CHAPTER 5
- The reason I live for today -
Ryosuke memutar kenop pintu didepannya lalu masuk perlahan. Kamarnya kosong, jelas menunjukan sang ayah belum juga kembali dari kantor. Kepala pemuda itu terasa berat, dan dengan sekali sentakan, tubuhnya sudah terhempas begitu saja ke kasur empuk di depannya.
Ryosuke menutup mata, memutar kembali memori percakapannya dengan Suzuka nyaris sejam lalu. Alasan kenapa sang ayah bisa ‘menjaganya demi Umika’.
“Ayahmu menjagamu, demi Umika.”
“Menjagaku..?”
Suzuka tersenyum simpul sebelum melanjutkan teorinya. “sebelumnya maafkan aku kalau bicara terlalu gamblang. Tapi menurutku, ayahmu mengalami sesuatu saat kehilangan ibumu yang membuatnya merutuki dirinya sendiri seperti ini bahkan lebih buruk mungkin saja membuatnya ingin menyusul kepergian ibumu. Ayahmu takut kau berpikiran sama dengannya mengingat kondisimu 2 minggu ini sangat kacau. Dia tidak ingin kau terus tenggelam dalam kesedihan karena kehilangan Umika..”
Ryosuke tidak dapat berkata-kata dan hanya bisa termangu menyimak penjelasan Suzuka. Dan entah kenapa, semuanya kini jadi masuk akal. Tsukasa tidak sedang eror atau apa. Ia hanya ingin menjaga putranya dari segala kemungkinan terburuk tindakan Ryosuke yang mungkin saja bisa mengancam nyawanya.
“Karena itu Ryosuke…”Suzuka menyambung”Hargai niat baik ayahmu. Jangan lagi menyiksa diri, relakan kepergian Umika…kau tahu? Dengan merelakan kepergian seseorang, kau sudah membantunya melepas segala bebanya di dunia…”
“Bagaimana kau bisa seyakin itu Suzuka?” Ryosuke balas bertanya, berbisik lebih tepatnya. Suzuka mengangkat kepala lalu menatap kedua bola mata coklat bening Ryosuke tajam.
“Aku yakin. Aku percaya pada instingku.”
“insting hah?” Ryosuke menggumam pelan sambil tertawa mentah. “Apa instingmu juga mengatakan kalau Umika benar-benar sudah pergi?”
* * * * * * * *
Ryosuke merasakan suhu badannya memanas. Pandangannya mengabur bagai diselimuti kabut putih tebal. Keringat mengucuri pelipisnya deras, nafasnya memacu cepat, kepalanya pusing. Entah apa yang terjadi tapi tubuhnya terasa sakit sekali saat ini.
Sampai sentuhan lambut itu menyentuh pundaknya, memberikan sensasi nyaman luar biasa yang seketika menjalari tubuh pemuda itu. Ryosuke berusaha melihat, siapa eksistensi yang muncul tiba-tiba tersebut.
“Daijoubu?” satu suara lambut yang begitu familiar terdengar bersamaan dengan mata Ryosuke yang melebar menemukan eksistensi yang tengah tersenyum manis padanya kali ini.
“U-so..”
“Badanmu panas. Kuambilkan obat ya? Yang rasa strawberry kan? Hai! Hai!” sosok itu bangkit siap bergerak mengambil banda yang tadi disinggungnya. Jantung Ryosuke berdetak cepat seolah tidak ingin eksistensi itu menjauh darinya. Jangan sampai ia pergi lagi.
“Tidak, Umika. jangan pergi..”
“Ne, Ryosuke..Ryosuke daijoubu?” satu guncangan di bahu menyadarkannya begitu saja. Ryosuke agak sulit membuka matanya karena terpaan lampu kamar cukup menyilaukannya. Tubuhnya masih terasa panas, kepalanya juga pusing. Sedetik kemudian barulah pemuda itu mengenali siapa yang baru saja membangunkannya tadi.
“Tou-chan…”ujarnya lemah sambil berusaha menarik nafas. Tsukasa meletakan tangannya di kening Ryosuke, mengukur suhu putranya itu.
“Tubuhmu panas sekali. Touchan panggilkan Inoo sensei ya ?”
Ryosuke tidak begitu mendengar jelas perkataan Tsukasa dan malah mengingat kembali seuntai klimat dari Suzuka beberapa waktu lalu.
“Karena itu Ryosuke..Hargai niat baik ayahmu. Jangan lagi menyiksa diri, relakan kepergian Umika…kau tahu? Dengan merelakan kepergian seseorang, kau sudah membantunya melepas segala bebanya di dunia…”
“Touchan…” Ryosuke menggumam, memanggil Tsukasa yang nyaris beranjak dari kursinya.
“hm?”
“Hontou ni, A..rigatou na..”
Ucapan Ryosuke barusan menimbulkan tanda tanya besar dikepala Tsukasa. Ada apa dengan putranya? Apa karena suhu tubuhnya terlalu panas sampai dia bisa bicara sengawur ini? Ya, pengalaman sebelum-sebelumnya, Ryosuke kalau sakit pasti bicaranya banyakan ngawur. Tsukasa kerap kali mendengar itu dari Fuma maupun Umika. Dan baru kali ini pria itu menyaksikannya sendiri. Ditambah wajah Ryosuke sudah sangat memerah. Tsukasa tidak sekreatif Umika dalam memikirkan balasan pernyataan Ryosuke tatkala pemuda itu demam, jadi dengan senyum lembut yang tulus dari hati yang paling dalam, Tsukasa mengiyakan meskipun ia sama sekali tidak mengerti maksud dari ucapan terima kasih barusan.
“Hai. Dousitashimashita…argh, Touchan harus memanggil Inoo sensei..” pria nyaris paruh baya itu langsung teringat dengan dokter pribadi keluarganya dan langsung bergerak keluar untuk menghubunginya.
Selepas kepergian Tsukasa, Ryosuke memutar posisi berbaringnya sedikit untuk lebih jelas memperhatikan foto gadis manis dalam pingura di atas meja belajarnya. Hatinya teduh, merasakan kembali sensasi nyaman yang dibawa sosok imaji Umika dalam benaknya tadi. Ada kelegaan, rasa hangat ketika diputuskannya untuk merelakan Umika pergi. Sudah takdir, sudah jalan Tuhan. Sekian banyak orang sudah menasihatinya seperti itu dan Ryosuke baru menyadarinya saat ini.
Mereka benar, Umika pergi karena itulah yang sudah diputuskan Dia yang maha kuasa, dan melepaskannya adalah cara untuk melepaskan beban gadis itu serta bebannya sendiri. Sekarang yang harus dilakukan adalah bagaimana menjalani kehidupan dengan tetap menyimpan kenangannya bersama Umika dalam hatinya, bukan sebagai rasa sakit yang menghantui, tetapi sebagai harta berharga yang takan pernah dilepasnya mengingat Umika adalah orang yang pertama disebutnya ‘kanojo’ dalam 18 tahun hidupnya selama ini. Dan kenangan akan Umika akan selalu indah, bahkan untuk kehidupan pemuda itu seterusnya. Buakankah Umika juga menginginkan yang sama?
Ryosuke sakit, demam, namun dengan yakin dan sadar sepenuhnya pemuda itu telah mengambil keputusan besar dalam liku hidupnya.
Umika telah dijadikannya kenangan. Kenangan yang kekal, sekekal rasa cintanya terhadap gadis itu.
“Arigatou Umika..”
* * * * * * * *
4 months later, Tropicana land, Tokyo
Ryosuke mengamati panorama di depannya takjub sambil mengangkat alis. Mulutnya terbuka sedikit siap memberi komentar merangkap pertanyaan yang tercetak dalam kepalanya kepada segerombolan manusia yang berbaris rapi di samping kiri-kanannya.
“Dan sekarang..,ngapain kita disini?”
