengangkat alis.

“butik? Uhm.. biar kutebak. Kalian nyari baju untuk Umika buat ulang tahunku nanti, deshou?”

Ryosuke mengangguk. Begitu pula Umika. Yuto tersenyum.

“Berarti memang benar, ada sesuatu diantara kalian, Ya kan Mirai?” pemuda itu menoleh ke arah Mirai. Mirai tersenyum datar kemudian mengangguk. Yuto masih menunggu, kira-kira apa reaksi Mirai berikutnya. Apakah gadis itu akan marah..? atau?
Tapi nyatanya tidak. Mirai hanya diam, tersenyum sebentar, lalu kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri.

“saa~ karena kami sudah memastikan kau tidak kenapa-kenapa, kami pulang dulu ne, Ryosuke… dan berhati-hatilah. Awas ayahmu tahu kau bolos hari ini..!” Yuto tiba-tiba pamit pulang. Mendengar pamitan pemuda itu, Umika buru-buru berlari mendekatinya.

“Nakajima-kun, aku ikut ya.. aku harus pulang sekarang..!” Wajah gadis itu memelas, minta belas kasihan. Yuto nyaris mengangguk, namun diralatnya ketika Ryosuke memprotes permintaan gadis itu.

“Umika, kau disini dulu kenapa? Kau mengganggu Mirai dan Yuto nanti!”

Umika mendelik kesal ke arah pemuda itu. “kalau ayahmu tahu aku disini, beasiswaku bisa terancam!”

“sudah kubilang beasiswamu akan baik-baik saja!”

“tetap saja—“

“Wowowow!! Calm down, okay? Ryosuke, sudahlah. Biarkan Umika pulang. Kau tidak lihat wajah homesicknya begitu?” Yuto tiba-tiba nyeletuk, memotong pertengkaran ringan Ryosuke-Umika tadi. Umika meskipun tidak begitu mengerti apa yang yuto katakan tadi karena pemuda itu sempat mengeluarkan istilah berbahasa inggris ikutan mengangguk setuju. Ryosuke terpaksa mengalah dan membiarkan gadis itu kembali kehabitatnya, secara yang meminta kali ini adalah sahabatnya sendiri.

Alhasil, saat ini Umika sudah duduk manis di jok belakang mobil, mengamati dengan seksama perilaku pasangan kekasih Mirai-Yuto didepannya. Namun dugaanya berbeda, Mira dan Yuto tidak sama sekali saling memandang penuh cinta, bercerita banyak, atau apapun. Keduanya hanya duduk membeku dalam konsentrasi masing-masing.

“Kawashima, kuantar Mirai duluan tidak apa-apa ya? Rumah Mirai lebih dekat soalnya…” Yuto tiba-tiba memecah kesunyian. Umika sedikit kaget melihat Yuto mulai bicara, namun akhirnya mengangguk setuju.

Keanehan tidak hanya sampai di situ. Ketika tiba di rumah Mirai, kedua manusia itu hanya saling mengucapakn kata bye barang semenit lalu kembali terpisah jarak. Mirai masuk ke rumah sementara Yuto kembali ke mobil.

“ada yang aneh..” akhirnya keluar juga unek-uneknya. Namun karena penyampainannya tidak begitu menimbulkan efek suara, baik Mirai maupun Yuto tidak mendengar alih-alih  memberi reaksi atas perkataan Umika barusan.

Keduanya kembali melanjutkan perjalanan. Keheningan masih saja menyeruak. Baik Yuto maupun Umika enggan melontarkan kata-kata. Sampai ketika Yuto tiba-tiba saja menepi di bawah rindang sebuah pohon. Umika sempat ternganga sepersekian detik sebelum akhirnya memberanikan diri menanyai alasan pemuda itu tiba-tiba berhenti.

“Nakajima-kun, aku diturunin disini ya?” ucapnya polos mengira Yuto akan melepaskannya di tempat itu dan membiarkannya meneruskan perjalanan sendirian. Terserah mau Jalan kaki, dengan bus, angkot, bajaj—emang di Tokyo ada bajaj?—atau apapun sesukanya. Mendengar pertanyaan Umika barusan, Yuto langsung tersenyum kecil.

“gomen…kuantar sampai rumah kok. Hanya saja… ada yang ingin kutanyakan padamu?”

Umika memiringkan kepalanya 30 derajat.“ada apa? katakan saja…”

Yuto terdiam sebentar, memikirkan matang-matang kalimat apa yang akan meluncur dari bibirnya, mewakili unek-uneknya selama beberapa minggu ini, dan tentu saja berhubungan erat dengan perubahan pdalam diri acarnya tersayang akhir-akhir ini.

“Ini tentang Ryosuke dan Mirai…” Yuto mulai berbicara. “apa telah terjadi sesuatu?”

Umika sedikit tersentak, namun segera memperbaiki raut wajahnya agar kembali normal. Nampaknya Yuto sudah mulai curiga ada sesuatu antara Ryosuke dan Mirai, dan sebagai sahabat yang baik, Umika tidak ingin Yuto sampai tahu hal ini. Akan sangat berbahaya bagi Ryosuke.

“Kenapa bertanya kepadaku?”

“Hubunganmu dan Ryosuke dekat sekali. Kupikir kau pasti tahu sesuatu. Apa Ryosuke menyukai Mirai? Atau sebaliknya?”

Gadis yang ditanya itu menghela nafas. “Aku tidak tahu apa-apa, Nakajima. Dan kurasa tidak ada hubungan apa-apa antara Ryosuke dan Mirai. Lagipula kau tahu kan? Ryosuke sudah menganggapmu sebagai kakak sendiri.” Umika menjawab sebiasa mungkin, meskipun dalam hati gadis itu terus memohon, jangan sampai Yuto tahu yang sebenarnya. Dan nampakanya permohonan itu belum terkabul benar karena Yuto terlihat kurang begitu bisa menerima jawaban Umika. Rasa penasaran masih mengelilingi pikirannya.

“aku tahu itu. hanya saja mereka berdua bertingkah aneh akhir-akhir ini. Dan aku yakin pasti telah terjdi sesuatu.” Pemuda itu masih konsisten dengan pendapatnya. Umika menepuk bahunya pelan.

“itu hanya perasaanmu. Aku yakin baik Mirai maupun Ryosuke tidak akan menghianatimu. Mereka menyayangimu. Kau harus mempercayai mereka.!” Umika mulai menasehati Yuto. Pemuda itu terdiam agak lama.

“ayo, kuantar kau pulang…” Yuto kembali menghidupkan mesin mobil dan melaju membelah ramainya jalanan. Umika agak khawatir, apakah Yuto menerima nasehatnya tadi tidak. Apa Yuto tidak puas dan masih ingin mencari informasi lagi? Namun tetap saja, semua itu hanya dirinya yang tahu. Yang terpenting, gadis itu bisa menjaga kata-katanya jangan sampai salah bicara dan berita Ryosuke menyukai Mirai sampai ke telinga pemuda jangkung di sampingnya kini.

Yuto memikirkan matang-matang kata-kata Umika tadi. Dia harus mempercayai Ryosuke dan Mirai, namun bagaimana dia bisa percaya kalau mereka bahkan tidak pernah mengatakan yang sejujurnya. Sumpah, Yuto merasa bagaikan orang luar dalam permainan hati ini. Keduanya seperti menyembunyikan sesuatu. Namun entah kapan, Yuto berjanji akan membongkar semuanya.

Chapter 12 end ~ continue to chapter 13


Kamis, 18 Agustus 2011

[fic/On Writting] : The Dream Lovers-chapter 11

CHAPTER 11

“Apa ini?” Umika bertanya kagum menatap bangunan bernuansa putih di depannya. Tittle ‘Fantastic 4 Boutique’ memang mencerminkan nuansa fantastisnya. Sudah besar, mewah, elite, dan serba putih pula. Umika serasa datang untuk memesan gaun pengantin, bukannya cari baju pesta. Sementara Ryosuke di sampingnya nampak biasa-biasa saja. Gedung ini sudah sangan familiar baginya serta seisi keluarganya. Tentu saja karena butik mewah ini dibangun oleh ibunya bersama ibu Yuto, Chinen, dan Daiki. Jadi sudah kebiasaan sehari hari, mau memesan baju ya, tinggal kesini. Apalagi desinernya adalah teman dekat almarhumah ibunya. Sudah pasti kedatangan Ryosuke akan sangat di welcome di tempat ini.

Ryosuke menatap Umika gemas melihat gadis itu kembali mengeluarkan aura katronya. “ini butik milik bersama milik ibuku, ibunya Yuto, Chii, dan Daichan. Ayo masuk!”Ryosuke menarik tangan Umika lalu masuk kedalam.

“Yamada-sama, selamat datang…” salah satu wanita penjaga counter mendekati pemuda-pemudi yang baru masuk itu. Ryosuke tersenyum kecil mengenali sosok tersebut.

“Akihiko-san… Yukiji-san ada?” tanyannya mencari Yukiji Sachiko, desiner langganan keluarganya. Yang ditanya menggeleng.

“maaf Yamada sama, Yukiji-san sedang di paris. Seminggu lagi baru pulang…” jawab wanita 30 tahunan itu. Ryosuke mengangguk mengerti.

“sou kah? Ah, kalau begitu Akihiko-san bisa bantu memilihkan gaun untuk temanku? Untuk pesta ulang tahun Yuto minggu depan…”  pemuda itu lanjut bicara sambil melirik Umika yang berdiri manis di sampingnya. Akihiko ikut memandang gadis itu kagum.

“baru kali ini Yamada-sama jalan bersama gadis selain Shida-san..” ujar wanita itu sambil tersenyum. Ryosuke hanya tertawa kecil.  

“Ini temanku…” ryosuke kembali menegaskan kalau Umika hanyalah temannya. Akihiko tersenyum mengerti, sementara Umika sedikit sakit hati mendengar kata teman itu. Gadis itu sempat berharap Ryosuke mengakuinya sebagai pacar atau paling tidak teman dekat meskipun presentase kemungkinan hal itu terjadi hanya 20%.

Akihiko lalu mengajak kedua menusia itu melihat koleksi gaun di lantai atas. Ketika menyentuh tangga terakhir, Umika tiba-tiba berhenti melangkah. Mulutnya terbuka agak lebar mengagumi pemandangan ‘surga para gadis’ di depannya. Rentetan gaun-gaun cantik berjejer rapi dalam 2 lemari kaca besar di tengah ruangan. Lalu berbagai jenis pakaian reesmi pria, mulai dari jas sampai tuxedo juga berjejer rapi di sekelilingnya. Di pojok-pojok, ada lemari perak-kaca cantik berisi berbagai aksesoris pria-wanita. Umika berani sumpah, butik ini jauuuuuh lebih keren dari mall sekeren apapun yang pernah dimasukinya. Di shibuya pun belum tentu ada butik semewah ini.  

“WAA~” seruan kekagumannya terdengar agak kampungan, membuat Ryosuke menutup mulutnya cepat menahan ketawa.

“kalau baju non-formal ada di lantai tiga.” Akihiko sedikit memberi informasi, tidak begitu sadar dengan ekspresi kekaguman Umika yang rada kampungan barusan. Umika hanya mengangguk paham, tanpa meninggalkan wajah kagumnya tadi.

“Umika, kau bersama Akihiko-san mencari gaun untukmu ya? Aku menunggu di sana” Ryosuke menunjuk sebuha sofa di pojok ruangan. “kalau sudah dapat, di coba, biar bisa kulihat. Ne?” pemuda itu mengedipkan sebelah matanya. Umika sedikit ngeri melihat sikap pemuda itu. Koq dia jadi mirip Chinen sekarang?

Selesai berurusan dengan Ryosuke, Umika langsung ikut akihiko memilihkan baju yang tepat untuknya. Akihiko mulai membuka lemari penuh gaun cantik tadi. Umika kembali di buat terperangah melihat isi lemari tersebut. Demi apa ini baju-bajunya mewah-mewah sekali. Ini pertama kalinya Umika menemukan gaun-gaun modis macam begini.

“Nona, silahkan pilih gaun mana yang nona inginkan…” Akihiko menghentikan acara terpesona Umika tadi. Gadis itu tersadar, dan langsung melirik-lirik gaun mana yang menarik hatinya. Tapi bagaimana bisa memilih kalau semua gaun ini menarik hatinya?

“kalau tidak bisa milih ya ambil saja semuanya.” Seolah bisa membaca pikiran Umika, Ryosuke tiba-tiba saja berteriak dari kediamannya sekarang. Gadis itu menoleh sebentar menatap takjub pemuda itu, lalu kembali fkcus ke gaun-gaun cantik di depannya.

“dasar Ryosuke. Mau beli gaun banyak-banyak buat apa coba!” umpatnya super pelan, mengantisipasi siapa tahu si Akihiko-san itu mendengar. Setelah meneliti baik-baik, Umika baru sadar ada sesuatu yang terlupa. Sesuatu itu seharusnya jadi yang pertama menarik perhatiannya sebelum terkesima dengan tampilan cantik gaun-gaun tadi. Sesuatu yang selalu diajarkan ibunya sebagai hal pertama yang harus dilihat ketika ingin membeli sesuatu.

Label harga. Benar! Umika lalu diam-diam menelusuri setiap detil salah satu gaun dalam genggamannya. Tapi dia lalu sadar, ini butik. Pakaian di butik tidak biasa ditempeli harga. Apalagi butik ini milik keluarga Yamada.

“Nona, sudah menemukan gaun yang pas? Kalau belum biar kurekomendaikan..” Akihiko menghentikan gerakan tangan Umika mencari-cari label harga dan mulai memilih beberapa potong gaun yang menurutnya akan cocok dikenakan Umika, sementara gadis itu hanya bisa menatap takjub ketika melihat kegesitan tangan akihiko.

‘Ya ampun, wanita tua itu ambil berapa banyak nih?’ Umika membatin negri melihat jumlah gaun cantik nan mewah indah berkelas ditarik tangan-tangan akihiko. 10 buah? Tidak. Masih lebih.

Selesai dengan gaun-gaun indah yang menurutnya akan cocok dikenakan costumer barunya itu, akihiko tersenyum simpul.

“Nona silahkan coba gaun-gaun ini” akihiko menyerahkan tumpukan-tumpukan gaun tersebut ketangan Umika. umika agak susah menerimanya mengingat jumlah gaun yang dipilihkan untuknya ini bukan sedikit.

“Ne, Akihiko-san, ini…” Umika memandang gaun-gaun dalam rangkulannya. “..tidak kebanyakan nih? Aku perlunya cuma satu aja kok…”

Akihiko kembali tersenyum. “untuk teman dekat Yamada-sama, saya berkewajiban memilihkan gaun yang berkualitas..”

“demo,..”Umika mencoba protes. Tapi boro-boro mau protes. Yang ada akihiko sudah mendorong tubuh mungilnya menuju ruang ganti berdinding tirai kecoklatan di depan sofa Ryosuke.

Tidak sampai 5 menit, Akihiko sudah berdiri di samping ryosuke dengan tangannya memegang remote pengontol tirai ruang ganti tadi.

“nah, yamada-sama, ini gaun pertama yang kurekomendasikan~” Akihiko menekan pelan-pelan tombol untuk membuka tirai tersebut. Sepersekian detik kemudian munculnya sosok Umika dalam balutan sebuah gaun kuning muda panjang. Ryosuke sedikit terkesima melihat penampilan Umika yang agak lain dari biasanya, tapi pemuda itu kemudian menggeleng.

“gaunnya terlalu panjang…” Ryosuke memberi komentar singkat. Akihiko mengangguk, membenarkan lalu kembali menutup tirai coklat tadi agar Umika bisa mencoba gaun berikut. 5 menit berlalu sampai akihiko kembali membuka tirai coklat tersebut.

“kalau yang ini terlalu pendek.” Ryosuke kembali memberi komentar, melihat gaun biru gelap yang dikenakan Umika. Memang terlalu pendek karena sejak tadi Umika tak henti-hentinya menarik ujung gaun itu agar menutupi setidaknya lebih banyak bagian kakinya. Gadis itu bisa bernafas lega ketika mendengar komentar Ryosuke barusan. Untung pemuda itu bukan tipe pria hidung belang. Kalau tidak, mungkin gaun yang sudah pendek itu akan diperpendeknya lagi.

Akihiko kembali mengangguk paham lalu menutup tirai coklat tersebut. Dan sama seperti sebelumnya, dalam 5 menit tirai sudah terbuka, menampakan sosok Umika dalam busana berbeda. Dan kali ini gadis itu menggunakan gaun hitam di bawah lutut. Umika cukup nyaman dengan gaun itu, apalagi karena desainnya sederhana, harganya pasti tidak terlalu mahal. Tapi berbeda dengan Umika, Ryosuke malah menolak mentah-mentah.

“Warnanya terlalu gelap, tidak cocok dengan kulitmu..” begitu komentarnya ketika sosok Umika sudah menampakan diri untuk yang ketiga kalinya dalam balutan gaun yang berbeda. Umika menggembungkan pipinya kesal mendengar komentar pemuda itu.

“lalu mau gaun yang mana sih? Capek tahu gonta-ganti baju mulu!” protesnya.

“sudah. Ganti saja bajunya. Mau dibelikan tidak?” Ryosuke membalas asal, membuat gadis berpostur mungil itu kembali memasuki ruang ganti berdinding Tirai dibelakangnya.

Ryosuke kembali menunggu. 15 menit berlalu, dan Umika belum juga keluar. Jengah, pemuda itu berseru dari luar.

“Umika sudah belum?!” serunya agak kesal. Umika pun tak kalah berseru kesal juga dari dalam.

“bentar! Mau baju-bajunya dicobain tidak?” gadis itu balas mengomeli Ryosuke seperti yang pemuda itu lakukan sebelumnya. Menyadari itu, Ryosuke tertawa kecil.

“sudah nih!” kali ini tanpa bantuan Akihiko, Umika membuka sendiri tirai pelindungnya. Ryosuke seketika terpana ketika gadis itu muncul pelan-pelan dan bergerak menarik tirai tadi agar memperjelas sosoknya yang terbalut anggun dalam sebuah gaun selutut berwarna putih polos dengan modelnya yang jatuh mengembang serta dihiasi pita elok besar berwarna senada di depannya. Pemuda itu tidak bereaksi, jelas terpesona dengan sosok Umika yang nampak berbeda itu. Cantik.

“Nah, bagaimana?” Umika duluan melontarkan pertanyaan melihat Ryosuke tak kunjung memberi komentar seperti yang sudah-sudah. Ryosuke yang masih terpesona hanya bisa menggumam pelan.

“cantik…”

“Apa?” Umika bertanya lagi, sebagai akibat tidak mendengar jelas gumaman Ryosuke barusan. Ryosuke langsung tersadar sudah mengatakan hal barusan. Wajahnya memerah, jantungnya berdetak cepat. Kok dia jadi malu?

“betsuni~” refleks, jawaban itulah yang dikeluarkannya. Umika menaikan sebelah alis sedikit curiga, namun kembali mengulang pertanyaan awalnya.

“lalu bagaimana baju ini? Cocok untukku tidak?”

“Cocok..cocok kok. Kau kelihatan… ca— maksudku kau pantas mengenakannya. Iya..” pemuda itu menelan kembali kata cantik yang sudah ada di ujung lidahnya dan menggantinya dengan kata pantas. Secara kedua kata tersebut cukup berbeda juga maknanya. 

“sou kah?” Umika tersenyum datar, sedikit kecewa dengan reaksi Ryosuke. Disangkanya pemuda itu setidaknya akan bilang cantik atau apa. Tapi nyatanya, hanya kata ‘cocok’ dan ‘pantas’ yang dilontarkannya kemudian.

Demi menetralkan debaran jantungnya serta warna putih terang wajahnya, Ryosuke mengalihkan pandangan ke arah Akihiko, menggerling singkat agar wanita 30 tahunan itu mendekatinya.

“kami ambil gaun ini. Terus, pilihkan juga 2 gaun yang kira-kira cocok untuknya, tapi modelnya beda ya..” pesan pemuda itu. Akihiko mengangguk lalu segera melangkah pergi, mengurusi pesanan tamu kehormatannya tersebut diikuti.

“kenapa beli lagi? Itu satu saja sudah cukup kok!” Umika protes mendengar pesanan pemuda itu. 3 gaun, mau buat apa saja? Memang dia kondangan tiap hari?

“itu biar kalau kau bosan dengan yang putih itu, kau bisa ganti dengan gaun lain. Tenang saja, aku yang bayar ini~” jawab Ryosuke santai. Umika hanya tersenyum kecut, kesal juga aneh dengan Ryosuke. Dasar orang kaya memang begitu. Umika kini menyadari benar, Hidup memang akan terasa sangat mudah jika kau menyandang marga Yamada.

Selesai dengan Ryosuke, Umika kembali menutup tirai, hendak mengganti gaun yang dikenakannya tersebut dengan seragam sekolanhya. 5 menit kemudian, gadis itu sudah berdiri rapi di samping Ryosuke sembari tangannya mengikat dasi garis-garis merah hitamnya. Ketika menelusuri sekeliling, matanya tidak sengaja menangkap sebuah kotak kaca berisi berbagai aksesoris disamping Ryosuke. Dan salah satu dari isi kotak kaca tersebut sangat menarik perhatiannya. Langkah-langkah mungilnya lalu mendekati kotak tersebut, diikuti grakan Ryosuke yang bangun dari tempat duduknya dan mengikuti gadis itu, penasaran dengan apa yang dilihatnya.

“kawaii…” seru Umika kagum melihat sepasang kalung berwarna perak berliontin bintang dalam kotak tersebut. Desainnya menarik dan tampak mahal. Ryosuke memandang kalung berliontin tersebut dan Umika bergantian. 



“itu kalung untuk pasangan kekasih. Dari paris dan hanya ada satu di dunia.…” Akihiko tiba-tiba sudah nimbrung dengan bungkusan plastic bertulisan ‘F4 boutique’ di tangannya. Plastic itu diserahkan ke tangan Umika. Dan setelah tangannya bebas dari benda apapun, wanita itu lalu membuka kotak kaca tadi dan mengeluarkan kalung berliontin tersebut. “liontin kalungnya bisa dibuka” akihiko memberi contoh membuka liontin kalung tersebut, ”nah, didalamnya bisa diukir nama kita dan nama pasangan kita. Ini emas putih, jadi untuk mengukirnya bisa cepat dan mudah..”jelasnya kemudian. Ryosuke menangkap ketertarikan dalam cara Umika memandang kalung tersebut dan memperhatikan dengan cermat penjelasan Akihiko. Pemuda itu menatap Umika lembut.

“kau mau?” tanyannya kalem. Umika memendangnya sesaat, lalu menggeleng sambil tersenyum.

“Kalung ini hanya bisa kau berikan pada gadis yang kau sukai. Apalagi jumlahnya hanya satu di seluruh dunia. Jika kau membelikannya untukku, suatu saat kau akan menyesal kau tidak memberikan benda ini pada orang yang kau cintai.”

“tapi kau menginginkannya kan? Tidak apa-apa kok kalau aku—“

“Tidak Ryosuke.” Umika memotong kata-kata Ryosuke. Gadis itu tersenyum lembut. “suatu saat, mungkin saja aku akan menerima benda seperti ini, dan itu adalah dari oarng yang kucintai. Kau juga sama, suatu saat akan ada gadis yang menerima liontin darimu, dan saat itulah kau menyerahkan cintamu padanya. Bagiku benda seperi ini punya makna, dan aku yakin kau juga mengerti. Kau akan mengukir namamu dan nama kekasihmu dalam liontin itu, bukan sahabatmu…, dakara, daijoubu. Simpanlah kembali.”

Ryosuke terdiam, mencerna baik-baik kata-kata Umika barusan. Satu-satunya kalung liontin untuk orang yang dicintai. Untuk siapa nanti kalung itu akan diberikannya?

“Ryosuke, sudah selesai?” Umika membuyarkan konsentrasi pemuda itu sedetik setelahnya. Ryosuke langsung mengangguk, dan bersiap meninggalkan lantai 2 butik tersebut. Namun belum juga melangkah turun, Umika sudah menghentikannya dengan menarik lengan pemuda itu.

“kau tidak bayar?!” Desisnya pelan namun berintonasi tinggai. Tawa Ryosuke seketika pecah. Butuh waktu 30 detik sampai tawa pemuda itu terhenti.

“nanti kutransfer. Butik ini kan juga milik ibuku. Jadi Koneksi ke sini mudah saja…” jelas Ryosuke singkat setelah puas tertawa. Umika mengangguk paham.

“Saa~ Akihiko, kami berangkat dulu ya?” pamit Ryosuke. Akihiko tersenyum lebar.

“hai. Terima kasih sudah mampir Yamada-sama…”

Kedua remaja 18 dan 17 tahun itu lalu menuruni tangga dan keluar. Namun baru beberapa langkah, Ryosuke kembali berhenti.

“aku lupa sesuatu di dalam. Kau duluan saja ke mobil…” ujarnya lalu cepat-cepat kembali ke dalam butik. Umika mengangkat alisnya sebelah, heran, namun akhirnya mengikuti suruhan Ryosuke tadi untuk duluan menaiki mobil.

Sementara di dalam butik, Akihiko sedikit dikagetkan dengan kemunculan kembali salah satu costumer kehormatannya tersebut.

“Yamada-sama, ada apa?” tanyanya. Ryosuke melirik sekeliling.

“kalung liontin tadi, aku ambil. Nanti diantar ke rumahku.” Perintahnya kemudian. Akihiko tersenyum lembut, lalu mengangguk.

“akan diberikan kepada siapa?”

Ryosuke terdiam sejenak, bingung harus menjawab apa. Gadis yang disukainya? Mirai kan? Tapi kenapa sejak tadi wajah Umika yang terlintas?

“Entahlah…” jawab pemuda itu singkat. “tapi aku yakin suatu saat aku akan membutuhkannya…”

Chapter 11 end ~ continue to chapter 12

propertinya Yamachan..XD



gw nemu kalung yama niih,, keren kan?? gw juga punya yang sama Mirip looh...^^

Rabu, 10 Agustus 2011

OTANJOUBI OMEDETOU 18th YUTO NAKAJIMA!!! ^^

YUTO-KUN OTANJOUBI OMEDETOU!!
udah 18 tahun yoo~ semoga kamu makin cakep, keren, tinggi--eh kagak. segitu udah cukup, tambah pintar dan makin lengket ma Suzuka*ohgojima Lovers*

I looovvveeee uuuuu!!!!



Sabtu, 06 Agustus 2011

[fic/On Writting] : The Dream Lovers-chapter 10


CHAPTER 10

Suzuka baru saja meneguk habis segelas susu buatan ibunya ketika perkara itu datang. Dan hebatnya lagi ia datang dengan teriakan sok akrab, merangkul gadis itu dalam lengannya dan mencium pipi kanannya gemas.

“Ohayo honey… OHAYO OTOU-CHAN,OKAA-CHAN~” selesai dengan Suzuka, perkara itu lalu berpindah ke kedua orang tuanya, memberikan senyum-salam-sapa pada sepasang suami istri itu seolah-olah besok dia akan dibaptis menjadi menantu mereka. Hebatnya, suami-istri Ohgo itu dengan bahagia sekali membalas sapaannya.

“Ohayou Chii-kun. Sudah sarapan?” Ohgo Yui memasang tampang manisnya. Suzuka mencibir. Ok, wanita 40 tahunan itu memang cantik, tapi ngeri saja bagi Suzuka melihat ibunya jadi sok manis begitu.

“Sudah kok, Kaa-chan. Aku kesini mau jemput Suzu~” Chinen membalas dengan gayanya yang tak kalah mempesona. Dalam hati Yui berpikir, kalau saja pemuda ini bukan kekasih anaknya atau kalau saja suaminya tidak ada di rumah sekarang, mungkin dia sudah memeluk pemuda itu kuat-kuat saking kesemsemnya. Suzuka yang melihat percakapan kedua manusia itu nyaris memuntahkan kembali susu yang sebelumnya sudah habis diteguknya.

“Itekimas..” Suzuka tiba-tiba bangkit dan berjalan pergi. Chinen tertawa kecil melihat wajah cemberut gadis yang paginya sudah dikacaukannya tersebut. Selesai berpamitan dengan calon ibu mantunya itu, Chinen menyusul Suzuka keluar.

“Ittarashai…” Yui membalas pamitan Suzuka dan Chinen.

Chinen melangkah makin cepat melihat Suzuka berjalan sedikit menyimpang dari garis jalan tempat mobilnya terparkir. Cekatan, tangannya lalu menangkap tangan Suzuka, menghentikan langkah gadis itu.

“Suzu-chan ke sekolah bareng aku ya?”

“Tidak. Aku mau naik bus!” jawab gadis itu cepat. Chinen lalu terdiam. Susuka sudah menduga, bangsawan macam Chinen pasti tidak akan sudi naik bus. Tapi ternyata presepsinya SALAH BESAR.

“Kalau begitu ayo kita naik bus sama-sama!” seru pemuda itu dengan senyum sumringah tak sekalipun lepas dari wajah tampan-imutnya. Suzuka sempat ternganga. Dia tidak sama sekali menduga Chinen ternyata senekat ini. Dan lagi naik bus bersama Chinen, entah kenapa memikirkan hal itu membuat bulu kuduknya merinding.

Chinen masih sumringah full. Apalagi setelah Suzuka mulai melangkah dan dia ikut berjalan manis di sampingnya. Tanpa malu-malu pemuda itu menggandeng tangan Suzuka dalam genggamannya. Suzuka sedikit tersentak, namun membiarkan saja. Malu juga kalau sampai marah-marah pada pemuda itu di depan umum begini. Nanti malah menarik perhatian. Tetapi, malang bagi suzuka. Meskipun keduanya berjalan sebagaimana layaknya pasangan-pasangan kekasih lain, sorot mata hampir semua manusia yang mereka temui selalu menatap kagum keduanya. Penyebabnya? Siapa lagi kalau bukan seorang Chinen Yuri, putra Chinen Soujiro yang memiliki ketampanan kelas atas kali ini dapat mereka saksikan secara live. Banyak gadis pada mupeng. Mengagumi ketampannan plus keimut-imutannya. Yang lain malah berdoa. Berterima kasih pada Tuhan, karena pagi-pagi udah dikasih berkah melihat wajah maha ganteng plus imut-imut seorang Chinen Yuri.

Lalu suzuka? Demi apapun yang mengutuknya hari ini, Suzuka ingin pindah dimensi. Kemana saja, asal jangan bersama si cebol di sampingnya itu.

Halte bus sudah di depan mata. Suzuka duduk sebentar di kursi untuk beristirahat, sementara Chinen mencari mesin penjual minuman terdekat dan membeli sekaleng teh untuk gadis itu.

“Minum dulu…”Chinen menyorongkan kaleng teh tersebut. Suzuka menggeleng.

“aku masih kenyang.”jawabnya dingin. Chinen tertawa kecil.

“kalau begitu kuminum deh…” Chinen mulai membuka tutup kaleng tersebut dan meneguk isisnya. Suzuka memperhatikan tingkah pemuda itu lekat-lekat.

‘Keren juga cara minum tehnya…’ pujinya dalam hati. Chinen berhenti meneguk minumannya ketika sudah dirasanya volume cairan tersebut tinggal setengahnya saja. Pemuda itu gantian menatap Suzuka gemas.

“Suzu-chan kawaii na…”gumamnya tiba-tiba. Wajah suzuka seketika memerah.

“dasar baka. Apa maksudmu?” Umpatnya pelan. Chinen makin menjadi. Diletakannya kaleng teh tadi di bangku samping suzuka lalu tiba-tiba saja mencubit kedua pipi gadis itu sayang.

“Ka-wa-ii, na…” godanya. Wajah suzuka makin memerah.

“baka!” serunya malu.

~0~0~0~

Ryosuke memandang langit-langit kamarnya lama. Pikirannya berkecamuk. Kemarin itu apa yang terjadi padanya. Kenapa tiba-tiba saja dia ingin—mencium Umika? gadis itu sahabatnya kan? Dan orang yang disukainya kan Mirai? Lalu kenapa…?

fokus pemuda itu sedikit teralih ketika seseorang pelan-pelan memasuki kamarnya.

“Ryosuke.” Panggil orang itu pelan. Ryosuke tersentak, mengenali suara itu. Pemuda itu langsung bangun. Wajahnya nampak marah.

“Mau apa kau?” tanyanya tajam. Sosok yang baru masuk itu ikut memandangnya dengan tatapan yang sama.

“tidak bisakah kau bersikap lebih sopan terhadap ayahmu?” orang itu—yamada Tsukasa balik bertanya. Ryosuke tidak bergeming.

“tanyakan saja pada dirimu sendiri.”

“Ryosuke!” tsukasa membentak, agak frustrasi. “kita ini kluarga! Aku ayahmu, kau anakku. Kita tidak seharusnya saling membenci seperti ini..!”

“benarkah?” Ryosuke tertawa sinis. ”Kalau kau ayahku, kenapa selama ini kau mengabaikanku. Kenapa kau yang pertama kali menyalahkanku atas kepergian ibu? Kau tahu itu bukan salahku—“

“Aku tahu Ryosuke. Aku tahu. Hanya saja waktu itu aku terlalu sedih ditinggalkan ibumu dengan cara seperti ini. Aku tidak bisa menerimanya..” Tsukasa menjawab pelan, mengingat kembali tahun-tahun kelamnya ketika baru ditinggal istrinya tercinta. Ryosuke masih menatapnya tajam.

“dan kau melimpahkan semuanya pada anak umur 8 tahun? Meninggalkannya begitu saja, dan kau sebut dirimu ayah? Kau GILA! Apa kau tahu aku juga sangat sedih ditinggal ibu!! Aku bahkan berkali-kali memohon agar waktu itu aku saja yang mati, supaya kau tidak menderita sepert ini. Kau tahu apa yang kurasakan waktu itu? HAH? Kau hanya peduli dengan dirimu sendiri. Membuat seolah-olah hanya kau sendiri yang kehilangan ibu. Apa selama ini kau tidak puas? Kau masih ingin mengusikku sekarang?!” Ryosuke setengah berteriak menanggapi ayahnya. Dia ingin marah, memaki sosok di depannya itu. Ayahnya? Dia bahkan pernah bersumpah tidak akan memanggil sosok itu dengan panggilan ayah lagi.

Tsukasa terdiam, sadar dalam posisi ini dia yang emang patut disalahkan. Dia terlalu kekanak-kanakan, terlalu egois sampai-sampai meninggalkan putranya ini sendirian begitu saja dalam penderitaannya. Dia hanya peduli dengan kesedihannya sendiri dan tidak sadar, putranya merasakan yang sama bahkan lebih setelah tindakan bodohnya menuduh anak itu sebagai penyebab kematian istrinya tersayang. Tapi, salahkah jika ia ingin memperbaiki semuanya sekarang? Hanya Ryosukelah yang dimilikinya saat ini dan Tsukasa tidaka akan pernah rela kehilangan sesuatu yang paling berharga tersebut.

“Ryosuke…” Tsukasa mulai bicara. Suaranya tenang, pelan, mencoba meredamkan emosi Ryosuke tadi. “aku minta maaf…”

“tidak perlu!” Ryosuke cepat-cepat membalas. “Aku tidak butuh maafmu. Semua sudah terlambat” pemuda itu melangkah keluar, meninggalkan Tsukasa kembali dalam kebisuannya.

~0~0~0~

Tok..tok..

 “Mirai..?” Yuto mengetuk pintu kamar Mirai pelan-pelan. Butuh beberapa detik sampai gadis itu membuka pintu kamarnya hati-hati. Yuto tersenyum lembut melihat gadisnya itu keluar dari kamarnya. Dandanannya sudah rapi, siap ke sekolah. Gadis itu tidak memberi ekspresi.

“aku datang menjemput” lanjutnnya lalu menarik tangan gdis itu dalam genggamannya. “kutanya pelayanmu, katanya kau sudah sarapan tadi. Kita langsung berangkat sekarang ya?”

“Yuto..,” Mirai menghentikan langkahnya menuruni tangga. Yuto ikut berhenti.

“hm?” pemuda itu mengangkat alisnya.

“kemarin itu, maafkan aku…” mohon Mirai pelan. Yuto kembali tersenyum lembut lalu mengacak poni Mirai gemas.

“hai. Aku mangerti, Mirai-chan kemarin pasti capek sekali.”

Mirai tersenyum miris. “Arigatou…” ucapnya kemudian.

‘demo, gomen ne Yuto… aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi..’

Mirai dan Yuto lalu memasuki mobil. Sepanjang ini, sikap Yuto tetap seperti biasanya. Tetap ramah, tetap setia membuka pintu mobil untuk mirai dan memasangkan sabuk pengaman gadis itu sebelum memasangkan punyanya. Mirai jadi merasa bersalah karena saat ini seolah-olah dia mencoba berbohong pada Yuto juga hatinya sendiri. Ada sesuatu antara Ryosuke dan dirinya, dan itu membuatnya sesak. Mirai sama sekali tidak bisa mengungkiri saat ini, dia punya perasaan khusus pada sahabatnya itu.

“Mirai-chan… minggu depan ingat kan hari apa?” Yuto bertanya tiba-tiba, mengakibatkan Mirai tersadar dari lamunannya. Minggu depan ini, 10 agustus…

“Aah, ulang tahunmu!” jawab gadis itu semangat. Yuto tersenyum geli.

“Jangan bilang kau melupakan kado untukku loh~”

Gantian Mirai yang tersenyum.

“hai! Hai! Aku akan berikan kado yang paling istimewa untuk Yuto!” jawab gadis itu. Yuto kembali trsenyum, dan sempat-sempatnya mencubit pipi kiri gadisnya itu gemas.

~0~0~0~

“Kaa-chan, Tou-chan, Ryuu aku berangkat..!” Umika selesai mengenakan sepatunya dan siap membuka pintu rumah ketika meneriakan salam perpisahan untuk penghuni rumahnya yang lain yang kemudian terbalas dengan juga teriakan ‘itharashai’ dari dalam. Gadis itu melangkah semangat menelusuri jalanan kompleks rumahnya menuju halte bus di depan. Namun langkahnya terhenti melihat sebuah mobil mewah tiba-tiba menghampirinya dan anehnya lagi parkir tepat didepannya. Gadis itu mengangkat sebelah alisnya. Kaca mobil lalu terbuka, memperlihatkan sesosok berwajah tampan di dalamnya.

“Ayo naik!” perintah orang itu. Umika sempat ternganga sebentar, keget dengan kedatangan makhluk yang dikenalnya itu, namun akhirnya menaiki mobil itu juga. Gadis itu memandang pemuda di dalamnya sambil tertawa kecil.

“kenapa wajahmu kusut begitu? Mirai dan Yuto mesra-mesraan lagi?”tanyanya. pemuda yang adalah Ryosuke Yamada itu memalingkan wajahnya yang katanya kusut itu kesal.

“aku perang dangan ayahku.” Ceritnya singkat. Umika membuka mulutnya menggumamkan kata ‘ooh’ sesaat. Ryosuke berbalik, menatap gadis yang kini duduk di sampingnya itu. “ikut aku bolos ya?” ajaknya. Umika sontak terperangah.

“kau gila. Kalau beasiswaku dicabut bagaimana? kalau mau bolos ya sendiri saja, jangan ngajak-ngajak donk!” jawab gadis itu. Ryosuke diam, menarik nafas sebentar.

“kalau masalah beasiswamu, tenang saja. Aku jamin kau akan tetap di Horikoshi sampai lulus. Hanya saja, tidak ada orang yang bisa kuajak. Kau tahu kan, bolos sendirian itu sama sekali tidak enak..”

“kenapa tidak ajak Chinen saja? Atau Arioka?”

“Chii sibuk sama pacar barunya. Daichan juga mulai lengket sama Tsugunaga setelah hubungan mereka dipublikasikan..”Ryosuke memberi penjelasan singkat mengapa Umika menjadi satu-satunya orang yang bisa diajaknya untuk ‘bolos bareng’. Umika menghela nafas agak berat sebelum akhirnya terpaksa mengangguk setuju. Ryosuke menstater mobil, lalu melaju membelah hawa pagi disekeliling mereka. Cukup lama keduanya terdiam, sampai Umika kembali membuka pembicaraan.

“jadi mau kemana kita sekarang?” Tanyanya. Ryosuke menghentikan mobilnya sebentar untuk berpikir. Tiba-tiba terlintas di pikirannya tentang Ulang tahun Yuto bulan depan. Pemuda itu jadi punya ide akan bolos kemana mereka.

“kita cari pakaian untuk pesta ulang tahun Yuto. Kita ke perancang langganan keluargaku.” Ryosuke memberi usul, membuat Umika kembali terperangah.

“ngapain sampai ke perancang segala? Di mall juga ada kali. Lagian aku tidak bawa uang nih, bolosnya kan mendadak..!” Umika protes dengan usul Ryosuke tersebut. Gemas, Ryosuke menggeplak kepala Umika pelan.

“kubayarkan lah. Memangnya kau punya uang berapa mau pesan baju ke desainer?” ryosuke menanggapi enteng. Umika menggembungkan pipinya kesal, lalu menyabet lengan pemuda itu dengan handbagnya.

“sudah untung aku mau nemenin kamu ya?! Bukannya terima kasih kek apa kek, malah menghina!” seru Umika. ryosuke tertawa ngakak.

“gomen..gomen..” ujarnya di sela-sela tawanya. “aku kan cuma bercanda~ ya sudah, sekarang kita kesana ya, kita cari baju, bagaimana? gadis-gadis kan biasanya senag nyari-nyari pakaian begini..” Ryosuke membujuk Umika.

“aku tidak tuh.”

“hai.. kalau begitu ikut saja, ne?”

Umika dengan sangat amat terpaksa sekali mengangguk.

~0~0~0~   


“yuto, Ryosuke mana?” Chinen menyantroni meja milik Yuto-Mirai, menenyakan keberadaan Ryosuke yang entah kenapa pagi ini tidak menampakan batang hidungnya. Padahal bel masuk tinggal 5 menit lagi, dan Ryosuke bukan tipe manusia yang suka datang di waktu mepet begini atau bahkan terlambat. Yuto menoleh kebelakang, mengamati meja Ryosuke – Umika yang masih kosong.

“Kawashima juga tidak ada tuh..” jawabnya juga aneh melihat Umika belum datang. Tidak biasanya gadis itu terlambat. Chinen melipat tangannya di dada, berpikir sebentar. Kenapa bisa kebetulan sekali Ryosuke dan Umika tidak ke sekolah.

“mungkin mereka berdua detto..” Daiki menimpali tiba-tiba sambil menepuk pundak Chinen. Chinen tersentak kaget merasakan seusatu menyentuh pundaknya, mengingat sejak tadi tidak ada orang disampingnya. Namun pemuda itu akhirnya bisa bernafas lega setelah memastikan yang menepuk-nepuk pundaknya tadi adalah sahabatnya sendiri.

“daichan, kau mengagetkanku!” Chinen mengelus-elus dadanya lega. Daiki hanya ngakak sebentar.

“gomen..” ujarnya.

“daijoubu. Nah, terus si Ryosuke ini bagaimana? dia beneran bolos berdua Umika ya?”Tanya Chinen lagi. Yuto mengangkat bahu.

“mungkin saja. Apalagi sekarang mereka berdua sedang dekat sekali, ne Mirai..?” Yuto menerka-nerka sembari meminta pendapat Mirai yang sejak tadi sepertinya enggan melepaskan konsentrasinya pada lembaran-lembaran buku bertittle kimia di atas meja. Yuto hanya tidak menyadari, Mirai dari tadi sedang mendengarkan dengan sangat serius perbincangan pacarnya iu tentang Ryosuke dan Umika.

“hmm.. iya. Sepertinya sih mereka memang bolos bareng..” Mirai mencoba santai menjawab meskipun sebenarnya hatinya cukup terbakar memberikan asumsi seperti itu. Cemburukah? Mungkin. Sekarang kan dia punya perasaan terhadap Ryosuke. Dan lagi Ryosuke, kenapa harus dekat dengan Umika yang notabene adalah siswa baru alias masih agak asing untuk mereka. Kenapa tidak dengan gadis lain saja? Mirai kan jadi risih kalau melihat ryosuke lebih akrab, sangat akrab malah dengan Umika yang baru dikenalnya 2 mingguan lebih dibanding gadis-gadis lain yang sudah cukup lama dikenalnya.

Yuto melihat sekilas wajah risih Mirai. Mereka sudah bersama sejak umur setahun, dan wajah Mirai tadi hanya dapat Yuto lihat ketika Mirai sedang marah atau cemburu. Jadi, dengan kata lain, Mirai cemburu Ryosuke pergi berdua Umika.
Yuto ikutan risih. Kenapa Mirai cemburu? Apa gadis itu menyukai Ryosuke? Lalu selama ini cinta mereka itu apa? Dan lagi, kenapa harus Ryosuke, sahabat terdekatnya yang sudah seperti adiknya sendiri?

Apa yang sebenarnya terjadi sekarang?

Pertanyaan itu terus berputar dalam benak Yuto. Terus bergema, sampai Chinen dan daiki kembali ke bangkunya, sampai bel pelajaran pertama dibunyikan. Dan akan terus bergema, sampai salah satu dari mereka—Mirai atau Ryosuke memberikan jawabannya.


Chapter 10 end~ continue to chapter 11

Rabu, 03 Agustus 2011

[fic/On Writting] : The Dream Lovers-chapter 9

CHAPTER 9

Pertandingan tengah berlangsung. Semua anggota TDL duduk di bangku penonton bersama pasangan mereka, kecuali Yuto yang memang saat itu tengah bermain hanya disemangati Mirai dari tempat pemain cadangan sementara Ryosuke bersama Umika—yang bukan pasangannya duduk tepat di belakang Mirai.

Sepanjang pertandingan, Yuto hampir selalu mencetak poin. Yuto memang pandai bermain basket, Ryosuke mengakui itu. Sejak kecil Yuto sudah menampakan bakatnya dalam basket sementara Ryosuke dan Daiki beraliran sepak bola. Lalu Chinen yang adalah satu-satunya diantara mereka yang tak tertarik dengan olahraga bola memilih karate. Tak ayal, jika mereka ada kelas bela diri dan adu fight, tidak ada yang pernah mau di pasangkan sebagai lawan Chinen karena pemuda itu tidak pernah segan-segan membanting lawannya di arena fight, meskipun sahabat se-The Dream Lovers-nya sendiri. Dia justru lebih senang melihat tubuh teman-temannya itu nyeri-nyeri dibuatnya.

Pikiran Ryosuke melayang, jadi teringat masa-masa kecilnya. Biasanya kalau dia sudah marah atau ngamuk-ngamuk tidak jelas karena dibanting Chinen atau gawangnya dibobol Daiki, selalu ada Mirai yang meredakan rasa kesalnya. Selalu ada Mirai yang menasihatinya. Kalau sudah begitu, Mirai dan Yuto biasanya berbagi tugas. Mirai bertugas membuat Ryosuke merasa lebih baik, sementara Yuto akan mengomeli Chinen karena terlalu keras membanting Ryosuke atau memuji Daiki karena berhasil membobol pertahanan Ryosuke. Mereka sejak kecil sudah kompak, sangat serasi. Bahkan sampai sekarang, keserasian mereka selalu membuat iri banyak orang, termasuk Ryosuke sendiri.

Ryosuke gantian memandang Mirai, mempelajari, bagaimana Mirai bisa begitu serius dan bersemangat meneriakan nama Yuto serta jutaan kata ‘Ganbare’ untuknya. Jelas terlihat betapa Mirai mencintai kekasihnya itu. Dan yang dilakukannya? Hanya diam, hanya bisa berharap suatu saat mungkin saja ada kesempatan baginya untuk memiliki Mirai, meskipun itu sangat sangat sangat tidak mungkin. 

Umika terus kepikiran soal obrolannya dengan Momoko tadi. Kata ‘suka’ dan ‘Ryosuke’ kembali menggema di telinganya. Gadis itu pelan-pelan menoleh kesamping, ingin menangkap wajah Ryosuke. Namun raut wajahnya berubah, melihat Ryosuke malah serius memperhatikan Mirai sekarang. Sepertinya usul Momoko untuk mengutarakan perasaanya pada Ryosuke itu ditunda dulu. Kalau Umika mengatakannya sekarang, dia bukan hanya akan ditolak, tetapi mungkin saja hubungan persahabatannya dengan Ryosuke akan ikut rusak.

“Priiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit!!!” peluai wasit berbunyi panjang, tanda pertandingan babak pertama selelsai. Skor sekarang 35-28 dengan team Yuto memimpin. Semua pemain bergerak ke bangku pemain cadangan untuk beristirahat, termasuk Yuto.

“Capek ya? Minum dulu.” Mirai menyodorkan satu botol air mineral kepada Yuto. Pemuda itu mengambilnya setelah selesai mengelap keringatnya yang berceceran di wajah.

“sankyuu!”

Mirai tersenyum, lalu mengambil handuk dan kembali mengelap wajah Yuto yang masih dialiri tetesan keringat dari rambutnya. Yuto sumringah, menikmati bantuan pacarnya tersebut.

Dari jauh Ryosuke memperhatikan dengan tatapan nanar. Cemburu tentu sudah membakar hatinya, namun api tersebut seolah tersiram berliter-liter air es ketika dirasanya seseorang mengenggam tangannya hangat. Dia tidak berkata apa-apa, hanya tersenyum penuh arti.

“aku mengerti Umika” matanya tidak sekalipun berpindah dari 2 eksistensi di depannya. “aku mengerti.”

~0~0~0~
Pertandingan berakhir dengan kemenangan di pihak Yuto dengan skor 67-53. Skor yang memang pantas, karena sejak tadi baik kedua tim terus berjuang selama pertandingan. Dengan ini pula tim Yuto memastikan tempatnya di final minggu depan. Selesai pengumuman, para pemain segera menuju ruang ganti masing-masing untuk berganti pakaian. Ryosuke, Chinen, dan daiki ikutan masuk ke ruang ganti sementara para gadis menunggu di luar.

“Ne, Ryosuke kami ada party nih. Mau ikut?” ajak yuto di sela-sela gerakannya mengenakan kemeja kotak-kotak birunya. Ryosuke mendongak.

“Pesta apa?”

“Pesta kemenangan lah.”

Ryosuke langsung tidak tertarik. Entah kenapa, mati-matian menahan perasaannya hari ini membuatnya tidak mood kemana-mana, apalagi ke party team basket yang sudah pasti melibatkan Yuto-Mirai. Sungguh, dari pada hatinya terbakar, lebih baik dia beristirahat meskipun resikonya harus kehilangan kesempatan melihat Mirai barang beberapa jam lebih lama.

“aa, gomen ne. aku.. ada janji dengan Umika, iya!” tolak Ryosuke. Saat itu entah kenapa Umika yang terlintas di pikirannya, memberinya ide untuk bisa menolak dengan alasan jelas.

“haa~ kalian mau detto ya?” Yuto menyeringai lebar, senang melihat temannya ini akhirnya bisa tertarik dengan seorang gadis. Ryosuke hanya tersenyum kecil.

“chigau yo.”

“ha, mukamu merah tuh.” Yuto menunjuk-nunjuk wajah Ryosuke. Pemuda itu hanya mengebas-ngebaskan tangannya berusaha menyingkirkan gerakan telunjuk kanan Yuto.

“hentikan ah. Aku tidak bercanda.”

Yuto akhirnya berhenti bergerak. “kalo begitu ayo keluar. Gadis-gadis sudah menunggu cukup lama.” Pandu Yuto. Mendengar perintah pemuda itu, Chinen, Daiki dan Ryosuke ikut melangkah keluar. Diluar memang para gadis berwajah sedikit kesal menunggu para anggota team berganti pakaian. Terlalu lama sih menurut mereka.

“Ryosuke katanya tidak bisa ikut party kita.” Yuto memberi pengumuman.

“Dia mau detto sama Umichan” Chinen menimpali. Momoko, Suzuka dan tentu saja Mirai langsung memandang Umika kaget.

“HAH?! APA? Tidak kok! Kami tidak berencana detto” Umika berhenti sejenak, melihat Ryosuke memberinya semacam kode untuk berpura-pura. Otaknya langsung berputar cepat. “Iya, itu! Kami mau pergi, tapi bukan mau detto, kami mau belajar bahasa inggris. Iya. Ryosuke yang mengajariku. iya kan, Ryosuke?“

Ryosuke langsung mengangguk semangat. “Un! Makanya, kalian pergilah. Kalian akan menggangu kami nanti..”Ryosuke tersenyum kecil.

“Aku tidak tahu Umika senang belajar bahasa Inggris. Tapi harus kuakui, pilihanmu tepat jika meminta Ryosuke yang mengajari. Anak itu pintar sekali. Aku dan Mirai bisa lancar karena digamblengnya juga..ne, Mirai?”Yuto menatap Mirai lembut. Mirai mengangguk, lalu tersenyum singkat. Ada yang berbeda dengan senyumannya. Senyuman itu tidak begitu tulus, seperti menyimpan sesuatu. Perasaannya mulai bergejolak ketika Yuto memberitakan bahwa Ryosuke tidak akan ikut bersama mereka tapi memilih belajar berdua dengan Umika. Ada yang aneh, dan perasaan seperti itu tak pernah dialaminya.

“saa~ kita berangkat sekarang saja. Ryosuke, Kawashima, kami pergi ya…” Daiki menutup perbincangan singkat mereka. Setelah bersay goodbye barang sesaat, mereka lalu lenyap ditelan mobil-mobil mewah yang terparkir di luar. Kini tinggal Ryosuke dan Umika yang masih tersisa.

“Jadi,” Umika tiba-tiba nyeletuk “kenapa kau tidak mau ikut?”. Ryosuke memandangnya serius.

“kau tahu alasannya…”

“Hai! Hai! Kau tidak kuat lihat Mirai bersama Yuto terus kan?”

Ryosuke tidak menjawab. Umika memandangnya simpati.

“sudahlah Ryosuke.”

“Wakatta!” pemuda itu merenggangkan tubuhnya yang agak lelah. “Kau mau pulang sekarang Umika? baru jam setengah 8 nih…”

Umika menggeleng. “Orang tuaku lembur. Aku malas berdua Ryuu terus.” Ryosuke tersenyum singkat lalu mendekati gadis itu.

“kalau begitu ikut aku ya?”ajaknya. Umika mendongak heran.

“kemana?”

“kau akan tahu nanti.”jawabnya singkat lalu menarik tangan Umika agar bergerak maju bersamanya. Umika tidak melawan. Keduanya keluar gedung diam-diam, agar supir pribadi Ryosuke tidak tahu kemana mereka pergi. Setelah jarak sudah cukup jauh dan tidak ada kemungkinan bagi supir Ryosuke menemukan mereka, pemuda itu memperlambat langkahnya tanpa sekalipun melepas genggaman tangannya.

“Kita mau kemana?”Umika kembali bertanya. Ryosuke menoleh, menatapnya penuh arti disertai senyuman manisnya. Dia tidak menjawab. Umika terpaksa diam, menyadari usahanya untuk bertanya percuma, mengingat Ryosuke lebih mirip patung bergerak dibanding manusia sekarang. Bisu banget. Tapi lebih dari itu, dia menikmati genggaman hangat tangan pemuda itu. Genggaman yang entah nanti akan dirasakannya lagi atau tidak, mengingat hubungan persahabatan mereka kali ini bisa berakhir kapan saja. Ketika Ryosuke berhasil memenangkan Mirai dari Yuto atau ketika pemuda itu tidak lagi butuh sandaran untuk permasalahan hatinya.

15 menit perjalanan, akhirnya mereka berdua sampai di tempat yang ingin Ryosuke tuju. Umika memandang Ryosuke dan tempat didepannya bergantian, heran.

“Laut?”

“Ini tempat favoritku.” Ryosuke membuka kedua sisi bibirnya pelan. Rambut hitam kecoklatannya acak-acakan tertiup angin. Matanya memakukan pandangan datar sama sepertinya wajahnya yang enggan menunjukan ekspresi apapun. Umika menatap pemuda itu lama. Mengagumi kesempurnaan setiap lekukan wajahnya. 2 bola mata coklat tua yang cemerlang, hidungnya yang mancung, bibir merah mudanya, semuanya. Ya, Ryosuke memang terlalu sempurna. 

“Disini terakhir kalinya aku bersama Ayah dan Ibu.” Lanjut pemuda itu. Umika membuka mulutnya paham lalu melepaskan tatapannya dari wajah Ryosuke dan memilih menikmati pemandangan indah di depannya. Laut, tempat kenangan hah?

“kau tidak keberatan kan kalau kuajak ke sini?” Ryosuke kembali bersuara. Umika menatapnya lembut.

“Tentu saja! Aku malah senang sudah mengetahui satu hal baru tentangmu.”

Ryosuke tersenyum. Agak lama, lalu menarik Umika untuk kembali ikut bersamanya. Keduanya berjalan pelan menuju bentangan pasir di depan mereka. Setelah menemukan posisi yang cocok keduanya berbaring, menatap lagit malam yang gelap namun berkilauan oleh taburan bintang.

“Kirei…” Umika menggumam selagi kedua bola mata cemerlangnya mengagumi cahaya-cahaya di langit tersebut. Ryosuke tersenyum lembut tanpa melepaskan pandangannya dari langit yang sama.

“Ketika Kaa-chan baru meninggal, aku selalu rutin kesini. Tidak ada yang tahu tempat ini. Ayah, daiki, chii, Yuto, bahkan Mirai, orang yang waktu itu paling kupercaya sekalipun. Bagiku, tempat ini adalah satu-satunya tempat aku bisa bicara dengan kaa-chan. Ketika merindukannya, aku akan selalu kesini. Berbicara sendirian seperti orang gila, tapi aku yakin kaa-chan mendengarkan. Dan kali ini…” Ryosuke memutar wajahnya menghadap Umika ”aku ingin mengenalkanmu pada kaa-chan. Sahabat yang tahu segalanya tentangku”

Semburat merah muncul di kedua pipi Umika. Gadis itu malu. Meskipun Ryosuke hanya menyebutnya sahabat, tapi perasaannya jadi bahagia karena hal sekecil itu.

Gadis itu tersenyum manis. Tulus.  

“Arigatou Ryosuke. Hontou ni…”

Jantung Ryosuke berdetak cepat.

~0~0~0~


Yuto memandang Mirai heran. Gadisnya itu tidak terlihat bersemangat. Sudah beberapa kali dia menolak berkaraoke bersama, bahkan melewatkan lagu kesukaanya. Pemuda itu mengoper mike dalam genggamannya ke Chinen, lalu mendekati Mirai yang kini meringkuk di pojokan.

“Mirai, daijoubu?”

Mirai tersentak kaget, lalu menatap Yuto gugup. “Daijoubu.”

“Kau kurang bersemangat. Sakit ya?” Yuto mengukur suhu tubuh Mirai dengan mendekatkan keningnya ke kening gadis itu.

‘Tidak kenapa-kenapa. Suhunya normal saja. Lalu ada apa dengan Mirai?’pikir Yuto.

“Daijoubu. Aku cuma lagi nggak mood aja kok…”

“Apa karena Ryosuke?”

Mirai tersentak kaget.

“Apa karena Ryosuke tidak ikut?” Yuto kembali bertanya. Ada sedikit kecurigaan dalam nada bicaranya.

“Te-tentu saja tidak. Aku memang lagi tidak bersemangat sekarang. Aku mau pulang.” Mirai membalas agak gugup lalu bangun dari tempat duduknya dan keluar ruangan. Seketika pandangan seisi ruangan tertuju pada keduanya. Chinen, Suzuka, Daiki, Momoko, dan beberapa pemuda rekan setim basket Yuto.

“Ada apa?” Daiki lalu bertanya. Heran melihat Mirai tiba-tiba keluar dan Yuto hanya duduk dan diam saja di depannya. “ne, Yuto?”

“Aku harus menyusul Mirai.” Jawab Yuto singkat lalu ikut keluar ruangan. Mereka yang masih tersisa bertanya-tanya.

“Ne, Daichan. Mereka berdua kenapa?” Chinen mendekati daiki. Pemuda yg ditanya menggelengkan kepalanya, masih heran.

“Entahlah Chii. Mereka tidak pernah seperti ini sebelumnya.”

~0~0~0~

“Mirai! Matte!” Yuto menarik tangan Mirai sampai gadis itu berhenti bergerak. Mirai berbalik menatapnya. Aneh, ada sesuatu dalam matanya, dan Yuto tidak pernah melihat itu. Selama ini tidak sekalipun Mirai menatapnya seperti saat ini. Kenapa? Kenapa ketika membicarakan Ryosuke, Mirai bereaksi seperti ini? Apa ada sesuatu dengannya dan Ryosuke?

“Gomen. Tadi aku—“

“Daijoubu.” Mirai memotong kata-kata pemuda tinggi itu. “aku hanya mau pulang.”

“kalau begitu kuantar…” Yuto memakaikan jaketnya ke bahu kecil Mirai. Gadis itu tidak bereaksi, hanya mengikuti langkah panjang Yuto menuju mobilnya. Yuto sendiri merasa aneh dengan sikap Mirai kali ini. Tapi dia memilih diam, yakin suatu saat nanti semua akan jelas dimatanya.

Mobil dinyalakan. Selama perjalanan kedua eksistensi tersebut hanya diam. Yuto sepertinya enggan membuka pembicaraan mereka, apalagi Mirai. Sampai akhirnya Yuto memarkir mobilnya tepat di depan bangunan mewah bertajuk rumah Mirai. Yuto membuka pintu mobil, keluar, kemudian membuka pintu lainnya agar Mirai bisa turun. Mirai menggumamkan ‘arigatou’ pelan. Ketika ingin melangkah masuk, Yuto menarik tangannya lalu mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu, siap menciumnya. Tetapi tiba-tiba saja Mirai mengelak. Yuto berhenti, melepaskan tangan Mirai dan mundur beberapa langkah. Pemuda itu kaget. Sudah bertahun-tahun mereka pacaran, dan tidak pernah sekalipun Mirai mengelak darinya. Tapi kali ini, kenapa?

“Oyasumi.” Yuto bersuara, tidak ingin kejanggalan karena penolakan Mirai tadi merusak atmosfer diantara mereka. Mirai tersenyum datar.

“Oyasumi.” Balasnya pelan lalu masuk dan meninggalkan Yuto dengan wajah penuh tanda tanya di luar. Yuto tidak bergerak, agak lama sampai otaknya akhirnya memerintahkannya untuk pergi.

~0~0~0~


Umika menatap Ryosuke hati-hati. Ada yang aneh dengan anak itu. Kenapa dia tiba-tiba terdiam dan caranya melihat Umika itu loh, aneh sekali.

“Ryosuke?” Umika menegurnya pelan. Pemuda itu langsung kaget.

“Ah maaf, aku melamun tadi.” Jawabnya kaku lalu berusaha bangun dari posisi berbaringnya sedari tadi. Ada yang aneh dengannya, entah kenapa ada perasaan tidak biasa muncul untuk gadis disampingnya itu. Gerakannya mengangkat tubuh berhasil, namun ketika hendak melangkah kakinya tidak sengaja mengijak tali sepatunya yang entah bagaimana bisa terlepas. Pemuda itu jatuh, nyaris menindih tubuh rapuh Umika kalau saja kedua tangannya tidak cekatan menahan berat tubuhnya. Umika yang berada dalam himpitan kedua tangan Ryosuke terhenyak melihat pemuda itu tiba-tiba nyaris menjatuhinya dan sekarang sedang berjuang untuk tidak benar-benar meremukan tubuh gadis itu. Sesaat mata keduanya bertemu. Agak lama, mereka terdiam dalam pikirannya masing-masing. Ryosuke kembali merasakan sesuatu itu, sesuatu yang sempat memaksanya untuk benar-benar menatap Umika. Dan kali ini, dia melakukannya. Ryosuke menatap mata Umika dalam. Sesuatu itu kembali bekerja memerintahkannya untuk turun, mendekati wajah Umika. tinggal beberapa senti lagi sampai bibir keduanya bertemu.

“R-Ryosuke?”Umika menggumam pelan. Ryosuke seketika tersadar dan langsung menarik tubuhnya menjauhi gadis itu.

“Gomen. Aku menginjak tali sepatuku tadi.” Pemuda itu menunduk dan segera mengikat kembali tali sepatunya.  Umika memiringkan kepalanya sedikit. Heran dengan tingkah Ryosuke tadi. Kenapa cara Ryosuke menatapnya tadi itu aneh sekali?

Sementara Ryosuke sudah merutuki dirinya sendiri, mengingat apa-apa saja yang hampir dia lakukan tadi.

‘Dasar bodoh! Apa yang tadi kau pikirkan?’ umpatnya dalam hati.

Chapter 9 end~ continue to chapter 10