Chapter 2
Cast: Yamada Ryosuke – Hanazawa Ichigo
Ia menatap ke depan, datar. Mengenali salah satunya.
Chinen Yuri, dan seorang gadis di pangkuannya yang pasti adalah Hotaru Itou. Kenapa Chinen menangis? Dan kenapa—
Dia tahu.
—gadis itu sudah tak benyawa.
“Eeh?!” Ekspresi Yamada langsung berubah terkejut. “bagaimana keadaannya? Dia baik-baik saja kan ?”
Dengan masih menyunggingkan senyum, Chinen mengangguk.
“hanya saja…Dia masih belum mau bangun…”
Kening Yamada berkerut, tidak mengerti.
“Hotaru koma, sudah 5 hari…”
Hening.
Pemuda itu terdiam, ikut menyunggingkan senyum kecil. Pahit.
“Baru 5 hari…”
“Hanya 5 hari ternyata…” dengan tatapan yang masih datar, Yamada seolah berbisik, lalu meninggalkan tempat itu sedetik setelahnya.
******
Pemuda 17 tahun berlabel Yamada Ryosuke itu sudah berdiri di depan, siap membuka pintu. Kenop diputar, kakinya melangkah.
Pemandangan di dalam masih sama. Hanya beberapa tangkai bunga dalam vas yang kemarin masih segar kini sudah sedikit mengering. Yamada bergerak, mengganti bunga yang sudah kering itu dengan bunga dalam buket yang dipegangnya, meskipun jenisnya masih sama, lili putih.
“Aku bawakan Yuri la—“
“Kau membawa Yuri setiap hari, ingin mendoakanku cepat mati ya?” sebuah suara tiba-tiba memotong, membuat Yamada menoleh. Gadis manis dengan rambut hitam legamnya yang panjang serta pipi dan bibir yang kemerahan sedang duduk di sofa. Senyumnya membentuk lengkungan bulan sabit, membuatnya terlihat semakin manis.
“Tentu tidak. Aku yang ‘menahanmu’ ingat?” Yamada tertawa kecil, lalu memilih duduk di samping gadis itu. Hanya tetap saja, matanya tidak sedikitpun berpindah dari objek yang diperhatikannya sejak memasuki ruangan itu.
Seseorang yang tertidur dengan sulur-sulur kabel warna-warni menjalari tubuhnya. Tarikan nafasnya terdengar jelas, akibat digunakannya alat bantu pernafasan. Wajahnya datar dan—
—sama.
Wajahnya sama persis dengan gadis di sofa itu, hanya dengan tampilan yang berbeda.
“kenapa kau tidak mau bangun juga Ichigo?” Yamada kembali membuka suara. Lirih.” Ini sudah terlalu lama…2 tahun…”
Hening.
“Aku tidak bisa membuka mataku lagi Ryosuke…aku seharusnya sudah tidak disini…” yang dipanggil Ichigo tadi menjawab pahit. Meskipun bibir mungilnya masih trus menyunggingkan senyum.
******
“Ichigo, kau berani kalau kita ngebut?”
“tentu saja! Ayo kita lawan angin!”
Berpedoman 6 kata dari gadis di boncengannya, Yamada memacu sepeda motornya cepat. Sangat cepat. Nyaris menyentuh tingkat kecepatan paling akhir spidometer. Apa yang perlu ditakutkannya? Selagi gadis yang diboncenginya aman-aman saja, tentu dia bisa melakukannya.
Tapi Yamada lengah, tidak disadarinya sebuah truk melaju dari arah berlawanan. Tersentak kaget, pemuda itu tidak bisa mengontrol sepeda motornya. Stang dibelokan.
Mereka menabrak.
Bunyi besi yang beradu dengan daging dan tulang seketika membahana. Orang-orang berkumpul, mengelilingi pemandangan itu. dua remaja yang berlumuran darah.
******
Yamada Ryosuke memejamkan matanya, berusaha terlelap. Tapi tiba-tiba telinganya menangkap sesuatu.
Dentingan piano.
Indah…
Diurungkan niat untuk mengistirahatkan tubuhnya, pemuda itu langsung memutar kenop pintu, dan keluar. Kakinya menuruni tangga, menyusuri hampir setengah bagian rumah sampai matanya menangkap siluet itu. Seorang gadis dan pianonya.
“Tidak tidur?”
Yamada megangguk pelan. “Kau membangunkanku…”
Senyuman manis gadis itu kembali terulas. “Gomen ne…aku kan mau main lagu pengantar tidur…”
“Tapi aku tahu, kau yang memainkannya…tidak mungkin aku bisa dengan santainya menutup mataku selagi kau disini.”
Gadis itu bangun, mendekati Yamada. Tangannya terangkat, menyentuh pipi Yamada.
Dingin.
Tangannya dingin.
“Tidurlah…aku akan berhenti main piano. Kau sudah seharian di rumah sakit, sekarang waktunya untuk tidur…”
Yamada menggeleng. Wajahnya berubah sedih.
“Aku tidak mau kau pergi Ichigo…2 tahun memang cukup lama, tapi aku tidak akan merelakanmu begitu saja…”
Ichigo terdiam. Kedua tangannya diturunkan, menggenggam tangan Yamada.
“Tidurlah…”
Entah apa yang dilakukan Ichigo, pemuda itu langsung jatuh, tertidur dengan gampangnya.
“Aku tidak bisa disini selamanya Ryosuke. Kau harus mengerti…”
******
“Koma?!” Yamada terbelalak. Tanpa pikir panjang, dilarikan kaki-kakinya yang masih penuh balutan perban itu ke sana . Ke tempat seseorang sedang terlelap.
“ICHIGO!!” teriaknya refleks melihat sosok yang sedang tertidur itu. Gadis manis dengan wajah datar dan mata yang enggan terbuka. Kepalanya di perban, begitu pula tangan dan kakinya.
‘Yamada-san, maaf…” Seseorang mendekatinya. Dokter tadi. “Tapi… Kondisi nona Hanazawa sudah tidak bisa ditolong lagi. Kami hanya bisa membiarkannya seperti itu, sampai—“Pria paruh baya itu menelan ludah. “—sampai dia meninggal dengan sendirinya…”
Yamada terhenyak. Kaget dan kesal luar biasa. Ditariknya kerah baju dokter itu.
“APA YANG KAU KATAKAN?! KAU INI DOKTER KAN ?! KAU SEHARUSNYA BISA MENYELAMATKANNYA!! BUKAN MENYERAH SEPERTI INI!!” Yamada meninju pria itu, membuatnya jatuh tersungkur di lantai. Tidak puas, Ditariknya lagi kerah baju si dokter.
Yamada tidak lagi melayangkan tinjunya.
“Aku mohon…tolong dia…” Tidak mampu lagi melakukan kekerasan, Yamada akhirnya memohon. Air matanya mengalir, membentuk genangan kecil di pipinya. Dokter itu hanya diam. Dia tahu, perbuatan salah satu pasien muda itu tidak disengaja. Yamada Ryosuke depresi, dan hal itulah yang membuat pemuda 15 tahun itu berani mengajarnya.
“Aku yang membuatnya jadi begini…aku mohon tolong dia…kau boleh pakai nyawaku… kumohon…” Yamada terisak makin keras. Akal sehatnya tidak lagi bekerja. Sekarang yang paling penting adalah Ichigo. Apa yang harus dilakukannya, agar gadis itu mau bangun?
“Ryosuke…”
Seseorang memanggil, membuat Yamada menoleh ke arahnya.
Nafasnya tercekat, tubuhnya membeku begitu saja.
“I-Ichigo?!”pemuda itu menelan ludah.
”Ba-bagaimana bisa?!”
Yamada tersentak, membuka matanya tiba-tiba.
Mimpi.
2 tahun lalu, ketika Ichigo didiagnosa akan tertidur sampai mati.
Pemuda itu menerawang, mengingat kembali saat itu.
“I-Ichigo?!”pemuda itu menelan ludah.
”Ba-bagaimana bisa?!”
“Kau yang menahanku Ryosuke…aku tidak pergi sampai kau melepaskanku…”
Sebuah suara terdengar, membayarkan lamunannya.
Dentingan piano.
Pemuda itu menutup matanya, sudut bibirnya tertarik, membentuk senyuman kecil.
Setidaknya Ichigo belum pergi…
******
Matanya melihat jelas. Sosok itu memasuki kelas. Langkahnya memang gontai, wajahnya pun senduh. Tapi dia tetap datang.
Chinen Yuri masuk sekolah? pertanyaan yang terlintas begitu saja dalam benak Yamada. Kenapa? Pacaranya baru meninggal 3 hari lalu kan ? Kenapa secepat ini, hatinya bisa kembali pulih?
Penasaran, Yamada mendekati pemuda itu.
“Chinen?”
Yang dipanggil menoleh, menatapnya datar sepersekian detik lalu kemudian tersenyum.
“Bagaimana Hotaru…?” Pertanyaan yang sudah diketahui jawabannya memang. Tapi Yamada ingin tahu, bagaimana bisa Chinen menghadapi ini dengan begitu cepatnya?
Chinen masih menyunggingkan senyum.
”Dia sudah pergi…”
Jeda beberapa detik sampai pemuda itu membuka suaranya lagi.
‘Meninggal…3 hari yang lalu…”
Ekspresi Yamada berubah kaget, meskipun sebenarnya pemuda itu sudah bisa menduga apa yang akan Chinen katakan.
“kau merelakannya?”
“Eh?!” alis Chinen terangkat, tidak begitu mengerti dengan pertanyaan Yamada.
“Kau merelakannya? Maksudku Hotaru…kau rela dia pergi..?” Yamada mengulang pertanyaanya dengan sedikit tambahan kata yang memperjelas maksudnya.
Chinen terdiam sejenak.
“Ya. aku sudah merelakannya… Dia memang harus pergi deshou?”
Yamada tidak menjawab. Pikirannya berkecamuk.
Apakah ia harus membiarkan Ichigo pergi, seperti Chinen merelakan Hotaru?
Apa dia bisa hidup tanpa Hanazawa Ichigo?
******
“Yuto!”
Sebuah suara familiar memanggil, membuat langkah Nakajima Yuto terhenti. Pemuda itu menoleh.
“Oh! Oi, tablemate!” Serunya ketika melihat siluet orang yang memanggilnya tadi. Tablematenya, Yamada Ryosuke.
‘Doushite?”
Yamada sedikit ragu-ragu sampai kemudian membuka kedua sisi bibirnya pelan.
“Sepeda motorku… aku ingin memakainya lagi.”
“HAH?!” Yuto terbelalak kaget. Tapi sepersekian detik kemudian, ekspresinya berubah khawatir. “Ma-maaf. Maksudku, kau yakin..?”
Yamada diam. Ragu.
Beberapa detik…
Anggukan dari kepala pemuda itu tergerak perlahan.
******
“Uhuk! Uhuk! Debunya banyak juga!” Yuto Nakajima menggerakan tangannya, membersihkan tumpukan debu salah satu sepeda motor besar yang sudah terparkir cukup lama di garasi keluarga Nakajima. Sepeda motor itu jelas bukan miliknya. Itu milik seseorang, yang entah kenapa hari ini menginginkannya kembali.
Pekerjaan bersih-bersihnya selesai, membuat sepeda motor itu terlihat lebih baik, sama persis seperti terakhir kali ia digunakan.
“Ini sudah direparasi, dan terakhir kali kucoba mesinnya, itu sudah sekitar 2 tahun lalu… tapi menurutku masih aman lah…” Yuto kembali berbicara, sembari memandang sepeda motor dan eksistensi di sampingnya bergantian.