6 eskistensi yang terdiri dari 3 pemuda dan 3 gadis yang berdiri berjejer mendampinginya tadi menyeringai.
“challenging our self..” Daiki yang berdiri tepat disamping Ryosuke menyambung. Ryosuke memutar kepalanya menghadap pemuda itu.
“for what?” tanyanya dingin. Chinenlah yang kemudian menjawab pertanyaan Ryosuke selanjutnya.
“refreshing lah Ryosuke. Abis ujian begini cocoknya ya main ke taman hiburan kan…?”
Eksistensi lain mengangguk setuju, sementara Ryosuke yang masih belum puas, gantian memandang Chinen tajam.
“Kalau begitu bisa jelaskan padaku kenapa kita harus berdiri di depan RUMAH HANTU???” pemuda itu memberi penekanan tepat pada kata ‘rumah hantu’ sambil memalingkan matanya dari Chinen ke bangunan tua mengerikan bertitel ‘House of Death’ di depan mereka. Serentak bersama Ryosuke, 6 manusia yang mendampinginya yang adalah Chinen, Yuto, Daiki, Mirai, Suzuka, dan Momoko ikut memandang ke bangunan tersebut ngeri. Rada menyesal memilih tempat itu sebagai tempat persinggahan tamasya mereka berikutnya.
Hari ini hari terakhir Ujian nasional kelulusan SMU dan setelah seminggu pertarungan dengan soal-soal yang bikin sport jantung tersebut berakhir, ketujuh sahabat penghuni kelas 3-D Horikoshi Gakuen itu memilih taman hiburan sebagai tempat refreshing mereka. Kelompok itu sudah menaiki roller coaster, tornado—emang ancol?—bahkan sampai komedi putar. Tapi ini, Rumah hantu.., adalah mimpi buruk. Terlebih karena 4 pemuda—yang dibalik ketampanan, kekerenan, ketenangan mereka di sekolah ternyata adalah sosok yang SANGAT takut dengan hal-hal berbau mistis dan horror seperti ini. Nah, kalau yang cowok-cowoknya saja takut, apalagi yang cewek?
Lalu kenapa memilih rumah hantu sebagai kunjungan mereka berikutnya?
Pertanyaan itu berputar di kepala Ryosuke, memaksanya untuk menghujani 3 manusia sejenis kelamin dengannya dengan tatapan mematikan—secara 3 orang itulah yang mengusulkan menjadikan mimpi buruk ini sebagai alternative wahana kunjungan mereka. Nyengir sedetik, Chinen, Yuto dan Daiki lalu menarik Ryosuke sedikit menjauh dari ketiga gadis mereka yang setengah ketakutan setengah konsentrasi menghadapi wujud luar bagunan menyeramkan didepan.
Dengan sekali hentakan, keempat pemuda itu sudah membentuk sebuah lingkaran kecil mencurigakan.
“Ryosuke baka! Ini kan kesempatan?” Chinen menggeplak kepala Ryosuke pelan. Pemuda yang organ paling atas tubuhnya diberi pukulan ringan tersebut mengerang kesakitan sambil mengelus-elus bagian yang teraniaya itu.
“Kesempatan apaan sih?” Ryosuke balas menggeplak kepala Chinen. “Kesempatan ketemu hantu, iya?!”
Chinen mengangkat jari telunjuknya, kemudian mengoyang-goyangkannya seirama dengan gelengan kepala. Ekspresinya meremehkan.
“Ckckck! Kau masih terlalu hijau Yamada-san..” Chinen mengalihkan pandangannya ke Yuto lalu mendelik. “Yuto, jelaskan padanya.”perintahnya.
Bagai menerima komando dari atasannya, Yuto seketika mengangguk lalu menjelaskan maksud Chinen.
“begini Ryosuke… meskipun amait-amit seramnya, Rumah hantu itu surga buat kita cowok-cowok..”
“karena?” belum selesai Yuto bicara, Ryosuke sudah keburu memotong. Tidak ngeh pemuda itu dengan penjelasan Yuto yang sangat singkat. Yuto mendengus.
“Dengerein aku ngomong dulu kenapa..!” serunya agak kesal sebelum kembali melanjutkan. ”..dibilang surga soalnya banyakan scane romantis itu terjadinya di dalam rumah hantu. Kau tahu, biasanya kalau gadis-gadis ketakutan lihat hantu kan mereka akan langsung meluk kita. Seru dong! Kita tinggal sok jadi pahlawan saja melindungi mereka. Dijamin, mereka pasti tambah cinta..!” Yuto mengakkhiri penjelasannya dengan wajah sumringah berapi-api. Begitu pula Chinen dan Daiki disampingnya yang mendukung habis skenario rencana Yuto tersebut dengan tangan terkatup diangkat bagai memberi semangat. Ryosuke melongo.
“Lha! Enakan kalian dong yang punya pacar! Kalau aku? Mau pelukan sama siapa? Sadako?!” Protesnya kemudian. 3 manusia sumringah didepannya berhenti nyengir lalu mengangguk.
“Iya juga ya. Ryosuke bisanya pelukan sama Sadako doang.” Daiki menyambung. Baik Chinen dan Yuto mengangguk.
“Kau takut tidak masuk rumah hantu?” tanya Yuto. Ryosuke pelan-pelan mengangguk.
“Rumah hantu itu mimpi buruk.”
Yuto menggaruk-garuk dagunya, berpikir. “Ne, kalau begitu kau masuk duluan ya..”
Kedua bola mata Ryosuke membulat sempurna mendengar usul Yuto barusan.
“Apa?! Masuk duluan?! Gila kali ya! Nggak! Aku nggak mau!” Tolak Ryosuke cepat. Boro-boro masuk, berdiri di depan pintunya saja Ryosuke sudah merinding disko.
“Ne, Ryosuke, ayolah.. kami akan melindungimu dari belakang biar kau nggak diserang dari belakang. Ya? Ya?”
“Hah?! Bilang saja kalian mau menjadikanku umpan supaya hantu-hantu itu menyerangku duluan dan membiarakan kalin bebas seenaknya.. huh! No Way!” Ryosuke masih menolak.
“Ayolah Ryosuke… Ryochaaan~?” Yuto kembali membujuk. Ryosuke menggeleng.
“Daichan! Mau masuk tidak?” Momoko tiba-tiba saja menghampiri kelompok kecil tersebut. Kerumunan memecah.
“Jadi kok! Ini, Ryosuke mau jadi sukarelawan buat masuk duluan.” Daiki tersenyum lebar pada kekasihnya sembari menarik Ryosuke mendekati rumah hantu tersebut. Ryosuke baru saja mau meneriakan penolakannya namun kedua tangan mungil Chinen segera membekap mulutnya ditambah gerakan Yuto yang sudah mengunci lengan bebasnya yang lain yang tidak terjangkau oleh Daiki lalu menariknya bergerak mendekati rumah hantu tersebut.
“God bless you, Ryosuke..” bisik Chinen sepat sebelum pemuda itu ditolak masuk kedalam. Seketika pintu tertutup, menandakan mimpi buruk pengunjung yang baru masuk itu siap menjadi kenyataan.
“OI!! SIALAN KALIAN! OI YUTO, CHINEN, DAIKI, BUKAA!! OII!!!!” teriaknya kesal akut sembari mendobrak-dobrak pintu kayu tua tersebut. Yang terdengar berikutnya hanyalah tawa cekikikan dari eksistensi-eksistensi diluar.
“Argh! Brengsek! Mereka menjebakku!” Umpatnya lagi. Pemuda itu nyaris mendobrak lagi ketika dirasakannya satu tangan dingin menyentuh pipinya. Pelan-pelan dengan adrenalin yang luar biasa terpacu, Ryosuke menoleh.
“GYAAAAAA!!!!!” Jeritnya seketika saat menemukan sesosok mkhluk berambut panjang tanpa wajah sedang berdiri manis disampingnya. Secepat kilat pemuda itu berlari menjauhi pemandangan absurd itu—yang sayangnya membawanya memasuki penderitaan yang lebih dalam.
Ryosuke masuk lebih dalam ke rumah hantu tersebut. Sebagai hasil, belum ada dua meter ia berlari, langkahnya sudah dihadang sesosok manusia berbalut perban kotor dengan wajah mengerikan.
“Muahahaha!!” Sosok itu tertawa. Tidak ikut tertawa, Ryosuke memilih melengkingkan teriakan yang lebih dashyat dari sebelumnya.
“GYAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!” pemuda itu lanjut berlari. Dan seperti saat itu, langkah-langkah Ryosuke berikutnya terus saja terhalang oleh mahkluk-mahkluk absurd yang sering dijumpainya dalam film horror. MENGERIKAN.
“Muahahaha!!!”
“GYAAAAA!!!!!”
“GYAAAAA!!!!!”
“Hihihiiiii”
“AAAAAAAAAAAAHHH!!! GYAAAAAAAAAAAA!!!!!”
“HAHAHA”
“UWAAAAAA!!! GYAAAAA!!!”
Lengkingan-lengkingan macam itulah yang brikutnya menjadi simfony dalam bangunan tua tersebut. Terang saja, setiap bertemu mahluk apapun, Ryosuke selalu tidak lupa berteriak untuk mengeskpresikan rasa takut luar biasanya. Untunglah setelah nyaris 7 menit Ryosuke terperangkap dalam penderitaan mencekamnya, pemuda itu akhirnya bisa keluar dari mimpi buruk tersebut dengan selamat.
Ryosuke tertunduk lemah lalu mengatur nafasnya sembari mengingat pengkhianatan Daiki, Chinen dan Yuto yang bisa-bisanya memasukannya kedalam tempat terkutuk itu.
“Brengsek! Awas kalau mereka keluar nanti!” umpatnya kesal.
“Ne, sudah kubilang kan beli jus jeruk saja..”
Satu suara samar-samar terdengar ditelinganya. Ryosuke tersentak kaget. Jantungnya berdetak 10 kali lebih cepat. Suara ini, suara yang paling dikenalnya. Yang paling dirindukannya 5 bulan terakhir. Suara milik seseorang yang dicintainya. Pemuda itu yakin benar.
Kedua mata Ryosuke secepat kilat menyusuri kerumunan ramai didepannya. Agak lama, sampai kedua bola matanya menangkap sesesosok wajah familiar yang tengah tertawa. Ryosuke ingat tawa itu. Tawa yang seharusnya tetap berwujud kenangan yang tersimpan tiba-tiba saja dimunculkan kembali dalam rupa yang nyata baginya, bukan lagi imaji mimpi seperti dulu.
Ryosuke memusatkan tatapannya, mengenali gadis yang tengah tersenyum itu sebagai Umika Kawashima, kekasihnya.
“Umika..?”
Sosok yang dipanggil tersebut tidak berbalik, malah bergerak makin jauh. Ryosuke kembali meneriakan namanya, bersiap untuk berlari mengejar gadis itu.
“UMIKA!”
“Aku nggak mau masuk lagi! Aku nggak mau masuk lagi!” satu seruan yang muncul dari arah pintu keluar rumah hantu tiba-tiba terhenti ketika Ryosuke menyerukan sesuatu. 6 manusia yang baru keluar dari rumah hantu itu hanya saling menatap heran, tidak mendengar jelas teriakan Ryosuke karena tertutup seru-seruan ketakutan Chinen tadi.
“Ne, Ryosuke. Ada apa?’ Mirai mendekati pemuda itu lalu menepuk bahunya. Ryosuke balik menatap Mirai. Wajahnya nampak pucat. Agak lama sampai Ryosuke kembali mengfungsikan kedua sisi bibirnya untuk menjawab.
“Aku, melihat Umika…”
To Be Continued
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar