Senin, 14 Februari 2011

ENDLESS LOVE

Tittle : Endless Love
Genre: Angst
Cast  : YamaJimaChii, OC
Discl : I just own this ffic and the OC
3 Cerita, 3 pairing berbeda, akhir yang—mungkin—sama…
Nggak pengen banyak ngomong, enjoy please!

ENDLESS LOVE

Chapter 1
Cast: Chinen Yuri – Itou Hotaru


Pemuda itu menatap. Memandangi sosok sempurna didepannya. Matanya tak mau lepas. Ia kenal, suka, ia mau mendekatinya. Kakinya digerakan.
Sosok itu jatuh. Dengan cairan merah pekat mengalir dari hidungnya.

******
“Ne, Hotaru-chan..sudah kubilang, ke dokter saja…” Chinen Yuri bergerak, membawa semangkuk bubur panas sembari mendekati tempat tidur Hotaru Itou, gadis yang adalah kekasihnya.

“ Daijoubu…” bibir Hotaru melengkungkan senyuman.” Aku baik-baik saja Chii…”

“Tapi kau pingsan lagi kemarin…kau harus dirawat di rumah sakit….”

“Dan membuatku mati sebagai orang menyedihkan? Tidak Chii-chan. Sudah cukup belasan tahun hidupku kuhabiskan di rumah sakit! “

Chinen menghela nafas berat. Dia mengerti betul kondisi pacarnya. Gadis 17 tahun itu tidak akan pernah mau kembali ke tempat laknat bernama rumah sakit itu.
Matanya bergerak, berpindah ke mangkuk di tangannya.

“ Kubuatkan bubur, makan ya…” Chinen menyendok sebagian, meniupnya agar suhunya sedikit berkurang, lalu menyodorkannya ke depan Hotaru. Hotaru menggerakan bibirnya maju, menyentuh permukaan sendok bermuatan bubur tersebut.

“Oichii…”Lengkungan bulan sabitnya kembali terulas. 
Chinen ikut tersenyum, sembari bersiap menyendokan sebagian lagi. Tangannya memang bergerak, tapi pikirannya teralih sempurna ke gadis didepannya itu. gadisnya yang sakit.

Hotaru itou, gadisnya yang menderita leukemia. Gadis yang sudah ia sayangi sejak dulu, sejak mereka kecil. sejak Hotaru sering dititipkan di rumahnya kerena ayah, ibunya, atau kedua-duanya masuk rumah sakit karena penyakit turunan keluarga mereka, leukemia. Sejak keduanya bermain petak umpet bersama. Sejak ia yang ditinggal orang tuanya karena bekerja di luar negeri dan Hotaru yang sering main ke apartemennya untuk membuatkan makan siang atau menemaninya membuat PR. Sudah sejak lama. Sudah terlalu lama.

Sekarang Hotaru sudah bersamanya. Tinggal bersama lebih tepatnya. Ayah gadis itu meninggal sejak ia 10 tahun, dan ibunya baru menyusul beberapa bulan lalu, karena penyakit yang sama, leukemia yang akhirnya juga mereka wariskan kepada ka na semata wayangnya itu. Hotaru sendirian, tidak punya keluarga di Tokyo. Jadi Chinenlah yang menjaganya. Apalagi, kedua orang tua pemuda itu ada di luar negeri karena urusan bisnis. Keberadaan Hotaru pasti akan sangat sangat dibutuhkannya.

“Ne Chii…” Suara halus Hotaru menyadarkan Chinen dari lamunannya, membuat pemuda itu langsung menampilkan wajah ‘ada apa’nya.

“Aku ingin ke makam ibu…”

Chinen terhenyak. Namun sedetik kemudian, kedua sudut bibirnya tertarik lepas, membentuk senyuman manis.

“Hai..!  Tapi habiskan dulu buburmu, baru kita berangkat ya?” tangan pemuda itu kembali bergerak menyendokan bubur untuk kesekian kalinya. Hotaru mengangguk, memplagiat Chinen menyunggingkan senyumnya.

******
“Ne, Kaa-chan…tinggal dengan Chii-chan menyenangkan sekali. Setiap hari aku dibuatkan makanan, padahal Chi-chan sekolah. sudah begitu, masakannya enak sekali Kaa-chan…” Hotaru seolah bicara kepada makam tertutup rerumputan hijau didepannya. Chinen mendengus geli mendengar kata-kata gadis itu.

“Jangan bilang seperti itu, kau membuatku malu…Aah! Tapi Bi, biar tinggal bersamaku, aku tidak pernah berbuat yang aneh-aneh pada Hotaru-chan. Demi Tuhan…!” Chinen mengikuti Hotaru, bicara pada makam di depannya. Membuat Hotaru tertawa kecil.

Hening sejenak, keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing.

“Chii…”

‘Hn?”

“kanker-ku, sudah masuk stadium 4…” Hotaru berkata pelan. Sangat pelan, nyaris tak terdengar. Namun kata-kata itu sampai sempurna ke telinga Chinen. Membuatnya menoleh dan menatap kaget gadis itu.

“Bagaimana—“ pertanyaannya terhenti sejenak.” Kau ke dokter?”

Hotaru mengangguk.

“Dokter bilang begitu? Kankermu sudah masuk stadium 4?”

Ia kembali mengangguk.

“Kenapa tidak memberitahuku!” Chinen sedikit membentak. Frustrasi. “ Kau seharusnya dirawat di rumah sakit Hota—“

“Aku tidak mau, Chii! Aku tidak mau kembali lagi ke rumah sakit! Tidak lagi!” Hotaru jatuh dalam tangis. Ia tidak bisa kembali ke tempat laknat itu. Tempat dimana ayah dan ibunya resmi meninggalkannya. Ia tidak mau kembali lagi ke sana.

Frustrasi Chinen mereda, digantikan rasa sesak melihat Hotaru menangis. Dirangkuhnya tubuh mungil gadis itu ke dalam pelukannya.

“Gomen ne…”

“aku tidak ingin kembali ke rumah sakit Chii…aku tidak mau…” gadis itu bicara di sela-sela tangisnya.

“Hai..! aku tidak akan membawamu ke rumah sakit. Tapi kalau keadaanmu sudah sangat gawat, mau  tidak mau aku akan membawamu kesana. Mengerti kan?”

Hotaru mengangguk pelan dalam pelukan pemuda itu.

******

“Chinen, laporannya sudah?” Chinen memutar bola matanya, memandangi sosok yang tengah mendekat. Yamada Ryosuke, si ketua kelas. Pasti ingin meminta laporan kelompok mereka.

“Ah, Hai…kore!” Chinen mengambil beberapa lembar kertas, memberikannya pada Yamada. Ia menerimanya, namun beberapa detik kemudian, pemuda itu mengernyit bingung membaca tulisan pada lembaran-lembaran tadi.

“Ini apa?” Tanyanya sembari memindahkan lembaran kertas tadi ke tangan Chinen, membuatnya sedikit bingung. Chinen menyusuri kata demi kata.

Hasil Tes Darah
: Hotaru Itou ………

Tangannya dengan cepat memasukan lembaran-lembaran putih itu ke dalam tasnya. Membuat Yamada kembali mengernyit.
Sedikit gugup, Chinen mencoba tersenyum sebisanya.

“AML…itu, kanker darah kan?” Yamada menatap Chinen dengan mata elangnya. Membuat kegugupan Chinen bertambah. Pemuda itu tidak menjawab.

“Siapa itu Hotaru Itou?”

Jeda beberapa detik, sampai Chinen berani membuka kedua sisi bibirnya.

“Pacarku…”

Yamada terdiam, menyadari guratan wajah Chinen semakin mengeras. Ia memilih tidak melanjutkan. Ia tidak ingin masuk terlalu jauh. Apalagi setelah disadarinya, jika ia bertanya lebih banyak lagi, maka Chinen yang akan semakin sesak. Kecuali Chinen dengan sendirinya ingin bercerita.

“Dia mengidap Leukimia, stadium 4…” ternyata benar, Chinen yang mulai bicara. Yamada memilih duduk di bangku depan pemuda itu, mendengarkannya dengan saksama. Entah kenapa, ia tiba-tiba saja sangat ingin mendengar cerita Chinen tentang gadisnya yang leukemia itu.

“Hotaru tinggal bersamaku…sudah sekitar 3 bulan, sejak ibunya meninggal. Ayahnya meninggal 7 tahun lalu. Dia sendirian, jadi kuajak saja dia tinggal bersama. Lagipula, orang tuaku ada di Perancis, jadi tidak masalah bagi kami…” Chinen seperti menerawang. Pikirannya tertuju ke Hotaru, mengingat bagaimana ekspresi gadis itu ketika pertama kali ia memintanya untuk tinggal bersama.

“Dia manis sekali…sangat. Wajahnya ketika tersenyum, ketika dia senang, saat dia kesal, marah, bahkan ketika dia menangis. Aku sangat menyukainya…dan aku tidak ingin kalau harus kehilangan wajah itu secepat ini…aku ingin bersamanya lebih lama…menurutmu, Hotaru bisa sembuh kan?” Suara Chinen mulai bergetar. Yamada tahu, pemuda itu hampir menangis. Ditepuknya punggung Chinen beberapa kali.

“Kau hanya harus percaya padanya…”
Chinen tersenyum lemah.

“Gomen ne, Yamada. Aku sudah membuatmu mendengarkanku bercerita…Padahal kau mungkin punya banyak pekerjaan…” pemuda itu baru sadar, dari tadi ia bercerita panjang lebar kepada orang yang tidak begitu akrab dengannya. Namun, entah kenapa, ia merasa nyaman membiarkan seorang Yamada Ryosuke mendengarnya bicara tentang Hotaru.

“Tidak…aku memang ingin mendengarkan ceritamu kok. Dan entah kenapa, aku rasa, cerita kita mirip…”

“Mirip? Maksudnya? Pacarmu sakit juga?” gantian  Chinen yang memberi Yamada pertanyaan. Namun tidak seperti Chinen, Yamada tampaknya memilih untuk diam.

“Tidak…dia tidak sakit. Dia hanya sedikit berbeda…”
Chinen menangkap maksud Yamada. Pemuda itu pun mulai enggan bertanya lebih jauh.

Keduanya terdiam cukup lama. Chinen tenggelam dalam pikirannya tentang Hotaru sedang Yamada memikirkan gadisnya yang sedikit berbeda itu.

“Aah..ini laporan yang sebenarnya…” Chinen duluan tersadar, lalu segela memberikan beberapa lembar kertas yang sebelumnya telah dipastikan bahwa itulah laporan yang sebenarnya. Yamada tersenyum, lalu menerimanya.

“Arigatou…”

“Un! Ah, aku pulang dulu Yamada, boleh kan? Kasihan Hotaru, dia sendirian di rumah…”

“tentu! Sampaikan salamku padanya…”

“Ya. sampaikan juga salamku pada pacarmu—siapa namanya?”

“Ichigo…”

“Hai! Ichigo! Ah, aku pulang dulu…sayonara…”

“Sayonara…”

Punggung Chinen Yuri perlahan menghilang dari balik pintu, menyisakan Yamada yang sendirian di kelas.

Pemuda itu menatap datar, entah ke obyek mana.

******
“Tadaima…Hotaru, kau dimana? Hari ini makan siangnya kubelikan saja ya…” Chinen membuka kedua sepatunya, meninggalkannya di rak sepatu. Matanya menyusuri sekeliling. Telinganya juga disiagakan, berusaha menangkap suara Hotaru.

Tidak ada jawaban.

“Hotaru…?”

Masih—tidak ada jawaban.

‘Hotaru…jangan main-main. Ayo keluar…”

Tetap tidak ada jawaban.

“Hotaru…!” Chinen mulai ketakutan. Matanya mencari-cari sosok gadis itu. kaki-kakinya digerakan, keluar masuk semua ruangan dalam rumah itu.

—sampai kedua pupilnya menangkap sosok gadis manis namun pucat terbaring lemas di lantai, dengan aliran darah mewarnai bibir tipis merah mudanya. Nafasnya tercekat, dunianya seolah berhenti.

“HOTARU!!!”

******
“A- Atashi mo…Daisuki…”

“Tinggal bersama? Eeh?!”

“Arigatou, Chii-chan…!”

“Dia sudah bangun?” sebuah suara terdengar, menyadarkan Chinen dari lamunannya. Ia menoleh, mendapati di sampingnya sudah berdiri seorang wanita berusia sekitar 30an tahun, berseragam putih lengkap dengan topi trapesiumnya. Pemuda itu tersenyum kecil.

“Belum…sepertinya dia tidak mau bertemu denganku, makanya matanya ditutup terus…” 

Wanita—yang adalah perawat itu tertawa kecil, lalu menepuk pundak Chinen pelan.

“kau istirahatlah dulu… sudah hampir 3 hari kau disini. Pulanglah, tidur, sekolah, biar kami yang menjaganya…”

“Nanti saja. Aku ingin menunggunya bangun…”

Perawat itu menghela nafas ringan.

“baiklah! Semoga dia bisa bangun secepatnya, ne?”

Chinen mengangguk. Bunyi sepatu yang digerakan terdengar, menandakan perawat tadi sudah keluar. Chinen tidak bergeming. Matanya masih waspada, memperhatikan dengan cermat gadis manis yang terlelap di depannya.
Tubuh itu masih statis. Masih tetap menutup matanya.

“ Hotaru…kau marah ya kubawa ke rumah sakit? Maafkan aku…” Chinen mulai bicara sembari menggenggam tangan mungil Hotaru. Gadis itu tidak memberi reaksi.

“ Bangunlah…aku janji, saat kau bangun nanti, kita akan keluar dari sini. Kumohon, bangunlah…”

Gadis itu tidak memberi reaksi—lagi.

“Kumohon…”

Percuma. Gadis itu tetap enggan membuka matanya, menimbulkan rasa sesak luar biasa dalam dada Chinen. Membuatnya hampir rapuh.

Bayangan itu muncul tiba-tiba. 3 hari lalu, ketika ia menemukan Hotaru sudah terbaring lemas di depan pintu kamarnya. Saat itu dia sungguh takut, kalau-kalau Hotaru sudah pergi meninggalkannya. Tapi ternyata, Tuhan masih sangat menyayanginya, sehingga gadis itu masih dibiarkan tetap bersamanya di dimensi ini. Tapi, kondisinya? Apa gadis itu akan terus terlelap sepeti ini selama sisa hidupnya?

Tidak ada yang lebih buruk dari itu.

******
“Kau kemana saja? Sudah 5 hari kau tidak masuk…” Yamada Ryosuke mendatangi bangku Chinen, tepat setelah Chinen meletakan handbagnya di atas meja. Chinen memandangi Yamada lemah, lalu tersenyum kecut.

“Hotaru diopname. Aku harus menjaganya…”

“Eeh?!” Ekspresi Yamada langsung berubah terkejut. “bagaimana keadaannya? Dia baik-baik saja kan?”

Dengan masih menyunggingkan senyum, Chinen mengangguk.

“hanya saja…Dia masih belum mau bangun…”

Kening Yamada berkerut, tidak mengerti.

“Hotaru koma, sudah 5 hari…”

******

Kakinya menyusuri lorong rumah sakit pelan. Menuju sebuah ruangan. Ia ingin kesana segera, ingin melihat eksistensi yang sudah bernaung cukup lama di tempat itu. Tapi salah satu sisi hatinya menolak. Enggan. Takut. Takut kalau ketika ia tiba disana, eksistensi itu masih statis dalam lelapnya, atau lebih buruk, jiwanya sudah berpindah dimensi, ke tempat yang sama sekali tidak bisa ia jangkau. Meninggalkannya dalam kefanaan dunia.

Tidak butuh 5 menit sampai sosok itu berdiri sempurna di depan pintu. Perasaanya campur aduk. Cemas, gugup, takut, kira-kira apa yang menantinya di dalam?
Pintu lalu dibuka.

Chinen terbelalak menatap pemandangan di depannya.

Ruangan itu, kosong.

“HOTARU!! HOTARU KAU DIMANA?!” pemuda itu menyusuri seisi kamar. Seperti déjà vu, ia pernah melakukannya beberapa hari yang lalu. Dan seperti saat itu juga, tidak ada jawaban dari si gadis.

“SUSTER!! “ Menyadari kalau ia tidak sendiri di gedung sebesar ini, Chinen berlari keluar, segera memanggil siapa saja yang terlihat untuk membantunya. Beberapa perawat tergesa-gesa mendekatinya. Selang beberapa detik sampai mereka terpisah, membagi arah untuk menemukan seseorang. Chinen memilih keluar, mencari, kalau saja Hotaru sudah sadar dan ingin keluar.

Matanya menangkap siluet seorang gadis sedang duduk di bangku taman, sendirian. Dugaannya tepat, itu Hotaru. Secepat kilat pemuda itu melesat, mendatangi pemilik bangku tersebut.

“Hotaru…”

Gadis itu menoleh.

“Chii-chan…” senyumnya datar, sedikit tersembunyi wajahnya yang luar biasa pucat. Tangannya tergerak, menepuk-nepuk separuh bagian bangku yang masih kosong.

“Duduk sini…”

Entah ada tangan tak terlihat apa yang tiba-tiba saja menuntun Chinen agar duduk di tempat itu. Otaknya tidak bekerja dari tadi, shock melihat kondisi gadisnya yang luar biasa lemah. Bibir dan pipinya yang sebelumnya berwarna merah muda merona, kini memutih, nyaris seperti kapas. Dadanya sesak, lagi. Entah sudah yang ke berapa puluh ribu kalinya. Baginya tidak ada yang lebih meyakitkan dari pada melihat gadis yang kau cintai dalam kondisi seperti ini.

“Hotaru, kenapa disini…ayo ma—“ kata-katanya terhenti ketika Hotaru dengan sengaja menjatuhkan kepalanya ke paha pemuda itu. wajahnya membelakangi tubuh Chinen, memandang rerumputan hijau di depannya.

“Aku ingin tidur Chii…boleh kan?” terdiam agak lama sampai kemudian Chinen memberikan jawaban secara nonverbal dengan mengusap kepala gadis itu lembut. Tiba-tiba saja, puluhan helai rambut terlepas, tersangkut di tangannya. Hotaru bisa merasakan, helaian-helaian mahkota itu meninggalkan kawanannya, memilih ditarik gravitasi lewat tangan Chinen.

“Rambutku gugur ya…? apa wajahku jadi aneh sekarang… ”

Chinen tdak menjawab. Bahunya mulai bergetar.

“Gomen, selama ini aku sudah menyusakanmu ne? Aku sudah membuatmu kerepotan, khawatir, marah, bahkan membuatmu menangis…Gomen Chii…”

Chinen masih tidak menjawab. Bahunya bergetar makin hebat disusul isakan pelan.

“Jangan menangis Chii…kau bisa membuatku pergi dengan tidak tenang…” Hotaru masih saja berbicara. Gadis itu tetap mencoba tersenyum, bicara selayaknya biasa, meskipun ia sangat sangat ingin ikut menitikan air matanya seperti Chinen. Perpisahan seperti ini, buruk memang. Tapi dia tidak punya banyak waktu. Ia harus menggunakan setiap detik yang masih diberikan.

“Hotaru, jangan pergi…” Chinen akhirnya membuka kedua sisi bibirnya, bersamaan dengan jatuhnya tetesan-tetesan bening dari matanya. Satu tetes jatuh, tepat membasahi pipi Hotaru, mengajak tetesan-tetesan lain dari kelenjar air mata gadis itu untuk bergabung. Hotaru ikut menangis.

“Relakan saja Chii…” Hotaru mengangkat salah satu tangan Chinen, menggenggamnya erat. “Relakan saja…”

Chinen kembali diam. Dia tidak mau menjawab. Dia takut. Dia takut kalau harus kehilangan Hotaru sekarang.

“Aku mencintaimu Chii…Arigatou…” sepersekian detik berlalu, sampai akhirnya genggaman tangan itu terlepas.
Raga itu sudah kosong.

Chinen terisak makin keras. Tangannya menarik tubuh Hotaru ke dalam pelukannya.

“Aku mencintaimu Hotaru…selamanya…”

******

Seseorang menatap mereka, datar.

- tsuzuku-

Minaa..Minaa..Minaa… maap ,, angst lagii…saya deman bikin yang ginian soalnya…XD
Trus,, buat yang pada penasaran rupa-rupa si Hotaru itu gimana,, lakukan saja pencarian di Google pake Keyword Umika Kawashima,, Okki?!

Sekedar inpo aja,, saya suka pairing ini soalnya…XD

Ahh,, kebanyakan Ngomong…!!
Comment please…<3 <3 <3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar