Selasa, 27 Desember 2011

[fic] : The Dream Lovers 2 - second chance -chp.7

CHAPTER 7
- First ever robing plan-

“Miki sialan! Misaki sialan! Kompak banget mereka ninggalin aku disini!” Pemuda menjulang berusia 18 tahun bernama lengkap Irie Jingi itu merengut sembari memapah berlembar-lembar kertas penting di tangannya. Rentetan biodata dirinya, Misaki, dan kamiki serta kopian surat penting lain yang harus dikumpulkan ke sekertariat universitas hari ini. Semenjak kedua manusia yang adalah sepupu dan sahabatnya itu menghilang ke kantin dengan alasan dehidrasi akut 10 menit lalu, mereka sama sekali tidak menunjukan tanda-tanda akan kembali atau apa. Mengingat hal itu, Jingi jadi makin greget ingin menangkap Misaki dan Kamiki lalu melimpahkan lembaran-lembaran dokumen titipan ditangannya kembali kepada yang empunya. Tidakkah pemuda itu berniat pergi ke sekertariat dan sekalian mengumpulkan biodata kedua temannya? Hah! Mati gila deh! Mana harus mengurus ini itu, ribet, lama, mana mau Jingi melakukannya 3 kali sebagai pemberian bantuannya pada 2 manusia tadi. Gah!
“ARGH!!! Mereka berdua kemana siih?!” serunya lagi kesal akut. Jingi tidak lagi memperhatikan jalanan di depannya sampai akhirnya tidak sengaja ditabrak jatuh seorang gadis. Bukan hanya Jingi yang jatuh ternyata. Seluruh dokumen miliknya, Misaki, dan Kamiki dalam genggamannya tadi juga ikut berserakan di lantai.

“Aaa..Gomenasai, aku tidak sengaja…”  Seru gadis itu melihat berlembar-lembar kertas bertebaran mengelilinginya. Jingi menunduk siap memungut kertas-kertas tersebut. Tapi sebelum itu dia harus memberi perhitungan pada manusia siapa yang sudah menabraknya begitu saja.

“Kalau jalan bisa tidak—WAAH…” umpatan kesal Jingi langsung berganti sebuah seruan kagum ketika matanya menangkap 2 manik mata hitam indah milik gadis di depannya kini. Fokusnya lalu berpendar ke wajah maha jelita si gadis yang nampak agak khawatir melihatnya. Aah—bahkan dengan ekspresi tersebut, gadis itu tetap terlihat secantik malaikat. Jingi tidak berkedip, sibuk menyaksikan dengan seksama tindakan gadis itu selanjutnya.

Ohgo Suzuka—yang adalah gadis tadi—mengerutkan kening melihat pemuda di depannya tidak bereaksi atas permintaanya barusan. Suzuka menunduk, memperhatikan wajah pemuda yang baru saja ditabraknya hingga jatuh itu, memastikan kalau-kalau pemuda itu tidak gegar otak atau apa. *A/N: yoloh…Suzu~ itu orang jatuh pan yang mendarat duluan bokongnya, bukan kepala..Pegimane bisa gegar otak? Suzuchan jenius-jenius ternyata…(nggak dilanjutin—author udah dikasih tatapan maut sama Chinen)*

“Anoo.. Daijoubu…?”

Jingi masih diam. Masih terpesona dengan penampakan Suzuka yang semakin jelas dimatanya.

“Anoo…” Suzuka menegur lagi. Dan syukurlah, kali ini Jingi sudah terbebas dari dunia imajinya yang beberapa detik lalu dilaluinya bersama bayang-bayang Suzuka. Manis, tapi dia harus kembali untuk mengahadapi the real Suzuka yang kali ini berwajah jauh lebih khawatir dari sebelumnya. Jingi langsung tersadar.

“Ahh..Hai! Hai! Daijoubu desu..” Pemuda itu tersenyum sumringah, membuat Suzuka yang wajahnya hanya berjarak beberapa inci dari Jingi bisa bernapas lega. Gadis itu lalu bergerak memungut kertas-kertas yang berserakan di lantai.

“Gomenasai…. Aku sudah menabrakmu..” Suzuka berujar sembari tangannya bergerak mengumpulkan lembaran kertas menjadi satu tumpukan yang rapi. Jingi—sebagai yang empunya kertas tentu saja mengikutinya.

“Tidak apa-apa…hontou ni. Aku juga tidak begitu memperhatikan jalan…” jawabnya agak gugup. Suzuka tersenyum, masih sibuk dengan kertas-kertas didepannya. Jingi lalu kembali bicara, mencoba menjalin sedikit keakraban dengan gadis manis itu. “Uhm..kau, mahasiswa baru juga ya?”

Suzuka mengangguk. Pandangannya nyaris beralih ke Jingi untuk menanyakan pertanyaan serupa kalau saja matanya tidak menemukan seuntai nama yang berpuluh-puluh menit lalu menjadi tanda tanya besar dalam kepalanya.

“Yukimura Misaki…”gumam gadis itu tidak percaya mengetahui siapa pemilik biodata yang dipegangnya kali ini. Jingi yang mendengar gumaman Suzuka langsung tertawa kecil.

“Kau kenal Misaki? Aah… pasti karena anak itu mendapat urutan teratas dalam tes...”

Suzuka mengangkat kepalanya menatap Jingi kaget. “Kenapa biodata Yukimura Misaki ada padamu?”

Jingi kembali tersenyum. “Anak itu menitipkannya padaku… terus sekarang, tidak tahu deh dia kemana..”

“Menitipkan?”

“Un. Oh ya, kau belum tahu ya? Aku sepupunya Misaki. Irie Jingi desu..” Jingi menyorongkan tangannya, memberi salam pada Suzuka yang nampak sangat terkejut mendengar penuturannya. Gadis itu mengangguk, lalu ikut mnyorongkan tangannya menyambut jabatan Jingi.

“Ohgo Suzuka…”

Pemuda itu tersenyum senang setelah mengetahui nama malaikat di depannya kini. Tepat saat itu pulalah keduanya berhasil memungut lembaran kertas yang terakhir. Suzuka menyerahkan beberapa yang ada ditangannya dengan berat hati mengingat satu lembar yang paling ingin dibutuhkannya saat ini terselip disana. Jingi lalu membantunya berdiri.

“Terima kasih sudah membantuku memungutnya…” ujar pemuda itu. suzuka tersenyum miris. “Kalau begitu aku duluan ya. Aku harus menemukan Misaki untuk menyerahkan ini… Jaa..”

“Un. Jaa..”

Jingi lalu bergerak pergi sementara Suzuka kemudian tenggelam dalam pikirannya.

“Chinen dan yang lainnya harus tahu ini…” gumamnya sebelum ikut bergerak pergi. Tidak butuh waktu lama bagi gadis itu untuk menemukan kelompoknya sedang berdiri di tempat parkir menungguinya. Suzuka langsung memberikan isyarat bagi mereka utnuk membentuk lingkaran kecil.

“Apa? Apa?” Mirai duluan bertanya, penasaran melihat wajah suzuka yang agak pucat.

“Ubah rencana. Kita tidak lagi mencuri dari Yukimura..”

“HAH?!” grup tersebut—minus Suzuka sontak berseru kaget.

“Ne, kenapa suzuchan? Apa yukimura tidak membawa biodatanya?” Tanya Momoko. Suzuka menggeleng.

“Biodatanya ada. Hanya saja.. Ada pada orang lain.. Kita harus mencurinya dari sepupunya..”

“EEh? Dia punya sepupu? Kau yakin?”

“Un... namanya Irie Jingi. Dia sendiri yang memberitahuku..”

“kalau begitu…apa gadis itu benar-benar Umika?” Daiki bersuara pelan. Semua mata kini menoleh padanya. “Yukimura punya data yang lengkap, keluarga…apa masih ada kemungkinan dia Umika? Orang yang amnesia tidak akan memperoleh sepupu hanya dalam waktu 6 bulan lebih kan? Dan dari cerita Suzuka… si Irie itu mengatakan kalau Yukimura sepupunya seolah-olah dia memang BENAR adalah sepupunya…”

Kelompok itu diam. Teori daiki memang ada benarnya. Yukimura Misaki punya keluarganya sendiri, bahkan pacar. Bagaimana mereka bisa berpikir kalau gadis itu adalah…Umika?

“Tidak! Kita tidak boleh menyerah sebelum menemukan bukti kuat kalau gadis itu bukan Umika. Kita lanjutkan rencana membandingkan biodatanya…” pernyataan bernada absolute terlontar begitu saja dari kedua sisi bibir Suzuka. Chinen tersenyum sekilas sebelum mengacak-ngacak rambut gadis itu gemas.

“Sudah dengar perintah ratu kan? Sekarang semuanya bersiap menjalankan misi kedua..”ujarnya bangga. Suzuka lalu maju, menjadi pusat perhatian kelompok.

“Rencana ini kunamakan ‘The NEW Dream Lover’s first ever robbing plan’..”ujar gadis itu bangga, begitu pula Chinen di sebelahnya. Tanpa keduanya sadari, Yuto yang berdiri berselang Mirai dari sebelah Chinen menggumamkan protesnya lagi—super pelan.

“Dasar! Mau Chinen atau suzuka sekalipun ternyata sama saja ribetnya!”

* * * * * * * *

Kumpulan pasang mata berhenti beraktivitas ketika pertempuran itu mulai mencapai klimaksnya. Teriakan elakan dan amarahlah yang kemudian mejadi melodi tunggal pengisi ruangan bertitle kantin tersebut.

“Sudah kubilang, gadis itu hanya teman!!” pemuda dengan tinggi 168 senti itu berteriak kesal setelah dituduh yang tidak-tidak oleh kekasihnya. Tatapannya marah dan berapi api. “Aku tidak selingkuh!”

“Kau bohong! Kau bohong! Kau bohong!” gadis itu bukannya mendengar malah balas berteriak dan memukul-mukul bahu lawan bicaranya. Jengkel, pemuda itu menampik tangan si gadis.

“Terserah kalau kau tidak percaya! Aku pergi!” bentaknya lagi sebelum sosoknya melangkah pergi dan dengan sangat sengaja menabrak seorang pemuda tinggi menjulang dengan berpuluh-puluh lembaran kertas ditangannya yang akhirnya jatuh berserakan dilantai. Demi apapun yang mengutuknya hari ini, ini sudah yang kedua kalinya dokumen-dokumen bodoh  di tangannya kembali dibuat berserakan di tanah. Sudah bisa menebak kan siapa dia?

“HEI!!” baru saja Jingi ingin protes, namun tatapan tajam eksistensi yang menabrakya tadi menghentikan umpatannya.

“Jangan menghalangi jalanku, brengsek!” ujar pemuda yang menabrak itu tajam lalu kembali bergerak menjauh. Jingi hanya bisa ternganga menyaksikan berlalunya pemuda itu dan bagaimana umpatan tajamnya menghentikan omelannya seketika. Sedetik kemudian matanya beralih pada gadis yang ditinggal tadi yang kini tengah terisak cukup keras. Jingi kembali dibuat ternganga mengetahui oknum yang tengah berlinang air mata tersebut adalah gadis yang dipanggilnya malaikat tadi.

“OHGO SUZUKA??” tanyanya heran lalu segera mendekati gadis itu. Suzuka yang menemukan Jingi tiba-tiba saja sudah berdiri cemas disampingnya langsung memperbesar volume tangisnya.

“Irie-kun...HUWAAAA!!!”

Jingi makin cemas dan langsung menepuk-nepuk pundak gadis itu. Dan tanpa diduga, Suzuka malah balik memeluknya. Sontak pemuda itu mati beku. Suzuka? Malaikatnya? MEMELUKNYA??

“e-er... daijoubu Ohgo-san... orang seperti itu tidak pantas mendapatkanmu..” ujar pemuda itu agak ragu. Tangannya hendak ikut memeluk Suzuka, tapi kok rasa-rasanya tidak bisa ya? Seolah ada semacam aura membunuh yang diarahkan padanya, entah dari mana.
Karena aura itu juga, Suzuka lalu melepaskan pelukannya.

“Hiks.. gomen Irie-kun, aku hanya terlalu sedih..” Suzuka mengelap air matanya, lalu berpindah tatapan ke kenampakan di belakang Jingi. “Ne, kertas-kertasmu itu.... berantakan lagi tuh..”

Diam agak lama, Jingi lalu menoleh ke belakang mengikuti arah tatap Suzuka. Saat itu pulalah pemuda itu baru sadar bahwa ia telah meninggalkan berlembar-lembar dokumen penting miliknya bersama sepasang manusia sahabatnya yang kini entah kemana masih berserakan di lantai.

“AAAA!! Kertas-kertasku!!!!” Teriaknya histeris. Secepat kilat Jingi bergerak memungut lembaran-lembaran tersebut. Suzuka ikut membantunya. “Gomen Ohgo-san.. kau harus membatuku lagi memungut dokumen-dokumen ini..”

“ii yo.. daijoubu... aku malah senang bisa membantumu. Aah, dan..maafkan aku soal pelukan tadi..”

“aah.. itu, tidak usah dipikirkan.. aku juga senang kok...”

Suzuka menoleh sebentar memandang pemuda itu agak heran. Jingi mulai salah tingkah.

“Ehm..maksudku, aku juga senang bisa membantumu...”

“Sou kah..”Suzuka tersenyum kecil. Semenit kemudian, keduanya berhasil mengumpulkan lembaran kertas tadi dan sekali lagi membentuknya menjadi sebuah tumpukan rapi.

“Hai..! Arigatou Ohgo-san...” Jingi berterima kasih. Suzuka mengangguk sambil tersenyum lembut. “Aku..mau cari Misaki dan Miki dulu... dari tadi mereka belum kutemukan juga...”

“Ooh.., tentu! Silahkan...”

“kalau begitu, Jaa ne..” Jingi melambaikan tangannya.

“Jaa~” Suzuka membalas lambaian tangan Jingi. Pemuda itu lalu melangkah pergi, berusaha menemukan dimana Misaki dan Kamiki. Kini tinggal Suzuka yang juga melangkah berlawanan arah ke salah satu ruangan semi-sosong yang tak jauh darinya. Di sudut pintu ruangan tersebut, seorang pemuda dengan senyum kekanakan tengah menantinya.

“Bagaimana?” tanya suzuka spontan. Pemuda itu mengeluarkan selembar kertas dari balik jasnya.

“Biodata Yukimura Misaki..” jawabnya sabil menyodorkan lembar tersebut pada Suzuka. Gadis itu mulai tersenyum kegirangan.

“Hebat Chinen! Kita hanya tinggal menunggu Momo dan Daichan lalu menghubungi Yuto..”

* * * * * * * *

“Biodataku mana?!  Ne, Jingi!! Biodataku dimana??” Yukimura Misaki bertanya kaget, Nyaris berteriak ketika menemukan biodatanya tidak ada sama sekali dalam tumpukan kertas yang baru saja dialihwariskan Jingi padanya. Pemuda yang namanya tersurat dalam kalimat Misaki barusan itu langsung meninggalkan lebaran dokumen miliknya lalu beralih pada dokumen-dokumen milik Misaki. Matanya awas mencari. Tak kalah, Kamiki yang berdiri di sebelah gadis itu juga menyisiri lembaran mikinya sendiri, siapa tahu tidak sengaja terselip.

“Tidak ada...” sahutnya dan Kamiki bersamaan setelah keduanya selelsai dengan dokumen yang mereka periksa. Wajah Misaki sudah menunjukan ketakutan luar biasa.

“Bagaimana ini?! Ini kan hari terakhir pengumpulan biodata...” pekiknya panik. “Ne, Jingi! Kau ini bagaimana sih? Kok biodataku bisa hilang!!” lanjutnya menyalahkan Jingi. Kamiki mengangguk ikut memalingkan wajahnya, memberikan tatapan ‘kau bersalah’ kepada Jingi.

“Ergh? Jelas-jelas kalian yang meninggalkanku sendirian bersama dokumen ini. Kan sudah kubilang, tadi aku ditabrak orang dua kali dan lembaran dokumennya juga ikut jatuh. Mungkin saja ada selembar dua lembar yang hilang...dan nampaknya yah, yang hilang itu punyamu, Misaki. Argh! Tapi bukan salahku! Kenapa juga kau tidak bawa salinannya!” protes disalahkan seperti itu, Jingi malah balik menyalahkan Misaki.

“Aku kan lupa! IIH! JINGI BAKA! Kalau mau ngilangin kertas ya biodatamu saja!!” Teriak Misaki lagi. Jingi baru saja ingin memberikan perlawanan tapi keburu dihentikan Kamiki. Dilihat-lihat, pertengkaran sepasang sepupu itu lama kelamaan mulai menarik perhatian sekeliling.

“Misaki...kita pulang ambil salinan biodatamu saja. Masih ada kan dirumah?” usulnya. Wajah Misaki seketika berubah cerah.

“Eh Iya! Benar juga! Ayo kita pergi...” Misaki baru maju selangkah namun tiba-tiba saja berhenti. Gadis itu berpaling kepada Kamiki yang sedang dalam posisi ready to run dibelakangnya. “Miki, kau tunggu disini saja, selesaikan urusan administrasimu... biar nanti aku tidak perlu mengantri untuk bagianku...deshou?”

“Hah?” Kamiki memiringkan kepanyanay. Misaki menarik nafasnya sejenak  sebelum memberikan lanjutan penjelasan pada Jingi.

“Begini... kalau kau ikut denganku, saat aku menyetor biodataku nanti, kita kan harus saling mengantri. Nanti prosesnya tambah lama dong... makanya, kau tinggal saja dan selesaikan urusanmu. Aku pergi sendiri..”

“ Oooh...”Kamiki mengangguk mengerti lalu  tertawa kecil “Dasar! Ya sudah, pergilah. Ingat, berhati-hatilah di jalan, mengerti?”

“Hai! Hai! Kau seperti ibuku, kau tahu...” Misaki tersenyum. “Jaa, Miki... Jaa, Jingi..”

“Uhm.. Jaa..”

“Jaa Misaki! Cepat kembali ya!”

Sepersekian detik kemudian, Misaki sudah cepat-cepat berlari keluar. Cukup jauh ternyata jarak antara ruang sekertariat dengan tempat parkir. Mana dia harus naik bus lagi. Baru memikirkannya saja, Misaki sudah merasa capek. Dan ternyata benar, baru juga melewati aula kampus, gadis itu sudah menunduk kewalahan saking capeknya.

“Haah! Haah! Kamiki sial. Tidak memberitahuku kalau jaraknya sejauh ini! Tahu begitu tadi aku jalan saja, tidak perlu lari! Haah! Haah!” Misaki masih sempat-sempatnya mengumpat kesal ditengah deru nafasnya yang terenggal-senggal. Dan tanpa disadarinya, seseorang telah berdiri tepat didepannya.

“Daijoubu..?”

Misaki mendongakkan kepalanya mencari sumber suara bernada lembut tadi. Pandangannya lalu tertuju pada seorang pemuda tampan yang kini tengah menatapnya kaget.

“K-kau...?”

“Kau..Yukimura Misaki kan?” Ujar pemuda itu pelan. Misaki masih bisa menangkap tatapan sendu kedua bola mata coklat bening pemuda itu terhadapnya. “Aah.. maaf untuk yang tadi. Aku sudah memelukmu seenaknya...”

Misaki mengangkat kedua alisnya lalu tersenyum kikuk. “Ya... tentu saja. Tidak apa-apa kok. Aku juga sering salah menegur orang...” gadis itu diam sejenak. Sorot mata pemuda itu entah kenapa membuat hatinya agak perih. Mencoba menawar rasa perih itu’ Misaki lalu mengalihkan pembicaraan. “Ehm, ngomong-ngomong, siapa namamu? Kau mengenalku tapi aku tidak mengenalmu... rasanya ehm.. agak...” ujarnya ragu-ragu. Meskipun begitu, Misaki benar-benar penasaran siapa pemuda di depannya.

“Oh.. iya, benar. Aku lupa memperkenalkan diri. Uhm, Yamada Ryosuke desu...”Pemuda itu tersenyum kecil. Misaki terperangah sesaat. Entah sengatan listrik macam apa yang menjalari tubuhnya dan membuat jantungnya kini berdetak sedikit lebih cepat setelah melihat senyuman pertama dari pemuda bernama Yamada itu.

“Sou kah...” Gadis itu mulai gugup. “Sa, Yamada-kun...aku harus pergi sekarang. Tidak apa-apa kan?” Misaki siap berlari lagi, namun Ryosuke keburu menahan tangannya.

“Mau kemana? Sepertinya kau buru-buru sekali..”

“Ehm, itu...aku mau mengambil salinan biodataku yang tertinggal dirumah... biodataku hilang...” jawab Misaki agak ragu.

“Hah?! Biodatamu hilang?! Kok bisa? Hari ini kan batas pengumpulannya...” ujar Ryosuke mulai panik. Misaki merasa aneh, bagaimana bisa Ryosuke malah jadi oknum yang panik, bukan dirinya? Namun kemudian, entah kenapa ia juga ikutan panik.

“Karena itu... aku harus cepat-cepat kembali ke rumah untuk mengambil salinannya...”

“Biar kuantar. Kau bawa kendaraan? Tidak? Kalau begitu kuantar ke rumahmu...” usul—atau lebih tepatnya perintah Ryosuke. Misaki terbelalak.

“Eeh?!”

“Kau tidak mau terlambat kan? Proses administrasi selesai jam 4...” bujuk pemuda itu. Misaki berpikir sejenak.

“Tapi..”

“Sudahlah, ayo!” Ryosuke menarik tangan Misaki agar bergerak bersamanya. “Kau hanya perlu memberitahuku dimana alamatmu...”
Gadis itu mengangguk. Ryosuke menuntun Misaki bersamanya hingga menjangkau mobil sport hitam metalik yang terparkir rapi di salah satu spot tempat parkir.
“Pasang sabuk pengamanmu...” perintah Ryosuke ketika keduanya sudah duduk di jok masing-masing. Misaki menurutinya dengan segera. “Kau tidak punya penyakit jantung kan?” tanyanya lagi sembari menstater mobil. Misaki menatapnya heran.

“Hah?”

“Kau punya penyakit jantung tidak?” tanya Ryosuke lagi. Namun kali ini sambil menjalankan mobilnya keluar dari area parkiran kampus. Misaki sedikit ternganga sebelum akhirnya menggeleng.

“Tidak..tidak ada. Aku tidak punya penyakit apapun...”

Ryosuke tersenyum nakal. “Bagus. Kalau begitu... bersiaplah...”

To Be Continued

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Selasa, 20 Desember 2011

[fic] : The Dream Lovers 2 - second chance -chp.6

CHAPTER 6
- Unpredicted one -

“Aku, melihat Umika…”

Pandangan 6 pasang mata berbeda langsung membanjiri Ryosuke. Kelompok itu terdiam. Ada jeda beberapa detik sebelum Yuto berani membuka suara.

‘Tidak mungkin, Ryosuke. Umika sudah.., meninggal..”

“Tapi aku melihatnya Yuto! Aku benar-benar yakin aku melihat Umika.” Ryosuke berseru lalu kembali mencari sosok gadis berbaju kuning muda tadi. Pandangannya kemudian tertumpu pada seseorang yang sedang bergerak membelakanginya sambil menjauh. Pemuda itu langsung mengenali sosok tersebut sebagai si terduga Umika. “Itu! itu Umika!” serunya, lalu segera berlari mengejar eksistensi tersebut. Sontak, keenam sahabatnya yang lain ikut bergerak mengikutinya.

Adrenalin Ryosuke berpacu tepat saat jaraknya tinggal beberapa sentimeter dari gadis itu. Tangannya terjulur untuk mengapai bahu si gadis dan membuatnya berhenti lalu berbalik.

“Umika!”

“Siapa?”

Tubuh Ryosuke lemas seketika ketika mendapati gadis yang ditegurnya tadi sama sekali bukan Umika. Wajahnya maupun gaya bicranya terlalu brbeda. Sakit, namun perlahan, pemuda itu tersenyum pahit.

“Maaf. Aku..salah orang..”
Gadis yang ditegurnya tadi lalu mengangguk dan melanjutkan perjalanannya. Sepersekian detik kemudian muncul Mirai dan yang lainnya.

“Ryosuke ba—“

“Bukan.” Ryosuke memotong kata-kata Mirai. ”Gadis itu bukan Umika. aku…sepertinya sudah salah orang.” Jawabnya sambil kembali tersenyum pahit sebelum beberapa saat kemudian meninggalkan kelompok tersebut.

*

“Misaki? Doushita?”

Gadis manis yang dipanggil Misaki itu terbuyar dari lamunannya. “Ahh, tidak…tidak apa-apa. Aku…”

“Hmm?”

“Aku hanya merasa, seseorang baru saja memanggilku...”

* * * * * * * *

2 months later, Meiji University

Bola matanya melebar membaca selembar kertas besar berwarna putih yang tertempel di papan pengumuman depan pelataran kampus. Cukup lama ia berkonsentrasi sampai sedetik setelahnya, kerutan kesal muncul di keningnya.

“Aku tidak percaya Suzuchan ada di urutan kedua. Tidak mungkin ada yang bisa mengalahkan Suzuchan!” Chinen mengomel sambari kedua bola matanya menelusuri urutan daftar nilai peserta tes masuk universitas Meiji. Kekasihnya tercinta ada di urutan kedua, diikuti Ryosuke urutan di 3*A/N:anggap aja Ryosuke jenius ya minaa…XD*, dan dirinya sendiri di urutan 4. Yuto di urutan 6, Mirai 9 lalu Daiki dan  Momoko di urutan 11 dan 14. Cukup menakjubkan mengetahui seluruh isi kelompok tersebut menempati peringkat 20 besar. Suzuka tersenyum kecil lalu memperhatikan nama peraih urutan teratas yang nilainya lebih tinggi 3 angka darinya tersebut.

“Yukimura Misaki…aku penasaran, seperti apa orangnya. Soalnya selama ini yang bisa mengalahkan nilaiku hanya Umika..” ujarnya kalem sambil tersenyum kecil. Grup dibelakangnya nyengir, tidak terkecuali Ryosuke.

“Tapi kita selalu bisa menghabisinya dalam pelajaran bahasa inggris..” celetuk pemuda itu. “Umika tidak pernah bisa menaklukan pelajaran itu, ya kan?”

Suzuka mengangguk. “kebetulan sekali, si Yukimura ini nilai bahasa inggrisnya juga jatuh.” Gadis itu menggunakan telunjuknya menyusuri daftar nilai nama urutan teratas tersebut. “68. Parah juga..”

Mereka kembali tertawa. Namun tak berapa lama, tawa tersebut berhenti ketika Ryosuke membuka suaranya.

“Aku.., mau ke kamar mandi dulu..”

Kelompok itu terdiam sejenak lalu kembali tertawa.

“hai..Dozou! Dozou!” Daiki menggoyangkan tangannya seolah mengusir Ryosuke pergi. Pemuda itu cekikikan lalu bergerak menjauh.

“Menurut kalian, apa kita terlalu menyinggung Umika, makanya Ryosuke sampai pergi begitu?” tanya Mirai agak berbisik setelah sosok Ryosuke sudah cukup jauh dari posisi mereka saat ini. Yuto mengangkat bahu.

“Tidak ah, Miraichan. Emang sudah panggilan alamnya kali…” Chinen menjawab sambil kedua matanya ikut memperhatikan punggung Ryosuke. “Anak itu sudah bisa melupakan Umichan sekarang..”

* * * * * * * *

“Ck! Lapar.” Ryosuke mendecak lalu berhenti berjalan. Tadi pagi dia memang belum sempat sarapan karena keburu dijemput Chinen yang kelewat semangat menyambut hari pertamanya di Universitas, meskipun hanya sekedar mengetahui hasil tes masuk dan mengenal kampus tersebut. Sembari tangan kirinya memengang perutnya sendiri, pemuda itu mengambil keitai dari saku kemejanya bermaksud menelpon Yuto.

“Aku ke kantin sekarang, lapar..” katanya to the point tepat saat Yuto menjawab panggilannya dari seberang.

“Heh? Baru jam 11 loh…biasanya kau makan jam duaan gitu kan?”

 “Aku nggak sarapan tadi. Sudah ya, ku tunggu dikantin saja…bye.”

“Ok, kami bakal nyusul..”
Ryosuke langsung menutup flip keitainya setelah menerima restu dari Yuto. Dengan langkah cepat akibat perut yang laparnya ampun-ampunan, Ryosuke bergerak menaiki tangga menuju kantin di lantai atas. Wajahnya berubah cerah menemukan pintu kaca besar yang berfungsi sebagai jalan masuk besar menuju kantin universitas tersebut. Secepat kilat pemuda itu masuk kedalam dan mulai memikirkan panganan apa yang bisa dijadikannya pengganjal perut saat ini.
Pintu dibuka. Pemuda itu mulai mencari-cari dimana daftar menu sampai setelah beberapa hentakan langkah kedepan, tubuhnya membeku seketika.

Dia ada disana, gadis itu.

Ryosuke yang tidak mempercayai matanya langsung mengucak kedua organ penglihatan tersebut dengan tangannya. Namun tetap saja penampakan didepannya tidak berubah. Eksistensi itu masih disana, nyata, bukan bayangan.

“U-so..” Tetesan bening air mata mengaliri pipinya begitu saja. Dadanya sesak, oksigen seolah tidak bisa melalui paru-parunya sama sekali. Pikirannya berkecamuk, mencoba menggalau bayangan sosok itu, kalau memang itu hanya imajinasinya.
Dia tetap disana. Tepat berdiri tenang sambil menyeruput jus jeruk kemasannya. Gadis itu bukan lagi imaji, bukan lagi bayangan dalam mimpinya.

Itu memang dia. Itu memang Umika.

Dengan langkah seribu, Ryosuke berlari menjangkau gadis itu dan sontak memeluknya erat.

“Umika…kau kembali..”pemuda itu berbisik dalam tangisnya, sementara eksistensi dalam pelukannya tersebut hanya bisa mengerjap.

“APA YANG KAU LAKUKAN HAH?!”  
Teriakan terdengar diikuti gerakan tubuh Ryosuke yang jatuh terlempar ke lantai akibat dorongan keras gadis yang dipeluknya tadi. Wajah gadis itu nampak marah dan nyaris menangis.

Ryosuke mendongak kaget sambil menatap sosok ‘Umika’ itu tidak percaya.

“Eh..?”

“Dasar mesum! Siapa kau?! Kenapa tiba-tiba memelukku?!” gadis itu membentak. Ryosuke pelan-pelan bangkit dari posisi terjatuhnya.

“Umika.., kau...tidak ingat aku?”

“Siapa Umika? Aku bukan Umika! Kau salah orang!”

Ryosuke tidak bergerak masih sibuk mencerna kata-kata gadis itu barusan. Kalau dia bukan Umika, lalu siapa? Kenapa wajahnya mirip sekali dengan Umika?

“Ryosuke ada ap—WOAAAAH!” Yuto tersentak mundur beberapa langkah ketika melihat jelas pemandangan di depannya kini. Ryosuke yang berlinang air mata dan…Umika?

“Umika?! Kau.. masih hidup?” Momoko mendahului Yuto mendekati gadis ‘umika’ tadi. Namun, segera gadis itu membantah.

“Bukan! Aku bukan Umika! Kalian salah orang, Namaku Yukimura Misaki!”

“Eeh?”

Seorang pemuda tak dikenal tiba-tiba saja bergabung dalam percakapan yang sudah menimbulkan keributan tersebut. Pemuda itu cepat-cepat mendekati Misaki.

“Misaki, ada apa?”

“Miki…,Ada orang yang memelukku tiba-tiba. Mereka salah mengenaliku sebagai orang bernama Umika..”

Pemuda yang dipanggil Miki itu memperhatikan oknum ‘mereka’ yang dimaksud Misaki. Tatapannya berhenti agak lama pada Ryosuke, namun kemudian pemuda itu tersenyum ramah.

“Gomenasai…sepertinya kalian salah orang. Namaku Kamiki Ryunosuke dan ini pacarku Yukimura Misaki..”

Jantung Ryosuke seolah berhenti berdetak mendengar penjelasan kamiki barusan.

“Pacar?” bisiknya perlahan. Satu perasaan sakit tiba-tiba saja mengujam hatinya. Padahal gadis itu Yukimura Misaki, bukan Umika. Tapi kenapa mengetahui kalau ia adalah milik seseorang membuat hatinya sakit?

Daiki segera menarik Momoko yang hampir menangis kedalam pelukannya. Ia tahu betapa Momoko merindukan Umika dan kemungkinan momoko bisa saja meneteskan air mata seperti Ryosuke karena mengira gadis berwajah familiar didepannya kini adalah Umika.
“Ya..Gomenasai, kami sudah membuat keributan.” Ujarnya juga pada pasangan di depan mereka itu.

“Hai. Daijoubu.” Kamiki membalas sambil masih tersenyum ramah. “Kalau begitu, aku dan Misaki pergi dulu. Permisi…” pemuda itu lalu menarik tangan Misaki untuk bergerak bersamanya. Atas jawaban kamiki, Misaki lalu ikut melangkah keluar kantin. Sedetik kedua bola matanya masih menyempatkan diri untuk menatap 2 mata coklat bening yang nampak memerah habis menangis milik Ryosuke yang juga sedang menatapnya. Somehow, Misaki merasa familiar dengan tatapan tersebut. Sesuatu bergejolak dalam dadanya, namun ia sama sekali tidak mengerti perasaan apa itu dan memutuskan untuk mengabaikannya begitu saja.

Tepat setelah sosok Kamiki dan Misaki hilang dari jarak pandang, pusat perhatian kelompok tersebut lalu beralih ke Ryosuke yang tadi sudah dibantu Chinen untuk bangun dan kali ini tengah berdiri diam sambil menunduk.

“Ryosuke…” Mirai menepuk pundak pemuda itu pelan sementara yang lainnya tak berhenti menatapnya simpati. Ryosuke tersenyum pahit.

“Aku tidak menyangka ada orang yang wajahnya sama persis dengan Umika. Bodoh, padahal Umika sudah tiada, tapi aku bisa-bisanya berpikir kalau dia kembali..” Mata pemuda itu menerawang. “Aku mau pulang, tidak enak badan. Tidak apa-apa kan?”

Pertanyaan itu tak terjawab kata, hanya dibalas anggukan pelan dari eksistensi di depannya. Dengan pesan itulah Ryosuke lalu meninggalkan 6 sahabatnya dan menghilang di balik pintu kaca.

“Ne, bagaimana ini?” Daiki menyeletuk sambil memandang ke arah pintu tempat Ryosuke, Misaki, dan Kamiki tadi keluar. “Kalian lihat gadis itu. Wajahnya… mirip sekali dengan Umika.”

“Rambutnya sedikit lebih panjang dan diikat. Lalu, gaya berpakaiannya juga berubah. Tapi selain itu, dia sama persis dengan Umika. Wajahnya, postur tubuhnya…” Suzuka menambahkan sambil memangku dagunya. “Somehow, aku yakin itu Umika..”

“Tapi kenapa dia tidak mengingat kita? Dan namanya…Yukimura Misaki, bukan Umika..”Momoko ikut bicara. Tangannya menyentuh pelan lengan Daiki. Gadis itu masih shock menemukan perwujudan nyata sahabat karibnya yang hilang dan diduga telah meninggal 6 bulan yang lalu kembali hadir. Daiki yang mengerti kondisi gadisnya itu merangkulnya, lalu mengelus puncak kepala Momoko menenangkan.

“Kita tidak tahu apa yang terjadi dalam 6 bulan terakhir kan? Mungkin Umika memang masih hidup dan gadis bernama Yukimura tadi adalah Umika. Entah apa yang dilamainya kemudian, sampai dia bisa melupakan kita. Ehm, bisa saja amnesia..? Kita tidak pernah tahu apa saja yang mungkin terjadi…”Suzuka melontarkan teorinya. Sementara gadis itu tengah serius memberi penjelasan pada Daiki, Momoko, dan Mirai, dibelakangnya Chinen dan Yuto sudah saling menatap.

“Sakelarnya aktif lagi ya?”  tanya Yuto setengah berbisik. Chinen mengangguk lemah. Yuto tersenym tipis sebelum menepuk-nepuk pundak temannya itu. “Nggak apa-apa lah Suzuka bikin hipotesis gitu. Kali aja benar kan? Siapa tahu gadis itu memang Umika dan alasan dia melupakan kita karena amnesia atau apalah..”

Chinen mengangkat sebelah alis lalu tertawa.

“Kalau begitu kenapa tidak kita buktikan saja? Tes darah gitu? Atau tes DNA sekalian!”

“Itu dia!” tiba-tiba saja Suzuka sudah berbalik dan menjentikan jarinya tepat didepan wajah Chinen. “Kau jenius Chii!”

“Apanya?” Daiki bertanya, tidak begitu jelas mendengar usulan Chinen tadi.

“Kita bandingkan biodata Yukimura Misaki itu dengan Umika. entah golongan darahnya atau riwayat penyakit atau apapun yang bisa membuktikan dia itu Umika atau bukan. Bila perlu kita pake tes DNA.” Usul Suzuka bersemangat.

“Ne, Suzu… kalau biodata punya Umika sih memang sudah ada sama kita. Tapi mau dapat darimana biodata Yukimura itu?”sambung Yuto. Suzuka terdiam sejenak, berpikir. Chinen terkekeh, mengalihkan 5 pasang mata lain ganti menatapnya.

“Kelamaan. Kenapa nggak nyolong aja? Hari ini kan tenggat pengumpulan biodata tahap 2. Pasti Yukimura membawa salinan biodatanya kan?” usulnya gamblang. Wajah Suzuka langsung cerah. Dengan sekali gerakan, pipi kiri Chinen langsung telak jadi sasaran kecupannya.

“Aku tidak percaya sudah nyaris setahun punya pacar sejenius ini!” puji gadis itu. Chinen langsung mengelus-elus pipi kirinya sambil tersenyum sumringah. Mimpi apa dia semalam sampai dicipika Suzuka seperti ini. Kegirangan akut, satu rencana pencurian hebat langsung tersusun di kepalanya secara detil. Chinen mengisyaratkan kelompoknya agar segera membentuk lingkaran kecil agar tanpa sembunyi-sembunyi pemuda itu bisa menceritakan rencananya. Grup tersebut menanti penjelasan Chinen dengan teramat sangat antusias.

“Ini baru rencana awal sih, tapi dengarkan baik-baik. Judulnya ‘The Dream Lover’s first ever robbing plan’..”

“Emang makalah Chii, pake judul segala? Mana panjang lagi. Ini mau nyolong oi, bukan ngerjain tugas!” Yuto complain. Rencana Chinen kali ini kok berasanya ribet banget ya?

Mendengar protes Yuto, Chinen memoncongkan bibirnya beberapa senti. “Udah dengarin saja kenapa!” jawabnya kesal. Yuto manyun, namun terpaksa kembali serius mendengarkan.

“Oke mina, jadi begini rencananya…”

* * * * * * * *

“Ne, Miki… ngapain tadi kamu pake ngaku-ngaku jadi pacarku segala? Nggak lucu ah!” Misaki berhenti berjalan lalu melepaskan genggaman tangan Kamiki saat dirasanya jarak mereka sudah cukup jauh dari kelompok asing tadi. Kamiki tertawa kecil, lalu mengacak-acak puncak kepala gadis itu gemas.

“Gomen ne, Misaki chan... aku refleks mikir kalau ngaku-ngaku jadi pacarmu, mereka mungkin tidak akan mengganggumu lagi…”

“Tapi beneran nggak lucu ah! Nanti kalau Jingi dengar gimana? Aku pasti akan digoda terus sama dia..” Umika rada manyun. Ekspresi wajah gadis itu membuat kamiki kembali tertawa.

“Hai! Hai! Gomen! Aku bakal tutup mulut deh, Jingi nggak bakal tahu…”

Misaki tersenyum. Namun sesaat kemudian ada yang berubah dengan wajahnya. Kamiki yang menyadari perubahan ekspresi gadis itu sedikit tersentak.

“Pemuda yang menangis tadi…siapa ya?” tanya gadis itu pelan. Raut wajahnya mengisayaratkan rasa simpati. Kamiki memiringkan kepalanya. 

“Kenapa?”

“Entahlah…aku merasa kasihan dengannya.” Pikiran Misaki kembali melayang ketika matanya menatap mata sedih Ryosuke tadi. Perasaan sesak kembali menjalari hatinya. “Dia menangis… aku tidak yakin kenapa, tapi kurasa…” rasa sesak tadi makin menghujam hati Misaki. Bibirnya tiba-tiba saja melengkungkan senyuman kosong dan pahit. “Dia pasti sangat merindukan gadis bernama Umika itu…”


To Be Continued

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Selasa, 13 Desember 2011

[fic] : The Dream Lovers 2 - second chance -chp.5

CHAPTER 5
- The reason I live for today -

Ryosuke memutar kenop pintu didepannya lalu masuk perlahan. Kamarnya kosong, jelas menunjukan sang ayah belum juga kembali dari kantor. Kepala pemuda itu terasa berat, dan dengan sekali sentakan, tubuhnya sudah terhempas begitu saja ke kasur empuk di depannya.

Ryosuke menutup mata, memutar kembali memori percakapannya dengan Suzuka nyaris sejam lalu. Alasan kenapa sang ayah bisa ‘menjaganya demi Umika’.

“Ayahmu menjagamu, demi Umika.”

“Menjagaku..?”

Suzuka tersenyum simpul sebelum melanjutkan teorinya. “sebelumnya maafkan aku kalau bicara terlalu gamblang. Tapi menurutku, ayahmu mengalami sesuatu saat kehilangan ibumu yang membuatnya merutuki dirinya sendiri seperti ini bahkan lebih buruk mungkin saja membuatnya ingin menyusul kepergian ibumu. Ayahmu takut kau berpikiran sama dengannya mengingat kondisimu 2 minggu ini sangat kacau. Dia tidak ingin kau terus tenggelam dalam kesedihan karena kehilangan Umika..”

Ryosuke tidak dapat berkata-kata dan hanya bisa termangu menyimak penjelasan Suzuka. Dan entah kenapa, semuanya kini jadi masuk akal. Tsukasa tidak sedang eror atau apa. Ia hanya ingin menjaga putranya dari segala kemungkinan terburuk tindakan Ryosuke yang mungkin saja bisa mengancam nyawanya.

“Karena itu Ryosuke…”Suzuka menyambung”Hargai niat baik ayahmu. Jangan lagi menyiksa diri, relakan kepergian Umika…kau tahu? Dengan merelakan kepergian seseorang, kau sudah membantunya melepas segala bebanya di dunia…”

“Bagaimana kau bisa seyakin itu Suzuka?” Ryosuke balas bertanya, berbisik lebih tepatnya. Suzuka mengangkat kepala lalu menatap kedua bola mata coklat bening Ryosuke tajam.

“Aku yakin.  Aku percaya pada instingku.”

“insting hah?” Ryosuke menggumam pelan sambil tertawa mentah. “Apa instingmu juga mengatakan kalau Umika benar-benar sudah pergi?”

* * * * * * * *

Ryosuke merasakan suhu badannya memanas. Pandangannya mengabur bagai diselimuti kabut putih tebal. Keringat mengucuri pelipisnya deras, nafasnya memacu cepat, kepalanya pusing. Entah apa yang terjadi tapi tubuhnya terasa sakit sekali saat ini.

Sampai sentuhan lambut itu menyentuh pundaknya, memberikan sensasi nyaman luar biasa yang seketika menjalari tubuh pemuda itu. Ryosuke berusaha melihat, siapa  eksistensi yang muncul tiba-tiba tersebut.

“Daijoubu?” satu suara lambut yang begitu familiar terdengar bersamaan dengan mata Ryosuke yang melebar menemukan eksistensi yang tengah tersenyum manis padanya kali ini.

“U-so..”

“Badanmu panas. Kuambilkan obat ya? Yang rasa strawberry kan? Hai! Hai!” sosok itu bangkit siap bergerak mengambil banda yang tadi disinggungnya. Jantung Ryosuke berdetak cepat seolah tidak ingin eksistensi itu menjauh darinya. Jangan sampai ia pergi lagi.

“Tidak, Umika. jangan pergi..”

“Ne, Ryosuke..Ryosuke daijoubu?” satu guncangan di bahu menyadarkannya begitu saja. Ryosuke agak sulit membuka matanya karena terpaan lampu kamar cukup menyilaukannya. Tubuhnya masih terasa panas, kepalanya juga pusing. Sedetik kemudian barulah pemuda itu mengenali siapa yang baru saja membangunkannya tadi.

“Tou-chan…”ujarnya lemah sambil berusaha menarik nafas. Tsukasa meletakan tangannya di kening Ryosuke, mengukur suhu putranya itu.

“Tubuhmu panas sekali. Touchan panggilkan Inoo sensei ya ?”

Ryosuke tidak begitu mendengar jelas perkataan Tsukasa dan malah mengingat kembali seuntai klimat dari Suzuka beberapa waktu lalu.

“Karena itu Ryosuke..Hargai niat baik ayahmu. Jangan lagi menyiksa diri, relakan kepergian Umika…kau tahu? Dengan merelakan kepergian seseorang, kau sudah membantunya melepas segala bebanya di dunia…”

“Touchan…” Ryosuke menggumam, memanggil Tsukasa yang nyaris beranjak dari kursinya.

“hm?”

“Hontou ni, A..rigatou na..”

Ucapan Ryosuke barusan menimbulkan tanda tanya besar dikepala Tsukasa. Ada apa dengan putranya?  Apa karena suhu tubuhnya terlalu panas sampai dia bisa bicara sengawur ini? Ya, pengalaman sebelum-sebelumnya, Ryosuke kalau sakit pasti bicaranya banyakan ngawur. Tsukasa kerap kali mendengar itu dari Fuma maupun Umika. Dan baru kali ini pria itu menyaksikannya sendiri. Ditambah wajah Ryosuke sudah sangat memerah. Tsukasa tidak sekreatif Umika dalam memikirkan balasan pernyataan Ryosuke tatkala pemuda itu demam, jadi dengan senyum lembut yang tulus dari hati yang paling dalam, Tsukasa mengiyakan meskipun ia sama sekali tidak mengerti maksud dari ucapan terima kasih barusan.

“Hai. Dousitashimashita…argh, Touchan harus memanggil Inoo sensei..” pria nyaris paruh baya itu langsung teringat dengan dokter pribadi keluarganya dan langsung bergerak keluar untuk menghubunginya.

Selepas kepergian Tsukasa, Ryosuke memutar posisi berbaringnya sedikit untuk lebih jelas memperhatikan foto gadis manis dalam pingura di atas meja belajarnya. Hatinya  teduh, merasakan kembali sensasi nyaman yang dibawa sosok imaji Umika dalam benaknya tadi. Ada kelegaan, rasa hangat ketika diputuskannya untuk merelakan Umika pergi. Sudah takdir, sudah jalan Tuhan. Sekian banyak orang sudah menasihatinya seperti itu dan Ryosuke baru menyadarinya saat ini.
Mereka benar, Umika pergi karena itulah yang sudah diputuskan Dia yang maha kuasa, dan melepaskannya adalah cara untuk melepaskan beban gadis itu serta bebannya sendiri. Sekarang yang harus dilakukan adalah bagaimana menjalani kehidupan dengan tetap menyimpan kenangannya bersama Umika dalam hatinya, bukan sebagai rasa sakit yang menghantui, tetapi sebagai harta berharga yang takan pernah dilepasnya mengingat Umika adalah orang yang pertama disebutnya ‘kanojo’ dalam 18 tahun hidupnya selama ini. Dan kenangan akan Umika akan selalu indah, bahkan untuk kehidupan pemuda itu seterusnya. Buakankah Umika juga menginginkan yang sama?

Ryosuke sakit, demam, namun dengan yakin dan sadar sepenuhnya pemuda itu telah mengambil keputusan besar dalam liku hidupnya.

Umika telah dijadikannya kenangan. Kenangan yang kekal, sekekal rasa cintanya terhadap gadis itu.

Arigatou Umika..”

* * * * * * * *

4 months later, Tropicana land, Tokyo

Ryosuke mengamati panorama di depannya takjub sambil mengangkat alis. Mulutnya terbuka sedikit siap memberi komentar merangkap pertanyaan yang tercetak dalam kepalanya kepada segerombolan manusia yang berbaris rapi di samping kiri-kanannya.

“Dan sekarang..,ngapain kita disini?”

6 eskistensi yang terdiri dari 3 pemuda dan 3 gadis yang berdiri berjejer mendampinginya tadi menyeringai.

“challenging our self..” Daiki yang berdiri tepat disamping Ryosuke menyambung. Ryosuke memutar kepalanya menghadap pemuda itu.

“for what?” tanyanya dingin. Chinenlah yang kemudian menjawab pertanyaan Ryosuke selanjutnya.

“refreshing lah Ryosuke. Abis ujian begini cocoknya ya main ke taman hiburan kan…?”

Eksistensi lain mengangguk setuju, sementara Ryosuke yang masih belum puas, gantian memandang Chinen tajam.

“Kalau begitu bisa jelaskan padaku kenapa kita harus berdiri di depan RUMAH HANTU???” pemuda itu memberi penekanan tepat pada kata ‘rumah hantu’ sambil memalingkan matanya dari Chinen ke bangunan tua mengerikan bertitel ‘House of Death’ di depan mereka. Serentak bersama Ryosuke, 6 manusia yang mendampinginya yang adalah Chinen, Yuto, Daiki, Mirai, Suzuka, dan Momoko ikut memandang ke bangunan tersebut ngeri. Rada menyesal memilih tempat itu sebagai tempat persinggahan tamasya mereka berikutnya.
Hari ini hari terakhir Ujian nasional kelulusan SMU dan setelah seminggu pertarungan dengan soal-soal yang bikin sport jantung tersebut berakhir, ketujuh sahabat penghuni kelas 3-D Horikoshi Gakuen itu memilih taman hiburan sebagai tempat refreshing mereka. Kelompok itu sudah menaiki roller coaster, tornado—emang ancol?—bahkan sampai komedi putar. Tapi ini, Rumah hantu.., adalah mimpi buruk. Terlebih karena 4 pemuda—yang dibalik ketampanan, kekerenan, ketenangan mereka di sekolah ternyata adalah sosok yang SANGAT takut dengan hal-hal berbau mistis dan horror seperti ini. Nah, kalau yang cowok-cowoknya saja takut, apalagi yang cewek?

Lalu kenapa memilih rumah hantu sebagai kunjungan mereka berikutnya?
Pertanyaan itu berputar di kepala Ryosuke, memaksanya untuk menghujani 3 manusia sejenis kelamin dengannya dengan tatapan mematikan—secara 3 orang itulah yang mengusulkan menjadikan mimpi buruk ini sebagai alternative wahana kunjungan mereka. Nyengir sedetik, Chinen, Yuto dan Daiki lalu menarik Ryosuke sedikit menjauh dari ketiga gadis mereka yang setengah ketakutan setengah konsentrasi menghadapi wujud luar bagunan menyeramkan didepan.

Dengan sekali hentakan, keempat pemuda itu sudah membentuk sebuah lingkaran kecil mencurigakan.

“Ryosuke baka! Ini kan kesempatan?” Chinen menggeplak kepala Ryosuke pelan. Pemuda yang organ paling atas tubuhnya diberi pukulan ringan tersebut mengerang kesakitan sambil mengelus-elus bagian yang teraniaya itu.

“Kesempatan apaan sih?” Ryosuke balas menggeplak kepala Chinen. “Kesempatan ketemu hantu, iya?!”

Chinen mengangkat jari telunjuknya, kemudian mengoyang-goyangkannya seirama dengan gelengan kepala. Ekspresinya meremehkan.

“Ckckck! Kau masih terlalu hijau Yamada-san..” Chinen mengalihkan pandangannya ke Yuto lalu mendelik. “Yuto, jelaskan padanya.”perintahnya.

Bagai menerima komando dari atasannya, Yuto seketika mengangguk lalu menjelaskan maksud Chinen.

“begini Ryosuke… meskipun amait-amit seramnya, Rumah hantu itu surga buat kita cowok-cowok..”

“karena?” belum selesai Yuto bicara, Ryosuke sudah keburu memotong. Tidak ngeh pemuda itu dengan penjelasan Yuto yang sangat singkat. Yuto mendengus.

“Dengerein aku ngomong dulu kenapa..!” serunya agak kesal sebelum kembali melanjutkan. ”..dibilang surga soalnya banyakan scane romantis itu terjadinya di dalam rumah hantu. Kau tahu, biasanya kalau gadis-gadis ketakutan lihat hantu kan mereka akan langsung meluk kita. Seru dong! Kita tinggal sok jadi pahlawan saja melindungi mereka. Dijamin, mereka pasti tambah cinta..!” Yuto mengakkhiri penjelasannya dengan wajah sumringah berapi-api. Begitu pula Chinen dan Daiki disampingnya yang mendukung habis skenario rencana Yuto tersebut dengan tangan terkatup diangkat bagai memberi semangat. Ryosuke melongo.

“Lha! Enakan kalian dong yang punya pacar! Kalau aku? Mau pelukan sama siapa? Sadako?!” Protesnya kemudian. 3 manusia sumringah didepannya berhenti nyengir lalu mengangguk.

“Iya juga ya. Ryosuke bisanya pelukan sama Sadako doang.” Daiki menyambung. Baik Chinen dan Yuto mengangguk.

“Kau takut tidak masuk rumah hantu?” tanya Yuto. Ryosuke pelan-pelan mengangguk.

“Rumah hantu itu mimpi buruk.”

Yuto menggaruk-garuk dagunya, berpikir. “Ne, kalau begitu kau masuk duluan ya..”

Kedua bola mata Ryosuke membulat sempurna mendengar usul Yuto barusan.

“Apa?! Masuk duluan?! Gila kali ya! Nggak! Aku nggak mau!” Tolak Ryosuke cepat. Boro-boro masuk, berdiri di depan pintunya saja Ryosuke sudah merinding disko.

“Ne, Ryosuke, ayolah.. kami akan melindungimu dari belakang biar kau nggak diserang dari belakang. Ya? Ya?”

“Hah?! Bilang saja kalian mau menjadikanku umpan supaya hantu-hantu itu menyerangku duluan dan membiarakan kalin bebas seenaknya.. huh! No Way!” Ryosuke masih menolak.

“Ayolah Ryosuke… Ryochaaan~?” Yuto kembali membujuk. Ryosuke menggeleng.

“Daichan! Mau masuk tidak?” Momoko tiba-tiba saja menghampiri kelompok kecil tersebut. Kerumunan memecah.

“Jadi kok! Ini, Ryosuke mau jadi sukarelawan buat masuk duluan.” Daiki tersenyum lebar pada kekasihnya sembari menarik Ryosuke mendekati rumah hantu tersebut. Ryosuke baru saja mau meneriakan penolakannya namun kedua tangan mungil Chinen segera membekap mulutnya ditambah gerakan Yuto yang sudah mengunci lengan bebasnya yang lain yang tidak terjangkau oleh Daiki lalu menariknya bergerak mendekati rumah hantu tersebut.

“God bless you, Ryosuke..” bisik Chinen sepat sebelum pemuda itu ditolak masuk kedalam. Seketika pintu tertutup, menandakan mimpi buruk pengunjung yang baru masuk itu siap menjadi kenyataan.

“OI!! SIALAN KALIAN! OI YUTO, CHINEN, DAIKI, BUKAA!! OII!!!!” teriaknya kesal akut sembari mendobrak-dobrak pintu kayu tua tersebut. Yang terdengar berikutnya hanyalah tawa cekikikan dari eksistensi-eksistensi diluar.

“Argh! Brengsek! Mereka menjebakku!” Umpatnya lagi. Pemuda itu nyaris mendobrak lagi ketika dirasakannya satu tangan dingin menyentuh pipinya. Pelan-pelan dengan adrenalin yang luar biasa terpacu, Ryosuke menoleh.

“GYAAAAAA!!!!!” Jeritnya seketika saat menemukan sesosok mkhluk berambut panjang tanpa wajah sedang berdiri manis disampingnya. Secepat kilat pemuda itu berlari menjauhi pemandangan absurd itu—yang sayangnya membawanya memasuki penderitaan yang lebih dalam.

Ryosuke masuk lebih dalam ke rumah hantu tersebut. Sebagai hasil, belum ada dua meter ia berlari, langkahnya sudah dihadang sesosok manusia berbalut perban kotor dengan wajah mengerikan.

“Muahahaha!!” Sosok itu tertawa. Tidak ikut tertawa, Ryosuke memilih melengkingkan teriakan yang lebih dashyat dari sebelumnya.

“GYAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!” pemuda itu lanjut berlari. Dan seperti saat itu, langkah-langkah Ryosuke berikutnya terus saja terhalang oleh mahkluk-mahkluk absurd yang sering dijumpainya dalam film horror. MENGERIKAN.

“Muahahaha!!!”

“GYAAAAA!!!!!”

“Hihihiiiii”

“AAAAAAAAAAAAHHH!!!  GYAAAAAAAAAAAA!!!!!”

“HAHAHA”

“UWAAAAAA!!! GYAAAAA!!!”

Lengkingan-lengkingan macam itulah yang brikutnya menjadi simfony dalam bangunan tua tersebut. Terang saja, setiap bertemu mahluk apapun, Ryosuke selalu tidak lupa berteriak untuk mengeskpresikan rasa takut luar biasanya. Untunglah setelah nyaris 7 menit Ryosuke terperangkap dalam penderitaan mencekamnya, pemuda itu akhirnya bisa keluar dari mimpi buruk tersebut dengan selamat.

Ryosuke tertunduk lemah lalu mengatur nafasnya sembari mengingat pengkhianatan Daiki, Chinen dan Yuto yang bisa-bisanya memasukannya kedalam tempat terkutuk itu.

“Brengsek! Awas kalau mereka keluar nanti!” umpatnya kesal.

“Ne, sudah kubilang kan beli jus jeruk saja..”

Satu suara samar-samar terdengar ditelinganya. Ryosuke tersentak kaget. Jantungnya berdetak 10 kali lebih cepat. Suara ini, suara yang paling dikenalnya. Yang paling dirindukannya 5 bulan terakhir. Suara milik seseorang yang dicintainya. Pemuda itu yakin benar.
Kedua mata Ryosuke secepat kilat menyusuri kerumunan ramai didepannya. Agak lama, sampai kedua bola matanya menangkap sesesosok wajah familiar yang tengah tertawa. Ryosuke ingat tawa itu. Tawa yang seharusnya tetap berwujud kenangan yang tersimpan tiba-tiba saja dimunculkan kembali dalam rupa yang nyata baginya, bukan lagi imaji mimpi seperti dulu.
Ryosuke memusatkan tatapannya, mengenali gadis yang tengah tersenyum itu sebagai Umika Kawashima, kekasihnya.

“Umika..?”

Sosok yang dipanggil tersebut tidak berbalik, malah bergerak makin jauh. Ryosuke kembali meneriakan namanya, bersiap untuk berlari mengejar gadis itu.

“UMIKA!”

“Aku nggak mau masuk lagi! Aku nggak mau masuk lagi!” satu seruan yang muncul dari arah pintu keluar rumah hantu tiba-tiba terhenti ketika Ryosuke menyerukan sesuatu. 6 manusia yang baru keluar dari rumah hantu itu hanya saling menatap heran, tidak mendengar jelas teriakan Ryosuke karena tertutup seru-seruan ketakutan Chinen tadi.

“Ne, Ryosuke. Ada apa?’ Mirai mendekati pemuda itu lalu menepuk bahunya. Ryosuke balik menatap Mirai. Wajahnya nampak pucat. Agak lama sampai Ryosuke kembali mengfungsikan kedua sisi bibirnya untuk menjawab.

“Aku, melihat Umika…”

To Be Continued

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Jumat, 02 Desember 2011

OTANJOUBI OMEDETOU HIKARU YAOTOME ^^

Otanjoubi Omedetou Hikaa~
Wish U all the BEST na...


Semoga kamu makin keren, gokil, ganteng, imut, dan sukses selalu^^
Daisuki <3


Rabu, 30 November 2011

HAPPY BIRTHDAY 18th CHINEN YURI !!

CHINEN_CHAN!!!!
OTANJOUBI OMEDETOU NE~
semoga kamu makin cakep, tinggi, keren, pintar, dan sukses dalam karirmu sebagai bintang^^

Daisuki<3

--------


the no.3 pic is me~ wahahaha XD

Sabtu, 26 November 2011

Bagaimana Caranya Menerbitkan Naskah di Gramedia Pustaka Utama? - Gramedia Penerbit Buku Utama

Bagaimana Caranya Menerbitkan Naskah di Gramedia Pustaka Utama? - Gramedia Penerbit Buku Utama

[fic] : The Dream Lovers 2 - second chance -chp.4



CHAPTER 4
- Living at the day without you -


Saturday, February 4, 2012
From: Nakajima Yuto (Nakayan@yahoo.co.jp)
To: Yamada Ryosuke (Ryosuke_Yamada@yahoo.co.jp)
Subject: [none]

Gomen Ryosuke…
Tim pencari belum juga menemukan Umika.
Dan.., mereka sudah memutuskan untuk menghentikan pencarian.
Ini sudah nyaris seminggu, mereka sama sekali tidak menemukan petunjuk apapun.
Gomen..,

Ryosuke meleparkan keitainya marah setelah membaca e-mail dari Yuto. Benda segi empat flip itu seketika terbanting keras ke tanah. Tidak terjadi apa-apa, benda itu masih diam saja sementara Ryosuke sudah mulai mengeluarkan tetesan-tetesan bening lewat kedua matanya.

“Brengsek..” Umpatnya pelan, tak kuasa menahan sesak berlebih di dadanya. Pemuda itu duduk diam di lantai kamar dengan punggungnya bersandar pada tembok. Salah satu lututnya diangkat untuk memangku tangan kanannya sementara yang satunya biarkan tertidur. Disampingnya, satu album foto berwarna merah tua tengah terbuka satu halamannya, menampakan selembar foto manis dirinya bersama seseorang.
Perlahan, Ryosuke mengangkat album itu, hanya untuk kembali melihat—entah untuk yang keberapa kalinya gadis manis dengan senyuman yang terpajang disana. Pemuda itu masih ingat jelas hari dimana foto itu diambil. Bagaimana Umika bisa muncul tiba-tiba dengan kamera ditangannya dan seruan ‘Hai! Senyum!’. Bagaimana Umika begitu bersikeras meminta ijinnya untuk pergi—

Seharusnya dia tahu. Seharusnya dia tidak pernah membiarkan gadis itu pergi, karena pada akhirnya dia sama sekali tidak kembali.

“Begini saja! Kalau kau ijinkan aku pergi, sepulang nanti aku akan memberimu hadiah! Iya! Apa saja yang kau minta! Ne?...”

“Bagaimana kalau aku memintamu untuk kembali…?” setengah berbisik, Ryosuke bertanya pada selembar foto didepannya. Tidak ada jawaban. Baik foto didepannya maupun dirinya sendiri tak mampu menjawab. Ryosuke meringis perih. Perih karena harus menerima fakta bahwa Umika memang telah meninggalkannya...dan kali ini untuk selamanya.

“Umichan…” tetesan-tetesan bening itu kembali mengaliri pipinya.

* * * * * * * *

Yuto menutup flip keitainya dengan sekali katupan. Dadanya sesak. Ada setitik rasa bersalah dalam dirinya karena harus menyampaikan kabar terburuk bagi Ryosuke. Pencarian terhadap Umika dihentikan karena sudah nyaris seminggu tidak ada tanda-tanda dimana keberadaan gadis itu. Kedua orang tua gadis itu sudah dimakamkan 3 hari yang lalu, dan Ryuu kini pindah ke Kyuushu karena tidak lagi memiliki kerabat di Tokyo. Sejak saat itu, kebahagiaan seolah menghilang dalam lingkaran persahabatan mereka. Umika pergi dengan hanya menyisakan kenangan yang akan menghujam perih setiap mereka yang berusaha mengingatnya. Baik dirinya, Mirai, yang lainnya, dan tentu saja Ryosuke.

“Yuto..”Seseorang tiba-tiba memeluknya dari belakang sembari menyandarkan kepalanya di punggung pemuda itu. Yuto seketika mengenali siapa yang berada di belakangnya saat ini.
“…Ryosuke..bagaimana dengannya?”

Dengan masih merasakan kesesakan yang sama, Yuto berbalik lalu mengelus puncak kepala eksistensi yang memeluknya tadi, lembut.

“Entahlah Mirai-chan…Ryosuke…, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuknya. Dia masih tidak bisa menerima hal ini..”

Mirai—eksistensi tadi menggigit bibir bawahnya. “aku tidak percaya Umika benar-benar sudah pergi...” isakannya mulai terdengar. “Seharusnya waktu itu kita tidak membiarkannya pergi, ya kan? Kalau saja Umika tidak pergi dengan bus itu, semuanya tidak akan jadi seperti ini…”

“Ssh…Mirai, sudahlah. Tidak ada pihak yang bisa disalahkan atas kejadian ini. Semuanya murni kecelakaan, ini sudah takdir. Kalaupun sebelumnya kita tahu, kita tetap tidak bisa melakukan apa-apa..”

Mirai mengangguk mengerti meskipun rasa sakitnya tidak sama sekali reda oleh kalimat peneguhan Yuto barusan. Gadis itu merindukan Umika, merindukan saat-saat yang dilewatinya bersama kekasih Ryosuke tersebut selama 3 bulan terakhir mereka bersahabat dekat. Umika adalah sahabat yang berharga. Dan kehilangan sahabat yang berharga adalah pukulan besar bagi Mirai, juga Momoko dan Suzuka. Meskipun gadis itu kini—mungkin saja—telah tiada, namun kenangan itu masih berbekas. Masih menunggu waktunya untuk lenyap sebagaimana gadis itu pergi menyisakannya.

* * * * * * * *

“gomenasai…”

“Ehh..?”

“Sayonara Ryosuke…”

“UMIKA!!” Ryosuke bangkit, tersentak kaget dengan teriakannya sendiri. Keringat dingin mengucur deras melewati pelipisnya, nafasnya berderu cepat. Pikirannya berkecamuk memikirkan imaji apa yang tadi baru saja terlintas dalam benak lelapnya.
Mimpi yang mengerikan, potongan dari mimpi pertamanya sebelum Umika menghilang. Kenapa kembali terulang? Apakah ini adalah petanda lain kalau Umika memang benar-benar telah mengucapkan sayonara padanya? Apa Umika telah…mati?

Satu kalimat tanya itu menyayat hati Ryosuke seketika. Rasa perih dan sesak kembali muncul, entah untuk yang keberapa kalinya. Ryosuke mencengkram dada kirinya, mencoba mencapai rasa sakit itu dan menghancurkannya. Namun tidak bisa. Rasa itu malah makin menusuknya dalam, memberi luka menganga pada hatinya yang masih diliputi kepedihan mendalam.


“Umika baka…sudah kubilang jangan pergi..” tidak ada cara lain selain melampiaskannya pada seseorang. Dan Umika hanya salah satu yang dijadikan pelampiasan sakit hatinya selain dirinya sendiri.

“Seharusnya kau tidak pergi, kau tahu? Seharusnya kita ada di paris hari ini..” Ryosuke meringis. “seharusnya aku bisa menjagamu…seharusnya aku tidak membiarkanmu pergi…”

“gomenasai…”

“Kau melanggar janjimu, Umika. kau tidak kembali…” pemuda itu masih berbisik.
Ryosuke mengangkat tangannya menutupi setengah wajahnya. Air matanya sudah mengalir dan dia pasti akan terisak sedetik berikutnya. Pemuda itu menekan setiap suara yang keluar dari mulutnya, khawatir suara yang ditimbulkannya itu bisa membangunkan siapapun diluar. Namun tetap saja, jeritan tertahannya beberapa menit lalu sudah sukses membuat seseorang beranjak dari kamarnya untuk menemuinya.

“Ryochan…” Yamada Tsukasa masuk begitu saja karena sejak tadi kamar Ryosuke sama sekali tidak terkunci. Perlahan, ditutupnya pintu kamar lalu didekatinya putranya yang sedang kesulitan mengatur isakan tangisnya tersebut. Perih ikut menghujamnya. Sudah kerap kali pria itu menemukan putra satu-satunya menangis pelan bahkan terisak keras sejak kecelakaan seminggu lalu. Tidak dipungkiri, Ryosuke melakukan hal yang sama persis dengan yang dilakukannya ketika ditinggalkan istri tercintanya 11 tahun silam. Tsukasa mengerti betul perasaan putranya, lebih dari siapapun. Rasa sakit yang mengerikan, membuatnya nyaris bunuh diri waktu itu kalau saja tidak ada Ryosuke yang menjadi tanggung jawabnya. Dan kali ini, Ia tidak mau sedikitpun terlintas pikiran macam itu dalam benak Ryosuke, karena bagaimanapun putranya itu masih memiliki banyak sekali orang yang mencintai dan membutuhkannya, termasuk Tsukasa sendiri.

Ryosuke mendongak, mendapati sosok yang mendekatinya kali ini adalah ayahnya sendiri. Segera, dihapusnya beberapa tetes air mata yang mengaliri pipinya barusan.

“Touchan..” pemuda itu paksa tersenyum. “Aah..gomen ne, aku membangunkanmu. Sudah begitu, kau harus melihatku sekacau ini…”

Tsukasa tersenyum lambut, lalu ikut duduk di tepi ranjang Ryosuke. “daijoubu… Touchan tahu perasaanmu. Kita senasib na..”

Ryosuke tersenyum miris lalu bergeser sedikit untuk memberikan ayahnya tempat. Pikirannya melayang mencerna kata-kata Tsukasa barusan. Memang benar, keduanya mengalami nasib yang sama. Kehilangan orang yang dicintai karena kecelakaan yang mengerikan. Selang beberapa detik dalam diam, pemuda itu kembali membuka suara.

“Touchan..”

“Hmm?”

“Aku tidak yakin Umika sudah meninggal.”

Tsukasa diam sejenak sebelum kemudian menjawab hati-hati. “wakatta… demo Ryosuke, terkadang perasaan cinta yang sedemikian besar terhadap seseorang bisa menutup segala indramu terhadap apapun kemungkinan terburuk yang menimpanya. Karena kau mencintai Umika, pikiranmu seolah menolak kepergiannya. Itulah yang membuatmu merasa Umika masih hidup. Kau kau belum rela melepaskannya…”

“Tidak, Touchan. Aku yakin. Meskipun kecil, pasti ada kemungkinan bagi Umika untuk selamat.”

“kau sudah lihat lokasi kecelakaan itu kan?” Wajah Tsukasa mulai serius. “apa menurutmu gadis seperti Umika bisa selamat jika terjatuh ke jurang securam itu. Apalagi dengan ombak yang ganas dibawah. Mustahil Ryosuke…, bahkan jika aku atau atau kau yang jatuh kedalam pun, kita tidak akan mungkin selamat..”

“Demo, Aku—“

“kau hanya perlu merelakannya. Kau hanya harus menerimanya Ryosuke, itu saja. Tidak ada cara lain. Kau harus tetap berdamai dengan hatimu dan menjalani hidupmu kedepan tanpa bayang-bayang rasa bersalah ataupun kata seandainya atau seharusnya yang hanya akan menuntunmu ke kepedihan ketika kehilangan orang yang kau cintai. Kau hanya menyakiti dirimu sendiri, Ryosuke. Dan ketahuilah, dimanapun Umika berada saat ini, dia akan ikut merasa sedih jika melihatmu seperti ini. Kau bukan hanya menyakiti dirimu sendiri, tapi juga Umika dan yang lainnya..”

Ryosuke termenung. Nasihat panjang ayahnya serasa tak mengganggunya sama sekali. Keyakinan kecil bahwa Umika masih hidup itu terus membara di dadanya, seolah tak mau padam meskipun dengan siraman teduh nasihat dan argumen dari ayahnya. Mungkin memang benar, keyakinan itu hanya tercipta dari rasa cintanya yang terlampau besar terhadap Umika dan ketidakrelaannya ditinggal pergi gadis itu. Tapi tetap saja, berbagai kabar bahkan bukti bahwa Umika telah benar-benar lenyap dari dunia ini sama sekali tidak bisa diterimanya.

Ryosuke paksa tersenyum. “arigatou..”

Tsukasa bisa membaca penolakan terhadap nasihatnya barusan dari mata Ryosuke sekeras apapun pemuda itu menyembunyikannya. Namun pria itu memustukan untuk membiarkan putranya itu tenang dulu. Seperti dirinya yang butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa melupakan Tsukushi, akan ada waktunya sampai Ryosuke bisa menerima sepenuhnya semua yang terjadi.
Dan tindakan Tsukasa selanjutnya membuat Ryosuke terbelalak. Kaget akut melihat ayahnya itu tiba-tiba saja sudah mengambil posisi berbaring disampingnya.

“Tou-chan, ngapain…?” refleks, pemuda itu memberi respon.

“Betsuni. Aku cuma mau bobo bareng putra kesayanganku. Kenapa? Ada masalah?” jawabnya sekaligus bertanya—sok egois. Ryosuke menaikan sebelah alisnya.

“Hah?”

“Oyasumi, Ryochan~” Pria itu menutup matanya, dan mengambil posisi tidur senyaman mungkin. Ryosuke masih ternganga.

“EHH?!”


* * * * * * * *

“Oi, Ryosuke. Kenapa? Kusut amat tuh muka?” Daiki berjalan mendekat sembari menggenggam sekaleng diet pepsi di tangannya. Ryosuke bergeser dari posisi duduknya, memberi sedikit tempat bagi penguin satu itu untuk ikut duduk bersamanya. Di bangku depan mereka ada Yuto dan Chinen. Sepertia biasa, acara nongkrong bareng TDL. Hanya saja kali ini keempatnya tidak menyantroni rumah salah satu dari mereka tetapi memilih sebuah taman yang santer ditongkrongi kaum seumuran mereka. 

“Tou-sannya eror, sudah semingguan ini tidur bareng dia terus..” Chinen yang menjawab mewakili Ryosuke yang enggan-engganan bicara karena aura kesal lebih mendominasinya dibanding harus menjawab pertanyaan salah satu sahabatnya barusan. Daiki mengangguk sambil tersenyum, sementara Yuto cekikikan. Melihat reaksi 3 manusia yang bersamanya saat itu seolah mengejeknya, Ryosuke memajukan bibirnya beberapa senti, makin cemberut.

Sedetik, Daiki, Yuto dan Chinen saling menatap penuh arti. Mereka tahu, tindakan Yamada Tsukasa yang rada memalukan itu adalah sebagai salah satu cara membuat Ryosuke menghilangkan kesedihannya. 2 minggu nyaris berlalu sejak kecelakaan naas itu menimpa Umika, dan sampai saat ini, terkadang mereka masih menemukan wajah sendu Ryosuke terpampang jelas, sekeras apapun pemuda itu menyembunyikannya. Namun rencana gila seorang kepala keluarga Yamada ini, mungkin pelan-pelan bisa megembalikan senyuman Ryosuke yang dulu, meskipun akibatnya Ryosuke lebih sering berwajah kesal karena ulah ayahnya.

“Orang tua itu, apa sih yang dipikirkannya? Dikira aku anak kecil apa?” Akhirnya Ryosuke ikut bersuara, mendumbel. Ketiga manusia yang mengelilinginya nyengir kuda, lucu melihat Ryosuke mengutuk tingkah kekanakan ayahnya barusan.

“Sudahlah Ryosuke. Tsukasa Oji-san mungkin cuma mau nostalgia..” Yuto menebak-nebak. Ryosuke mendengus.

“Nostalgian apaan? Gila kali nostalgianya tidur bareng aku..”

“Siapa yang tidur bareng kamu?” seseorang tiba-tiba menyusup kedalam pembicaraan penuh cengiran 4 eksistensi barusan. Seorang gadis manis dengan tinggi 160 sentian sudah berdiri keheranan disebelah Chinen.

“Loh, Suzu? Kok bisa ada disini?” Daiki yang duluan bereaksi atas kemunculan Ohgo Suzuka yang tiba-tiba tersebut. Mendengar nama pujaan hatinya disebut, Chinen sontak menoleh ke sampinng. Wajahnya langsung sumringah menemukan kekasihnya tercinta tengah berdiri di sampingnya.

“SUZUCHAAAN~” Pemuda itu berseru senang sambil bersiap memeluk gadis di sampingnya mesra. Namun, boro-boro meluk! Yang ada kepala Chinen ditoyor sang gadis menjauhi tubuhnya yang masih berdiri konstan. 

“Tadi aku habis nganterin dokumen ayahku. Kelupaan. Kalian sendiri ngapain? Terus siapa tadi yang katanya tidur bareng Ryosuke?” Suzuka menjawab sekaligus kembali ke topik pertanyaannya sebelumnya.
Yuto baru saja ingin menjawab namun sesegera mungkin disela Chinen dengan 2 kata manis bermakna.

“duduk dulu~”

Suzuka mengamati panorama di depannya. “Mau duduk dimana?” tanya gadis itu cepat melihat tak ada tempat baginya untuk menyusup masuk. Ya, biar dikata itu bangku dan biasanya bangku bisa diduduki bertiga*emang bajaj?*, namun karena postur keempat pemuda tampan itu rada sixpack—kecuali Yuto yang agak kurus sedikit *A/N: nyeret Yuto ke Gym* jelas saja tidak memungkinkan gadis itu untuk duduk seperti halnya mereka.

Mendengar pertanyaan Suzuka, Chinen langsung tersenyum manis.

“sini?”

Sini? Suzuka berpikir, meneliti, nampaknya tidak ada tempat lagi deh baginya untuk ikutan duduk. Terus, di sini dimana—Ouh! Suzuka tahu sekarang apa yang pemuda mini itu maksud dengan ‘sini’.
Chinen menepuk-nepuk kedua pahanya, memberi kode nonverbal untuk gadis itu agar memfungsikan 2 anggota tubunya tersebut sebagai kursinya yang baru.
Sedetik Suzuka terdiam.

HAP!

Dengan gerakan tiba-tiba, Suzuka melompat kecil ke pangkuan Chinen dengan posisi tubuh membelakangi pemuda itu. Untuk menjaga agar gadis dalam pangkuannya tidak jatuh, Chinen lalu memeluk pinggangnya erat. Tak lupa, gadis itu mengoyang-goyangkan kakinya, memberi efek WOW bagi ketiga pemuda diepannya.

Ryosuke, Yuto dan Daiki ternganga.

“Kok, mereka kayak ayah sama anak ya?” Daiki berbisik sepelan mungkin di telinga Ryosuke. Pemuda yang beberapa menit lalu masih diliputi aura kesal itu seketika berubah atmosfer menjadi kaget luar biasa. Apalagi setelah Suzuka sesukanya mulai menyedot cola dingin dalam gelas milik Chinen di depannya. Kok beneran kayak ayah dan anak ya?

Ryosuke mengangguk. “ayah-anak yang sama besarnya…”

Sementara Ryosuke dan Daiki tengah berbisik, Yuto yang duduk di samping Chinen hanya bisa mangap.

Sejak kapan the Lady of coolness Ohgo Suzuka bisa bertingkah kekanakan begini?

Tidak ada yang menjawab.*A/N:jelas lah. Yuto nanyanya aja dalam hati!*

Terlepas dari atmosfer kekesalan dan empati yang tadi terjalin antara kelompok tersebut yang segera berganti dengan atmosfer bahagia plus keheranan akibat kemunculan sesosok Ohgo Suzuka, keadaan lalu berubah kembali normal dengan satu pertanyaan interogasi yang terluncur dari sisi-sisi bibir gadis itu.

“Ne, Ryosuke. Yang tadi itu, siapa yang tidur bareng kamu?”

Ryosuke menyedot colanya yang tinggal setengah, lalu menjawab asal. “Orang yang menyebalkan..”

“Chinen?” tebak Suzuka seolah oknum yang disinggungnya tidak berada bersama mereka saat itu. Chinen yang memangkunya langsung cemberut, tidak begitu senang mendengar tebakan Suzuka itu. Pacar sendiri kok digituin.

Ryosuke sendiri tertawa kecil sebelum menjawab. “Chii memang menyebalkan juga, tapi bukan dia orangnya.”

Chinen melempari Ryosuke dengan koin 500 yen di atas meja didepannya. Pemuda itu tertawa makin keras.

“Becandamu nggak lucu ah!”

“gomen~” Ryosuke mengatupkan tangannya. Sedetik kemudian bola matanya digulir sedikit ke kiri untuk menatap kedua mata indah Suzuka. “Ayahku. Lagi stress kali..”

“Kau tidur bareng ayahmu?!” Nada pertanyaan Suzuka sedikit menanjak, menunjukan kekagetannya. Tentu saja kaget. Jaman sekarang ini, pemuda 18 tahun masih tidur bareng orang tuanya—terlebih ayahnya, bukankah itu agak aneh.

Menyimak ada perbedaan nada dalam kalimat tanya Suzuka barusan, Ryosuke langsung meluruskan.
“Bukan keinginanku, okay?. Ayahku saja yang entah kesambat apa pengen tidur bareng aku.” Jelasnya. Seperti yang diketahui, Suzuka kan otak detektif. Jadi mungkin saja jawaban singkatnya itu akan memunculkan banyak argumen gadis itu terhadap kasus yang terjadi padanya tersebut.

Suzuka manggut-manggut. “Ayahmu memberimu alasan kenapa tiba-tiba dia gabung dikamarmu begitu?”

He gives me a simple one.” Ryosuke memangku dagunya. “Katanya dia cuma pengen tidur bareng aku..“

Weird.” Suzuka ikut memangku dagu.

Tanpa mereka sadari, 3 eksistensi lelaki lain memandangi mereka heran.

“Kok kita udah berasa di kantor polisi ya?” Yuto berbisik pelan pada Chinen sehingga Suzuka tidak mendengar kata-katanya. Pemuda itu hanya tersenyum lemah.

“Ryosuke ngaktiffin ‘sakelar detektif’nya Suzuchan sih..”

Yuto mengernyit. “Sakelar apaan?”

“Sakelar detektif.” Chinen mengulangi sepasang kalimat tersebut. “You know Suzuka… when she finds out something unusual happen, she will try to solve that with her magical argument, right?”

Yuto mengangguk.

“dan Suzuka menganggap masalah ‘tidur bareng ayah itu’ unusual. Menurutku, Sekarang Suzu pasti lagi berusaha menemukan alasan kenapa Tsukasa oji-san bisa eror begitu.”

right..” Yuto kembali mengangguk setuju.

“THAT’S IT!” gerak anggukan kepala Yuto seketika terhenti karena satu seruan berbahasa inggris terdengar dari sosok terpangku disampingnya. Dari siapa lagi kalau bukan dari satu-satunya eksistensi yang duduk beralaskan eksistensi lain, Ohgo Suzuka.  

“Apaan?” Daiki bertanya, tidak ngeh dengan kata ‘THAT’S IT’ yang tiba-tiba tersebut. Suzuka menatapnya sebentar lalu berpindah ke Ryosuke.

“Tentang kenapa ayahmu tiba-tiba menemanimu tidur, aku tahu kenapa.”

“Kenapa?” Ryosuke agak penasaran. Suzuka tersenyum simpul sebelum menjawab.

“Ayahmu menjagamu, demi Umika.”

To Be Continued

------------------------------------------------------------------------------------------------------------ 


note: covernya baru jadi tuh...hehehe XD