Kamis, 24 Februari 2011

PANDA CHESSE

PANDA CHEESE

Baru2 ne gw dapet rekomendasi iklan dari temen gw di fb,,,iklan panda cheese,,sejenis keju gitu,,kyak kraft…
Awal na siih gw biasa adjaa…tapi setelah gw nonton lebih jauh…
MASYA OLOOH.!!!!.ALAMAKKK..*kejang-kejang*..
Ini iklan luar biasa sangat fantastic brilian penuh dengan paling yang terbaik dan TOP dan sungguh sungguh sangat*ehh,,sangat na 2 kali* dan paling paling paling LUCU yg pernah gw nonton…=)
SERIUUS..LUCU BANGET!!*jedotin kepala ke tembok*X(
Konsep na tentang panda yg bakal ngacauin hidup lo kalo lo nolak keju na…!!
Dan,,suweer..Nih panda dah gila!!
Tiap orang yg nolak kagak mao makan keju na diobrak abrik sama dy..
Serem,,tapi lucu gila!~!

Gw sama temen2 sehati sesuara na HSJ sampe nyambung-nyambungin tuh iklan sama PV na NYC –YAYM-..
Gw diskripsiin aja kali ya komen2 kita yang di luar batas kesadaran*sarap??*
Dimulai dari status na temen gw,,Sheren. Dia bawa2 iklan panda chesse nih sama Nakayama Yuma*catat:: kita benci Yuma X(*
Gimana kalo seandainya si Chinen pengen beli panda chesse, Cuma dilarang si Yuma. Nah, pas udah muncul …just you know why~,, diobrak-abrik deh pasti si Yuma.

Gw bisa bayangin,, pasti bakalan keren gila!! *Jahat XD*

Senin, 14 Februari 2011

ENDLESS LOVE

Tittle : Endless Love
Genre: Angst
Cast  : YamaJimaChii, OC
Discl : I just own this ffic and the OC
3 Cerita, 3 pairing berbeda, akhir yang—mungkin—sama…
Nggak pengen banyak ngomong, enjoy please!

ENDLESS LOVE

Chapter 1
Cast: Chinen Yuri – Itou Hotaru


Pemuda itu menatap. Memandangi sosok sempurna didepannya. Matanya tak mau lepas. Ia kenal, suka, ia mau mendekatinya. Kakinya digerakan.
Sosok itu jatuh. Dengan cairan merah pekat mengalir dari hidungnya.

******
“Ne, Hotaru-chan..sudah kubilang, ke dokter saja…” Chinen Yuri bergerak, membawa semangkuk bubur panas sembari mendekati tempat tidur Hotaru Itou, gadis yang adalah kekasihnya.

“ Daijoubu…” bibir Hotaru melengkungkan senyuman.” Aku baik-baik saja Chii…”

“Tapi kau pingsan lagi kemarin…kau harus dirawat di rumah sakit….”

“Dan membuatku mati sebagai orang menyedihkan? Tidak Chii-chan. Sudah cukup belasan tahun hidupku kuhabiskan di rumah sakit! “

Chinen menghela nafas berat. Dia mengerti betul kondisi pacarnya. Gadis 17 tahun itu tidak akan pernah mau kembali ke tempat laknat bernama rumah sakit itu.
Matanya bergerak, berpindah ke mangkuk di tangannya.

“ Kubuatkan bubur, makan ya…” Chinen menyendok sebagian, meniupnya agar suhunya sedikit berkurang, lalu menyodorkannya ke depan Hotaru. Hotaru menggerakan bibirnya maju, menyentuh permukaan sendok bermuatan bubur tersebut.

“Oichii…”Lengkungan bulan sabitnya kembali terulas. 
Chinen ikut tersenyum, sembari bersiap menyendokan sebagian lagi. Tangannya memang bergerak, tapi pikirannya teralih sempurna ke gadis didepannya itu. gadisnya yang sakit.

Hotaru itou, gadisnya yang menderita leukemia. Gadis yang sudah ia sayangi sejak dulu, sejak mereka kecil. sejak Hotaru sering dititipkan di rumahnya kerena ayah, ibunya, atau kedua-duanya masuk rumah sakit karena penyakit turunan keluarga mereka, leukemia. Sejak keduanya bermain petak umpet bersama. Sejak ia yang ditinggal orang tuanya karena bekerja di luar negeri dan Hotaru yang sering main ke apartemennya untuk membuatkan makan siang atau menemaninya membuat PR. Sudah sejak lama. Sudah terlalu lama.

Sekarang Hotaru sudah bersamanya. Tinggal bersama lebih tepatnya. Ayah gadis itu meninggal sejak ia 10 tahun, dan ibunya baru menyusul beberapa bulan lalu, karena penyakit yang sama, leukemia yang akhirnya juga mereka wariskan kepada ka na semata wayangnya itu. Hotaru sendirian, tidak punya keluarga di Tokyo. Jadi Chinenlah yang menjaganya. Apalagi, kedua orang tua pemuda itu ada di luar negeri karena urusan bisnis. Keberadaan Hotaru pasti akan sangat sangat dibutuhkannya.

“Ne Chii…” Suara halus Hotaru menyadarkan Chinen dari lamunannya, membuat pemuda itu langsung menampilkan wajah ‘ada apa’nya.

“Aku ingin ke makam ibu…”

Chinen terhenyak. Namun sedetik kemudian, kedua sudut bibirnya tertarik lepas, membentuk senyuman manis.

“Hai..!  Tapi habiskan dulu buburmu, baru kita berangkat ya?” tangan pemuda itu kembali bergerak menyendokan bubur untuk kesekian kalinya. Hotaru mengangguk, memplagiat Chinen menyunggingkan senyumnya.

******
“Ne, Kaa-chan…tinggal dengan Chii-chan menyenangkan sekali. Setiap hari aku dibuatkan makanan, padahal Chi-chan sekolah. sudah begitu, masakannya enak sekali Kaa-chan…” Hotaru seolah bicara kepada makam tertutup rerumputan hijau didepannya. Chinen mendengus geli mendengar kata-kata gadis itu.

“Jangan bilang seperti itu, kau membuatku malu…Aah! Tapi Bi, biar tinggal bersamaku, aku tidak pernah berbuat yang aneh-aneh pada Hotaru-chan. Demi Tuhan…!” Chinen mengikuti Hotaru, bicara pada makam di depannya. Membuat Hotaru tertawa kecil.

Hening sejenak, keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing.

“Chii…”

‘Hn?”

“kanker-ku, sudah masuk stadium 4…” Hotaru berkata pelan. Sangat pelan, nyaris tak terdengar. Namun kata-kata itu sampai sempurna ke telinga Chinen. Membuatnya menoleh dan menatap kaget gadis itu.

“Bagaimana—“ pertanyaannya terhenti sejenak.” Kau ke dokter?”

Hotaru mengangguk.

“Dokter bilang begitu? Kankermu sudah masuk stadium 4?”

Ia kembali mengangguk.

“Kenapa tidak memberitahuku!” Chinen sedikit membentak. Frustrasi. “ Kau seharusnya dirawat di rumah sakit Hota—“

“Aku tidak mau, Chii! Aku tidak mau kembali lagi ke rumah sakit! Tidak lagi!” Hotaru jatuh dalam tangis. Ia tidak bisa kembali ke tempat laknat itu. Tempat dimana ayah dan ibunya resmi meninggalkannya. Ia tidak mau kembali lagi ke sana.

Frustrasi Chinen mereda, digantikan rasa sesak melihat Hotaru menangis. Dirangkuhnya tubuh mungil gadis itu ke dalam pelukannya.

“Gomen ne…”

“aku tidak ingin kembali ke rumah sakit Chii…aku tidak mau…” gadis itu bicara di sela-sela tangisnya.

“Hai..! aku tidak akan membawamu ke rumah sakit. Tapi kalau keadaanmu sudah sangat gawat, mau  tidak mau aku akan membawamu kesana. Mengerti kan?”

Hotaru mengangguk pelan dalam pelukan pemuda itu.

******

“Chinen, laporannya sudah?” Chinen memutar bola matanya, memandangi sosok yang tengah mendekat. Yamada Ryosuke, si ketua kelas. Pasti ingin meminta laporan kelompok mereka.

“Ah, Hai…kore!” Chinen mengambil beberapa lembar kertas, memberikannya pada Yamada. Ia menerimanya, namun beberapa detik kemudian, pemuda itu mengernyit bingung membaca tulisan pada lembaran-lembaran tadi.

“Ini apa?” Tanyanya sembari memindahkan lembaran kertas tadi ke tangan Chinen, membuatnya sedikit bingung. Chinen menyusuri kata demi kata.

Hasil Tes Darah
: Hotaru Itou ………

Tangannya dengan cepat memasukan lembaran-lembaran putih itu ke dalam tasnya. Membuat Yamada kembali mengernyit.
Sedikit gugup, Chinen mencoba tersenyum sebisanya.

“AML…itu, kanker darah kan?” Yamada menatap Chinen dengan mata elangnya. Membuat kegugupan Chinen bertambah. Pemuda itu tidak menjawab.

“Siapa itu Hotaru Itou?”

Jeda beberapa detik, sampai Chinen berani membuka kedua sisi bibirnya.

“Pacarku…”

Yamada terdiam, menyadari guratan wajah Chinen semakin mengeras. Ia memilih tidak melanjutkan. Ia tidak ingin masuk terlalu jauh. Apalagi setelah disadarinya, jika ia bertanya lebih banyak lagi, maka Chinen yang akan semakin sesak. Kecuali Chinen dengan sendirinya ingin bercerita.

“Dia mengidap Leukimia, stadium 4…” ternyata benar, Chinen yang mulai bicara. Yamada memilih duduk di bangku depan pemuda itu, mendengarkannya dengan saksama. Entah kenapa, ia tiba-tiba saja sangat ingin mendengar cerita Chinen tentang gadisnya yang leukemia itu.

“Hotaru tinggal bersamaku…sudah sekitar 3 bulan, sejak ibunya meninggal. Ayahnya meninggal 7 tahun lalu. Dia sendirian, jadi kuajak saja dia tinggal bersama. Lagipula, orang tuaku ada di Perancis, jadi tidak masalah bagi kami…” Chinen seperti menerawang. Pikirannya tertuju ke Hotaru, mengingat bagaimana ekspresi gadis itu ketika pertama kali ia memintanya untuk tinggal bersama.

“Dia manis sekali…sangat. Wajahnya ketika tersenyum, ketika dia senang, saat dia kesal, marah, bahkan ketika dia menangis. Aku sangat menyukainya…dan aku tidak ingin kalau harus kehilangan wajah itu secepat ini…aku ingin bersamanya lebih lama…menurutmu, Hotaru bisa sembuh kan?” Suara Chinen mulai bergetar. Yamada tahu, pemuda itu hampir menangis. Ditepuknya punggung Chinen beberapa kali.

“Kau hanya harus percaya padanya…”
Chinen tersenyum lemah.

“Gomen ne, Yamada. Aku sudah membuatmu mendengarkanku bercerita…Padahal kau mungkin punya banyak pekerjaan…” pemuda itu baru sadar, dari tadi ia bercerita panjang lebar kepada orang yang tidak begitu akrab dengannya. Namun, entah kenapa, ia merasa nyaman membiarkan seorang Yamada Ryosuke mendengarnya bicara tentang Hotaru.

“Tidak…aku memang ingin mendengarkan ceritamu kok. Dan entah kenapa, aku rasa, cerita kita mirip…”

“Mirip? Maksudnya? Pacarmu sakit juga?” gantian  Chinen yang memberi Yamada pertanyaan. Namun tidak seperti Chinen, Yamada tampaknya memilih untuk diam.

“Tidak…dia tidak sakit. Dia hanya sedikit berbeda…”
Chinen menangkap maksud Yamada. Pemuda itu pun mulai enggan bertanya lebih jauh.

Keduanya terdiam cukup lama. Chinen tenggelam dalam pikirannya tentang Hotaru sedang Yamada memikirkan gadisnya yang sedikit berbeda itu.

“Aah..ini laporan yang sebenarnya…” Chinen duluan tersadar, lalu segela memberikan beberapa lembar kertas yang sebelumnya telah dipastikan bahwa itulah laporan yang sebenarnya. Yamada tersenyum, lalu menerimanya.

“Arigatou…”

“Un! Ah, aku pulang dulu Yamada, boleh kan? Kasihan Hotaru, dia sendirian di rumah…”

“tentu! Sampaikan salamku padanya…”

“Ya. sampaikan juga salamku pada pacarmu—siapa namanya?”

“Ichigo…”

“Hai! Ichigo! Ah, aku pulang dulu…sayonara…”

“Sayonara…”

Punggung Chinen Yuri perlahan menghilang dari balik pintu, menyisakan Yamada yang sendirian di kelas.

Pemuda itu menatap datar, entah ke obyek mana.

******
“Tadaima…Hotaru, kau dimana? Hari ini makan siangnya kubelikan saja ya…” Chinen membuka kedua sepatunya, meninggalkannya di rak sepatu. Matanya menyusuri sekeliling. Telinganya juga disiagakan, berusaha menangkap suara Hotaru.

Tidak ada jawaban.

“Hotaru…?”

Masih—tidak ada jawaban.

‘Hotaru…jangan main-main. Ayo keluar…”

Tetap tidak ada jawaban.

“Hotaru…!” Chinen mulai ketakutan. Matanya mencari-cari sosok gadis itu. kaki-kakinya digerakan, keluar masuk semua ruangan dalam rumah itu.

—sampai kedua pupilnya menangkap sosok gadis manis namun pucat terbaring lemas di lantai, dengan aliran darah mewarnai bibir tipis merah mudanya. Nafasnya tercekat, dunianya seolah berhenti.

“HOTARU!!!”

******
“A- Atashi mo…Daisuki…”

“Tinggal bersama? Eeh?!”

“Arigatou, Chii-chan…!”

“Dia sudah bangun?” sebuah suara terdengar, menyadarkan Chinen dari lamunannya. Ia menoleh, mendapati di sampingnya sudah berdiri seorang wanita berusia sekitar 30an tahun, berseragam putih lengkap dengan topi trapesiumnya. Pemuda itu tersenyum kecil.

“Belum…sepertinya dia tidak mau bertemu denganku, makanya matanya ditutup terus…” 

Wanita—yang adalah perawat itu tertawa kecil, lalu menepuk pundak Chinen pelan.

“kau istirahatlah dulu… sudah hampir 3 hari kau disini. Pulanglah, tidur, sekolah, biar kami yang menjaganya…”

“Nanti saja. Aku ingin menunggunya bangun…”

Perawat itu menghela nafas ringan.

“baiklah! Semoga dia bisa bangun secepatnya, ne?”

Chinen mengangguk. Bunyi sepatu yang digerakan terdengar, menandakan perawat tadi sudah keluar. Chinen tidak bergeming. Matanya masih waspada, memperhatikan dengan cermat gadis manis yang terlelap di depannya.
Tubuh itu masih statis. Masih tetap menutup matanya.

“ Hotaru…kau marah ya kubawa ke rumah sakit? Maafkan aku…” Chinen mulai bicara sembari menggenggam tangan mungil Hotaru. Gadis itu tidak memberi reaksi.

“ Bangunlah…aku janji, saat kau bangun nanti, kita akan keluar dari sini. Kumohon, bangunlah…”

Gadis itu tidak memberi reaksi—lagi.

“Kumohon…”

Percuma. Gadis itu tetap enggan membuka matanya, menimbulkan rasa sesak luar biasa dalam dada Chinen. Membuatnya hampir rapuh.

Bayangan itu muncul tiba-tiba. 3 hari lalu, ketika ia menemukan Hotaru sudah terbaring lemas di depan pintu kamarnya. Saat itu dia sungguh takut, kalau-kalau Hotaru sudah pergi meninggalkannya. Tapi ternyata, Tuhan masih sangat menyayanginya, sehingga gadis itu masih dibiarkan tetap bersamanya di dimensi ini. Tapi, kondisinya? Apa gadis itu akan terus terlelap sepeti ini selama sisa hidupnya?

Tidak ada yang lebih buruk dari itu.

******
“Kau kemana saja? Sudah 5 hari kau tidak masuk…” Yamada Ryosuke mendatangi bangku Chinen, tepat setelah Chinen meletakan handbagnya di atas meja. Chinen memandangi Yamada lemah, lalu tersenyum kecut.

“Hotaru diopname. Aku harus menjaganya…”

“Eeh?!” Ekspresi Yamada langsung berubah terkejut. “bagaimana keadaannya? Dia baik-baik saja kan?”

Dengan masih menyunggingkan senyum, Chinen mengangguk.

“hanya saja…Dia masih belum mau bangun…”

Kening Yamada berkerut, tidak mengerti.

“Hotaru koma, sudah 5 hari…”

******

Kakinya menyusuri lorong rumah sakit pelan. Menuju sebuah ruangan. Ia ingin kesana segera, ingin melihat eksistensi yang sudah bernaung cukup lama di tempat itu. Tapi salah satu sisi hatinya menolak. Enggan. Takut. Takut kalau ketika ia tiba disana, eksistensi itu masih statis dalam lelapnya, atau lebih buruk, jiwanya sudah berpindah dimensi, ke tempat yang sama sekali tidak bisa ia jangkau. Meninggalkannya dalam kefanaan dunia.

Tidak butuh 5 menit sampai sosok itu berdiri sempurna di depan pintu. Perasaanya campur aduk. Cemas, gugup, takut, kira-kira apa yang menantinya di dalam?
Pintu lalu dibuka.

Chinen terbelalak menatap pemandangan di depannya.

Ruangan itu, kosong.

“HOTARU!! HOTARU KAU DIMANA?!” pemuda itu menyusuri seisi kamar. Seperti déjà vu, ia pernah melakukannya beberapa hari yang lalu. Dan seperti saat itu juga, tidak ada jawaban dari si gadis.

“SUSTER!! “ Menyadari kalau ia tidak sendiri di gedung sebesar ini, Chinen berlari keluar, segera memanggil siapa saja yang terlihat untuk membantunya. Beberapa perawat tergesa-gesa mendekatinya. Selang beberapa detik sampai mereka terpisah, membagi arah untuk menemukan seseorang. Chinen memilih keluar, mencari, kalau saja Hotaru sudah sadar dan ingin keluar.

Matanya menangkap siluet seorang gadis sedang duduk di bangku taman, sendirian. Dugaannya tepat, itu Hotaru. Secepat kilat pemuda itu melesat, mendatangi pemilik bangku tersebut.

“Hotaru…”

Gadis itu menoleh.

“Chii-chan…” senyumnya datar, sedikit tersembunyi wajahnya yang luar biasa pucat. Tangannya tergerak, menepuk-nepuk separuh bagian bangku yang masih kosong.

“Duduk sini…”

Entah ada tangan tak terlihat apa yang tiba-tiba saja menuntun Chinen agar duduk di tempat itu. Otaknya tidak bekerja dari tadi, shock melihat kondisi gadisnya yang luar biasa lemah. Bibir dan pipinya yang sebelumnya berwarna merah muda merona, kini memutih, nyaris seperti kapas. Dadanya sesak, lagi. Entah sudah yang ke berapa puluh ribu kalinya. Baginya tidak ada yang lebih meyakitkan dari pada melihat gadis yang kau cintai dalam kondisi seperti ini.

“Hotaru, kenapa disini…ayo ma—“ kata-katanya terhenti ketika Hotaru dengan sengaja menjatuhkan kepalanya ke paha pemuda itu. wajahnya membelakangi tubuh Chinen, memandang rerumputan hijau di depannya.

“Aku ingin tidur Chii…boleh kan?” terdiam agak lama sampai kemudian Chinen memberikan jawaban secara nonverbal dengan mengusap kepala gadis itu lembut. Tiba-tiba saja, puluhan helai rambut terlepas, tersangkut di tangannya. Hotaru bisa merasakan, helaian-helaian mahkota itu meninggalkan kawanannya, memilih ditarik gravitasi lewat tangan Chinen.

“Rambutku gugur ya…? apa wajahku jadi aneh sekarang… ”

Chinen tdak menjawab. Bahunya mulai bergetar.

“Gomen, selama ini aku sudah menyusakanmu ne? Aku sudah membuatmu kerepotan, khawatir, marah, bahkan membuatmu menangis…Gomen Chii…”

Chinen masih tidak menjawab. Bahunya bergetar makin hebat disusul isakan pelan.

“Jangan menangis Chii…kau bisa membuatku pergi dengan tidak tenang…” Hotaru masih saja berbicara. Gadis itu tetap mencoba tersenyum, bicara selayaknya biasa, meskipun ia sangat sangat ingin ikut menitikan air matanya seperti Chinen. Perpisahan seperti ini, buruk memang. Tapi dia tidak punya banyak waktu. Ia harus menggunakan setiap detik yang masih diberikan.

“Hotaru, jangan pergi…” Chinen akhirnya membuka kedua sisi bibirnya, bersamaan dengan jatuhnya tetesan-tetesan bening dari matanya. Satu tetes jatuh, tepat membasahi pipi Hotaru, mengajak tetesan-tetesan lain dari kelenjar air mata gadis itu untuk bergabung. Hotaru ikut menangis.

“Relakan saja Chii…” Hotaru mengangkat salah satu tangan Chinen, menggenggamnya erat. “Relakan saja…”

Chinen kembali diam. Dia tidak mau menjawab. Dia takut. Dia takut kalau harus kehilangan Hotaru sekarang.

“Aku mencintaimu Chii…Arigatou…” sepersekian detik berlalu, sampai akhirnya genggaman tangan itu terlepas.
Raga itu sudah kosong.

Chinen terisak makin keras. Tangannya menarik tubuh Hotaru ke dalam pelukannya.

“Aku mencintaimu Hotaru…selamanya…”

******

Seseorang menatap mereka, datar.

- tsuzuku-

Minaa..Minaa..Minaa… maap ,, angst lagii…saya deman bikin yang ginian soalnya…XD
Trus,, buat yang pada penasaran rupa-rupa si Hotaru itu gimana,, lakukan saja pencarian di Google pake Keyword Umika Kawashima,, Okki?!

Sekedar inpo aja,, saya suka pairing ini soalnya…XD

Ahh,, kebanyakan Ngomong…!!
Comment please…<3 <3 <3

Yama-chaan!! ~nyuu

Mirai - part 3


Part 3

Aku mengamati diam-diam. Yamada disana, berjalan mondar mandir di depan pintu. Tangannya dilipat, raut wajahnya cemas. Aku tersenyum kecil, mengatur ekspresiku lalu mendorong pintu keluar.

“Yama—“

“MIRAI-CHAN! BAGAIMANA AUDISINYA? DITERIMA TIDAK?“ pemuda itu berteriak, membuatku sontak menutup telingaku.

“Ahh…gomen..” ujarnya pelan melihatku sedikit kesakitan karena mendengar teriakannya. “Jadi bagaimana?”

Aku menggeleng. Raut wajahku kubuat sedih. Yamada langsung mengelus puncak kepalaku lembut.

“Daijoubu, ne? Mirai-chan masih punya banyak kesempatan yoo…” ia tersenyum lembut. Bisa kulihat, wajahnya sedikit kecewa. Aku mengangguk lemah.

“Sa…kita pulang sekarang ya…” Yamada menarik tanganku pelan. Ia sudah maju selangkah, tetapi aku masih statis.

“Mirai-chan…?”

“AKU LOLOS!!! AKU BERHASIL MASUK KLUB DRAMA!!!” Aku melompat kearahnya lalu memeluk pemuda itu. Terkaget akut dengan kalimat yang baru saja kuteriakan, ia langsung membalas pelukanku,dan mencium keningku sepersekian detik kemudian.

“Mirai-chan jahat! Aku sudah dibohongi. Mentang-mentang sudah masuk klub darama, kau jadikan aku kelinci percobaan buat eksperimen aktingmu! Tidak lucu ahh!” Yamada sok cemberut, memaksaku menyunggingkan senyum untuknya.

“Yamada-kun…gomen ne? tadi aku kan cuma bercanda…jangan ngambek dong…” Aku mencubit pipinya gemas. Yamada masih saja ngambek.

“Yamada-kun…?”

“……………………”

“Yamada-kun? Udahan dong…aku nggak bakal kerjain Yamada-kun lagi, benar deh! Maafin ya? ya? ya? ya?”

“………………..”
Aku mulai kehilangan akal. Tapi tiba-tiba, sesuatu merasuki otakku.

“Ri-yo-su-ke…?“
Pemuda itu langsung menoleh. Benar saja, rencanaku berhasil. Dia pasti akan kaget mendengarku memanggilnya Ryosuke.

“Mirai-chan tadi bilang apa?” Ia terlihat tidak percaya.

“Aku bilang apa memangnya?”

“Mi-Mirai-chan tadi memanggilku Ryosuke kan? Bukan Yamada-kun lagi? Iya kan? Ryosuke kan?” wajahnya kembali bersemangat. Sungguh, aku lebih mencintai wajah bersemangat ini dibandingkan ekspresi cemberutnya tadi.

“Tidak kok…”

“Manggil aah, aku dengar kok…”

“Tidak…”

“Manggil…”

“Tidak…!”

“Manggil! Manggil! Manggil!” nadanya luar biasa absolut. Aku mengangguk pelan akhirnya.
Pemuda itu tersenyum, begitu pula aku.
Kami berciuman.

“Aku menyayangimu Mirai. Sangat…”

******

Aku membuka mataku perlahan, lalu bangkit dari tempat tidur.
Aku tahu hari ini!

9 Mei…
Ryosuke!

“Otanjoubi Omodetou Ryosuke!” seruku sembari mencium pingura kecil berisi foto Ryosuke di meja belajarku.
Mataku beralih ke beker disampinnya. Baru jam setengah 6. seharusnya beker itu berbunyi 30 menit lagi untuk membangunkanku. Tapi nyatanya? Kali ini dia kalah langkah. Aku malah sadar lebih dulu, terlalu menantikan hari ini mungkin.
Kami punya janji. Aku dan Ryosuke. Di ulang tahunnya yang ke 18 ini, ia ingin merayakannya bersamaku di taman tempat dia menyatakan cintanya padaku dulu. Sekalian dengan perayaan satu bulan jadian katanya, meskipun jelas tanggal jadian kami bukan 9, tapi 7. Syukurlah kemarin aku sudah ke rumah sakit untuk pemeriksaan, jadi aku yakin tidak akan ada gangguan sebentar. Lagipula kata dokter, kesehatanku sudah semakin membaik belakangan ini.

Terlalu lama berpikir! Aku bahkan belum membuatkan bekal kami.
Aku menuruni tangga, siap ke dapur. Bukan hanya bekal, tapi juga sesuatu yang special.

******

1 jam…
Apa harus kugenapkan jadi 2 jam?  3 jam?  4? Atau lebih?
Sekarang jam 11. sudah 60 menit aku menunggu. Tapi setitikpun siluetnya tidak terlihat. Kenapa lama sekali. Apa saja yang dilakukan pemuda itu? berdandan? Memangnya dia gadis 15 tahun yang  baru kali ini berkencan?

Aku mendengus kesal. Bukan hanya karena lama, tapi karena ini.
Pudding ini nyaris mencair. Ya, pudding strawberry yang kubuatkan khusus untuknya. Kalau seperti ini, kerja kerasku sia-sia. Ryosuke tidak akan sempat menikmatinya.
Aku kembali mengecek e-mail. Kosong! Pesan masuk? Kosong! Panggilan? Hah, yang ada malah puluhan telpon dariku yang tidak pernah sekalipun dijawab. Aku tahu, dia Yamada Ryosuke, seorang artis. Tapi paling tidak jawab teponku, atau hubungi aku jika ingin membatalkan janjinya. Aku tidak mungkin akan terus menunggu di sini tanpa ada konfirmasi apa-apa. Aku tidak bisa menunggu selamanya!
Ryosuke! Kau dimana sih?

Aku sudah bersiap mengirimkan e-mail baru, ketika seseorang berlari tergesa-gesa mendekatiku.

Ryosuke kah?

“Chinen-kun?” sorot mataku meredup ketika melihat yang datang adalah Chinen. Kenapa ia kemari? Apa dia ingin menitipkan pesan dari Ryosuke karena tidak bisa datang?

Pemuda itu mengatur nafasnya. Wajar saja dia kesulitan seperti itu. dilihat dari larinya tadi, ia pasti sangat buru-buru. Memangnya apa yang mau Ryosuke katakan sampai harus membuat Chinen marathon seperti ini. Kalau hanya untuk membatalkan janji sih, tidak usah seperti ini kan?

“Chinen-kun? Doushita no?” aku mengulang kata-kataku. Pemuda itu berhenti mengatur nafas setelah dirasanya kinerja paru-parunya sudah kembali normal.

“Mirai-chan, Ryosuke….Dia……”

******
How long you’ll look l like this?
How long you’ll close your eyes?
How long… you’ll make me cry?

Wajah pucat itu masih datar. Masih seperti 2 hari yang lalu. Masih kehilangan raut cerianya.

“Ryosuke…” aku masuk, mengambil tempat di sebelah ranjang pemuda itu. menatapnya. Wajah itu berbeda sekarang. Tidak ada lagi senyuman yang biasanya, tidak terdengar lagi teriakan memalukannya, tidak ada lagi panggilan Mirai-chan untukku.

“Aku bawakan strawberry nih…kau bangun ya…” tenganku bergerak, memindahkan keranjang strawberry yang kubawa ke meja yang juga berada di samping ranjang Ryosuke.
Pemuda itu masih statis. Membuatku mau tidak mau mengeluarkan air mata.

“Mirai-chan, Ryosuke…Dia……Dia kecelakaan!”

“Koma? Anda bercanda kan?!”

“Karena buru-buru kesini dia tidak memperhatikan jalanan sekitar, sehingga sebuah mobil menabraknya…”

“Maaf, tapi hanya ini yang bisa kami lakukan…”

“Ryosuke, bangunlah…” air mataku mengalir lebih deras. Sangat menyakitkan melihat orang yang kau cintai, yang selama ini aktif kelewat batas, sekarang hanya terbaring lemah di sebuah ranjang dengan berbagai kabel menjalari tubuhnya, dan harus menggunakan sejenis masker untuk membantunya bernafas. 
Ryosuke yang ini lain, nyaris berbeda.

Aku mengangkat tangannya, menggengamnya di depan wajahku. Mencoba membuatnya, paling tidak merasakan sedikit air mataku. Membuatnya tahu, hatiku perih melihanya seperti ini.

Tidak ada reaksi. Wajahnya masih datar.

“Ryosuke…kumohon. Bangunlah…”

“Mirai-chan…”

Eh, suara itu?

“Sayonara…”

Aku terhenyak, lalu menatap Ryosuke sekarang.
Wajahnya masih statis…Tidak! Ada yang berbeda. Dadanya! Dadanya tidak lagi bergerak naik-turun, deru nafasnya yang sebelumnya hampir tidak terdengar, kini benar-benar lenyap sama sekali. Dan bunyi itu! aku tahu bunyi itu!

Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit!

Kotak elektronik itu menunjukan garis datar.

“Ryosuke! Ryosuke!” aku seketika panik. “Dokter! Dokter! Tolong!!!”
Mendengar teriakanku, beberapa dokter segera datang. Aku dipaksa keluar oleh seorang perawat.
Pintu itu ditutup.

And everything must end, now…?

******
“Mirai keluarlah…kau tidak bisa terus-terusan mengurung diri di kamar…” suara ibu terdengar. Aku masih mengunci bibirku, membekukan tubuhku, menulikan telingaku. Mataku masih kupaksa bekerja, hanya untuk satu tujuan.
Pemuda dalam pigura itu.

Kenapa dia pergi secepat ini?

“Ryosuke, kenapa…?”
Aku menangis, entah sudah yang keberapa kalinya sejak kematian Ryosuke seminggu yang lalu. Aku masih tidak bisa merelakannya, aku tidak mau merelakannya.

“Mirai-chan…”

Ryosuke!
Aku berlari ke arah jendela.

“Ryosuke!”

“Mirai-chan!” tubuhku melemah. Bukan Ryosuke, itu Chinen Yuri. kenapa dia datang?

Aku turun ke bawah.

Ada apa?” tanyaku pelan. Pemuda itu tersenyum kecil.

“Ini untukmu…” dia memberiku sebuah kotak yang sudah dibungkus rapi. Kado kah?

“Chinen ini…”

“Tambahan, dengan pesan jangan terus mengurung dirimu dikamar ne?” pemuda itu masih tersenyum.“Sa..aku pergi sekarang ya. sayonara…”

******
Aku membuka kado itu. sebuah liontin perak dengan rangkaian huruf klasik membentuk kata My Mirai serta secarik kertas. Bisa kuduga, siapa pemilik sebelumnya.

Dear Shida Mirai,
Kalau ada yang bertanya padaku, siapa orang terpenting dalam hidupku, aku akan jawab Mirai.
Ya! Shida Mirai, gadis yang berhasil merasuki pikiranku ketika pertama kali melihatnya.
Ia punya kepribadian yang tidak kumengerti.
Dia selalu bilang, ‘aku tidak punya masa depan’ untuk meredakan luka hatinya…
Padahal dia salah besar!
Dia diberi nama Mirai, pasti ada tujuannya. Dan dia dipertemukan denganku, pasti juga ada tujuannya.
Dan ketika dia benar-benar merasuki hidupku, membuatku akhirnya memiliki sosok yang kucintai, yang ingin selalu kujaga. Betapa bersyukurnya aku, Tuhan telah mempertemukan kami.
Aku akan selalu mencintainya, melindungi Miraiku.
Dan bila masaku berakhir, ketika aku tak mampu lagi menjaganya, aku ingin dia selalu tahu…
Aku, akan selalu mencintainya, tidak peduli di demensi apa kami nanti.
Aku ingin dia tetap tegar, tetap menjalani hidupnya dengan atau tanpa kehadiranku.
Karena dia adalah Mirai, dialah masa depannya.

Aku mencintaimu Selamanya, Shida Mirai.
Yamada Ryosuke.

Air mataku kembali jatuh. Surat, liontin, kepercayaan akan masa depan…dia sudah memberi terlalu banyak untukku.

Dan bila masaku berakhir, ketika aku tak mampu lagi menjaganya, aku ingin dia selalu tahu…
Aku, akan selalu mencintainya, tidak peduli di demensi apa kami nanti.
Aku ingin dia tetap tegar, tetap menjalani hidupnya dengan atau atanpa kehadiranku.
Karena dia adalah Mirai, dialah masa depannya.

Aku ingin membalasnya. Aku ingin hidup sebagai Mirai bagi Ryosuke. Mirai yang memiliki masa depan. Masa depan Yamada Ryosuke juga masa depan Shida Mirai.
Aku menghapus air mataku, sembari menyunggingkan senyum kecil

“Aku mencintaimu selamanya, Yamada Ryosuke…...”

~ The End ~


Minaaa, gomen gegara part tiga niih rada2 aneh kata2nya,, saya bingung soalnya kurang pengalaman bikin cerita yang menyentuh, jadi rada berantakan deh ini. Mana suratnya Yamada Ryosuke itu asal bener, kagak pernah bikin surat cinta saya soalnya.

Trus,, sekedar pemberitahuan aja,, Mirai bakal ada sekuelnya,, genrenya LOVE jadi silahkan menebak-nebak bakal jadian sama siapa si Shida Mirai nanti. Sekuelnya bakal segera nyusul…

Okk, itu ajah! Comment please…!!

Selasa, 01 Februari 2011

Mirai - part 2


Part 2

Aku membuka mataku perlahan.
Plafon putih, bau obat, sudah pasti ini rumah sakit. Aku menggerakan badanku. Sedikit nyeri memang. Entah sudah berapa hari aku tidak sadar. Mataku menelusuri setiap sudut kamar. Tidak ada orang. Ayah pasti di kantor dan ibu mungkin sedang bertemu dokter.
Haah…sepi. Andai Yamada ada…
Yamada? Haah? Kenapa aku teringat Yamada?
Aku memandang benda elektronik segi empat yang terletak beberapa meter dari tempat tidurku. Tentu saja! TV!
Aku buru-buru mencari remotnya. Dapat! Terletak di meja sampingku. Kunyalakan TV itu.

“Nah…jadi Inoo-kun dulu bercita-cita menjadi Dokter ya? pasti akan banyak fans Hey! Say! JUMP mengantri di ruanganmu ne..?”

“aah..tidak juga..”

Kulihat ada beberapa orang berbicara. Acara talk show sepertinya. Tapi tadi kalau tidak salah dengar, presenternya bilang Hey! Say! JUMP ya? kalau Hey Say Jump itu kan, berarti Yamada—

“Baiklah… kita pindah ke Yamada Ryosuke-kun…”
Tuh kan!

“…nah, Yamada-kun, kira-kira masa depan seperti apa yang kau harapkan…?” 

Kamera digerakan sehingga sekarang mengekspose jelas wajah Yamada Ryosuke. Dia terlihat tampan, sungguh. Tapi labih menyukai wajahnya di luar layar kaca. Lebih hidup dan bersemangat.
Tadi aku bilang menyukainya? Ya...mungkin!

“Err….aku mau menikah tentu saja. Aku ingin punya istri yang baik…aku mau punya anak lima…hahaha! Bercanda! Aku mau punya dua anak …lalu, aku ingin berbulan madu di Okinawa. Dan yang paling aku harapkan, aku ingin bisa selalu menjaga istriku, mencintainya selama-lamanya… dan aku akan berjuang keras agar aku bisa membahagiakan keluargaku…istriku dan anak-anakku nanti…” Yamada menjawab panjang lebar. Penonton banyak yang berteriak. Aku pun tidak bisa menahan senyumanku.

“Waah…beruntung sekali gadis yang akan jadi istri Yamada-kun nanti…!masa depan seperti ini sih bukan hal yang tidak mungkin bagi seorang Yamada Ryosuke ne? kau sangat terkenal, rata-rata gadis di jepang pasti penggemarmu! Tidak  akan sulit menemukan istri yang seperti itu. Masa depan kalian pasti akan cemerlang sekali ya kan…?”

Aku terdiam. Entah kenapa kata-kata presenter tadi membuatku sakit.

“…Dan yang paling aku harapkan, aku ingin bisa selalu menjaga istriku, mencintainya selama-lamanya…”

“…Masa depan kalian pasti akan cemerlang sekali ya kan…?”

Yamada Ryosuke punya masa depan…
Dan Shida Mirai tidak! Aku tidak punya apa-apa untuk Ryosuke. Aku tidak pantas menyukainya. Aku bahkan tidak pantas jadi temannya.

“…kau sangat terkenal, rata-rata gadis di jepang pasti penggemarmu! Tidak  akan sulit menemukan istri yang seperti itu.”

Banyak gadis yang menyukai Yamada. Bukan hanya aku.
Yamada terlalu jauh…
Air mataku mengalir. Rasanya sangat perih.

“MIRAI-CHAAN!!”
Teriakan Yamada Ryosuke. Aku buru-buru menghapus air mataku.

“Yamada-kun…”

“Gomen aku baru datang sekarang…soalnya jam pertama tadi pelajaran Makiko sensei, aku tidak bisa bolos…nih! Aku bawakan strawberry lagi…” ia masuk lalu meletakan keranjang strawberry dan tasnya di meja samping tempat tidurku. Aku tersenyum lemah. Mata pemuda itu beralih ke televisi.

“EHH? Mirai-chan nonton talk show kami yaa? Waa…malunya. Aku banyak cerewet soal menikah sih…Mirai-chan sudah liat bagianku kan? Istri yang kumaksud itu Mirai-chan loh…!!” Yamada tersenyum sumringah. Aku ingin menangis. Sakit! Apapun yang Yamada katakan, aku tidak mungkin bisa bersamanya.

“Yamada-kun…”

“hn..?”

“Pergilah…”

“EHH? Apa?” ia menghentikan aktifitas melepas tangkai strawberry di tangannya.”Maksud Mirai-chan apa?” Matanya memandangku heran.

“Yamada-kun tidak perlu tahu maksudku. Kumohon pergilah…” aku hampir menangis. Ya Tuhan, tolong. Jangan buat aku menangis di depan Yamada. Jangan sekarang…

“Aku tidak mau! Aku tidak akan pergi sampai Mirai-chan mengatakan padaku alasannya..”

“Yamada-kun, pergilah…”

“Mirai-chan sebenarnya kenapa sih? Apa aku menyakitimu? “

Aku menggeleng.

“Lalu kenapa? Aku salah apa?”

“Yamada-kun tidak salah…sungguh. Tapi aku mohon, kau pergilah…”

“Kenapa??’

“………….”

“Mirai-chan kenapa??”

“YAMADA-KUN TIDAK AKAN MENGERTI! KAU TIDAK SAKIT SEPERTIKU!! KAU TIDAK TAHU APA-APA!!” aku sontak menangis. Yamada terdiam, memutar bola matanya. Aku yakin, dia tidak tahu apa-apa soal ini. dia pasti akan terkejut, dan kemudian…meninggalkanku.
Namun tiba-tiba tangannya mengeluarkan sesuatu dari saku. Handphone?

“Shida Mirai, lihat ini!” pemuda itu memberiku handphonenya, menunjukan sesuatu. Seperti, video?

“Perkenalkan!  Aku Alice. Tapi bukan Alice dari wonderland ya…jangan salah mengira! Lalu Tuan, bisa kau beritahu aku namamu?”

Ya Tuhan, itu aku. Entah kapan tepatnya, tapi aku ingat jelas. Itu ketika aku berlatih drama sendirian di atap sekolah untuk audisi klub. Meskipun akhirnya aku sama sekali tidak mendaftar. Lalu dari mana Yamada mendapatkan video ini? dia merekamnya? Di-dia melihatku?

“aku merekam itu di kali ketiga aku diam-diam melihatmu berlatih drama sendirian di atap… Kau tahu, setelah itu aku selalu mengecekmu di klub drama. Tapi setiap kali aku kesana, kau selalu tidak ada. Ternyata, kau tidak mau mendaftar..”
Aku masih saja diam. Terakhir kali aku berlatih drama sendirian sekitar sebulan lalu. Jadi selama ini, Yamada…

“Ketika mengambil video ini, aku ada audisi di JE. Awalnya aku takut, dan tidak berniat datang. Tapi melihatmu yang begitu bersemangat latihan hanya untuk audisi klub, aku merasa kalah. Aku berpikir, gadis itu saja bisa. Kenapa aku tidak?. Dan siapa sangka, perasaan tidak mau kalah darimu itu membuatku bisa seperti ini. lulus audisi, diterima di JUMP… aku ingin kau merasakan yang sama Mirai. Kau berusaha lebih keras dibandingkan aku. Kau layak mendapatkan yang lebih…”

Air mataku mengalir deras, bahkan membuatku sampai sesegukan. Yamada benar. Aku sudah berusaha, kenapa aku tidak boleh memperoleh sedikit saja hasil usahaku?
Yamada menariku lembut ke pelukannya. Membuat tangisanku semakin keras.

“Aku juga ingin diterima di klub drama…aku juga ingin seperti Yamada-kun, bisa mengejar masa depanku…tapi aku sakit. Semuanya mustahil…”

“kau memang sakit, lalu apa?” Yamada melepaskan peluaknnya lalu menyentuh pundakku dengan kedua tangannya. 
Aku menegadahkan kepala, menatap wajahnya. 

“Jangan kira aku tidak tahu tentang sakitmu. Tebak apa, kita pernah bertemu disini! Waktu itu aku melihatmu diturunkan dari ambulans. Dan kebetulan saja bibiku yang menanganimu. Dari situlah aku tahu namamu dan juga sakitmu ini…dan kalau kau sakit, apa yang akan terjadi? Apa karena kau sakit kau tidak boleh ikut klub drama? Bukan penyakit yang menentukan hidupmu Mirai. Kau sendiri…”  

“Yamada-kun…”
Yamada menghapus air mataku, lalu kemudian kembali memelukku.

“ Kau harus berjuang Mirai-chan…kau punya kehidupan! Kau punya masa depan…percaya aku kan?”
Aku mengangguk.

“aku akan masuk klub drama. Aku akan berjuang supaya bisa punya masa depan yang hebat seperti Yamada-kun…”
Air mataku masih mengalir. Yamada memelukku makin erat.

“tentu Mirai…kau bisa..”

******
“Ya-Yamada-kun…kita pulang saja…aku malu…” aku memutar tubuhku siap kembali ke belakang. Yamada menarik tanganku.

“Daijoubu…mereka tidak jahat kok…”

“tapi aku malu…”
Pemuda itu tersenyum. Tangannya terus menggenggam tanganku, menariknya pelan sehingga terpaksa aku mengikutinya melangkah maju lagi. Kami semakin dekat ke pintu café berlabel close itu. Yamada bilang, café itu sengaja disewa. Jadi tidak dibuka untuk umum hari ini.

“Yamada-kun…” aku berhenti melangkah dan menahan lengan Yamada agar ikut berhenti bergerak. Ia kembali tersenyum, lalu mengacak puncak kepalaku gemas.

“Dai-jou-bu…Mirai-chan tidak perlu malu. Biar kata idola, mereka itu sifatnya baik semua…”

“Tapi,..”

‘Sudahlah, ayo…”
Yamada lagi-lagi menarik tanganku. Aku hanya bisa pasrah melihatnya memutar kenop pintu.

“Konichiwa…”

“KONICHIWAAA…WOAH! YAMA-CHAN BENERAN BAWA PACARANYA…”

“UWOO…kawaii na…”

“yama-chan jelek begitu kok bisa punya pacar kawaii begini? Yama-chan pake pelet ya…”

“Maksudmu apa heh, bocah! Kau yang jelek!”

Ruangan itu jadi gaduh. Sial! Aku tidak bisa menahan semburat merah dipipiku. Belum lagi, jantungku yang berdebar tak karuan. Bayangkan saja! Aku disini, disangka pacar Yamada Ryosuke oleh 9, eh 8 member Hey Say JUMP lain. Apa yang harus kulakukan, haah?

“Kalian ini! sudah seperti demonstran saja! Lihat nih, kalian membuat Mirai-chan takut…!” Yamada memalangkan tangannya, seolah-olah melindungiku dari kawanan penjahat. Rasanya, kami sudah seperti main dorama.

“HOOO… MIRAI-CHAN…! SUDAH MEMANGGIL NAMA KECIL YAA..?“

“MESRA SEKALI!! SUIT! SUIT! “
semuanya kembali gaduh. Ribut sekali memang, tapi menyenangkan. Keributan yang membuatmu ingin bergabung didalamnya.

“Kalian jangan menggangu mereka terus! Disuruh duduk kek…kasihan pacarnya Yamada. Sudah kalian goda, malah dibiarkan berdiri begitu saja…” seseorang turun dari lantai atas. Sepertinya aku pernah melihatnnya. Aah, tentu saja! Mereka semua kan artis! Pasti sekali atau dua kali aku pernah melihat mereka di TV. Tapi, siapa ya...?

“Shida Mirai-san, kelas 2-C kan…? Aku Chinen Yuri. sekelas sama Yama-chan…” orang yang baru turun tadi mendekatiku, menyorongkan tangan kanannya. Dia murid Horikoshi ternyata! Pantas, rasanya pernah lihat.

“Hai..! Shida Mirai-desu…” aku menjawab pelan.
Chinen Yuri itu tidak juga melepasakan tanganku. Aduh, bagaimana ini? aku ingin menarik tanganku, tapi aku takut. Chinen-kun kumohon lepaskan…nanti Yamada-kun bisa marah…
HAH? Apa yang kupikirkan tadi?

“SUDAH! Mau pegang sampai kapan?!” Yamada menarik tanganku dari genggaman Chinen, membuat pemuda itu tersenyum lebar.

“CHII…, JANGAN KAU GANGGU PACARNYA! NANTI DIA MARAH!” terdengar sebuah teriakan. Nah, kali ini suara yang kukenal. Aku menoleh ke sumber teriakan itu.

“EHH?? NAKAJIMA YUTO KETUA SEITOKAI? MEMBER HEY SAY JUMP JUGA??!” aku ikut berteriak. Sungguh, yang ini sama sekali tidak pernah kubayangkan. Seorang  Ketua seitokai SMU Horikoshi ternyata personil boyband terkenal?! Kok bisa aku tidak tahu?!

“Err..hehehe…iya nih. Shida-san baru tahu ya?” Ketua seitokai itu tersenyum malu-malu. Demi tuhan, selama ini aku tidak pernah bertemu secara langsung apalagi berbicara dengan pemuda bongsor itu. Di Horikoshi, posisi ketua seitokai adalah posisi raja. Kami murid biasa yang tergolong rakyat jelata, mana pernah bertemu dengannya. Suaranya hanya kudengar ketika ada pengumuman, dan wajahnya saja baru kulihat di bulletin sekolah.

“Ha-Hai…” aku semakin gugup. Bukan saja karena sepuluh pemuda didepanku ini artis, tetapi juga karena salah satu dari mereka adalah orang berpengaruh disekolah.

“Ne Mirai-chan…aku kenalin satu-satu ya…! Chii sama Yuto kau sudah kenal kan? Nah selain mereka ada Dai-chan, itu yang pendek kayak penguin tapi keren disana! Hei, Dai-chan! Berbanggalah kau kubilang keren di depan Mirai-chan…”
Yamada menunjuk seorang pemuda pendek di samping meja bartender. Err…kurasa Yamada-kun memang bercanda. Tapi kok benar mirip penguin ya? **author’s note: siap2 ditabok Dai-chan,,kabur dulu aah..XD**

“Apanya yang pendek, heh? Kau tidak ukur tinggimu ya?! Ehm! Yoo, Mirai-chan…Arioka Daiki desu!” pemuda itu memandang Yamada kesal lalu tersenyum melihatku. Dia mengangkat tangan kanannya. Yamada membalasnya dengan cengiran lebar.

“Setelah itu ada Yabu-chan, Inoo-chan,, sama Hikka…” yamada memutar bola matanya lalu menunjuk ke 3 pemuda yang sedang duduk di sofa. Ketiga pemuda itu tersenyum dan melambaikan tangan kearahku.

“Yabu Kota desu…hajimemashite Mirai-chan!”

“Inoo kei desu!”

“Yaotome Hikaru!! Yoo!”

Aku ikut tersenyum.

“Shida Mirai-desu! Hajimemashite!”
Mereka masih tersenyum. Aku juga masih tersenyum. Yamada memandangi kami heran.

Beberapa detik…

“HOAH! Pindah-pindah! Lama-lama liat mereka, kamu bisa kena pelet Mirai-chan…” Yamada memutar tubuhku menghadap ke dua orang yang sedang adu panco. Bisa terlihat jelas, perbedaan umur mereka mungkin sampai beberapa tahun. “ Nah yang itu Takaki Yu—WOI TAKAKI! MIRAI-CHAN MAU KENALAN NIH!!” Yamada berteriak kesal melihat kedua orang itu tidak merespon. Salah satu dari mereka langsung mengangkat kedua tangannya, membuat yang lain terjatuh dengan dagu membentur meja karena kehilangan tumpuan.

“Hai! Hai! Hai!...Mirai-chan, Takaki Yuya desu!” seru Orang yang mengangkat tangan itu. aku tersenyum.

“Oi, Takaki-kun! Kalau mau ngangkat tangan bilang-bilang donk! Lihat daguku kena meja nih! “ Ujar orang yang terjatuh tadi sambil mengelus dagunya. Takaki memberi sinyal maaf dengan menunduk.

“HAH! Rasakan kau! Mirai-chan, bocah sok tau disana itu namanya Ryuu..”

“Siapa yang sok tahu heh, pendek!” anak itu membalas.” Oh, Hai Mirai-chan…Ryutaro Marimoto de—“

“Kau bilang apa tadi? Pendek? Seenggaknya aku lebih tua dirimu Heh! Respek sedikit!”

“dengan wajah dan tinggi seperti itu? apa yang membuatku harus respek padamu?”

“Heh bocah!!!”
Suasana jadi gaduh lagi gara-gara pertengkaran level anak SD 2 orang tadi. Semua member JUMP tertawa menyaksikan mereka beradu mulut. Aku pun tak dapat menahan bibirku untuk menyungingkan senyum.

“Mereka memang biasa begitu. Biarkan saja…” Seseorang menepuk pundakku dari belakang. Ah! dia yang duduk di sebelah Nakajima Yuto tadi.

“Okamoto keito.” orang itu menyorongkan tangannya. Aku menjabat tangan itu.

“Shida Mirai…”

“WOI KEITOOOO!! KAU CARI KESEMPATAN SELAGI AKU BERPERANG YAA!!” terdengar teriakan Yamada. Entah sudah yang keberapa kalinya hari ini dia berteriak. Okamoto keito buru-buru melepaskan tanganku dan menunjuk 2 jarinya ke arah Yamada, membentuk signal ‘peace’.

“Yama-chan jangan marah na…Mirai-chan tidak akan kurebut…” Okamoto-kun menggoda Yamada. Membuat pemuda itu menghentikan perang mulutnya dengan Morimoto dan berlari mengejar Okamoto.

“Oi, Yama-chan! Urusan kita belum selesai!!” Morimoto ikut berlari mengejar Yamada. Sekarang jadi kejar-kejaran mereka.

“Tunggu! Aku juga mau ikut!” Chinen Yuri juga masuk ke barisan kejar-kejaran itu. membuatnya jadi lebih panjang dan rumit sekarang. Keenam member JUMP lain tertawa melihat mereka, memaksaku untuk ikut tertawa juga.
Benar-benar menyenangkan. Sungguh! Aku tidak pernah merasa begitu senang, kesenangan karena kau bisa tertawa bersama orang lain. Ini saat terbaik dalam hidupku. Aku harus berterima kasih kepada Yamada untuk ini. Dia sukses membuatku melupakan semuanya.

Tiba-tiba seseorang sudah berdiri di belakangku, memegang pundakku. Okamato Keito!

“Oi, Keito jangan pegang-pegang Mirai-chan!” Yamada segera berlari mendekatiku.

“Ayo Yama-chan! Coba tangkap aku!” keito bersembunyi di belakangku. Setiap Yamada ingin menagkapnya, dia akan memiringkan tubuhnya sehingga tertutup tubuhku.

“Bagus Keito! Dia pasti tidak akan mendapatkanmu!” Morimoto Ryutaro juga ikut mendekatiku dan tertawa melihat Yamada yang mencoba mengapai-gapai tubuh Keito.

“Keito, kau membuat Mirai-chan kesakitan!”

“Tidak kok! Iya kan Mirai-chan?”
Aku refleks mengangguk. Memang tidak sakit kok. Menyenangkan malah, karena sekarang tubuh Yamada hanya berjarak beberapa senti dariku. Yamada berhenti sejenak. Entah capek atau apa. Dia memajukan bibirnya, hampir satu setengah centi.

“Eh Yama-chan, menyerah ya??” Okamoto Keito kembali bersuara. Yamada tidak merespon.

“Yama-chan??”

“HAP!”

“UWAAAAA!! MEREKA PELUKAN !!! YAMA-CHAN SAMA MIRAI-CHAN PELUKAN!!!!!” Teriakan langsung terdengar di seluruh penjuru café. Yamada bermaksud menangkap Okamoto diam-diam. Namun karena Okamoto cepat menghindar, ia malah menangkapku! Memelukku lebih jelasnya! Jantungku berdetak kencang. Semburat merah langsung terpampang jelas dipipiku. Tak ayal, Yamada juga menunjukan yang sama. Aku tahu dia malu, tapi kok dia tidak segera melepas pelukannya juga?

“Yamada-kun, anoo…”

“Ahh! Gomenasai!” Yamada menunduk. “Aku refleks jadi lupa…”

“Ha-Hai…Daijoubu…”

“WAAA….MESRA SEKALI!!” bagai koor, kesembilan pemuda di sekeliling kami melantunkan kata-kata yang sama. Wajahku, juga wajah Yamada bertambah merah.

******

“Anoo..semuanya, terima kasih untuk hari ini. rasanya sangat menyenangkan bisa menghabiskan waktu bersama kalian…” aku membungkuk hormat pada 9 pemuda di depanku. Mereka semua tersenyum lembut.

“Douitashimeshite…kami senang kok bisa main bareng pacarnya Yama-chan…” Ujar Yabu-san ramah kepadaku.

“Sudah kubilang berkali-kali kami tidak pacaran!” Yamada segera mengelak. Bukan hanya sekali ini, dari tadi hampir semua member JUMP menggoda Yamada dengan bialng aku pacarnya, dan Yamada selalu saja mengelak.
Apa aku sedih? Harus aku akui iya! Aku senang kok dibilang pacar Yamada.

“Iya..Iya…terserah! tapi jangan sampai 10 tahun lagi kami menerima undangan pernikahan kalian loh…” Yabu melanjutkan godaanya. Membuat kedelapan member lainnya tertawa. Aku dan Yamada kembali bersemu merah.

“Sudah! Kami pergi sekarang! itekimas…”

“Sayonara…”

“SAYONARA MIRAI-CHAN! YAMA-CHAN! ITARASHAI!!”
JUMP’s choir kembali berdendang.
Kami meninggalkan café itu, dengan senyum lebar terkembang di bibirku.

******

“Haah! Panas sekali! Mirai-chan kepanasan juga?” Yamada menarik-narik keras bajunya, mencoba menciptakan angin, meskipun sangat minim. Aku mengangguk.  Entah kenapa setelah keluar dari café tadi udara bertambah panas. Ataukah kami yang bertambah panas? Terserah! Intinya adalah kami kepanasan.

“Gimana kalau kita duduk dulu disana…” Yamada menunjuk sebuah bangku taman di bawah pohon besar. “aku cari es krim. Pasti di sekitar sini ada…”

“Uhm!” kami berjalan ke bangku itu. aku menjatuhkan diriku duluan.

“Mirai-chan tunggu disini ya…aku mau nyari es krim. Mirai-chan mau rasa apa?”.
Aku sempat berpikir untuk memilih rasa strawberry yang notebene adalah kesukaan Yamada, biar bisa sama. Tapi, mungkin kali ini tidak…

“Aku mau vanilla!” jawabku. Yamada tersenyum senang.

“Vanilla ice cream. Wait for a minute, ok?”

“EHH? Yamada-kun pake bahasa inggris ya?” teriakku kaget. Tanpa menjawab pertanyaanku, dia malah ngeloyor pergi.

“Dasar! Yamada!” ujarku sedikit kesal.

Beberapa menit kemudian, pemuda itu sudah muncul dengan 2 es krim di tangannya.

“sweet Vanilla ice cream for Shida Mirai…” pemuda itu memberikan es krim yang berwarna putih kepadaku, kemudian mulai menjlati es krimnya yang berwarna pink.

“Thank you! strawberry? “ tanyaku melihat es krim yang dimakannya. Ia mengangguk.

“Mirai-chan tahu aku suka strawberry kan?”

“Hai..!’. aku mulai memakan bagianku juga.

“Mirai-chan, bagaimana dengan audisi dramanya?” Yamada membuka topik baru, sambil tetap menyeruput eskrimnya yang mulai mencair.
“aku sudah mendaftar. Tapi masih dicari waktu yang tepat buat audisinya…”

“so desuka..Ahh, Mirai-chan tunggu. Jangan bergerak!” wajah Yamada tiba-tiba mendekat. Ma-mau apa dia?

“ Ya-Yama—“

Ada es krim nyangkut disini…” Yamada membersihkan sisa es krim di ujung bibirku lalu menjilati jarinya. “Uhm! Rasa vanilla enak juga …”
Aku membeku. Tubuhku jadi makin panas. Jantungku berdetak tak karuan. Dingin es krim ini pun tidak dapat meredamnya. Wajahku lagi-lagi memerah. Bahkan lebih merah dari sebelumnya.

“Mirai-chan kena—“Yamada menghentikan kata-katanya lalu menatapku dalam. Ehh? Apa dia menyadari wajahku yang memerah?

“Yamada-kun..?”

“Mirai-chan, aku boleh ngomong sesuatu? Sebenarnya aku sudah bisa menduga jawabannya sih, hanya saja mungkin bisa berubah, atau……….ehm……..….Suki desu!”

“Eh?”

“Ahh…jangan dipikirkan. Tidak apa-apa kok kalau Mirai-chan masih belum bisa menerimaku. Aku—“

“Tidak! Tunggu! Bukan itu! aku ju— aku juga menyukai Yamada-kun…”

“…Oh, begitu…” ia diam sejenak. ”EHH? MIRAI-CHAN BILANG APA? SU—SUKA? MIRAI-CHAN JUGA MENYUKAIKU????!!” Butuh beberapa detik sampai Yamada kaget lalu berteriak. Kenapa reaksinya lamban begitu? Dia tidak memperhatikanku bicara? Atau…dia terlalu gugup menanti jawabanku? Aah! Manisnya…

Aku mengangguk malu-malu. Yamada langsung menjatuhkan es krimnya dan memelukku. Cukup lama, sampai aku juga ikut menjatuhkan es krimku.

Yamada lalu melepaskan pelukannya. Tapi, bukannya menjauh, tubuhnya malah semakin dekat. Secara spesifik, wajahnya yang bertambah dekat. Aku gugup, sontak menutup mataku, membiarkan Yamada melakukan apapun yang ingin dilakukannya.
Dia mengecup bibirku lembut.

Dingin dan Manis…

Setelah sepersekian detik, wajahnya mulai menjauh. Aku memberanikan diri membuka mata.

“Arigatou, Mirai-chan…Ahh! Ikut aku…” Yamada menarik tanganku. Aku langsung mengikutinya, berlari entah kemana. Beberapa saat kemudian, kami sampai di daerah yang cukup ramai. Ada satu mobil es krim, beberapa wanita yang menjaga anaknya bermain, beberapa remaja yang sedang ngobrol, dan seorang pria paruh baya dengan kopi ditangannya. Yamada mengajakku menghampiri mobil es krim itu.

“Paman! Paman! Lihat! Ini pacarku! Kami baru jadian beberapa detik lalu!“  Yamada berseru senang ke pria 30 tahunan penjual es krim itu. Pria itu—entah mengenal Yamada atau tidak—tersenyum senang.

“Selamat ya…pacarmu manis sekali! Kalian berdua benar-benar cocok!”

“Hontou ni? Terima kasih paman!” Yamada lalu menarik tanganku, membuatku mengikutinya lagi ke tengah taman.

“MINAA!! KENALKAN INI PACARKU!! KAMI BARU JADIAN BEBERAPA DETIK LALU!! “Yamada mengeluarkan jurus andalannya, teriakan. Sukses membuat belasan pasang mata memandangi kami. Sial, wajahku pasti sudah seperti kepiting rebus sekarang.
Tiba-tiba terdengar riuh tepukan tangan. Terdengar juga suitan di sela-selanya.

“SELAMAT YA!”

“KALIAN BERDUA SANGAT SERASI!!”
Para pengunjung taman tadi tersenyum, beberapa sampai tertawa melihat Yamada. Tapi pemuda itu masih saja bermuka tebal, memamerkanku yang sekarang berlabel ’pacarnya’ ini ke semua orang. Sedikit kesal sih, tapi menyenangkan mendengar banyak yang bilang kami cocok.

“ARIGATOU MINAA! KALAU BEGITU KAMI PERGI DULU YA! AKU HARUS MENGANTAR PACARKU PULANG SEBELUM GELAP. JAA NE…!” Yamada melambai pada semua orang itu, membuatku ikut melambai juga. Hebatnya, mereka semua membalas lambaian kami. Penjual es krim itu juga.

Kami lalu menjauh, karena aku harus tiba dirumah sebelum gelap kalau tidak ingin diomeli ibuku.

******