Wajah Yamada memucat . Deru nafasnya cepat. Ia seolah tidak sanggup, menyaksikan benda mati bermesin di depannya itu.
Benda itu, yang sudah membuat Ichigo nyaris kehilangan nyawanya.
Benda itu yang membuat Ichigo tertidur selama 2 tahun, tanpa pernah sekalipun membuka matanya.
Benda itu yang membuat Ichigo bisa meninggalkannya kapan saja.
Yuto menangkap ekspresi Yamada jelas. Pemuda itu tahu, Yamada masih takut.
“Yama-chan, kau yakin mau memakainya lagi?”
Yamada tidak sempat menjawab pertanyaan Yuto. Tangannya gemetar, berusaha menyentuh stang motor.
“Yama-chan—“
‘Aku akan melakukannya.”
Yuto mengernyit. Sedikit tidak mengerti dengan ucapan Yamada barusan.
“Terima kasih Yuto. Aku akan menggunakan ‘benda ini’ sekarang…”
Tanpa sebelumnya mendengar jawaban Yuto, Yamada langsung menstater sepeda motor itu dan melaju pergi.
“Aku harap kau baik-baik saja, Yama-chan…”
******
Yamada masuk. Menemukan sosok yang sama masih saja tertidur. Senyumnya terkembang, tidak bosan melihat wajah itu selama 2 tahun lelapnya.
“Ichigo…sebentar lagi….” tangannya digerakan, menepis helaian rambut-rambut tipis yang jatuh di kening gadis itu.
“sebentar lagi kau boleh pergi…”
“Ryosuke? Kau- kau sudah bisa merelakanku?”
Suara terdengar. Bukan dari gadis terlelap itu, tapi Yamada tahu betul, raga itulah pemilik nya.
Yamada tersenyum misterius. Senyum yang sama sekali tidak bisa diartikan Ichigo.
“Ryosuke?”
Sosok itu tidak menjawab. Entah ada di mana pikirannya sekarang. Tanpa menunggu beberapa detik, langsung digerakannya kedua kakinya, melangkah keluar.
“Ryosuke!”
******
Yamada memacu sepeda motornya cepat. Sangat cepat. Nyaris menyentuh tingkat kecepatan paling akhir spidometer.
“Ryosuke! Apa yang kau lakukan?!” entah bagaimana caranya bekerja, tiba-tiba saja di boncengan Yamada sudah duduk Ichigo. Gadis itu menatap punggung Yamada tajam.
“Aku tidak mungkin bisa merelakanmu Ichigo, kau tahu…” Pemuda itu akhirnya menjawab pelan, bahunya mulai bergetar.
“Karena itu—“
Mata Ichigo membelalak, menatap pemandangan di depannya sekarang.
“—karena itu akan lebih baik jika kita pergi bersama kan ?”
Tidak memerlukan waktu lama sampai sepeda motor yang dikendarai Yamada menabrak pagar pembatas jalan. Tubuhnya terlempar sejauh lima meter, meninggalakan darah dan bekas.
Apa dia bisa hidup tanpa Hanazawa Ichigo?
Tidak!
Orang-orang di sekitar tempat itu berteriak ngeri lalu berusaha mendekatinya.
“dasar bodoh, kenapa?” sesuatu itu menatap keberadaan di sampingnya kesal. Bukan hanya kesal pada ‘orang’ itu, tapi juga kesal pada ketidakberdayaanya melakukan apapun. Keberadaan yang satu lagi itu hanya tersenyum, menarik tangan pasangannya tadi dalam genggamannya.
“Aku mencintaimu Ichigo…”
Mereka bergandengan, lenyap. Melengkapi akhir skenario cinta dewi Aphrodite.
******
Bangku itu sudah kosong sekarang.
- tsuzuku-
Minaa…part 2 akhirnya selesai!! Lumayan lama juga yaa..X)
Sekali lagii,, buat yang pada penasaran rupa-rupa si Ichigo itu gimana,, Googling aja,, pake Keyword Shida Mirai Okki?!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar