wkwkwkwk... baca aja gih nih...
TARIAN IBU
Aku terhenyak. Sembari menutup pintu, langkah-langkah itu masuk perlahan, meninggalkan bunyi decitan engsel yang sudah berkarat. Segera kuangkat kepalaku dari meja, dan berjalan ke ruang depan.
“Ibu sudah pulang? Bagaimana menarinya?”. Wanita paruh baya yang kupanggil Ibu itu tersenyum manis lalu memberiku tas yang sejak tadi melingkar di bahunya. Kuambil tas itu pelan-pelan dan mengeluarkan isinya. Sebuah baju tari tradisional yang memang sudah agak kusam, namun masih layak dipakai.
“Lumayan lah nak, uangnya juga cukup untuk besok…” Ibu menjawab, lalu pelan-pelan mendekati kursi kayu reot di samping meja belajarku. Matanya menulusuri beberapa buku tulis di meja. Bibirnya menyunggingkan senyum kecil. Entah kenapa, melihatnya seperti itu membuatku ikut tersenyum.
“Ibu sudah makan? Mau kuambilkan makanannya?” kuhentikan acara tersenyum tadi lalu menggantungkan baju tradisional Jawa Timur yang kupegang di dalam lemari. Ibu masih saja serius dengan buku-buku tulisku.
“Tidak usah, ibu sudah makan tadi…” bola matanya lalu bergulir, melihat padaku. “kamu sendiri, sudah makan Ras?”
“Sudah bu. Tadi sore ditraktir Sarah…” jawabku pelan. Ibu mengangguk, lalu bangkit dari kursinya. Punggungnya di pijat-pijat sedikit.
“Ibu mau tidur, capek sekali. Kamu lanjutin Pr mu ini…” ujarnya lalu berjalan masuk kamar setelah aku mengangguk. Kuperhatikan Ibu lekat-lekat dari belakang.
Dia Ibuku. Wanita paruh baya yang sudah mengandungku 9 bulan, yang menghidupiku, memeliharaku sampai usiaku yang keenam belas tahun ini. Yang harus berkerja sebagai seorang penari tradisional agar aku bisa bersekolah di sekolah swasta yang menurutnya akan mendidikku menjadi anak yang disiplin, soleh, dan taat aturan. Ayahku sudah lama meninggal, dan Ibu harus menjadi seorang single parent dalam membersarkanku selama 10 tahun terakhir. Meskipun usianya sudah tidak muda lagi, Ibu masih sangat bersemangat. Pagi hari ia mengurus rumah, berjualan kue buatannya sendiri di pasar. Lalu mulai petang, ia akan memenuhi panggilan menarikan tari tradisional atau memberi latihan tari di kantor kelurahan, atau dimana saja tempat yang bisa dijangkaunya. Meskipun bayarannya tidak begitu memuaskan, atas alasan kegemaran, ibu sangat menenekuni pekerjaan ini.
Tapi, lama kelamaan keadaan mulai berat. Usia ibu bertambah dan setiap hari harus bekerja dari pagi sampai malam. Tengah malam bahkan. Sudah beberapa kali kuminta ibu berhenti menari, cukup berjualan kue saja. Toh kami hanya tinggal berdua. Biaya hidupnya tidak begitu besar. Lagipula, baru-baru ini aku menerima beasiswa satu tahun dari sekolah. Jadi Ibu bisa berhenti menari dulu, paling tidak untuk beberapa minggu ini. Tapi ketika kuutarakan pendapatku ini Ibu hanya tersenyum dan menatapku lekat-lekat sambil menjawab. “Ibu ingin tarian-tarian ibu tetap hidup. Kalau berhenti, ibu takut, tidak bisa menemukan tarian-tarian itu lagi. Jaipongan, tari pendet…jaman sekarang jarang loh, Ras ada yang menari tradisional kayak begini. Jadi selagi ibu bisa, ibu akan berusaha melestarikannya…”
Ibu ingin melestarikan tarian tradisional, mulia memang. Tapi aku tidak ingin ibu sampai kelelahan karena terus-terusan bekerja.
Kalau ibu mau melestarikan tarian-tarian ini, aku juga bisa kok.
******
Sarah menatapku tidak percaya.
“Kamu yakin Ras?” Pertanyaan itu keluar dari dua sisi bibrnya, membuatku mau tidak mau memberikan jawaban, meskipun otakku sedang galau.
“Entahlah Sarah. Tapi aku tidak mungkin membiarkan ibuku menari terus” .
Sarah merapatkan kursinya ke meja. “Tapi di tempat kayak gitu kan banyak om-om genit...”
“Hush!, sebarangan kamu. Ini sanggar tari Sar, bukan warung kopi …”.
Mulut Sarah terbuka sedikit tanda mengerti.
“Terus…” ada jeda sepersekian detik sampai Sarah meneruskan pembicaraannya. “ Memangnya kamu bisa menari Ras?”.
Aku menghela nafas panjang, sedikit tidak percaya dengan pertanyaan Sarah barusan.
“Bisa lah. Ibuku itu pelatih tari juga, ingat? Masa anak orang dilatih, anak sendiri tidak. Lagipula kata Ibu, kemampuan menariku tidak jauh berbeda dengannya kok.” Jawabku malas-malasan. Sarah hanya cengengesan.
“Maaf, kirain kamu hobinya belajar aja…” sahabatku itu menghentikan kata-katanya sejenak sembari tangan kananya mengambil botol minuman di mejaku lalu meneguknya perlahan. Sudah jadi kebiasaannya kalau mau minum tinggal meminta yang kubawa dari rumah.
“Jadi, Ras..”
“Hmm?”
“Kamu yakin?” sarah mengulang pertanyaan yang baru dilontarkannya semenit lalu. Namun berbeda dengan sebelumnya, kali ini aku menjawab mantap.
“Tentu saja.”
******
“Eh, mau gantiin Ibu?” Nadanya terdengar kaget. Ibu menatapku heran sebentar, lalu kembali mengocok campuran telur, tepung, gula, dan mentega dalam mangkuk yang dipegangnya. “Ada apa nih tiba-tiba, Ras?” lanjutnya.
“Tidak ada apa-apa sih bu… hanya saja, Ibu kan sudah jualan dari pagi. Nanti Ibu bisa kecapaian kalau kerja sampai malam. Jadi, biar Laras gantiin aja bu. Lagian alasan Ibu mau terus-terusan menari supaya tari-tarian tradisional bisa dilestarikan, ya kan? Jadi kalau Laras gantiin Ibu, Laras juga sudah ikut melestarikan tarian tradisional kan?” Jawabku panjang lebar. Ibu tersenyum kecil sembari menghentikan kegiatannya mengocok adonan sebentar.
“Kamu yakin, Ras?” pertanyaan itu lagi. Sejak kemarin, entah sudah keberapa kalinya pertanyaan ini dilontarkan padaku. Awalnya dari Sarah, lalu sekarang Ibu. Apa permintaanku ini sangat tidak mungkin terkabul ya, sampai-sampai selalu saja keyakinanku diuji?. Tanpa lama-lama berpikir, aku segera mengangguk.
“Baiklah” gerakan tangan ibu berhenti. Bola matanya digulir, menatapku sekarang. “Minggu depan kamu tampil dan Ibu nilai. Kalau bagus, kamu Ibu kasih ijin gantiin Ibu. Tapi di sanggar saja, buat jadi pelatih. Bagaimana?”
Sontak dengan tensi kegirangan meningkat, aku mengangguk mantap.
******
Diam-diam, aku mengamati dari balik panggung. Ya Tuhan, kenapa penontonnya banyak sekali?. Meskipun menarinya nanti berkelompok, tapi sungguh saat ini aku sangat gugup. Ibu yang sedari tadi memperhatikanku, mendekat. Merapikan baju kuning keemasan khas Bali yang kukenakan.
“Bu, Laras gugup…” bisikku pelan sambil berusaha menahan raut wajahku agar tetap terlihat normal. Ibu hanya tersenyum lembut.
“Tidak apa-apa. Ini pengelaman pertamamu kan? Wajar kalau kau gugup. Yang penting, sebentar bersikaplah biasa. Jangan takut dengan penonton. Mereka mendukungmu loh…” Ibu membelai kepalaku lembut, membuatku merasa lebih nyaman.
“Terima kasih bu…”
“Ibu Widya, anak-anaknya sudah disiapkan? Sudah waktunya mereka tampil…” seorang wanita berusia tiga puluhan tahun yang baru 2 jam terakhir kuketahui bernama Ibu Sriwina mendekati kami. Dia adalah pemilik sanggar tari tempat ibuku bekerja. Hanya saja, dia khusus mengajar tarian khas Jawa tengah. Apa saja.
“Sudah bu. “ Ibu lalu berbalik menatapku. “Berusaha ya?” bisiknya. Aku mengangguk.
Bersama penari lainnya, aku lalu berbaris.
“Berikutnya, penampilan dari sanggar tari Sri Dewi, inilah tari pendet...” kode dari MC bisa kutangkap. Segera dengan gerak gemulai, kami memasuki panggung.
Musik mulai mengalun. Pertama-tama kami mengatur jarak baris, lalu dilanjutkan dengan lenggokan kaki dan tangan. Semuanya berjalan dengan sangat lancar, menyenangkan malah. Tidak lagi kurasakan rasa gugup yang sebelumnya benar-benar membuatku takut untuk tampil. Kami terus menari, menggerakan tangan, kaki, pinggul, dan mata tentu saja. Kata Ibu, dalam menarikan tarian pendet, permainan mata harus sempurna, itulah yang membuat tarian ini jadi indah di lihat.
Musik berakhir. Pelan-pelan, diiringi tepukan tangan riuh dari penonton, kami meninggalkan panggung. Yang kulihat berikutnya adalah sosok Ibu yang berlari mendatangiku dan memelukku erat.
“Ibu bangga padamu, Ras. Tarianmu bagus sekali…”
Senyuman lebar merekah dari kedua sisi bibirku.
******
“Aulia Larasati kelas X-A diminta ke ruang Kepala Sekolah sekarang…” suara bu Muginidya, wali kelasku terdengar jelas. Aku dan sarah yang sedang mengerjakan tugas kimia hanya saling menatap heran satu-sama lain.
“Ada apa ya?” Seruku agak khawatir. Memang, saat ini perasaanku sedang tidak enak.
“Urusan beasiswa mungkin. Siapa tahu, kamu dapat beasiswa lagi…” Sarah menjawab malas-malasan. Aku menggeleng.
“Tidak mungkin ah,” aku menutup buku tulis di depanku. “Aku kesana ya…” pamitku seadanya kepada Sarah. Ia melambaikan tangannya, menggumamkan kata “dah..” sebagai balasan atas pamitanku. Aku memacu kakiku cepat menuju ruang kepala sekolah. Tidak butuh waktu lama sampai kaki-kakiku berhenti sempurna didepan ruangan orang nomor satu di sekolah kami tersebut. Aku memutar kenop pintu perlahan.
“Permisi Suster…” kepalaku duluan menyembul dari balik pintu. Melihat kedatanganku, Suster kepala sekolah langsung menyuruhku masuk. Ternyata didalam tidak hanya ada Suster Kepala saja. Ada Om Gede, salah satu tetanggaku.
“Larasati, sebelumnya kami minta maaf, tapi…” Suster kepala memulai pembicaraan. Namun tiba-tiba saja dihentikannya, entah karena apa. Wajahnya sendu, seperti tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Suster Kepala menatap Om Gede sekarang. Seolah telah mendapat kode nonverbal dari Suster, Om Gede lalu membuka mulutnya ragu-ragu.
“I-Ibumu, Ras…” Om Gede menatapku takut-takut. Aku masih diam, bingung menunggu lanjutan kata-katanya. “Ibumu meninggal... tertabrak mobil.”
Nafasku tercekat.
“Apa?!” seolah memaklumi reaksiku ini, Suster kepala kembali mengulang kata-kata Om Gede barusan.
“Ibumu sudah meninggal, Larasati…”
Nafasku kembali tercekat. Jantungku seolah mau berhenti. Tiba-tiba saja semua kenanganku bersama ibu terbesit cepat dalam otakku. Seperti menonton film lama yang dipercepat durasinya, saat-saat yang kulalui bersama ibu itu terlintas begitu saja.
Dan kemudian, aku tidak lagi melihat apapun.
Semuanya menjadi gelap.
******
Aku mengakhiri tarianku dengan memberi hormat pada para penonton.
“Ok ladies and gentleman, that is Larasati from Indonesia!! Give her applause!!” Suara MC mengakhiri penampilanku. Aku hanya bisa menunduk hormat, malu juga tentu.
Aku tidak lagi di Indonesia. Aku di Sidney sekarang. Semenjak ibu meninggal, aku semakin rajin berlatih. Bukan hanya tari pendet, tapi banyak lagi tarian tradisional Indonesia lainnya. Aku ingin memenuhi harapan Ibu, bisa melestarikan tarian tradisional. Siapa yang menyangka, tekadku itu bisa membawaku ke luar negeri, mengenalkan berbagai tarian asal Indonesia ke kancah dunia.
Penonton masih terus memberikan tepuk tangan. Mataku menyapu sekeliling, sambil tersenyum tentu saja.
Samar-samar, kulihat sesosok wanita paruh baya dengan baju tradisional provinsi Jawa Timur yang ku kenal. Yang sudah kusam namun selalu bisa digunakan. Wanita itu tersenyum hangat. Aku membalas senyumannya sebelum akhirnya sosok itu menghilang pelan-pelan.
Ibu, sudahkah tarianku sebagus tarianmu?
SELESAI
--jelek yah?! maklum deh,, bikinnya juga cuma sehari-di sekoleh, pake nulis, dan cuma 2 jam dong..
wkwkwkwkwk,, pantas aja gak menang yak ?!
:D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar